6.1
•
•
Selamat membaca
•
•
DUA HARI setelah permintaan mengurangi kecanggungan, dan Rukma belum juga mampu melakukannya. Perutnya masih bergolak hebat setiap kali melakukan interaksi sekecil apa pun dengan Steven, tatapan—obrolan kecil yang diusahakan lelaki itu. Rukma kelimpungan mengontrol degup dalam dadanya, belum lagi kilasan bibir lelaki itu menempel di bibirnya selalu muncul hingga mendorong Rukma buru-buru menjauhi Steven. Ketika rasa frustrasi benar-benar tak sanggup ditanggung, Rukma bakal melampiaskannya kepada Ghina tanpa berani menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Steven.
Mengesalkan.
Kenapa untuk urusan begini dia tidak bisa seperti Ghina yang mudah sekali bercerita? Apa susahnya sih bilang; Na, gue ciuman sama orang lo kirim buat benerin rumah samping. Bukan ciuman yang gimana-gimana, cuma nempel dikit doang.
"Rukma?"
Seperti lupa dia ada di mana dan sedang apa, Rukma semakin banyak menyusun kalimat-kalimat pengakuan dalam kepalanya, yang entah kapan bisa dia sampaikan kepada Ghina. Sampai satu sikunya tertarik, dan semua susunan kalimat sialan itu hilang dalam sekejap.
"Bundanya Tita."
Rukma mengerjap lalu menoleh ke si penarik. "Ya?" Astaga, Rukma, nggak ada kalimat lain yang lebih oke?
"Kamu punya kebiasaan mencuci satu piring berkali-kali?" tanya Steven, tanpa menujukkan tanda-tanda kecanggungan sedikit pun.
Rukma mengikuti arah mata Steven lalu menghela napas, sementara tawa Tita memenuhi area dapur dan ruang makan. Perlahan, Steven melepaskan sikunya dan menyusul Tita—ikut tertawa. Dengan terburu-buru dia menyelesaikan cucian piringnya, lalu memosisikan diri menghadap Steven dan Tita. Anaknya itu masih duduk manis di kursi anak kecil yang dibuat khusus oleh Ghina, sambil menyuap kentang goreng.
"Tita? Kamu ikut ketawain aku?" Rukma bertanya menggunakan nada manja, dan Tita semakin mengeraskan kekehan tanpa melepaskan gigitan kentang goreng.
Saat Rukma menggeser matanya ke Steven yang berdiri bersandar di pinggiran kitchen set sambil tersenyum pada Tita, dia mati-matian mengabaikan betapa menawannya Steven pagi ini. Rambut masih agak basah dan tidak ada lagi janggut yang menghiasi wajah.
Dia jadi bertanya pada diri sendiri, mana yang lebih menarik: Steven dengan rambut-rambut halus di wajah atau bersih seperti ini. Rukma menghela napas kasar secara sembunyi-sembunyi, mengomeli otaknya yang tidak mau diajak kerja sama.
Pada saat itu, tiba-tiba Steven memindahkan pandangan ke dia. "Pagi, Rukma," sapa Steven ramah, komplit dengan senyum yang mampu membuat pipi Rukma keram. "So, kamu punya kebiasaan mencuci piring berkali-kali? Kalau iya, mulai hari ini aku—"
Dengan gemas, Rukma memukul bisep Steven. "Setop. Kamu tahu aku lagi melamun, nggak usah diejek begitu."
"Melamun," gumam Steven mengulangi kata-kata Rukma, lalu mengangguk kecil serta kembali menoleh ke Tita.
Entah ini hanya perasaannya saja, atau Steven dan Tita sedang meledeknya melalui adu lirik mereka. Saat Rukma ingin menghentikan interaksi itu, Steven meninggalkannya dan duduk di sisi kanan Tita—mengisi kursi kosong yang tadi dia tinggalkan untuk mencuci piring bekas sarapan.
"Ayo taruhan, pasti bunda kamu lagi mikirin aku," kata Steven, seraya merangkul bahu mungil Tita, yang tentu saja memancing kekehan si bocah.
"Hei, Tita masih kecil!" Rukma berlari cepat dan menutup kedua telinga Tita, seolah apa yang diucapkan Steven terlalu vulgar. Dan ya, itu bukan reaksi sesungguhnya—Rukma hanya membantu biar situasi ciptaan Steven seru saja.
Steven tertawa, apa lagi Tita, dan rasanya Rukma rela melakukan apa pun demi tawa Tita sekeras dan selepas saat ini—sejak Tita semakin berteman baik dengan Steven. Perlahan, tangan Rukma meninggalkan telinga Tita dan membersihkan pipi gembil si anak dengan tisue.
"Jadi benar-benar aku yang kamu pikirkan sampai nggak sadar mencuci piring sebanyak tiga kali dan dipanggil nggak nyahut," kata Steven membuka obrolan setelah beberapa menit berlalu dengan kegiatan masing-masing.
Steven membuat kopi sendiri, Rukma memastikan Tita menghabiskan sarapan ala bule si bocah karena terpengaruh kebiasaan Ghina setelah menginap sebulan di rumah Ghina.
Terkadang Tita tinggal bersama Ghina di Jakarta, demi pancingan ... Ghina yang mau tidak mau menurut kata orang karena menikah dua tahun lebih tetapi belum ada tanda-tanda kehamilan.
"Rukma?"
"Kita belum sedekat itu sampai aku punya alasan buat cerita apa yang aku pikirkan."
"Oh." Steven menatap Rukma lama, seolah sedang menyusun rencana untuk mendorongnya memasuki hubungan dekat. "Benar juga," lanjut Steven dengan nada pasrah. "Tapi hubungan kita udah dekat, kan, Tita?"
Steven menyeringai, seraya mengulurkan satu kepalan ke depan Tita, yang sialannya langsung disambut kepalan tangan mungil Tita.
"Wah, ini aku harus senang atau khawatir?" celetuk Rukma.
Dan memang itu yang dia rasakan, Tita bukan tipe anak yang langsung dekat sama siapa pun. Sebelumnya, suami Ghina butuh usaha agak lebih panjang buat meluluhkan hati Tita. Biasanya demi menggendong Tita, Alfa perlu mengambil dari belakang—menggandeng pun perlu sembunyi-sembunyi yang langsung dilepas begitu Tita menyadari siapa si pemilik tangan. Namun bersama Steven, ....
Tenggorokan Rukma mendadak tersekat. Bayang-bayang kekhawatiran coba menyeretnya dalam pusaran pikiran-pikiran yang muncul sejak Steven mengaku tertarik kepadanya; bagaimana kalau ini cuma sekadar nafsu, yang hilang usai berkegiatan di ranjang terwujud? Bagaimana kalau yang dirasakan Steven bukan tertarik tetapi rasa simpatik, yang pelan-pelan bakal luluh saat menyaksikan hari demi hari yang dijalankannya tidak sehebat pikiran orang-orang? Bagaimana kalau semua itu terjadi, Tita telanjur menyayangi orang ini?
Belum terjadi, tetapi hati Rukma suda remuk. Dia tiba-tiba menyela candaan Steven dan Tita, menggendong si bocah tanpa mengatakan apa pun kepada Steven. Sial. Itu kurang sopan, tetapi ....
Tita sempat memanggilnya, "Nda, apa? Nda?"
Namun, Rukma tak mampu menyahut. Dia membantu Tita mencuci tangan, membersihakan sekitaran mulut. Berusaha tersenyum dan menyembunyikan ketakutan yang setiap harinya makin besar saja.
Ketika dia berbalik dari wastafel, Steven sudah berdiri di depannya—bersedekap—dan satu alis tebal sialan yang menambah ketampanan si lelaki melesat naik.
"Kenapa?" tanya Steven, yang kini sudah menghilangkan senyum. "Jawab jujur, Rukma. Kenapa? Aku buat something wrong?"
Iya! jerit Rukma dalam hati. Ini kesalahan. Seharusnya, lelaki itu menjauh sejak Rukma meminta Steven bersikap sebagai tamu yang singgah sementara, bukan orang yang sedang menyiapkan kepindahan.
Seharusnya Steven menghujaninya dengan kesinisan seperti di awal perkenalan lelaki itu dan Ghina. Bukannya keramahan, yang membuat Rukma pusing setengah mati.
"Nggak. Aku lupa perlu mengurus laporan harian kemarin. Semalam aku ngantuk jadi nunda," sahut Rukma.
Namun, dia mendesah dan menurunkan Tita ke tempat penuh mainan si anak. Kemudian, kembali berdiri di depan Steven.
"Kamu bohong," tebak Steven.
Rukma mengangguk. "Kamu terlalu dekat sama Tita."
"Bukannya bagus?"
Rukma menggeleng. "Aku kan bilang sama kamu, jangan perlakukan Tita terlalu istimewa, nanti dia telanjur sayang sama kamu."
Sejak kembali berdiri ke dekat Steven, Rukma mempertahankan matanya ke Tita yang langsung asyik bersama permainan edukasi dari kayu yang mencocokkan huruf. Namun, dia akhirnya menoleh ke Steven dan menemukan cara lelaki itu tampak sangat lembut.
Oh Tuhan.
"Kalau niatnya cuma singgah, tolong, nggak perlu terlalu ramah dan baik. Supaya si tuan rumah nggak berharap ada yang menetap," kata Rukma.
Steven menyugar rambut sendiri, sambil melesakkan satu tangan ke saku celana panjang berbahan kaus. Lelaki mengembuskan napas lambat, lalu menyahut, "Nanti nggak perlu masak buat makan malam. Aku mau ajak kamu sama Tita makan di luar."
Spontan, Rukma membuka bibir dan berdiri miring menghadap Steven serta mengejar mata si lelaki. Sepertinya kalimat yang diucapkan Rukma tadi terlalu puitis sampai lelaki ini tidak paham maksudnya.
"Steven ...."
"I know, Rukma, i know," cetus Steven, lalu melesakkan satu tangan ke saku celana lainnya. "Yang punya ketakutan bukan cuma kamu, aku juga." Steven menatap sebentar Tita, baru kembali ke Rukma. "Tapi sumpah demi apa pun, aku nggak berniat nyakitin kamu apa lagi Tita."
•
•
Terima kasih sudah membaca 💜
Jangan lupa follow ig
Flaradeviana
Atau
Coretanflara
Love, Fla.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top