8.1
*
*
Selamat membaca
*
*
Jangan lupa taburan bintang dan komennya, gaes!
*
*
STEVEN membawa Rukma dan Tita ke sebuah restoran ramah anak, yang jaraknya sekitar setengah jam dari tempat mereka tinggal. Masakan seafood, terdiri dari dua area makan: meja makan seperti restoran pada umumnya dan lesehan di pendopo bambu yang dikelilingi kolam ikan buatan. Seperti bisa menebak kalau duduk di pendopo bakal menyenangkan Tita, Steven meminta duduk di area itu. Beruntung mereka bukan datang di waktu weekend. Restoran ini cukup punya nama, dan Rukma bisa menebak banyak pengunjung lain mengincar sisi ini.
Dan, secara ajaib kebiasaan susah makan Tita sembunyi entah di mana. Biasanya, mau di luar atau di rumah, Rukma perlu melakukan berbagai macam rayuan atau strategi tertentu supaya makanan Tita cepat habis. Namun malam ini, Rukma tidak perlu melakukan apa pun Tita mau melahap nasi dan ayam bakar suiran tanpa kalimat drama; Kenyang, Nda. Udah, Nda.
Beberapa kali mata Rukma mengelilingi tempat, yang memang menyenangkan untuk tempat makan sambil bersantai, wajar kalau Tita makan lahap. Namun, saat matanya tidak sengaja melihat Steven makan dengan tenang—sambil sesekali melirik Tita, Rukma jadi berpikir ini berhubungan erat sama si pengajak. Karena seingat Rukma, saat diajak makan di luar bareng Ghina pun, Tita tidak bereaksi seperti ini ....
Apa pun alasannya, Rukma bersyukur terhindari dari keharusan memelotot, menggeram, ataupun merengek kepada Tita.
"Enak?" Tiba-tiba pertanyaan Steven mengudara, dan Rukma mengerjap kebingungan.
Karena makan sambil menyuapi Tita, Rukma mengunyah dan menelan cepat makanan di piring tanpa benar-benar meresapi rasa dari masakan, yang kata Steven best seller di restoran ini.
"Kamu makannya nggak usah buru-buru," lanjut Steven, sebelum Rukma berhasil merespon. "Ini enak banget, loh."
Lalu, lelaki itu memindahkan tiga udang bakar bakar berukuran besar yang ditusuk jadi satu ke piring Rukma. Padahal, isi piringnya sudah berkurang banyak dari sebelumnya. Tersisa nasi putih beberapa suap—sedikit tumis kangkung—sedikir daging ayam bakar dari Tita.
"Yang ini juga enak," kata Steven lagi, sambil menunjuk kepiting saos tiram. "Satu porsi ada dua, aku udah makan jadi ini buat kamu."
Rukma mau membantah, dengan dalil terlalu ribet kalau dimakan sambil menjaga Tita yang kebetulan sedang semangat dan bertekad ingin cepat selesai makan supaya bisa duduk dekat kolam.
"Aku sengaja ajak kamu ke sini karena tahu dari Ghina seafood makanan favorit kamu." Lagi-lagi Steven lebih cepat bersuara darinya, dan kali ini berhasil membuat bibir Rukma sedikit terbuka. "Kamu suka banget sama udang dan kepiting, kan? Aku mesan ini buat kamu. Eh, kamu cuma makan kangkung sama ayam punya Tita. Cepat-cepat lagi. Kayak ada yang kejar aja."
Dengan tubuh yang benar-benar kaku, Rukma menyiapkan suapan lainnya untuk Tita. Alarm tanda bahaya di kepalanya berbunyi lebih nyaring dari biasanya. Steven mencari tahu kesukaannya ke Ghina? Makan malam ini khusus untuknya?
"Rukma," panggil Steven, yang memaksa matanya berpindah dari Tita. "Aku udah selesai makan. Kita gantian. Aku jaga Tita, kamu menghabiskan semua ini."
Rukma tertegun. Belum pernah ada yang menawarkan situasi seperti saat ini, memberi kesempatan untuk Rukma makan dengan layak tanpa diburu apa pun, bahkan Ghina sekalipun.
Seperti sebelumnya, Rukma gagal merespon kalimat Steven.
"Oke?" Pertanyaan kepastian itu mengalun dengan lembut ke telinga Rukma, yang semakin sulit dijawab Rukma, karena senyum lebar tanpa gigi di wajah tak berkacamata membuat Steven terlihat lebih seksi dan tampan. "Diam artinya setuju. Aku cuci tangan dulu." Lalu, Steven menelengkan kepala sedikit ke Tita, dan berkata, "Kamu pintar banget makannya. Aku punya hadiah buat kamu."
Kemudian, Steven meninggalkan meja makan. Tidak berapa lama, lelaki itu kembali seraya melambaikan dua bungkus makan ikan di udara. Dalam sekejap, ketenangan Tita luluh lantak. Bocah itu buru-buru memasukkan sendiri suapan terakhir yang disiapkan Rukma, lalu loncat-loncat girang sambil menggoyangkan kedua tangan di udara.
Kelihatannya, kebiasaan lama Rukma saat terpana kembali tanpa bisa dicegah. Dia membisu. Mengamati adegan demi adegan, yang sebelumnya dia angankan saja tidak berani. Steven berlari kecil seperti ingin menangkap sesuatu, dan Tita menghampiri Steven seolah menyerahkan diri secara sukarela. Tita berupaya memeluk Steven yang berdiri setengah membungkuk, sementara Steven tertawa karena berhasil menghindar dari kedua tangan mungil Tita. Seperti tidak tega membuat Tita berusaha keras menggapai, Steven berlutut dan membiarkan Tita mengalungkan kedua tangan dengan sangat manja. Selanjutnya, Steven dan Tita tertawa renyah secara bersama-sama.
Steven memandangnya seolah mengajak Rukma bergabung, tetapi dia buru-buru memutus ada pandang mereka.
"Selamat makan bundanya Tita," kata Steven, seraya melepaskan pelukan Tita, lalu membawa bocah itu duduk di pinggir kolam ikan. Di sisi kanan pendopo.
Alih-alih, makan seperti intruksi Steven, Rukma justru memasrahkan diri kepada perasaan bingung serta takut tak berujung. Sambil memandangi punggung Steven dan Tita, Rukma kembali bertanya-tanya pada diri sendiri; Kenapa Steven kejam sekali melakukan hal-hal seperti ini kepadanya, hingga dia semakin sulit mengabaikan kehadiran Steven di hidupnya yang sepi ini? Bagaimana kalau dia menyerah saja, terbang bersama Steven?
Tanpa sadar, satu tangan Rukma yang bersih sudah menekan-nekan pelan bagian tengah dadanya. Bagaimana jika Steven menjatuhkannya lebih parah dari yang dilakukan—Rukma menghela napas kasar, lalu menatap udang dan kepiting, makanan favorit yang sudah lama sekali tidak dia nikmati.
Sejak ada Tita, Rukma lebih suka memilih makanan simpel dan murah—memasak pun seperti itu. Ayam, ikan, telur, sayur-sayuran, berputar di situ. Sebenarnya kalau Tita sedang dibawa Ghina, dia punya waktu untuk kuliner ini-itu, tetapi Rukma selalu merasa tidak tega mengeluarkan uang untuk hal-hal sesaat—mengingat kebutuhan Tita. Dia tidak mau terus-terusan mengandalkan bantuan Ghina. Jadi satu-satunya cara dia menyiapkan tabungan buat Tita, dengan berhemat.
Berusaha menikmati makanan seperti seharusnya, Rukma mengambil udang bakar. Namun, kotak ingatan yang berisi alasan Tita hadir ke dunia ini tanpa persiapan tiba-tiba terbuka lebar.
Dia sedang patah hati berat, lalu ayah Tita datang menjadi penghibur. Meski tidak memiliki perasaan apa pun, rasa sayang yang ditujukan ayah Tita berhasil membuai Rukma.
Sambil menggigit ujung kayu sate, Rukma memandang Steven-Tita yang duduk menyamping—saling berhadapan, saling melemparkan tawa. Sayup-sayup, Rukma bisa mendengar Tita terus-terusan memanggil manja nama Steven. Mengingatkannya pada cara Ghina memanggil mendiang bapak Ghina sewaktu sekolah dulu.
Rukma tersentak. Kecemasan makin pekat, sampai tembok-tembok antisipasi tersusun lagi dalam hati Rukma. Ada dorongan kuat untuk membawa kabur Tita seperti tadi pagi, tetapi harapan Steven bisa benar-benar menjadi bagian dalam hidup Tita, menahan Rukma ....
Tanpa bisa menikmati makanan seperti seharusnya, Rukma terburu-buru menghabiskan makanannya, lalu mengajak Steven pulang. Untungnya, saat dia mengutarakan keinginan itu Tita sudah puas menuang dua bungkus makanan ikan ke kolam.
Tidak ada drama siapa yang membayar atau setengah-setengah, karena sebelum sampai di kasir Steven menegaskan ini ucapan terima kasih untuk semua masakan rumah yang dibuat Rukma selama beberapa hari terakhir.
Sesuai kesepakatan bersama, mereka pulang tanpa mampir ke mana pun. Bahkan, sesampainya mereka di rumah—Steven segera mengucapkan selamat tinggal kepada Tita lalu menghilang di lantai dua. Seakan-akan tahu, Rukma sedang sibuk bercengkerama bersama kecemasan, dan Steven tidak mau mengganggu.
Lewat tengah malam dan Tita sudah berhasil diajak ke alam mimpi, Rukma keluar kamar dan duduk di meja makan. Sambil menikmati teh tawar hangat, dengan penerangan seadanya—lampu kuning di lorong pemisah area dapur dan tangga, pikiran Rukma melayang-melayang entah ke mana.
"Rukma."
Spontan, Rukma menoleh saat suara halus dan rendah Steven memanggilnya. Lelaki itu berjalan lambat-lambat menuju tempatnya duduk, sudah berpakaian siap tidur—celana panjang berbahan kaus dan baju lengan panjang dari wol ringan. Dan lagi, mata sialan Rukma tidak bisa menahan diri untuk tidak menikmati bagian perut dan dada Steven yang terlihat berotot dan ramping.
Menyebalkan, Rukma!
Steven menarik kursi, lalu duduk di depan Rukma. Ada jeda panjang, yang diiringi tatapan yang belum pernah dilihat Rukma pada Steven. Dan dia tidak bisa menahan diri untuk panik.
"Mau membahas apa yang terjadi sepanjang hari ini?" Steven membuka botol air mineral baru, yang memang disediakan Rukma di meja makan. Mata lelaki itu terlihat bertekad tidak bakal melepaskan Rukma, seperti yang sudah dilakukan sejak pagi sampai perpisahan usai makan malam.
"Kenapa kamu masih sendiri?" Alih-alih menjawab, Rukma mengajukan pertanyaan lain. Dia meneguk teh tawar hangat dua kali, sambil menunggu jawaban Steven.
Ketika tak ada jawaban satu kata pun, Rukma menggigit bibir bawahnya. Dia tidak tahu alasan pasti menanyakan hal itu, tetapi apa pun jawaban Steven mungkin bakal menentukan keputusan Rukma. Dia menghentikan situasi serba tidak pasti dan aneh ini, atau bakal membiarkan dan saat waktunya habis—dia bakal mengingat hal-hal yang terjadi dengan Steven sebagai sebuah petualan lain di hidupnya. Hanya saja kali ini memakai tingkat kehati-hatian yang tinggi.
"Karena aku nggak mau mengambil risiko terlalu besar," jawab Steven, dan jantung Rukma berhenti beberapa detik. "Aku lebih suka hubungan kasual."
*
*
Terima kasih sudah meluangkan waktu buat membaca naskah ini.
Stay healty di mana pun kalian berada.
Untuk informasi naskah, spoiler, atau sekadar kenalan sama aku, kalian bisa follow IG:
Flaradeviana
atau
Coretanflara
Love, Fla.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top