4.2




Sebelum baca jangan lupa taburan bintang dan komennya, ya.


Selamat membaca kalian


STEVEN memperhatikan Rukma dan Tita yang menjauh memasuki rumah lalu mengembuskan napas. Rasa aneh yang merayap sejak Tita masuk pelukannya, disusul wajah ekpresif Rukma untuk Tita hampir dua jam penuh, membuat hati dan benaknya kacau sampai rasanya dunia sedang berputar tak terkendali.

Dia menyandarkan diri ke punggung kursi mobil, satu tangan masih mencengkeram pinggiran stir, sementara yang lain menyandarakan siku ke kaca lalu memijit kening.

Bagaimana bisa pikiran-pikiran yang sudah lama dia kubur bisa bangkit begitu saja dalam tempo waktu sesingkat itu? Bertahun-tahun, dia berhasil tidak memikirakan tentang memiliki keluarga kecilnya sendiri. Dia baik-baik saja hidup bersama pekerjaannya, tetapi hari ini ... Steven melepaskan kacamata, mengusap bagian matanya dengan lambat tetapi kasar. Dia berandai-andai memiliki anak seumur Tita, bahkan tanpa pikir panjang memuji senyum ibu-anak itu.

Gila.

Sekali lagi, sebelum mematikan mesin mobil, Steven mengembuskan napas kasar. Mungkin, apa-apa yang dia rasakan hanya perasaan sesaat setelah melihat betapa menyenangkannya hubungan Rukma dan Tita. Kemudian, mengingatkan diri sendiri tentang tujuannya datang tempat ini. Bekerja. Memanfaatkan situasi sebaik-baiknya demi komisi yang menggiurkan. Lagi pula, dia terbiasa 'puasa' dari banyak perempuan. Mengabaikan satu lagi, fokus pada tujuan, bukan hal yang berat.

Steven baru turun dan membuka bagasi, Rukma muncul di sampingnya dan tanpa basa-basi mengambil satu kardus dari dua kardus ukuran sedang hasil belanjaan, lalu kembali masuk ke rumah begitu saja.

Mungkin, dia terbiasa melihat mama dan kakak perempuannya yang apa-apa dibantu—sangat jarang melakukan kegiatan angkat-mengangkat—sampai melihat Rukma dengan santainya mengangkat belanjaan sendiri membuat Steven sedikit kagum. Kemudian, dia buru-buru memutar bola mata sebal pada diri sendiri.

Berhenti memunculkan perasaan-perasaan gila!perintah Steven dalam hati, lalu menuyusul Rukma sambil membawakan sisa belanjaan.

"Terima kasih," kata Rukma, sesaat setelah dia menaruh sisa belanjaan di meja makan.

"Sama-sama. Tita aman? Nggak bangun?"

"Aman."

"Baguslah."

Dari bola mata yang bergerak sedikit dan bibir yang terbuka, Steven menyadari Rukma sedang berusaha mengeluarkan satu kalimat. Jadi dia menunggu dengan sabar, berdiri di depan Rukma—tanpa memutus pandangan walau sedetik.

"Kenapa?" Pada akhirnya, pertanyaan itu otomatis terlontar dari bibir Steven.

Rukma mengerjap, sempat menunduk dan memandangi belanjaan dalam kardus, lalu kembali menemui mata Steven.

"Lain kali, jangan merepotkan diri demi Tita," cetus Rukma dengan nada tegas tanpa menghilangkan kesopanan. "Ghina pernah cerita kamu sangat-sangat serius dalam bekerja, bahkan dia pernah dimarahi kamu karena curi waktu beli oleh-oleh di satu kota saat survei lokasi proyek." Perempuan itu tersenyum kecil lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Fokus saja sama desain rumah sebelah, biar cepat beres."

Steven berjalan ke belakang Rukma, mengambil cangkir dan kopi bubuk. "Seperti; hei, lakukan pekerjaan kamu dengan benar dan pergi dari sini." Satu sendok kopi berhasil ditaruh di cangkir, lalu Steven melirik Rukma yang ternyata sudah ikut berbalik dengan posisi tanganya tetap di dada. "Apa secara nggak langsung kamu lagi ngusir saya?"

Steven tidak yakin, tetapi sebelum dia kembali memusatkan mata ke kopi bubuk dan sendok, dia sempat melihat ekpresi muram melintasi wajah Rukma.

"Kira-kira begitu," gumam Rukma.

Sesungguhnya, Steven lebih mengharapkan jawaban basa-basi dari Rukma. Seperti; saya nggak bermaksud ke arah sana, saya cuma mau pekerjaan kamu beres. Namun, siapa sangka perempuan kikuk ini bisa to the point seperti ini.

Setelah sendokan kopi kedua terjatuh ke dasar cangkir, Steven kembali melirik Rukma dengan tatapan memaku dirinya.

"Why?" Sialan, Stev, sekali lagi lo membuktikan ledekan Ghina tentang kurangnya kemampuan menahan diri saat ada bahan perdebatan.

"Nggak ada alasan khusus. Ini kan lokasi proyek, bukan kantor. Memangnya kamu mau ngerjain satu proyek di waktu yang lama karena gangguan anak kecil?"

Steven membawa gelas ke dispenser air panas, lalu bertanya, "Oh ya?"

"Nggak," desah Rukma.

Tanpa sadar dada Steven sudah berdebar tidak karuan, tetapi dia menahan matanya di cangkir yang mulai terisi air.

"Saya takut semakin lama kamu di sini, efeknya semakin nggak baik buat kami." Spontan, Steven menatap mata Rukma yang tak sungkan menunjukkan putus asa. "Saya takut Tita telanjur nyaman sama kehadiran kamu. Saya bisa repot nanti kalau dia merengek nyariin kamu. Saya juga takut berharap yang nggak-nggak ke kamu."

Sebuah gumpalan terbentuk di leher Steven, disusul panas menyengat di tanganya. "Shit!"

Steven setengah berteriak, meninggalkan cangkir kopi asal di meja kitchen set, lalu mengayunkan tangannya secara asal. Setengah berlari, Rukma mengambil satu tangan Steven yang terkena air panas dan menariknya ke tempat cuci piring. Dengan setengah membungkuk, dia membiarkan Rukma mengarahkan tangannya di air dingin yang mengalir.

"Astaga, kalau kamu nggak bisa mutlitasking—jangan coba-coba melakukannya," Rukma menggerutu. "Tangan itu aset orang-orang pecinta gambar. Dijaga yang baik."

Tanpa melepaskan tangan Steven, satu tangan Rukma melewati punggungnya untuk mengambil tumpukan lap bersih di laci kitchen set, tanpa memikirkan posisi itu membuat jarak wajah keduanya sangat dekat.

Logikanya meminta Steven tetap menatap air yang mengguyur tangannya, tetapi sisi gilanya bertindak lebih cepat. Dia sengaja menoleh, dan bibir hangat Rukma menyentuh pipinya. Rukma terkejut, dia tidak. Namun, mereka kompak mematung. Menikmati momen keterkejutan yang menerpa Rukma, mengubah kecerahaan di mata Rukma menjadi kegelapan yang berkilat.

Sisi warasnya meminta mundur.

Namun panas tubuh yang menguar di antara mereka, membuat Steven tetap diam. Menghirup aroma manis sekaligus segar dari Rukma, memicu kebutuhan yang dulunya terabaikan bersorak kegirangan.

Ketika Rukma memejamkan mata, Steven menggerakan pipinya perlahan sampai bibirnya menyapu bibir Rukma. Sentuhan yang begitu lembut, lalu menghilang secara tiba-tiba.

Rukma melepaskan tangannya, mundur dengan terburu-buru dan pergi begitu saja.






Termina kasih sudah membaca 💜

Untuk mengikuti informasi naskah2, spoiler atau apa pun, kalian bisa follow ig :

Flaradeviana
Atau
Coretanflara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top