12.1


Selamat membaca

Jangan lupa taburan bintangnya, Gaes.



SATU jam Rukma mengitari toko, yang dia temukan secara tidak sengaja saat Tita pertama kali dibawa Ghina menginap ke Jakarta. Surganya orang-orang penggila kesenian gambar. Mulai dari cat, kuas, berbagai ukuran canvas, perlengkapan para arsitek dan desain interior untuk membuat maket, bahan-bahan craft, pernak-pernik dorama. Sejam sebenarnya tidak pernah cukup bagi Rukma, dia senang memutari setiap loronh secara pelan-pelan.

Namun, Steven yang mengekorinya ke mana pun, membuat Rukma memendekkan waktu mengitari tempat ini. Menyebalkan, tetapi Rukma tidak punya keberanian menyuruh lelaki itu menjauh. Bodoh bin konyol. Hany saja, kehadiran Steven di dekatnya membuat Rukma merasakan ketenangan yang sangat jarang dirasakan tiap kali jalan sendiri.

Dia tidak lagi merasa diperhatikan atau dicibir ....

Setelah membeli yang dia inginkan, Steven mengajaknya makan di luar lebih dulu sebelum pulang.

Seperti dia tidak bisa menolak tawaran lelaki ini mengantar, atau mengungkapkan keberatan diikuti selama di toko, Rukma berakhir mengiyakan ajakan Steven makan di Sop Buntut Dahapati. Salah satu rumah makan incaran wisatawan lokal, yang rasanya memang cocok dengan harganya. Dia pernah makan sekali bersama Alfa-Ghina di sini. Meski enak, buat mengulang sendirian—Rukma berpikir dua kali.

Ada bongkahan besar mengendap di dada Rukma. Ketika mereka sudah memilih tempat duduk dan berhadapan, Rukma merasa bongkahan dalam dadanya kian besar saja. Dia tidak bisa mengabaikan, bahwa duduk berdua seperti ini bersama Steven dan terlihat bagai pasangan di mata orang asing, adalah sebuah kesalahan. Namun, tanpa kehadiran Tita, mendorong Rukma ingin merasakan hal-hal yang sudah lama tidak dia rasakan.

"Kalau aku perhatiin dari awal kita berangkat, sampai duduk berhadapan begini—kamu sedikit lebih pendiam dari biasanya," kata Steven, usai menyerahkan orderan ke pramusaji.

"Apa yang mau dibicarakan?" Rukma berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan ketertarikan, sebenarnya dia menginginkan sebuah pembahasaan—hanya saja tidak tahu mau membicarakan apa.

Menanyakan bagaimana Steven gagal menikah? Yang benar saja!

Steven menutupi bibir dengan satu tangan, sementara jemari yang lain menari di tepian meja. Lelaki itu terlihat berpikir keras, seolah sedang memastikan apakah perhitungan rumus untuk dimensi penampang kolam sudah benar atau belum. Lalu, Steven mengakhiri kegiatan itu dan tersenyum kepada Rukma.

"Bagaimana kalau kita mulai dengan kenapa kamu bisa megang cabang coffee shop Alfa di sini?"

Rukma mengerjap. "Bukannya udah jelas? The power of apa pun demi Ghina." Steven mengerutkan kening, sambil merapikan posisi kacamata. "Sebelumnya aku pernah kerja di cabang dekat rumah sakit, terus something big changed my life."

Rukma menghilangkan fakta selain bekerja sebagai barista dan kasir, dia juga mata-mata Alfa buat Ghina. Mengajak Ghina bekerja di coffee shop, menginformasikan segala sesuatu tentang Ghina—termasuk penyambung lidah sewaktu keduanya bertengkar hebat. Toh, tidak penting juga Steven tahu soal itu.

Bibir Steven terbuka, tetapi pramusaji kembali ke meja dan membawa dua minum pesanan mereka. Lelaki itu terdiam sampai si pramusaji menjauh.

Karena sudah bisa menebak apa pertanyaan Steven, Rukma lebih dulu berkata, "Iya. Kehadiran Tita merubah hidup aku. Aku bekerja di sana sampai perut buncit aku nggak bisa disembunyikan, setelahnya aku numpang hidup di apartemen mewah Alfa. Kalau bukan karena Ghina, nggak mungkin aku bisa diurusin begitu sama atasan."

"Berarti pertemuan pertama kita di rumah sakit—"

"Udah ada Tita." Rukma menghela napas, tiba-tiba menyadari bahwa dia menceritakan hal yang begitu personal kepada orang yang baru dikenalnya.

Jemari kakinya melengkung, dia menyedot ice lychee tea tanpa jeda sampai seluruh giginya terasa ngilu karena dingin. Namun, perasaan familiar tidak kunjung berakhir. Dia juga orang pertama yang membuka kehidupan pribadi dengan berkata betapa sulitnya hidup di Jakarta, sendirian, saat baru mengenal David. Bedanya, dia tidak duduk berhadapan seperti ini, mengobrol saja baru mereka lakukan beberapa bulan terakhir sebelum akhirnya Rukma tahu David sudah punya calon istri. Sejak awal, Rukma dan David selalu berkomunikasi melalui pesan singkat. Kalaupun diam-diam bertemu, mereka hanya mencari tempat sepi buat memarkirkan mobil David, mendengarkan lagu favorit mereka, dan tetap berkomunikasi lewat pesan singkat. Karena dulu dia konyol dengan pura-pura tidak bisa bicara, dan David telajur nyaman menjalani komunikasi satu arah.

"Rukma—"

Rukma menyadari satu tangan kukuh Steven sudah menyelimuti satu tangannya yang tekepal di atas meja. Dia buru-buru meloloskan diri, lalu menjatuhkan tangan itu ke paha. Bersikap seakan-akan diamnya tadi sedang mempersiapkan lanjutan cerita.

"Aku di sana sampai melahirkan. Tadinya aku nggak mau nyusahin Ghina, aku punya plan buat pergi entah ke mana—berdua aja sama Tita." Rukma berhenti sejenak, sembari mengaduk-aduk lychee dalam gelasnya. "Tapi semalam setelah melahirkan, dia meluk aku terus bilang; apa pun kesusahan dalam hidup lo, kita laluin bareng-bareng. Itu ajaibnya punya sahabat, Ma. Lo nggak perlu menghadapi kelucuan hidup ini sendiri."

Rukma menunduk, dengan cepat dia mengaduk-ngaduk minuman seolah gula belum benar-benar tercampur di sana. Dia berusaha mengenyahkan memori-memori masa lalu yang datang bertubi-tubi, memori menyenangkan dan menghangatkan hatinya yang dingin setelah bertahun-tahun lamanya. Hari itu dia sedang kesal-kesalnya pada kelakukan keluarga di Batu, Rukma hanya mengirim satu kalimat; aku capek banget. Dan setelah menerima keluhannya, David mengirimkan sebuah foto konyol serta pesan yang membuat hatinya berbunga-bunga.

Sial! Kenapa semua kenangan David kembali berlarian di otaknya?

Mendadak, Rukma seperti terperangkap di tempat asing tak berpehuni, lalu ucapan Ghina di kamar hari ini menggema, "Kemarin pagi David datang ke rumah, dia berangkat subuh dari Bandung cuma buat sujud di depan gue. Dia mohon dibiarkan ketemu sama lo. Dia nggak sanggup lihat lo dari kejauhan. Dan akhirnya, gue izinin dia setelah dia janji mau nebus kesalahan dia ke lo. Dia tahu nggak bakal bisa ngubah kesalahan, tapi dia bisa nebus."

Suara Ghina menghilang, digantikan tawa getir Rukma saat mendengar perkataan yang terdengar menggelikan itu. Dia bisa merasakan kengerian kembali merambati dada Rukma, diikuti respon sinis darinya. "Na, dia pernah janji yang gede banget ke gue, tapi apa terjadi. Nggak dia jalanin. Dan gue, gue bukan lagi Rukma yang mengharapkan happy ending dari prince charming. Nggak ada yang bisa tumbuh cuma modal janji. Tanaman aja perlu disiram terus baru bisa berkembang."

"Rukma, hei. Rukma ..."

Rukma nyaris berteriak, saat merasakan ada rengkuhan lembut sekaligus tegas di bahunya. Beruntungnya suara sekecil apa pun tidak keluar dari bibirnya. Dia menoleh, dan Steven sudah berpindah duduk di sampingnya. Kekhawatiran terlihat jelas dari cara lelaki itu menatapnya, sementara aroma menggiurkan membangunkan cacing-cacing di perut Rukma—membuat dia memindahkan cepat tatapan dari wajah Steven ke meja mereka yang sudah berisi seporsi sop buntut biasa dan seporsi sop buntut goreng pesanan Steven, serta dua porsi nasi putih.

Rukma menghela napas, lalu elusan penuh pengertian menyapa tengkuknya.

"Maaf," bisik Rukma.

"Hei." Sentuhan Steven di leher bagian belakangnya, seperti kode agar Rukma mau mempertemukan mata mereka. Mengetahui, lelaki ini bakal rela menunggu sampai dia melakukan itu—memaksa Rukma menoleh. "Aku udah pernah bilang ke kamu jangan terus-terusan minta maaf buat hal yang nggak perlu."

Rukma mendadak mengecil di bangkunya, ditatap selembut itu oleh lelaki setampan Steven, lengkap dengan senyum menenangkan—siapa yang tidak panik?

"Makan. Aku laper," kata Steven.

Kemudian, Rukma dan Steven kompak menggangguk, sembari saling melemparkan segaris senyum tipis.

Steven bersiap kembali ke posisi duduk awal, tetapi satu tangan Rukma dengan cepat menahan satu paha keras milik lelaki itu. Mengabaikan mata Steven meredup, dan untuk sesaat yang sangat singkat, Rukma melihat kilasan gairah yang tak terduga tetapi tidak mungkin salah dia kenali.

"Duduk di sini aja. Berdampingan seperti ini," pinta Rukma, lalu memindahkan posisi piring dengan hati-hati.

Rukma mendapati Steven masih memandanginya, hingga dia sengaja menendang keras-keras satu kaki Steven, memperingatkan lelaki itu agar mengendalikan apa pun yang berkecamuk dalam benak Steven.

Untuk beberapa menit, mereka sama-sama menikmati makanan, sampai Rukma tiba-tiba menghentikan kegiatan makannya lalu menatap Steven lamat-lamat.

Dia tidak tahu kenapa, tetapi Rukma ingin Steven tahu kalau—

"Tita bukan milik David," gumam Rukma.


Terima kasih sudah membaca 💜


Siapa yang kemarin lihat spoiler di Ig aku : Flaradeviana, terus tebak-tebakan adegannya benar? Hahaha.

Bagi yang baru menemukan dan mulai mengikuti aku, kalian bisa follow ig : flaradeviana bisanya aku ngasih spoiler atau info2 soal naskah ak yg lain, termasuk naskah yang nggak ada di Wattpad dan mau aku terbitin di platform KaryaKarsa. Btw bagi kamu yang udah punya aplikasi itu, boleh loh, follow akun aku di KaryaKarsa: Flaradeviana

Love, Fla.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top