8

Lucas

Sejak kapan aku menginginkan ciuman dengan begitu buruk? Tentu saja sejak aku mencium Leona. Gadis itu tidak mau keluar dari dalam kepalakuku sekarang. Dia tinggal di sana dan menghantuiku. Aku bahkan tidak bisa menginginkan wanita lain, aku ingin dia, hanya dia. Dan seakan itu belum cukup buruk, ayahku terus mendorongku dengan Valerina. Aku baru selesai makan malam dengannya, itu seperti makan malam dengan patung. Dia diam sepanjang waktu, takut padaku. Jika dia bisa sedikit lebih mirip dengan Leona, itu mungkin tidak akan terlalu buruk. Leona tidak takut padaku meski tentu saja dia tidak benar-benar tahu siapa aku. Apa jika dia tahu dia akan lari? Atau dengan gemetar mengatakan 'ya' untuk semua keinginanku? Dan apakah aku akan menyukai itu?

"Jadi bagaimana?" Gabriel melemparkan pantatnya ke sofa, tepat di sebelahku.

"Mengerikan."

Aku memberinya satu kata dan dia mulai tertawa. Biarkan dia menikmati hidupnya.

"Luke, kalian akan bertunangan karung dari seminggu. Jadi tolong katakan padaku, kau setidaknya ingin menciumnya," ucapnya.

Dia tidak bermaksud menekanku atau mengolokku, dia hanya mengatakan kebenaran tapi itu tetap membuatku kesal. Aku tidak ingin bibir lain, aku ingin bibir merah Leona. Bukannya bibir Valerina tidak menggoda, sebenarnya aku tidak sepenuhnya mengerti juga. Aku hanya tidak menginginkannya dan dia jelas juga tidak menginginkanku. Kami tidak cocok satu sama lain, bukannya itu benar-benar penting. Selama Chicago dan Atlanta berhasil menjalin kerja sama, apa yang kami rasakan tidaklah penting.

Apa Gabriella juga merasa seperti ini? Tentu saja lebih buruk, pria itu 26 tahun lebih tua darinya. Dia harusnya menjadi ayahnya bukan suaminya. Aku gagal melindunginya, dia memohon padaku, dia ingin aku membuat pernikahan itu batal. Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku membiarkan hidupnya hancur. Aku menghancurkannya. Aku gagal menjadi kakak yang baik, aku selalu gagal melindungi orang yang aku sayangi.

"Aku tidak tertarik sedikit pun padanya," ucapku pelan. Gabriel berhenti tertawa.

"Apa yang salah?"

"Kau serius menanyakan itu?" cibirku.

"Yah, kamu terlihat lebih buruk dari biasanya. Aku tahu kamu tidak menginginkan ini tapi biasanya kau tidak ... semengerikan ini?"

Itu karena aku menginginkan gadis lain. Aku berteriak di kepalaku tapi tentu aku tidak memberitahu Gabriel. Dia hanya akan mengomel tentang aku akan bertunangan, aku perlu itu untuk menjadi Capo, kemudian dia akan mengirim pertanyaan senilai satu juta dolar apa kau sedang jatuh cinta?

Apa aku? Tidak. Tentu saja tidak. Setelah semua yang aku lakukan, aku hanya bisa menjadi iblis dan iblis tidak jatuh cinta.

"Di mana ayah?" tanyaku. Mengabaikan ucapannya.

"Ruang bawah tanah."

"Dia memulai tanpa aku!"

"Dia senang mendapatkan beberapa orang Rusia itu di tangannya, kupikir pada akhirnya dia akan membunuhnya tanpa mendapat informasi apa pun. Kau tahu bagaimana Ayah," ucap Gab. Nadanya praktis tidak berperasaan, sekali lagi pengingat kalau aku gagal menjaganya dari dunia kami yang kacau ini. Dia mungkin tidak memiliki darah di tangannya sebanyak diriku tapi tetap saja, enam belas tahun dia sudah memiliki pembunuhan pertamanya.

"Aku akan turun," ucapku. Berdiri dari sofa aku pergi ke ruang bawah tanah. Aroma apak dan anyir darah mulai tercium saat aku mencapai anak tangga terakhir. Berapa banyak orang yang sudah mati di tempat ini? Dan meskipun aku tidak ingin mengingatnya aku selalu ingat tiap kali aku berada di sini. Pembunuhan pertamaku. Itu orang kami sendiri, dia mencoba mengkhianati kelompok dan well, hukuman mati untuknya. Aku masih empat belas tahun saat itu, aku belajar pisau sejak awal dan ayahku ingin aku mengeksekusi orang itu. Aku tidak mengenal orang itu dan kupikir itu sedikit kebaikan darinya.

Seperti kebanyakan orang-orang kami, dia besar dan tinggi, berotot. Aku tidak kecil saat aku empat belas tahun tapi aku jauh jika dibandingkan orang itu. Dia memiliki rambut hitam yang bagus, dan mata hazel yang mungkin menjadi alasan kenapa aku melihat Leona dengan cara-cara tertentu. Mengingatkan diriku tentang dosa, kerentanan, bahwa aku tidak akan selalu menang. Pria itu terikat ke kursi, lengan berada di punggungnya. Dia tidak bisa melawan, dia tidak pernah punya kesempatan. Bahkan jika dia tidak terikat dia sudah terlalu patah. Memar di seluruh tubuh, aku yakin dia menginginkan kematian lebih dari apa pun saat itu. Dia mencoba mengatakan sesuatu padaku, itu hanya seperti suara berkumur tapi Tuhan, aku tahu pasti apa yang dia katakan. Itu sangat jelas, 'Kamu akan membayar!' aku selalu mengingatnya hingga hari ini. Setiap dosa, darah, dan nyawa yang aku ambil dengan tanganku.

Satu minggu aku bermimpi buruk tentang kematian itu, saat aku mengiris jagularis dan mengambil nyawa pria itu. Aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang dia lakukan hingga pantas kehilangan nyawanya. Aku hanya tahu dia mengkhianati kelompok dan itu menjadi kematian. Pembunuhan berikutnya tidak seburuk yang pertama, aku masih bermimpi tapi itu tidak banyak mempengaruhiku. Dan kemudian pembunuhan-pembunuhan berikutnya itu benar-benar tidak ada apa pun. Aku membunuh dan aku tidak merasakan apa pun. Itu hanya seperti kebas, aku menjadi apa yang diinginkan ayahku. Iblis, monster, apa pun yang dia ingin aku menjadi.

Aku mendorong pintu ruang bawah tanah terbuka. Cahaya redup di sini, hanya ada satu bohlam mengantung di langit-langit. Mataku menyipit mencoba menyesuaikan cahaya hingga aku dapat melihat dengan lebih jelas. Dua pria besar terikat di kursi saling membelakangi. Wajah mereka sudah berantakan dengan memar ungu dan biru. Hidung dan mulut berdarah, ayah jelas melakukan yang terbaik untuk memberikan rasa sakit.

"Apa yang kita dapat?" aku bertanya dan ayahku berputar dari mangsanya. Dia mengangkat alisnya sepertinya tidak mengharapkan aku akan ada di sini.

"Kupikir seharusnya kamu sedang makan malam dengan Valerina sekarang," ucapnya. Sindiran keras, aku tahu tapi aku mengabaikannya. Tidak peduli dia Capo atau ayahku, aku menolak untuk tunduk begitu mudah.

"Apa yang diinginkan Bratva dengan Atlanta?" Aku mengeluarkan pisauku, berjalan ke depan si rambut coklat. Dia berani mendongak, berani menatapku. Seringai mengejek di bibirnya.

"Menjadi boneka ayahmu, hah? Bahkan kamu tidak bisa memilih wanitamu sendiri," desisnya dengan suara serak. Aku tidak terpancing dengan itu. Aku hanya melangkah lebih dekat, hingga kakiku menyentuh kakinya. Matanya masih melihatku, tidak ada horror. Dia prajurit yang baik.

"Aku perlu mengajarimu cara bicara." Aku menancapkan belatiku ke pahanya, sangat dalam hingga darah meresap ke kain celananya. Dia terengah, masih menahan jeritannya. "Aku bertanya dan kamu akan menjawabku." Aku memutar belatiku, menyebabkan lebih banyak darah, lebih banyak rasa sakit. Kali ini dia menjerit sangat keras. Ayahku hanya diam, dia selalu diam ketika aku melakukan apa yang harus aku lakukan. Apa yang sudah dia ciptakan dari diriku. "Apa yang Bratva inginkan dengan Atlanta?"

Dia mengerang dan aku menekan belati lebih dalam. "Berengsek!"

"Apa yang diinginkan Bratva?" aku mengulang pertanyaanku. Dia mengerang lebih keras.

"Kamu hanya seorang pengecut! Aku melihatmu di restoran malam itu, bersama seorang wanita pirang. Apa dia gadismu? Aku mungkin mati membusuk di sini dan kemudian malam berikutnya gadismu akan menyusulku. Dia akan mati dan aku berani menjamin, dia akan memiliki kematian yang sulit!" Aku kehilangan diriku saat itu. Leona. Aku tahu dia membicarakan Leona. Dan aku tidak mengerti tapi aku ketakutan saat membayangkan dia dalam bahaya, saat membayangkan dia mati. Aku tidak bisa membiarkannya. Itu seperti petir menyambarku, aku meraih belati lain dari saku dan aku melemparkannya tepat ke tenggorokan si rambut coklat. Dia mati. Hanya seperti itu. Tapi aku gemetar, untuk pertama kalinya aku membunuh dan aku gemetar setelah begitu lama.

"Apa yang kamu lakukan Luke!" bentak ayahku. Dia mendorongku menjauh, aku masih gemetar, mendidih di dalam kemarahanku. "Kita perlu dia bicara!"

"Dia tidak akan memberi kita apa pun!" bentakku. Aku perlu mengontrol diriku. Aku tidak bisa meledak di depan ayahku, tidak. Dia tidak boleh tahu tentang Leona. Ayahku akan sama buruknya dengan orang-orang Bratva jika itu tentang Leona. Dia hanya akan ingin membunuhnya, menyingkirkannya karena dia pikir Leona akan menjadi penghalang kerja sama kami dengan Chicago.

"Siapa wanita yang dia bicarakan?"

Aku mendengus, aku harus menutup topik ini. Jika ayah tahu sedikit saja tentang Leona, gadis itu akan mati besok pagi. Dan aku tidak bisa membiarkan dia mati. Fakta itu menghantamku, aku tidak akan membiarkan dia mati.

"Hanya salah satu teman tidurku. Kamu tahu apa yang aku maksud," jawabku. Dia menatapku lebih banyak, tidak langsung membeli kata-kataku.

"Dan kamu bereaksi sebanyak itu?"

"Jika kamu ingin aku membunuh gadis itu, aku akan pergi sekarang! Aku tidak peduli dengannya! Dan jika kamu berpikir omong kosong tentang aku jatuh cinta, maka kamu konyol!" ucapku. Aku menarik seluruh ketenanganku. Aku perlu dia percaya aku tidak peduli tentang Leona dan dia akan meninggalkannya sendirian.

"Kamu tahu aku, Lucas. Jika aku tahu gadis ini mengacaukan dirimu. Aku pastikan aku sendiri yang akan menyingkirkannya." Dia menatap tepat ke mataku. Ancamannya jelas dan aku bertekad untuk melawannya jika dia berani menyentuh Leona. Aku baru mengenal gadis itu selama beberapa hari tapi dia berhasil masuk lebih dalam tanpa aku sadari.

"Kamu memiliki kata-kataku, dia tidak berarti apa pun untukku. Kamu tidak perlu membuang waktu untuknya." Dia mengangguk, sebuah penerimaan.

"Panggil Gabriel, dia akan meneruskan di sini," ucapnya.

Aku berbalik, keluar dari ruangan itu. Kepalaku kacau, aku mungkin berhasil menghindarkan Leona dari ayahku tapi Bratva? Aku perlu memastikan dia aman. Aku perlu bertemu dengannya besok. Pemikiran itu anehnya membawa kesenangan lain padaku. Aku akan bertemu lagi dengannya, dan itu membawa kesemutan ke bibirku, membawa ingatan tentang ciuman kami. Aku merasakan mililku tumbuh lebih ketat di balik celanaku. Sial! Apa yang salah denganku?

***TBC***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top