8.2

*

*

Selamat membaca

*

*

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, gaes!

*

*

RUKMA menelengkan kepala ke kiri, mengamati Steven dengan sorot mata keras—tidak ada kehangatan atau sekadar ramah. Pelan dan pasti, kedua tangan perempuan itu menjauhi cangkir dan jatuh dari meja.

"Aku pernah menyayangi satu cowok habis-habisan," ujar Rukma dengan nada paling dingin sepanjang Steven mengenal perempuan itu. "Dia juga bilang kurang-lebih mirip sama kamu. Aku lebih suka menjalani hubungan yang santai, Ma. Nggak usah buru-buru memberi nama di antara kita."

Suara Rukma teredam, tetapi Steven masih mampu memahami maksud kata-kata Rukma. Hanya saja dia tidak menyangka bakal kalimat seperti ini yang terlontar. Beberapa kali Steven menghadapi pertanyaan tentang kesendirian, usai menjawab, akan muncul pertanyaan lain. Kebanyakan lawan bicara Steven menuntut alasan pasti di balik keengganannya menjalani hubungan serius, tetapi Rukma sama sekali mencoba menanyakan hal itu kepada Steven.

"Karena saat itu aku sayang banget sama dia, dan menganggap; ah, udah berbulan-bulan gue naksir sama dia—kenapa nggak? Aku mengiyakan hubungan santai yang dia maksud."

Bibir Rukma sempat bergetar sesaat sebelum membentuk gasis tipis, yang terasa seperti pukulan keras di kepala Steven. Seolah ada yang berteriak, bahwa mengungkapkan alasan kesendiriannya secara jujur bukan hal yang tepat.

Sudah tahu Rukma bukan cewek yang biasa duduk di depan lo; hasil perjodohan atau 'hadiah' dari klien yang puas sama rancangan. Sudah tahu pertanyaan Rukma bukan sekadar basa-basi buat mengisi waktu sampai makanan habis. Kenapa masih dijawab seperti itu, stupid?! Kira-kira begitu isi kepala Steven saat ini.

Seharusnya dia jawab saja; belum menemukan yang pas, terlalu asyik kerja, atau sahutan lainnya. Bukankah Steven biasa mengarang bebas setiap kali ada klien berumur yang bertanya; sudah umur segini, kerjaan mapan, kenapa belum menikah?

Kenapa dia menjawab Rukma seperti ini? Sebenarnya apa yang dia harapkan? Mengira ini sebuah permainan bola, dia melempar dan Rukma menyambut dengan pertanyaan lain.

"Setelah mengiyakan dan menjalani hubungan selama beberapa waktu, akhirnya dia bikin aku patah hati banget," lanjut Rukma, dan perut Steven kembali bergejolak. "Ada alasan besar kenapa dia menginginkan hubungan santai sama aku. Karena dia sedang menyiapkan pernikahan sama cewek lain, dia udah punya status pasti sebagai calon suami orang lain."

Rukma terdiam dan memandangnya lama, hingga Steven semakin resah. Dia memang tidak tahu sebenarnya apa yang benar-benar mau dia dengar dari Rukma sekarang, tetapi dia tahu pasti bukan ini.

"Rukma, aku—"

"Aku patah hati banget setelah tahu kondisi sebenarnya," sanggah Rukma. "Lalu, aku melakukan hubungan santai lainnya sampai Tita hadir."

Dagu Rukma terangkat sedikit lebih tinggi, memancarkan tekad sekaligus ketegasaan bahwa tujuan perempuan itu bercerita bukan untuk menerima rasa simpati darinya. Namun aura kerapuhan yang lebih besar dari biasanya, menguatkan pukulan dalam diri Steven. Suara yang memakinya makin kencang.

Sialan.

Ghina benar, kadang-kadang bicara terlalu to the point bisa jadi senjata makan tuan.

"Pertama aku bukan calon suami siapa-siapa. Kedua—"

"Waktu itu aku sendirian, Steven," potong Rukma lagi, seakan menegaskan tidak mau memberi kesempatan kepadanya membela diri, atau sekadar memberitahu kalau masa lalunya juga menyakitkan sampai dia tidak berani mengambil keputusan penting dalam satu hubungan. "Tiga tahun lalu aku sakit sendirian, tapi sekarang ada Tita."

Rukma mendesah, dan Steven setengah mati menahan diri untuk tidak berdiri lalu memeluk perempuan itu. Dia ingin berjanji tidak bakal menghancurkan hati Rukma, ataupun menyakiti Tita, tetapi tindakan itu benar-benar sinting, kan? Dia baru mengakui tidak suka hubungan berisiko, lalu tiba-tiba menyerahkan diri pada hal itu.

"Aku paham, Rukma," ucap Steven, sambil tersenyum masam.

Dia memahami ketakutan Rukma, tetapi dia juga menyadari dirinya belum bisa menawarkan apa pun.

"Kalau kamu paham, mulai besok berhenti bersikap terlalu baik sama Tita, sama kami." Rukma memajukan badan saat melontarkan kata-kata itu. "Jangan kasih harapan palsu ke Tita. Nggak masalah kalau yang kamu kasih harapan palsu itu cuma aku, tapi Tita—aku nggak mau dia sedih."

Steven menatap botol air mineral di tangannya, lalu menggeleng lemah. "Aku nggak bisa ngejauhin Tita, apalagi kamu."

"Apa yang bisa aku harapkan dari hubungan santai atau kasual lainnya?" tanya Rukma dengan suara pelan dan berbisik. "Aku sadar bicara hal seserius ini sama orang yang baru masuk ke hidup aku selama beberapa hari adalah tindakan paling tolol dan gila ketiga seumur hidup aku, tetapi balik lagi soal hidup aku yang bukan lagi tentang aku sendiri—ada Tita."

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Steven memerintahkan otaknya bekerja keras—mencari jalan aman untuk dia dan Rukma.

"Aku masih sanggup menahan banyak kesakitan buat diri sendiri, asal bukan Tita yang merasakan sakit." Rukma mengatakan itu dengan sangat tegas, sampai seluruh pekerja di otak Steven melambaikan tangan tanda menyerah.

Tidak ada jalan aman buat mereka ....

Steven menaikkan kepala, lalu tersentak pada emosi besar yang terpacar di kedua bola mata Rukma.

"Saat aku lagi berdua aja sama kamu, aku berani sumpah—aku mau banget bersenang-senang walau cuma sebentar. Aku mau banget melupakan apa-apa yang pernah terjadi di hidup aku selama tiga tahun terakhir," kata Rukma. "Tapi setiap kali aku melihat kamu dan Tita, aku kayak disodorin kenyataan terus takut setengah mati."

Tanpa bisa ditahan lebih lama lagi, Steven berdiri lalu berjongkok di samping kursi Rukma. Dia mengurai paksa kedua tangan Rukma yang terkepal di lutut, mungkin sejak kali pertama dia melihat kedua tangan ini terjatuh sampai beberapa detik lalu.

Steven membawa satu tangan Rukma, membelai telapak tangan Rukma yang merah dan dihiasi jiplakan ujung kuku, dengan ibu jarinya.

"Aku memang suka menjalani hubungan kasual, tapi aku juga nggak punya niat buat nyakitin kalian." Steven memandang Rukma penuh harap, tetapi perempuan bertahan meluruskan pandangan ke depan—meliriknya saja tidak. "Rukma ...."

"Apa yang bisa diharapkan dari hubungan kasual, Steven?" tanya Rukma lagi. Kali ini suara Rukma tidak sepelan tadi, dan perempuan itu menoleh ke arahnya. "Mau berapa lama hubungan seperti itu berlangsung? Sampai kamu lelah bolak-balik Jakarta-Bandung? Kamu sendiri yang bilang kehidupan kamu ada di Jakarta. Setelah berhasil mendapat persetujuan Ghina, kamu bakal balik ke Jakart. Rumah samping bakal dipegang kontraktor, dan kamu kembali sibuk sama proyek-royek lainnya. Kalaupun harus memeriksa, aku yakin nggak perlu setiap hari. Sebulan sekali. Dua bulan sekali. Terus, kamu berharap aku harus bersikap bagaimana saat Tita mencari kamu?"

Rukma memberinya senyum lembut yang rapuh hingga perasaan aneh nan berbahaya menyebar ke dada Steven. Dia tidak berkutik untuk menjawab, atau mengupayakan perdebatan dengan Rukma.

Brengsek! Kenapa kemampuannya berdebat hilang?!

"Oke. Anggap. Kita baik-baik saja saat menjalani hubungan kasual, lalu apa? Bagaimana tanggapan keluarga kamu kalau mereka tahu—pasangan kasual kamu kali ini seorang single mom kayak aku." Senyum Rukma memudar. "Apa mereka bakal baik-baik saja kamu menjalin hubungan one get one?"

Steven mengerutkan kening. Dia belum berpikir sampai sana. Merespon tembakan awal Rukma saja dia kelimpungan, apalagi tembakan yang ini. Mengingat Mama yang marah dan menghakimi—menyalahkan pilihannya, saat Laura pergi, membuat bulu-bulu halus Steven meremang. Sampai Steven tidak berani menciptakan pengandaian, kalau dia membawa Rukma dan Tita bertemu Mama.

Secara tiba-tiba, Rukma menarik tangan dari genggaman Steven. "Setop, mengusahakan sesuatu yang ujung-ujungnya bakal melelahkan kita, Steven."

"Rukma."

"Kamu nggak perlu lagi berusaha memesona aku, ataupun berusaha jadi sosok yang hilang di hidup Tita. Kita berteman saja. Seperti kamu dan Ghina."

Steven jelas tidak suka dengan ide berteman. Lucu. Teman seperti apa yang berciuman sangat panas? Dan lelaki waras mana, yang sudah tahu sulitnya hidup sendiri bersama balita, tetapi masih berani bilang; hubungan kasual. Hubungan tanpa status. Friends with benefits. Apa pun namanya.

"Kamu orang baik, Steven. Aku tahu itu, dan sangat, sangat berterima kasih buat bantuan kamu selama beberapa hari ini. Tapi, aku benar-benar nggak tertarik memanjangkan daftar cewek yang pernah menjalin hubung kasual sama kamu."

Setelahnya, Rukma berdiri dan mendorong kursi ke belakang—menciptakan jarak lebar buat melewati Steven, yang setia berjongkok. Dia ingin sekali menarik dan mencium Rukma untuk memastikan seberapa kuat tekad perempuan itu menginginkan mereka memiliki hubungan pertemanan seperti dengan Ghina. Gila. Bahkan, akhir-akhir ini dia selalu melihat Ghina sebagai lelaki bukan perempuan.

Namun, dia tidak melakukannya.

Dalam keheningan, Rukma meninggalkannya, dan Steven tertahan di tempat awal ....

*

*

Terima kasih sudah meluangkan waktu buat membaca naskah ini.

Stay healty di mana pun kalian berada.

Untuk informasi naskah, spoiler, atau sekadar kenalan sama aku, kalian bisa follow IG:

Flaradeviana

atau

Coretanflara

Love, Fla.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top