Path-16

Aku membuka mataku, sinar mentari yang menyilaukan membuatku kembali memejamkan mata beberapa saat--mencoba menyesuaikan pencahayaan sekitar. Mataku menyapu pemandangan sekitar, awan putih gempal dengan langit biru samudra dilengkapi dengan mentari cerah terlihat indah diatas sana. Taman yang penuh dengan bunga cantik membuat tenang perasaan sejauh mata memandang.

Mataku tertumbuk pada bagian barat taman, meringis pelan saat melihatnya. Bagian barat taman yang indah, dipenuhi dengan ribuan bunga layu yang kering dan mati. Ada beberapa bunga layu yang masih tampak bercahaya, ada pula bunga layu yang kering kecoklatan.

Aku menelan ludah, keringat dingin meluncur di keningku. Aku tahu tempat ini, ini adalah tempat yang aku mimpikan beberapa hari yang lalu. Lantas, bagaimana mungkin aku memimpikan hal yang serupa?

"Ah, akhirnya kau datang,"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Gadis iru, gadis yang sama dengan mimpiku yang kemarin. Rambut biru sutranya yang indah terurai tertiup hembusan angin lembut. Wajahnya yang menawan tampak lebih letih. Tanpa sadar, aku mundur beberapa langkah ke belakang.

"SIapa kamu?!" Tanyaku lantang.

"Aku? Kamu masih belum tahu siapa aku?" Gadis itu tertawa.

"Mana aku tahu! Kamu kemarin tidak menjawab pertanyaanku, tahu!"

"Kan sudah kubilang, cari tahu sendiri."

"Kalau begitu," aku menatap kesal gadis di hadapanku. "Aku harus memanggilmu apa? Jangan-jangan kamu tidak punya nama?!"

Gadis itu tersenyum takzim, kemudian membuka mulutnya. "Hmm ... sampai kamu tahu siapa aku, kamu bisa memanggilku Annabeth."

"Annabeth?" Nama itu terdengar familiar di telingaku. "Annabeth terlalu panjang," terlintas sebuah nama di benakku, entah mengapa nama itu tampak familiar, tapi aku tidak dapat mengingatnya. "Bagaimana jika kupanggil kau Beth?"

Gadis di hadapanku itu tertegun sejenak, kemudian setetes air mata sebening kristal jatuh meluncur dengan mulus di pipinya. Dia mengangguk pelan sambil mengusap matanya yang sembab.

Aku menatapnya dengan bingung. "Kenapa?"

Dia menggeleng pelan. "Maaf, aku malah menangis." Sedetik kemudian, tawa pelan menghiasi wajah cantinya. "Tentu saja kau boleh memanggilku Beth, Kena."

Sebuah perasaan hangat menjalar di hatiku entah mengapa. Perasaan rindu melekat erat mengingatkanku bahwa aku telah melupakan sesuatu yang penting.

"Beth ... sebenarnya dimana aku?"

Beth tersenyum. "Ini tempat rahasia, Kena. Hanya orang tertentu yang bisa memasukinya." Dia melangkah ke sebuah bunga indah, tidak terhitung berapa warna yang terdapat di bunga itu. Lebih indah dari warna pelangi, lebih terang dari cahaya mentari, lebih anggun dari bintang di langit.

"Bunga itu ..?"

"Setiap bunga mewakili satu nyawa, Kena." Beth mulai berkata sambil tersenyum. "Kamu lihat sekumpulan bunga itu? Itu adalah bunga-bunga kehidupan."

Bunga kehidupan ... aku jadi teringat cerita Xia-xia. Kalau semua bunga ini adalah bunga kehidupan berarti ...

"Taman kehidupan." Celetukku.

"Kamu pasti tahu dari peliharaanmu itu, ya?" Beth tersenyum tipis. "Semua bunga yang bermekaran menandakan sebuah nyawa yang aktif. Setiap warna bunga mewakili satu sifat asli. Bunga putih melambangkan kebaikan, kuning melambangkan keserakahan, hijau melambangkan keirian, biru melambangkan ketulusan, dan hitam melambangkan keburukan. Warna setiap bunga dapat berubah-rubah setiap waktu. Tapi, pada akhirnya, saat bunga layu, hanya dua warna yang terpancar. Hitam dan putih. Hitam berarti jiwa pemilik bunga tersebut diantarkan ke neraka, sedangkan yang putih ke surga."

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ku dengar. "Lalu, bunga itu termasuk golongan mana?" Aku menunjuk bunga yang sedari tadi memikat perhatianku.

"Itu," Beth menatapku tulus, "Bunga yang menanggung banyak harapan di pundaknya."

Aku baru saja hedak bertanya apa maksudnya, tapi sekitarku mulai buram. Cahaya putih yang menyilaukan menyelimuti tubuhku hingga menutupi penglihatanku. Dan semuanya putih.

***

Aku kembali membuka mata. Hal pertama yang kulihat adalah atap putih ruangan. Hidungku mencium bau obat-obatan khas ruang kesehatan sekolah. Aku beranjak duduk, sebuah rasa ngilu terasa menjalar di tangan kiriku. Aku menatap tanganku yang dibalut perban tipis. Rasa sakitnya tidak sesakit tadi saat pertarungan, sih.

Aku merasakan tangan kananku menghangat, segera aku menoleh ke sebelah kanan, dan mendapati Sena tidur dengan posisi duduk, kepalanya terbaring di ujung ranjangku, dan tangannya menyentuh ujung jari tengahku.

Saat itu juga, dapat kusimpulkan dengan akurat. Kekuatan Sena mungkin saja dapat menghangatkan sesuatu. Seperti ... api, mungkin?

Aku menatap wajah Sena. Jika dipikir-pikir, wajahnya terlihat begitu hangat, entah mengapa dia terlihat begitu lelah? Entahlah.

Kelopak matanya yang sedari tadi tertutup terbuka pelan, menampakkan bola mata hijau emerald-nya yang tampak berkilau.

Aku buru-buru menarik tanganku yang tanpa sengaja menyentuh tangan Sena. Apa aku membangunkannya?

"Ha, hai ..." sapaku gugup.

"Hai," balasnya singkat. "Kamu sudah baikan?"

Aku menelan ludahku, kemudian mengangguk samar. "Sudah,"

Satu menit hening yang mencekam menyerang suasana sekitar. Aku maupun Sena tidak ada yang memulai percakapan ataupun mencari topik pembicaraan.

Aku berdeham pelan. "Ehm, kamu sedang apa disini, Sena?"

"Menemanimu." Jawabnya jujur.

Sampai tertidur?! Sungguh? Dia menemaniku sampai dia tertidur begitu?!

Wajahku tersipu tipis.

"Ka, kau tidak perlu melakukan hal itu, jika kau terpaksa." Ujarku pelan. "Aku tidak mau membebanimu."

Sena menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemarinya. "Bukan masalah, lagipula itu tugasku sebagai patnermu."

Patner ...

Entah mengapa kata itu terdengar sangat menyebalkan.

"Kalau begitu, kamu tidak perlu repot-repot menjagaku hanya karena aku adalah patner menyusahkanmu." Ujarku ketus.

Sena menatapku datar. "Kenapa?"

"Ya, karena aku merepotkanmu, kan?!"

Sena terdiam. "Tidak masalah."

Aku benar-benar merasa kesal. Apa-apaan sih dia?! Menyebalkan sekali.

Pintu ruang kesehatan terbuka, menampakkan seorang gadis masuk. Sepertinya dia petugas kesehatan.

"Selamat pagi, Kena. Namaku Clyde, petugas kesehatan yang merawatmu. Bagaimana kondisimu?" Tanyanya ramah.

Aku tersenyum simpul. "Kondisiku baik, terima kasih telah merawatku."

Clyde tertawa pelan. "Bukan masalah, sudah tugasku untuk menyembuhkan siapapun yang sakit." Gadis itu kemudian duduk di sisi ranjang sebelah kiriku. "Tanganmu itu lukanya cukup dalam, tapi tenang saja, aku bisa menyembuhkannya meskipun butuh waktu 2 hari. Sekarang luka di tanganmu akan kusembuhkan sepenuhnya."

Clyde menyentuh tanganku yang diperban. Cahaya hijau terang menyelimuti tanganku. Sepertinya kekuatannya penyembuh. Hebat sekali!

Tunggu sebentar, aku jadi terpikir sesuatu. Tadi Clyde bilang apa? Dia butuh waktu menyembuhkan tanganku 2 hari?

"Berapa lama aku tidak sadarkan diri?"

Clyde memandang mataku, kemudian tersenyum manis.

"Tiga hari." Sena yang menjawab.

Aku memandang kesal Sena. Kenapa pula harus dia yang menjawab? Aku 'kan bertanya kepada Clyde.

Aku menatap Clyde, menunggu konfirmasi. Ku harap Clyde menggeleng, berharap Sena hanya bergurau. Tapi nyatanya Clyde mengangguk pelan.

Tubuhku melemas, tiga hari? Tiga hari?!! Ayolah ... itu berarti ujian kenaikan tingkatnya itu tinggal dua hari lagi! Aku hanya memiliki waktu dua hari untuk persiapan ujian kenaikan tingkat.

Seakan tahu apa yang kupikirkan, Clyde menepuk bahuku. "Tenang saja, Kena. Kamu pasti punya waktu lebih untuk latihan ujian kenaikan tingkat. Nah, sekarang tanganmu sudah sembuh, kamu boleh kembali ke kamarmu dan istirahat."

Aku mengangguk, kemudian tersenyum. "Terima kasih."

"Biar kuantar."

Aku berdecak sebal, menatap kesal Sena yang ikut beranjak berdiri.

"Tidak usah,"

"Tetap kuantar."

"Kubilang 'kan tidak usah."

"Itu tugasku sebagai pat--"

"Masa bodo dengan patner, aku ingin kembali sendiri!" Ujarku ketus.

Clyde tertawa kecil melihat perdebatanku--atau mungkin bukan--dengan Sena. "Biarkan saja dia, Kena. Dia dari kemarin menemanimu di sini setiap kelas telah berakhir. Dia bahkan keras kepala ingin menginap dan tidur menjagamu."

Aku meringis pelan, aku tidak tahu itu. Tapi aku sedang benar-benar kesal padanya. Jadi, kuputuskan berjalan lebih dulu keluar ruang kesehatan dengan cepat, kubiarkan dia mengekoriku dari belakang.

Semoga saja mereka tidak melihat wajahku yang memerah.

To Be Continue ...

Published 13-09-18

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top