5.2
•
•
Selamat membaca
•
•
MOMEN paling tolol kedua dalam hidup Steven, setelah melakukan hal yang sama sepuluh tahun silam. Pengakuan implusif, tanpa memikirkan masa depan, kepada orang yang baru dia temui sepuluh jari saja belum genap. Namun, di masa lalu, Steven tidak menganggap tanggapan orang itu penting, kali ini terasa begitu penting untuk tahu tanggapan selanjutnya dari Rukma.
"Rukma," panggilnya saat kehinangan tidak juga berakhir. Dia maju dua langkah lalu berhenti, memberi kesempatan perempuan itu untuk mundur, tetapi Rukma tidak melakukannya. "Kita udah terlalu tua untuk membicarakan hal semacam ini dengan berputar-putar. Iya kan, Rukma?"
"Umur saya masih 31. Belum tua. Nggak tahu kalau kamu," sahut Rukma, seraya melipat kedua tangan di depan dada.
"36. Oke. Saya ralat. Kita cukup dewasa buat membicarakan dan menghadapi ketertarikan ini, bukannya main petak umpet."
Rukma mengarahkan lagi cokelat batangan ke bibir, menggigit ujung makanan sialan itu dengan lambat. Entah ingin mengulur waktu, atau coba memikirkan apa sebuah kalimat bantahan. Dan sialannya, Steven ingin sekali lagi membuang makanan manis itu lalu mengganti dengan bibirnya.
"Jangan coba-coba mengusahakan satu ciuman yang dilakukan dengan sadar jilid dua, Bapak Steven yang terhormat," kata Rukma penuh pelan dan tegas.
Steven memindahkan paksa matanya dari bibi menuju mata penuh peringatan Rukma. Kemudian, dia mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Seakan-akan, Rukma sedang mengarahkan pistol di depan wajahnya dan bersiap menarik pelatuknya.
Perempuan itu mendesah lalu memasukkan potongan kecil ke mulut, dan berjalan melewari Steven. "Kita sudah cukup dewasa untuk permaianan seperti itu," ujar Rukma dari balik punggung Steven.
"Permainan?"
Ketika dia berbalik, Rukma berada di tempat yang tadi dia tinggalkan. Menyandarkan diri di kepala kursi, sambil melipat kedua tangan di depan dada.
"Ciuman sambil lalu, bermesraan untuk waktu singkat sebelum kembali ke kehidupan normal," jelas Rukma. "Kita seharusnya udah cukup bijak untuk memikirkan sebab-akibat dari hal itu. Iya kan, Steven?"
Tatapan rapuh Rukma, pipi yang semakin merona, membuat Steven sangat terdorong untuk menarik dan memeluk perempuan itu erat-erat. Saat Rukma menunduk setelah menghela napas kasar, Steven melirik pintu kamar di ujung sana.
Tita.
Sebab-akibat.
Rukma sedang membicarakan masa lalu. Meski tidak tahu jelas apa yang terjadi, tidak adanya sosok lelaki di rumah ini, dan bantuan surat menyurat yang dilakukan Alfa-Ghina untuk Tita. Menjelaskan hal yang mengganggu perempuan itu.
Seharusnya, Steven juga memikirkan masa lalunya. Hal gila yang terjadi setelah pengejaran implusif kepada satu perempuan.
"Benar." Steven maju dan menyisakan jarak yang sangat pendek. "Tapi juga terlalu ceroboh untuk menamakan rasa tertarik ini ke arah yang lebih serius."
Perlahan, kepala Rukma kembali terangkat dan mata mereka bertemu. Setengah bagian dari dirinya bersorak kegirangan menemukan fakta Rukma juga menginginkan hal yang sama dengannya. Cara mata perempuan itu menyapa matanya, turun dengan hati-hati menuju ke hidungnya—seolah sedang menyalin sebuah gambar di kertas roti, dan berhenti cukup lama di bibirnya—kesusahan menelan ludah. Kemudian, kembali ke mata Steven, dengan rona kemerahan yang semakin jelas.
Steven berusaha keras mengendalikan diri. Menjaga tanganya tetap di saku celana, bukan merengkuh wajah Rukma untuk merasakan lebih lama dan dalam perempuan itu.
"Terlalu gila," sahut Rukma. "Terlalu beresiko." Rukma menghela napas lagi, sementara lipatan kedua tangan perempuan itu mengerat di depan dada. "Jadi harus bagaimana?"
"Saya belum tahu," kata Steven. "Tapi tolong, jangan mengusir saya dengan alasan pekerjaan."
Untuk kali pertama setelah keluar dari kamar dengan ekpresi seperti habis melihat hantu, Rukma tersenyum. Tampak semakin manis, tidak menghilangkan kerapuhan, tetapi jelas menghindari kebutuhan yang dihindari Steven juga.
"Bagaimana kalau kita mulai dengan berhenti bersikap canggung? Saya beberapa kali melihat kamu bicara dengan tiga cowok barista, santai-santai saja. Bahkan, tadi siang kamu juga sempat ngobrol sama pelanggan cowok, dan lagi ... kelihatan biasa dan lepas"
Steven memindahkan posisinya di samping Rukma, menyandarkan bokong di kursi lain yang kosong. Sama-sama memandangi kulkas dan rak besi lima susun berisi beberapa perlekapan memasak—deretan box storange berisi keperluan dapur dan rumah tangga.
"Iya, bisa dimulai dari situ," lanjut Steven. "Memangnya ada apa, sih, sama wajah saya? Menyeramkan? Aneh?"
"Lumayan nyeremin." Spontan, Steven menoleh. Dan Rukma, mengedik dan melebarkan senyuman. "Ini. Sekarang. Dari jarak sedekat ini. Wajah kamu jadi lebih nyeremin."
"Kamu—" Steven buru-buru merapatkan bibir, sementara Rukma semakin memiringkan kepala dengan kejailan menari-nari di mata perempuan itu. "Ya. Ya. Sesuka kamu saja, Rukma."
Tiba-tiba, Rukma menabrakan bahu mereka dengan sangat lembut, lalu kembali menyisakan jarak seperti di awal.
"Kenapa nggak ajak saya berdebat?"
"Berdebat?"
"Ghina pernah cerita kamu suka banget ajak dia berdebat. Dari awal kalian ketemu, sampai terakhir sebelum ke sini." Rukma menaik-turunkan kedua alis, tanpa menipiskan senyum sialan itu. "Padahal, saya sudah bersiap menerima itu."
"Ghina banyak cerita tentang saya?"
Rukma mengangguk. "Nggak sebanyak menceritakan Alfa, tapi ya, nama Steven beberapa kali menghiasi obrolan kami. Lebih di saat-saat Ghina nggak bisa menahan kekesalan, sih."
"Apa dia pernah bilang saat berdebat saya bisa jadi manusia paling menyebalkan?"
"Cerita."
"Saya nggak mau kamu melihat sisi menyebalkan itu."
Satu kalimat berhasil lolos, kemudian Steven memaksa dirinya berdiri tegak—memerintahkan diri sendiri untuk segera ke lantai atas, dan bekerja. Dia harus segera pergi, atau akan banyak ketololan susulan yang sulit untuk ditarik atau dihentikan.
"Oke. Jadi kita udah sepakat, ya?" tanya Steven.
Rukma juga berdiri tegak. "Sepakat?"
"Untuk menghilangkan kecanggungan? Kalau menghilangkan butuh waktu, mengurangi saja." Steven berusaha terdengar santai dan tidak buru-buru. "Saya mau lebih banyak mengobrol sama kamu, dengan santai. Seperti yang terjadi beberapa detik lalu."
Rukma kembali menyunggingkan senyum, yang memancing Steven mencuri satu ciuman lagi dari perempuan itu.
"Selamat malam, Rukma," katanya. "Selamat istirahat."
Setelah Rukma mengangguk, Steven menciptakan satu langkah lalu terdiam di hadapan Rukma.
"Oh ya, boleh minta tolong lagi?"
"Ya?"
"Saya juga mau kenal Tita. Boleh?"
•
•
•
•
Terima kasih sudah membaca 💜
Jangan lupa follow ig
Flaradeviana
Atau
Coretanflara
Love, Fla.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top