6

Leona

Aku hampir membuat lututku retak sore ini karena menabrak meja makan sialan dan hampir membuat kepalaku hancur karena tergelincir dari kamar mandi. Dan itu hanya karena sebuah kencan makan malam! Sialan! Ini bukan diriku! Aku gadis dengan koordinasi tubuh yang baik, aku tidak jatuh karena tersandung kakiku sendiri atau semacamnya.

"Kau hampir terlihat seperti orang kesetanan!" Lea melemparkan majalah mode ke atas meja dan mendongak untuk melihatku. "Ada apa sebenernya, Leona?"

"Tidak ada!" sahutku sambil meraih sepatu stiletto putih yang baru kubeli tadi siang.

Aku harus mengurangi jatah camilanku selama beberapa minggu untuk sepatu itu. Tapi itu benar-benar cantik, aku tahu itu akan bagus di kakiku dan aku tahu Lucas juga akan berpikir begitu.

"Kencan lagi?" disis Lea.

Dia tidak suka aku keluar terlalu sering dengan pria. Ditambah kencanku setelah Robbie jarang berjalan baik, yang terakhir hanya bertahan selama dua minggu. Menurutnya aku harus berpikir sebelum kencan. Aku berpikir kencan akan memberi kita jawaban dari apa yang kita pikiran.

"Kali ini akan berjalan baik," jawabku. Aku merapikan tepian sheath dress hitam yang kupakai. Bagian bawahnya hampir tidak mencapai setengah batas pahaku dan bagian atasnya memiliki belahan yang terlalu rendah. Aku tahu ini hampir tidak senonoh, dan bagaimana gaun itu memeluk tubuhku, itu tidak akan meninggalkan apa pun untuk difantasikan. Tapi itulah tujuannya. Aku ingin menggodanya. Membuatnya menginginkanku hingga ke titik menyakitkan. Membunuhnya dengan gairahnya sendiri. Biarkan dia terbakar.

"Seperti apa dia?" Kali ini Lea berdiri dari sofa, berjalan ke dapur untuk mengambil orange juice.

"Kita akan tahu malam ini," balasku. Perutku terasa tergelitik saat mengatakan itu. Mengantisipasi apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak berharap kami akan berakhir di ranjang meski itu hal yang benar-benar aku inginkan. Tapi setidaknya kami akan memiliki satu ciuman. Satu ciuman dan aku akan tahu rasa bibir seksi itu.

"Pria asing lagi?" desis Lea. Dia hampir secara harfiah membanting gelasnya ke meja, ajaibnya gelas itu tidak pecah.

"Tenanglah Baby girl, ini akan baik-baik saja." Aku meraih tas tanganku sekarang, menghampirinya untuk mencium pipinya. Dia mendesah.

"Leona."

"Aku janji aku tidak akan mabuk seperti yang terakhir kali." Aku meraih tangannya menghubungkan jari kelingking kami untuk membuat pinky swear. Dia mengangkat sudut bibirnya. "Dan apa kau akan baik-baik saja sendirian di rumah?"

"Aku yakin aku akan baik-baik saja, Leona. Lagi pula Sylvia akan datang, movie night, ingat?"

Aku mengangguk. Tentu saja, ini harusnya menjadi malam menonton film kami, popcorn dan es krim. Dan semua hal yang disukai gadis-gadis. "Aku akan melewatkan malam yang menyenangkan."

"Kau punya malam yang lebih seru," balasnya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan centil. Aku tertegun. Sudah sangat lama Lea tidak melakukan itu, menggodaku. Aku tersenyum hampir menangis dan memeluknya. Astaga! Biarkan Lea kembali.

"Aku menyayangimu, Baby girl. Kau tahu itu, 'kan?"

"Aku juga menyayangimu, Leona." Dia balas memelukku. Benar-benar memelukku dengan tangan yang menekan tubuhku ke arahnya. Aku merindukan ini. Setiap momen kami yang hilang saat dia terlalu terluka untuk semua kehangatan dan cinta seperti ini.

Lea melepaskanku saat mendengar bel pintu kami berbunyi, dan aku melangkah mundur darinya, tapi senyumku masih bertahan di bibirku. "Aku benar-benar harus pergi sekarang."

"Bersenang-senanglah! Tapi hindari alkohol yang berlebih dalam darahmu, ingat itu!" Aku hanya memutar bola mataku untuk komentarnya dan keluar dari apartemenku.

Dia berdiri di sana. Mengagumkan dengan celana hitam dan kemeja putih yang dua kancing teratasnya terbuka, lengan tergulung hingga ke siku. Menampilkan otot-otot lengannya yang indah. Dia luar biasa. Semua tentangnya adalah apa yang seharusnya dimiliki pria.

"Kita bisa pergi," ucapku. Aku tersenyum menggodanya.

Aku tidak melewatkan fakta bagaimana cara dia menatapku. Mata yang menyisir tubuhku dengan keinginan dan berakhir di bibirku. Aku tahu sebuah ciuman akan bagus tapi aku ingin memainkan ini, membiarkan dia memujaku.

"Tentu. Aku sudah memesan tempat." Dia membuka pintu SUV untukku. Matanya masih tinggal di bibirku saat aku sudah duduk di dalam.

"Biar kutebak," ucapku, menaikkan alisku dan mengambil jeda sebelum melanjutkan, "masakan Italy?"

"Oh, sial! Aku kehilangan kejutanku," dia mengerang dengan dramatis, seolah dia baru saja kehilangan jackpot. Dan aku tidak bisa menahan diriku untuk tertawa.

Astaga! Kenapa dia begitu sempurna? Lucu. Tampan. Sukses. Bahkan meski aku tahu ada sesuatu yang berbahaya di dalam dirinya aku tidak ingin menjauh dari itu. Aku hanya ingin tenggelam dan terjerat bersamanya. Masuk lebih jauh lagi ke dalam setiap aspek kehidupannya. Meski itu beresiko menghancurkanku.

Detik itu kurasa aku mulai benar-benar berharap kalau ini sebuah kencan sungguhan.

Ya Tuhan! Apa yang baru saja aku pikirkan? Bersihkan pikiranmu Leona! Kata kita di antara aku Dan Lucas tidak akan pernah berhasil. Kami dari dua dunia yang berbeda. Tidak. Aku tidak bisa masuk sejauh itu. Kencan, menggoda, dan bersenang-senang. Itu yang akan aku lakukan, tidak boleh melibatkan lebih dari itu.

"Ayolah, aku benar-benar lapar," ucapku saat dia masih diam di tempatnya.

"Lapar untukku?" Aku memutar bola mataku, meski aku tahu dia tidak akan melihat itu karena dia sudah menutup pintuku.

"Ini baru kencan pertama. Kita setidaknya harus melewati tiga kencan," jawabku. Dia mengedikkan bahunya dan itu membuat otot lengannya meregang dengan cara paling seksi yang pernah kulihat. Aku membayangkan bagaimana otot-otot itu akan menegang saat dia melingkarkannya di pinggangku, mendorongku untuk sebuah ciuman yang akan merobek kami.

Sial Leona! Berhenti membayangkan bagaimana bagusnya dia untuk sebuah ciuman atau kau tidak akan bertahan untuk malam ini! Dia yang seharusnya gila karena menginginkanmu!

"Hanya mencoba peruntunganku."

"Tidak malam ini."

Atau setidaknya tidak untuk malam ini selama aku bisa menjaga pikiranku tetap jernih. Menjaga tanganku tetap pada tempatnya. Dan menjaga bibirku untuk tidak merengek.

"Sayang sekali," balasnya. Aku hanya mencoba untuk membuat seringai mengejek, tapi aku yakin aku gagal total, karena aku melihat bagaimana matanya berkilat menertawakan bagaimana usaha sia-siaku untuk tetap bertahan dengan rencana kami.

***

Aku sering makan di restoran mahal dengan Sylvia. Keluarganya punya cukup uang untuk itu dan sekarang aku bersyukur untuk semua itu, karena aku tidak akan mempermalukan diriku sendiri sekarang. Tidak di depan Lucas.

Interior restoran itu mewah dan akan mengintimidasi jika ini benar-benar pertama kalinya aku datang ke sini. Tapi aku sudah dua kali makan di sini. Bersama Randall, Sylvia, dan Lea. Itu makan malam yang menyenangkan dan aku ingat lelucon Randall tentang kami datang bersama pacar kami. Sekarang ini menjadi terasa semakin menggelikan.

"Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu?" tanyanya. Melirikku dari sudut matanya. Lenganya yang besar melingkar di pinggangku dan jarinya meringkuk di sisi perutku. Itu benar-benar membuatku sadar betapa dekatnya kami dan aku juga sadar, tidak akan sulit untuk meraih dagunya untuk membawa bibirnya bertemu bibirku. Untuk merasakan bagaimana cara bibirnya bergerak melawan bibirku.

"Bukan apa-apa, aku hanya mengingat lelucon konyol," desisku. Dia menuntunku ke meja kami, menarik kursiku dan membantuku untuk duduk.

Saat pelayan datang membawakan anggur untuk kami, aku sadar ini tidak akan berjalan dengan baik. Aku tidak akan pernah lolos ketika aku berurusan dengan anggur. Dan ini anggur terbaik. Aku tidak akan bisa menolaknya. Dan setelah mabuk aku tidak mungkin mengatakan tidak untuk Lucas. Aku yakin aku akan setuju dengan semua yang dia inginkan dan itu akan menjadi bencana.

Sialan! Aku harusnya menggoda Lucas, bukan tergoda!

Aku mendongak begitu cepat hingga kupikir rambutku yang sudah kutata dengan alur cantik akan berantakan saat aku merasakan jemari Lucas menyentuh punggung tanganku. Dia meraihnya. Sentuhannya ringan tapi cara bagaimana ibu jarinya menekan dan mengusap kulitku. Itu begitu intens dan cara matanya melihatku. Itu seperti menelanjangiku, mengupas setiap lapisan yang kumiliki untuk menahan diriku dari setiap pria yang dulu pernah berkencan denganku.

"Kau merona," ucapnya dan aku buru-buru berkedip. Memutus kontak mataku darinya.

"Yah, bagaimanapun kau mempesona. Aku punya alasan bagus untuk merona," balasku. Dia terkekeh dengan suara yang dalam dan itu membuat tulang punggungku menggigil. Itu terdengar seksi.

"Ayo lihat bagaimana kau bisa memenangkan permainan ini," balasnya.

Oh, aku suka tantangan. Dan jika dia sudah memperjelas itu, aku tidak akan membiarkan diriku kalah.

"Kau harusnya berhati-hati, Luke!" ucapku.
Dia terlihat terkejut dengan ucapanku, matanya sedikit melebar tapi kemudian itu hilang, dan dia hanya menyeringai dengan sombong.

"Kau mungkin juga memerlukannya, Leo," ucapnya.

Leo? Tidak ada yang pernah memanggilku seperti itu. Tapi itu membuatku tersenyum dan merasakan perasaan hangat yang tidak masuk akal. Oh My, aku tidak akan jatuh cinta! Sialan!

***TBC***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top