1.1
Eh, ada yang baru nih!
•
•
•
Sebelum baca jangan lupa taburan bintang dan komennya, ya.
•
•
Selamat membaca kalian
•
•
"OH AYOLAH, aku perlu ke kamar mandi sekarang," rengek Rukma, sambil memandangi mahluk mungil berambut sebatas cuping telinga, dengan gigi bagian bawah yang rapi, tetapi bagian atas seperti vampire—hanya taring yang muncul.
Dia berusaha memindahkan dari pinggul ke box bayi kayu, yang diisi tiga boneka berukuran sedang pemberian Ghina—sahabat Rukma, tetapi satu-satunya yang didapatkan hanya tangisan memekakkan telinga serta rangkulan kedua tangan di leher mengerat.
"Ayolah, Shakina Tita," pinta Rukma sekali lagi, dan balita perempuan yang sebulan lagi genap berumur tiga ini makin mencengkeram kuat-kuat pinggulnya. Lengkap dengan rengekan, yang menambah mulas perut Rukma.
Rukma mencebik, dan Tita makin mengeratkan kedua tangannya di lehernya sambil menggeleng—menegaskan penolakan tegas tidak mau ditinggal di kotak yang kalau Rukma pikir tidak berguna sama sekali sejak Tita berumur 7 bulan.
Rukma menghela napas kasar, lalu berkata, "Kenapa dari sekian banyak sifat yang aku punya kamu mewarisi yang ini? Keras. Kepala."
Dan yang diajak bicara, hanya menyandarkan kepala di bahu Rukma—tanpa menghentikan tangisan manja yang terdengar menyedihkan. Rukma memberikan ciuman gemas sekaligus kesal, lalu membawa Tita menuju ruang depan—berdiri di pintu pembatas antara kafe dan rumah tinggalnya. Dia melirik arloji, berharap ada satu saja karyawan kafe yang datang untuk dititipkan Tita.
Alih-alih pintu khusus karyawan yang terbuka, pintu masuk rumah yang terketuk. Dengan langkah cepat dan memohon untuk Tita berhenti merengek, Rukma membuka pintu dan terkejut melihat siapa yang datang.
Dia mengerjap, melirik Pajero hitam berplat B di belakang si tamu yang terparkir rapi di teras khusus penghuni. Tersadar apa yang terlupakan, Rukma bersandar singkat ke kepala Tita—menyembunyikan ringisan, lalu buru-buru mengangkat kepala.
"Pak Steven. Pagi," sapa Rukma.
"Seharusnya saya ke sini bareng Ghina, tapi, ya—"
"I know, Alfa mencari alasan supaya Ghina nggak boleh ke mana-mana bareng—"
"Saya. Jauh pula," lanjut Steven, sebelum Rukma berhasil menemukan nada yang tepat tanpa menyinggung rekan kerja Ghina sekaligus teman Alfa. Dua orang yang sangat membantunya, pemilik rumah yang dia tinggali bersama Tita, atasan yang memasrahkan Rukma mengelola coffee shop di Dago Atas. "Oh ya, Ghina sudah memberitahu alasan saya ke sini?"
Rukma menggangguk, melirik sekilas Tita yang nyaris tertidur dalam gendongannya. "Pak Steven jdi penanggung jawab renovasi rumah istirahat Ghina dan Alfa, yang ada di sebelah. Bapak ke sini buat riset dan butuh tempat menginap seminggu—dua minggu? Kebetulan di sini ada kamar kosong satu jadi ... di sinilah, Bapak."
Rukma berhenti bicara, dan Steven menyunggingkan senyum penuh arti—bukan arti yang mengarah pada rasa tertarik. Seakan baru saja melihat satu adegan lucu, dan berupaya menahan tawa demi kesopanan. Kira-kira seperti itu.
"Masuk." Rukma melangkah mundur, memberi kode kepada Steven untuk masuk dengan ujung dagu. "Saya kasih lihat kamarnya. Setelah Ghina menelepon semalam langsung saya bersihkan, tapi spreinya lupa saya pasang. Lagi pula, Ghina nggak kasih tahu jam pasti Pak Steven datang. Dia bilang; pokoknya hari ini. Siap-siap. Begitu."
Sekali lagi, Rukma berhenti bicara setelah mengoceh panjang-lebar, yang ditanggapi Steven senyum seperti sebelumnya. Lelaki yang tingginya 185 cm itu melewati pembatas pintu, lalu mengulurkan tangan mengelus rambut bagian belakang Tita.
"Sepertinya dia mengira kamu sedang mendongeng," ucap Steven, dengan nada bicara yang sama saja seperti dua senyuman tadi—sulit dimengerti Rukma.
Apa lelaki itu sedang meledek caranya bicara atau diam-diam sedang mengatainya banyak bicara alias cerewet?
"Sepertinya dia sudah terbiasa menjadikan kebisingan bundanya sebagai pengantar tidur," sahut Rukma tanpa ekpresi apa pun dan nada siara datar. "Saya taruh dia dulu di kamar. Bapak tunggu di sini atau mau melihat-melihat, silakan."
Kemudian, Rukma buru-buru meninggalkan Steven. Dia melangkah cepat menuju kamar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ruang depan, masih bisa melihat badan tinggi dan tegap Steven berdiri di depan lukisan yang dia buat demi melepaskan penat.
Di dalam kamar Rukma mengambil waktu beberapa saat untuk mengayun pelan Tita seraya menepuk-nepuk penuh sayang punggung anak itu, demi memulaskan tidur Tita. Setelah terdengar dengkuran pelan, Rukma berhenti mengayun dan menurunkan Tita di ranjang berukuran king, menaruh Tita di sudut dekat tembok lalu membatasi sekeliling dengan bantal dan guling. Dia merenggangkan badan sepersekian detik, sebelum mengaktifkan walki talkie baby monitor dan melesakkan satu benda itu ke saku celana jinsnya.
Ketika keluar, Rukma melirik kamar mandi ... dia benar-benar lupa pada rasa mulas yang sebelumnya menyerang. Tita sudah teratasi, tetapi perutnya tak merasakan apa pun.
Dengan langkah cepat tetapi tidak berisik, Rukma menghampiri Steven—yang terlihat bertahan di ruang depan dan fokus mengamati lukisan-lukisan buatannya. Sejenak, Rukma memperhatikan Steven yang berdiri miring di depannya—rambut campuran hitam tetapi saat sinar menyorot terlihat warna cokelat pekat, wajah kebuleaan, rambut-rambut halus di sepanjang tulang rahang-dagu-mengelilingi area bibir. Meski memakai kacamata, Rukma bisa menebak setinggi apa tuliah hidung lelaki itu.
Memesona. Karismatik. Kesan yang dia rasakan sejak pertemuan pertama mereka di rumah sakit, yang tidak berkurang—walau hampir tiga tahun tidak pernah bertemu lagi.
Kemudian Steven mengadapnya secara tiba-tiba, menghempas Rukma kepada pertanyaan; untuk apa memperhatikan lelaki ini sedetail itu? Ada-ada saja!
Rukma menarik napas dan mengarahkan satu tangan menuju ke bagian dalam rumah. "Silakan."
"Pintu?"
"Ditutup, tapi nggak usah rapat-rapat," kata Rukma, yang langsung dikerjakan Steven. Kemudian, mereka berjalan bersama dalam hening. Dia lebih dulu, dan Steven mengikuti.
Hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi di lantai atas, serta ruang yang tidak terlalu sempit ataupun besar untuk dua manusia dewasa berdiri bersama.
Rukma membuka pintu kamar, yang sangat-sangat menandakan sangat jarang terpakai. Walau fasilitasnya cukup lengkap, ranjang ukuran queen, lemari, meja dan kursi, televisi, Ac. Dia masuk lebih dulu, membuka dua jendela kaca dengan pemandangan jalan Dago Atas dan bangunan yang berjajar rapi di sisi jalan, seperti rumah ini.
Saat dia berniat memasang sprei, Steven berkata, "Biar saya saja."
Rukma menarik mundur kedua tangan, tanpa memutus adu pandangnya dan Steven. Bohong kalau dia tidak was-was, khawatir kalau lelaki ini tidak menyukai kamar ini, atau merasa dia kurang bersih saat merapikan.
"Kamu pasti capek habis menggendong anak," lanjut Steven. "Kata orang istirahat terbaik seorang ibu saat anaknya tidur. Silakan istirahat, biar saya saja yang membereskan semua ini."
Walau sangat singkat, Steven melemparkan senyum yang mampu dimengerti Rukma. Ketulusan. Maklum. Kagum?
Astaga, Rukma! Sadar!
Sebelum dia bertindak atau terlihat bodoh, Rukma berpamitan turun dan meninggalkan Steven. Sepanjang menuruni anak tangga, Rukma menyusun rencana untuk memastikan kepada Ghina: satu atau dua minggu lelaki itu berdiam satu atap bersamanya.
Terima kasih sudah membaca 💜
Untuk mengikuti informasi naskah2, spoiler atau apa pun, kalian bisa follow ig : Flaradeviana
Ata
Coretanflara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top