7

Leona

Aku tidak berpikir bahwa pria bisa makan dengan seksi, tapi sial! Lucas melakukannya. Mulai dari cara dia mengiris ayamnya, membawa potongan kecil itu ke mulutnya dan terutama saat ia mulai menelan. Oh, dan jangan lupakan jilatan lidah di bibir bawahnya, itu menggoda. Aku butuh minum! Aku punya tentu saja, anggur terbaik. Aku sudah pergi sejauh dua gelas dan aku bertekad untuk tidak melewati tiga. Aku perlu otakku untuk bekerjasama, tanpa kabut atau denyutan yang akan membuatku menjadi 'yes girl' itu tidak boleh terjadi.

"Aku berasumsi ada sesuatu di wajahku atau aku terlalu mempesona dirimu, hingga kau menatapku begitu lama. Yang mana dari dua itu?" tanyanya.

Aku menarik busur untuk sebuah senyuman dan memutar bola mataku. "Biarkan aku memeriksa di dalam kepalaku terlebih dahulu." Dia tertawa dengan ringan, dia sering tertawa meski kupikir itu topengnya, caranya menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. "Yah, aku yakin itu yang kedua."

Itu hanya menambah seringai di bibirnya. Aku kembali ke chiken parmigiana milikku dan membuat satu gigitan. Dia kembali meneruskan makannya dengan tenang sementara aku bertanya-tanya di dalam kepalakuku apa yang akan kami lakukan setelah makan? Karena aku yakin itu masih terlalu dini untuk langsung pulang. Aku suka menonton film tapi sesuatu tentangnya mengatakan padaku bahwa itu bukan bioskop. Jika kami tidak pulang itu harus menjadi sesuatu yang menakjubkan, tidak biasa. Aku merasa dia punya rahasia besar, dari cara dia mengamati sekitarnya dan sulit untuk bersantai seakan dia berharap menemukan seseorang mengintainya.

"Apa yang kau kerjakan?" tanyaku setelah hening cukup lama. Dia banyak bicara di bar, entah itu karena alkohol atau dia merasa nyaman di sana. Tapi makan malam membuatnya bisu.

"Kau bekerja padaku sebelumnya," balasnya.

"Tidak. Maksudku selain bar, kau pasti punya sesuatu yang lain."

Dia melihatku dengan serius sekarang, bahkan berhenti makan. Apa aku menanyakan sesuatu yang salah?

"Bagaimana dengan dirimu?"

Dia mengalihkan pertanyaan padaku, jelas tidak ingin membicarakan dirinya. Aku mengerti ini bukan kencan sungguhan,hanya hiburan. Jadi aku juga hanya memberinya jawaban standar, "Aku dulu tinggal di Seattle dan menjalankan klub dansa tango, tapi sekarang yah, aku bekerja padamu sebelum kau memecatku."

"Jadi kau benar-benar menari?"

"Tentu saja aku melakukannya," balasku. Dia terlihat lebih tertarik tapi tidak bertanya lagi. "Oke, jika kau tidak mau membicarakan pekerjaan, bagaimana dengan hobi? Sesuatu yang membuatmu bersemangat?"

"Gadis-gadis melakukannya dengan sangat baik," jawabnya cepat. Dia melempar senyum melelehkan sebelum menyesap anggurnya. Matanya jatuh ke bibirku.

Oh, biarkan dia bermain.

"Selain itu?"

Aku menuntut dan memasukkan potongan ayam terakhir ke mulutku. Ini lezat, aku harus menyeret Sylvia dan Lea kembali. Mungkin bahkan Randall.

"Kau sangat ingin tahu. Kadang-kadang itu bisa menyeretmu ke dalam masalah," balasnya. Dia meletakkan garpunya, selesai dengan makanannya, dan sejauh ini, itu peringatan nyata pertamanya.

"Jadi apa kamu mengatakan aku akan dalam masalah jika tahu lebih jauh tentang dirimu?" Aku membungkuk untuk mengambil gelas anggurku. Matanya berlari ke belahan dadaku, dapatkan perhatiannya Leona. Kamu tahu cara bermain.

"Bagaimana menurutmu?" balasnya. Aku mengedikkan bahuku seolah aku tidak peduli.

"Merasa seperti Bella Swan yang diperingatkan Edward Cullen. Apa sekarang kau akan menumbuhkan taringmu?" Aku tertawa tapi dia tidak. Dia terlihat serius, hampir mematikan, itu membuatku menggigil.

"Hati-hati Leona, aku suka bermain dan aku tahu banyak permainan. Aku tidak yakin kita akan bermain yang mana tapi jika kamu cukup cerdas, kamu akan berhenti mencari dan membeli kata-kataku," balasnya.

Aku berkedip, sedikit terkejut dengan peringatannya yang terlalu jelas. Tapi aku menolak untuk mundur. Itu hanya membuatku semakin penasaran.

"Semua orang memperingatkanku kalau kamu berbahaya," ucapku.

"Sungguh?" Dia tidak terlihat terkejut. Matanya fokus untuk melawan tatapanku. Diam-diam aku bertanya di dalam kepalaku, kemana perginya pria menggoda dan humoris beberapa saat yang lalu.

"Yakin. Pertanyaanku, kamu adalah bahaya itu atau kamu membawa bahaya itu?" Dia meraih anggurnya sekarang. Minum dalam satu tegukkan tanpa mengalihkan matanya dariku.

Pelayan datang saat itu, membawa makanan penutup kami. Panna cotta, dengan saus stroberi. Kami tidak memutus tatapan kami bahkan setelah pelayan itu pergi, jelas tidak ada yang ingin mengalah di antara kami.

"Untukmu, kurasa yang kedua. Karena aku jelas tidak berniat menyakitimu."

Dia bicara dengan nada rendah yang bergemuruh di dadanya. Sial itu seksi! Oh, dan dia memastikan tidak ingin menyakitiku. Jadi itu pekerjaannya atau sesuatu yang lain yang akan membuatku dalam masalah. Bukan dia. Jadi selama aku tetap di jalurku. Aku aman.

"Ahh, tidak berniat menyakitiku? Itu harus membuatku bertanya-tanya apa yang mungkin kamu niatkan untukku," ucapku. Aku mengambil suapan pertama panna cotta milikku. Aku memejamkan mata, menikmati rasa lembut yang meleleh di lidahku, aroma vanili yang kuat menenangkan sarafku. Aku menjilat bibirku saat aku membuka mataku. Dia tepat menatapku, bibirku khususnya, dan aku harus yakin dia mengumpat.

"Bukankah kita saling menyiksa?" tanyanya. Humornya kembali, mata bercahaya, dan senyum miring menempel di bibirnya.

"Itu membuat semunya jadi lebih menarik," balasku. Aku mengambil stroberi di atas panna cotta milikku, membawanya kebibirku. Aku menahan itu beberapa detik di ujung lidahku, berkedip padanya saat aku benar-benar memakannya. dia praktis membuka mulutnya sekarang.

Dapatkan dia di bawah mantramu Leona. Buat dia memohon tapi tahan semuanya. Ini permainan untuknya dan aku akan bermain dengannya.

"Aku akan membuat niatanku jelas."

"Tentu," balasku.

"Pertama aku ingin mencium bibirmu. Ingin lidahku di sana saat gigiku menarik bibir merah itu dan membuatmu mengerang!" Sial, aku tidak percaya dia baru saja mengatakan itu. "Kemudian itu akan turun ke lehermu. Lebih ke bawah dan aku akan menemukan kesenangan lebih banyak lagi. Aku akan merobek gaunmu, tidak ada bra di sana." Dia benar dan itu panas. Kenapa saat dia yang mengatakan kata-kata tidak senonoh itu, itu terdengar panas. "Aku akan mengambil satu putingmu dengan gigiku, sekali lagi membuatmu mengerang, lebih baik lagi menjerit. Aku tidak akan terburu-buru, aku berjanji." Tuhan yang baik, aku perlu anggurku lagi. "Kemudian aku akan menelusuri perutmu, dan itu harus berakhir di sana. Di pusat dirimu. Aku akan membawamu dengan keras, aku akan membuatmu memohon. Hingga kamu tidak akan bisa lagi bicara, hanya terengah, puas, dan aku miliki."

Aku menarik napas kasar, menelan ludahku dan terpaku ke matanya. Kepalaku sudah menciptakan semua gambaran erotis itu, begitu panas, dan seksi tapi aku memaksa diriku untuk mengambil kendali. Aku tidak akan kalah dalam Permainannya.

"Masih ada dua kencan lain," ucapku. Aku berusaha membuat suaraku mantap tapi gairahku membuatnya gemetar.

"Tentu saja, Leona. Ada dua kencan lain."

Dia menyeringai untuk mengejekku.

"Aku tidak akan menarik kata-kataku, Mr. Sylvester. Jadi terimalah."

Dia tidak menyentuh panna cotta-nya, dia hanya berdiri dan mengulurkan tangan untukku. Aku berdiri, meraihnya. Dia membawaku di lengannya, menarikku untuk menempel padanya. "Aku harus jujur, Leona. Ini makan malam yang menyenangkan. Aku berharap memiliki lebih banyak makan malam seperti ini bersamamu."

Apa dia secara tidak langsung mengatakan dia tertarik padaku? Lebih dari seks? Kencan sungguhan?

"Kesenangan ada pada diriku juga Luke. Aku menikmati semuanya," ucapku saat dia membawaku ke luar. "Kemana kita sekarang?" Aku bertanya dengan antusias.

"Aku akan mengantarmu pulang," jawabnya. Dia membuka pintu untukku.

"Pulang? Bukankah terlalu awal?"

"Aku pikir ini kencan pertama." Dia mengedipkan matanya.

"Bukan itu. Maksudku kita bisa pergi ke bioskop atau country club? Sungguh kita pulang?"

Aku masih berdiri dan menolak untuk masuk ke dalam SUV, dia masih menahan pintu untuku. "Jika kamu suka, aku bisa membawamu ke suatu tempat."

"Bukan kamar hotel. Bukan kamarmu. Bukan jenis kamar apa pun," desisku. Dia tertawa, meremas bahuku dan mendorongku masuk ke mobil.

"Bukan. Ini bukan kamar," jawabnya menggodaku.

Dia menyelinap ke balik kemudi dan mulai membawa kami di jalanan Atlanta. Dia tidak terburu-buru, kami mengemudi dalam kecepatan yang sedang dan saat dia berhenti di depan gereja aku harus menaikkan alisku.

"Apa kamu tidak salah alamat?"

Dia tidak menyahut, dia keluar, memutar ke depan untuk membukakan pintuku. "Aku sering ke sini."

Dia mengaku. Nadanya sedih, hampir seperti dia takut akan kematian atau bahkan dia hampir terdengar seperti aku bisa mati kapan saja.

"Kamu pasti orang yang suci." Aku mencoba meringankan suasana hatinya. Dia memberiku senyum dan terus menerikku ke dalam.

"Cathedral of Christ the King. Adikku menikah di sini," ucapnya. Tidak ada kebahagiaan di dalamnya dan aku takut untuk bertanya.

Altarnya sepi. Tidak ada siapa pun di sini. Lorong panjang yang diciptakan dari deretan bangku jemaat lurus menuju mimbar. Ada rose window, di atas mimbar. Dua jendela kaca patri tinggi di kedua sisinya. Cahaya bulan merembes ke dalamnya, menciptakan warna-warna yang beriak dan begitu cantik. Dia benar, ini indah.

"Ini mengagumkan," ucapku. "Apa kita akan berdoa?"

"Bukankah orang-orang melakukannya?"

Aku tidak menjawab karena kupikir itu pertanyaan retoris. Aku berjalan di sepanjang lorong, dia tepat di belakangku. Saat barisan bangku berakhir, aku berhenti. Menundukkan kepalaku, aku berdoa semoga pria yang bersamaku dapat menemukan kedamaian. Karena aku tahu dia tidak memilikinya. Dia rapuh seperti Lea hanya dengan cara yang berbeda.

Saat aku berbalik. Itu terjadi. Ciuman kami. Dia menarikku menempel dengan erat ke dadanya, bibirnya di bibirku. Tidak terburu-buru, itu sangat lembut dan pelan. Seolah Kami memiliki seluruh waktu di dunia. Aku merasa hidup, merasakan dorongan untuk meraih jiwanya yang gelap, aku ingin tahu pria ini lebih banyak. Lidahnya mendorong mencari lebih banyak, tapi ritmenya tetap pelan, stabil. Dia tidak berusaha memiliki. Dia ingin memberikan, seakan dia menghargai semua ini. Menghargai diriku. Itu indah dan aku tidak pernah memiliki ciuman seperti itu. Apa yang aku pikir akan aku miliki dengan Lucas adalah ciuman cepat, panas, dan liar. Tapi manis dan lambat? Dibawah guyuran cahaya bulan yang menembus rose window? Di tengah altar gereja? Tuhan! Aku ingin mengenal pria ini. Pria yang melemparkan tawaran uang untuk tidur denganku di pertemuan pertama dan membawaku ke gereja untuk ciuman manis kencan pertama kami.

***TBC***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top