11

Leona

"Aku tidak ingin meninggalkanmu di sini," ucapnya. Kepeduliannya merembes di setiap kata. Wajahnya muram tapi aku sudah memenangkan argumen itu dan di sinilah aku. Di apartemenku atau apartemen adikku karena dia yang membayar semuanya. Aku perlu bicara dengan adikku.

"Aku akan memastikan semua pintu dan jendela terkunci. Tidak akan ada orang yang berhasil menyelinap, bahkan seekor nyamuk tidak akan berhasil. Ini hanya satu malam," ucapku.

Satu malam, jika saja aku bisa yakin untuk meninggalkan Lea sendirian. Dan aku hampir yakin aku tidak bisa. Aku masih ingat saat dia mengambil sejumlah besar dosis incidal. Masih ingat saat melihat dia terbaring begitu saja di lantai, hampir meregang nyawanya jika aku terlambat beberapa menit lagi. Tuhan, aku tidak mau mengambil resiko dia mencoba lagi. Aku tidak bisa kehilangan dia, Lea satu-satunya keluarga yang tersisa untukku. Bahkan setelah tiga tahun aku tidak pernah yakin bisa meninggalkan dia sendirian. Dia membaik tapi aku tidak tahu itu asli atau dia hanya berpura-pura di depanku.

"Leona?"

Aku mengerjap dan kembali untuk menatap Lucas yang masih berdiri di depanku. "Apa?"

"Kau menghilang di dalam kepalamu, apa yang kamu pikirkan?"

"Tidak ada." Dia jelas tidak mempercayai itu tapi aku juga tidak berniat untuk menawarkan lebih banyak penjelasan. "Aku akan masuk sekarang, mengunci pintu, dan kamu bisa pulang."

Lucas tidak suka itu tapi aku hampir tidak peduli, adikku selalu menjadi yang pertama untukku, aku perlu yakin tentang ini sebelum bisa tinggal di sana. Dan satu lagi hal yang mengangguku, Lucas tidak akan tinggal bersamaku. Oke, aku tahu itu mulai terdengar seperti aku gadis posesif yang gila. Tapi hai, ketika pria memintamu untuk tinggal di tempatnya kamu pasti setidaknya berharap dia akan tinggal bersamamu. Dia menjelaskan kalau dia tidak bisa, dan dia juga mengatakan kalau dia tidak akan melihatku untuk akhir minggu ini. Ada banyak kegelisahan saat dia mengatakan semua itu, rahasia yang masih dia simpan dariku. Aku tidak menuntut, tapi aku sungguh berharap dia memberi tahuku. Berharap dia cukup untuk mempercayaiku.

"Homer akan menjemputmu besok." Hening untuk beberapa saat. "Aku berharap bisa datang sendiri, tapi aku harus melakukan sesuatu."

Aku menawarkan senyum pengertian, dan dia hanya berubah dengan ekspresi yang lebih muram. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku bukan gadis yang suka menempel, aku tidak akan menguntit dan menuntutmu untuk setiap detik bersamaku. Aku tahu kamu punya kehidupan yang ...," aku menelengkan kepalaku, memikirkan kata yang tepat, "rumit?"

Tidak ada kata-kata lagi di antara kami saat dia mengumpulkanku dalam satu pelukan. Saat dia menciumku dengan bersemangat sebelum dia melepaskanku. "Masuk dan kunci pintumu."

"Oke, pergilah," ucapku dan aku berputar untuk masuk. Aku mendengar langkah kakinya menjauh dan sesaat kemudian suara mesin Porche milikku menyala dan menghilang.

"Jadi ... apakah kamu akan memberi tahuku sesuatu tentang pria ini?" Lea baru saja muncul dari lorong. Mengenakan celana pendek dan kaus yang nyaman, rambutnya masih basah dan mata hijaunya yang terlalu mirip dengan Mom menatapku ingin tahu.

"Dia Lucas," jawabku.

Lea berjalan, duduk di sofa dan menungguku. Kami mirip hampir seperti kembar. Tubuh kami sama-sama ramping dan kecil, rambut pirang yang sama, hanya mata kami yang berbeda. Dia semua Mom, lembut, manis, dan semua kasih. Aku lebih mirip Dad, meski aku tidak terlalu menyukai itu. Bukan berarti ayah kami berengsek, hanya saja dia mengacaukan adikku dengan buruk karena Mom meninggal saat melahirkannya. Dia tidak pernah mengatakan dia mencintai Lea, hingga dia mati karena overdosis alkohol. Aku tahu dia tenggelam ke alkohol karena rasa bersalahnya pada putrinya, dia mencintainya tapi dia tidak bisa melakukannya hanya karena pikiran bodohnya. Dia pikir Lea membunuh Mom, itu sungguh konyol. Mungkin di situlah aku mewarisi pikiran bodohnya.

Saat aku duduk di sampingnya, aku tahu ada sesuatu yang ingin dia katakan. Dia gelisah tapi sejujurnya dia selalu gelisah. Hanya saja aku mengenalnya cukup baik untuk tahu saat dia ingin mengatakan sesuatu yang mengganggu. "Apakah dia baik?" tanyanya. Masih menahan topiknya untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak yakin," jawabku jujur.

Dia mendengus dan akhirnya benar-benar memperhatikan wajahku. "Apa sekarang?"

Itu sedikit sengatan saat dia mengatakan itu dengan menghakimi. Pacar terakhirku yang cukup baik adalah Robbie, dia dulu menjalankan klub dansa denganku hingga dia ditarik pergi oleh keluarganya. Setelah itu aku mengembangkan semacam ketertarikan dengan pria kacau. Seorang pecandu, sedikit sadistic, yang terakhir terlibat narkoba. Aku tidak bermaksud seperti itu, tapi aku seperti magnet untuk kekacauan.

"Kamu tidak akan suka."

Dia mengeluarkan napas lembut. Mungkin dia menghakimiku tapi aku tahu lebih baik, dia hanya peduli. Sama seperti dia duniaku, aku dunianya.

"Lebih tidak suka jika kamu tidak membaginya sekarang. Yang terakhir terbukti buruk, kamu tidur dengannya karena dia memberimu ekstasi sialan dan merekammu. Kamu beruntung aku mendapatkan kalian di tempat pertama. Bayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak menghapus semua itu!" Aku meringis mengingat itu. Itu kebodohan mutlak untukku. Tapi aku juga sudah menendang pantat itu.

"Aku tahu," desahku.

"Jadi?"

"Lucas, dia ... made man."

Hening, tenang sebelum badai.

"Sialan Leona!" Dia melompat berdiri dari sofa. Aku pikir dia ingin memukul sesuatu, kepalaku mungkin? Dia pasti ingin memperbaiki otakku yang sedikit tolol. Oke, sangat tolol.

"Ayolah," desahku, tidak tahu lagi bagaimana membujuknya untuk tenang.

"Kamu janji tidak akan terlibat masalah!" Dia menuduh, dan aku tidak pernah suka ketika dia marah. Itu cenderung membuatnya depresi, mengurung diri di kamar, dan malamnya lebih banyak jeritan. Aku pikir mimpi buruk tidak bisa meninggalkannya.

"Aku tidak terlibat masalah." Kebohongan itu meluncur dengan mudah di bibirku.

"Dia mafia. Kamu jelas terlibat masalah. Bahkan masalah itu adalah dia! Pria itu masalah!"

Sebanyak aku mencintai adikku, aku juga tidak ingin dia mengatakan hal-hal buruk tentang Lucas.

"Dia bukan." Lea akan membuka mulutnya lagi tapi aku menghentikannya. "Dengar! Dia baik, sungguh Lea aku tidak berbohong."

"Seakan kamu sudah mengenalnya begitu lama," ucapnya. Kesinisan di suaranya begitu tebal.

"Lea, tolong." Aku menggantung kalimatku saat dia melipat lengannya. "Aku mencintainya." Manik di matanya berkedip, kata itu sensitif untuknya dan aku merasa seperti bajingan mutlak karena menggunakan kata itu untuk melawannya. Dia percaya kata itu tidak pernah ada untuknya. Saat air mata pertama meleleh dari matanya, aku berdiri memeluknya.

"Leona, jangan lakukan itu!" Aku merasakan dia bergetar lebih kencang. Aku ingin membunuh diriku karena menyakitinya begitu buruk.

"Dia ingin aku pindah." Isakan lain. Aku benci saat-saat dia kembali seperti ini, dia tidak pernah menceritakan detail padaku tapi kupikir itu adalah saat-saat dia mengingat tentang James, matan pacar psico-nya. "Luke ingin aku aman dan aku ingin memastikan kamu akan baik-baik saja dengan itu."

Dia masih terus menangis untuk beberapa menit selanjutnya, dan aku terus memeluknya. Aku ingin dia tahu aku mencintainya tapi aku pikir dia tidak pernah tahu itu, atau dia tahu hanya saja dia tidak bisa menerima pengetahuan itu. Sama seperti ayahku yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia mencintai putri bungsunya. Kacau. Ayah membuatnya kacau dan Jemas membuatnya berantakan. Aku ingin bisa memperbaikinya tapi aku tidak pernah bisa. Tidak pernah cukup.

"Aku tidak ingin kamu memiliki hubungan apa pun dengannya." Aku melepasnya, membuatnya melihat wajahku dengan jelas.

"Tolong, kamu tahu aku tidak pernah suka membuatmu merasa tidak nyaman." Dia menutup matanya dan perlahan mengangguk.

"Hanya karena aku tahu, aku tidak bisa menghentikanmu," ucapnya.

"Jadi, apa kamu akan baik-baik saja jika kamu tinggal sendiri?" Kata-kata itu keluar dengan sulit dari mulutku. Aku tidak ingin meninggalkannya, dia bisa melakukan apa pun. Aku takut untuk yang terburuk dan aku tidak ada untuknya.

"Sebenarnya aku juga memikirkan itu," ucapnya kembali canggung. "Aku mencari apartemen baru. Aku pikir aku ingin mencoba tinggal sendiri. Kamu tahu, aku sudah jauh lebih baik sekarang."

"Kamu yakin?"

"Yah. Jika dia menawarimu tempat, aku pikir itu bagus. Aku tidak perlu mencari apartemen baru dan mungkin dia benar-benar baik." Kata terakhir darinya diucapkan dengan penuh keraguan.

"Aku masih khawatir. Apa kamu akan baik-baik saja sendiri?"

Aku tahu kamu masih bermimpi buruk. Tapi aku tidak menyuarakannya dengan keras. Dia tidak perlu tahu betapa aku melihatnya sangat rapuh.

"Aku akan oke. Dan percayalah aku tidak akan mencoba hal bodoh lagi. Aku ingin hidup." Kegetiran di tiap suku kata. Itu lebih banyak tikaman kaca ke jantungku.

"Aku akan banyak menelepon dan berkunjung. Aku juga akan meminta Sylvia untuk sering mampir," janjiku.

Dia tersenyum, itu palsu tapi tetap saja, dia tersenyum. Dan itu berarti untukku. "Jangan membuat ini menjadi berlebihan. Aku ingin mencoba menjadi normal."

"Oke. Aku akan pergi besok."

"Kalau begitu aku akan membantumu berkemas sekarang," ucapnya.

***TBC***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top