Path-33 : Nightmare
Satu jam sebelumnya ...
"Bye-bye!" Alice melambaikan tinggi tangannya, bibirnya menyungging begitu lebar. Diperhatikannya sosok seorang lelaki berambut landak, balas melambaikan tangan, acuh tak acuh.
Mungkin, Alice memang kurang beruntung memiliki patner secuek Keichi. Tapi, di sisi lain Keichi adalah salah satu dari murid yang menduduki peringkat seratus besar murid terkuat. Sangat cocok sekali kolaborasi kekuatan mereka.
Tadi, Keichi baru saja menemui Alice untuk meminta maaf karena tidak bisa menjaganya dengan baik. Tentu Alice tahu bahwa mungkin saja seseorang memaksa Keichi untuk meminta maaf. Mana mungkin Keichi mau minta maaf atas inisiatifnya sendiri. Dia orang berego tinggi.
Namun tetap saja Alice merasa lega. Setidaknya, kini hubungannya dengan Keichi bisa kembali seperti sedia kala.
"Tadi itu siapa?"
Alice terhenyak, sontak menoleh menuju sumber suara. Gadis itu merasa sedikit terkejut begitu mendapati Hanz yang entah dari mana datang menghampirinya. Alice menggeleng pelan, "Tadi itu patnerku."
"Oh," Hanz termangut mengerti. "Patnermu, ya ... kalau tidak salah namanya Kei... hi?"
"Keichi," ralat Alice. "Yup, dia patnerku. Memangnya kenapa? Kau cemburu?" Alice tertawa hambar begitu menyadari betapa konyolnya pertanyaannya barusan.
Hanz memiringkan kecil kepalanya. "Huh? Kenapa harus cemburu?"
"Aah, sudah. Lupakan," Alice menghentikan topik pembicaraan ini sebelum mengembang tidak jelas. "Oh iya, Hanz. Apa aku sudah boleh kembali ke Kamar Lizzy malam ini?"
"Mungkin belum. Kau harus menjalani beberapa tes lagi, baru boleh kembali."
"Ugh, tes itu ...," Alice mengembungkan kedua pipinya. "Tes menyebalkan. Tak bisakah cukup sampai di sini? Aku malas sekali menjalani tes itu."
"Yah, ini demi kebaikkan kita," Hanz menjeda, "Kebaikkanmu."
Alice menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Percuma saja berdebat dengan Hanz, karena Hanz selalu kukuh pada apa yang dianutnya. "Baiklah-baiklah. Tapi, sekarang apakah aku boleh menonton turnamen di gedung olahraga? Aku bosan, sungguh."
Hanz tampak berpikir sesaat. "Tapi menurutku sebaiknya jangan ..."
"Ayolah," bujuk Alice. Wajahnya memelas seperti anak anjing yang belum diberi makan. "Hari ini saja."
"Baiklah," Hanz menghela napas panjang. "Hari ini saja."
"Yey!" Alice melompat girang. Gadis itu menyambar telapak tangan Hanz, menarik lelaki itu pelan. "Kalau begitu, ayo! Aku tidak sabar melihat pertarungan Sena. Kata Flo, dia masuk final!"
"Hm, sejujurnya aku juga penasaran," sebelah alis Hanz terangkat. "Aku ingin melihat bagaimana Sena bertarung melawan--"
"ASTAGA!"
Suara jeritan melengking dari dalam gedung olahraga, bahkan dapat terdengar oleh Hanz dan Alice yang berjarak sekitar lima meter dari sana. Hanz dan Alice saling bertatapan, kemudian mereka segera berlari memasuki gedung olahraga.
Suasana gedung olahraga heboh. Desas desus bisikkan panik terdengar dimana-mana. Hanz dapat melihat dengan jelas, Romeo berlari tergopoh-gopoh bersama beberapa anggota badan kesehatan menuju tengah arena pertarungan.
Hanz dan Alice mendekat agar dapat melihat lebih jelas siapa yang sedang berusaha mereka tangani. Kedua mata Hanz membola, melotot lebar begitu mendapati sosok seorang lelaki berambut merah menyala sedang dipapah menuju pinggir arena.
Dengan cepat Hanz segera menghampiri Romeo, membantu memapah Sena ke pinggir arena. "Apa yang terjadi?!" Hanz bertanya panik, air wajahnya menunjukkan rasa cemas yang begitu kontras.
"Dia pingsan," jawab Romeo. Raut wajahnya tak lebih baik dari Hanz. "Aku tidak tahu mengapa dia bisa seperti itu."
"Apakah Sena terkena serangan telak?"
"Tidak, Sena menghindari semua serangan dengan cukup baik. Beberapa serangan memang mengenainya, namun tidak mungkin sampai bisa membuatnya tidak sadar."
"Lalu ...," Hanz terdiam sesaat. "A-Apakah karena 'itu'?"
Romeo menghela napas pelan. "Aku juga memikirkan hal yang sama, Hanz." Lelaki itu beranjak berdiri. Dia mengaktifkan pocket-nya, lantas mengetikkan pesan.
"Romeooo!!!"
Romeo tersentak pelan. Dia menoleh, mendapati sebuah pixieball berbulu biru terbang melesat ke arahnya. "Romeo! Apa terjadi sesuatu pada Sena?!" Xia-xia terbang mendekat, sayap mininya mengepak dua kali lebih cepat. "Hera ... Hera tiba-tiba saja kesakitan! Pasti terjadi sesuatu pada Sena, 'kan?!"
"Benar," Romeo menjawab berat hati. "Dimana Hera sekarang?"
"Dia ada di Perpustakaan. Dia tidak sanggup terbang ke sini bersamaku."
"Kalau begitu ... Xia, apakah kamu bisa memanggil Clyde ke sini?"
"Clyde tidak ada di ruang kesehatan," Alice yang mewakili. "Tadi aku dan Hanz sempat ke sana, dan di sana hanya ada Lexy saja."
"Kalau begitu," Romeo berlutut. Dia mengakungkan lengan Sena ke pundaknya, memapah sobatnya itu. "Hanz, tolong bantu aku memapah Sena ke ruang kesehatan. Xia, tolong beritahu anggota Dewan tentang ini. Dan Alice, tolong kau pergi ke ruang kepala sekolah dan beri tahu kondisi Sena. Mintalah dia memanggil dokter dari pusat Kota."
Tanpa banyak bertanya, mereka semua mengiyakan perintah Romeo. Detik itu pula, mereka berpencar, menjalankan amanat yang telah diberikan oleh Romeo.
Dibantu dengan anggota badan kesehatan, Sena dibawa ke ruang kesehatan. Lexy ada di sana, sesuai perkataan Alice. Melihat kondiri Sena, Lexy segera membaringkan Sena ke atas ranjang, kemudian mulai memeriksanya. Raut wajahnya tak terbaca.
Selang lima menit yang mencekam, Lexy menghela napas panjang.
"Bagaimana?" tanya Hanz harap-harap cemas.
"Siapa lawan Sena?" Alih-alih menjawab, Lexy justru melontarkan sebuah pertanyaan.
Romeo dan Hanz saling berpandangan. "Apakah itu penting?"
"Bisa iya, bisa pula tidak." Lexy menempelkan sebuah hologram ke dada Sena, kemudian sebuah layar transparan muncul dari sana. Lexy menunjuk garis-garis merah yang naik-turun di layar tersebut. "Ini detak jantung Sena. Detak jantungnya sangat lemah untuk ukuran keturunan white blood, bahkan untuk green blood sekalipun.
"Dan aku yakin kalian sudah tahu apa penyebabnya, bukan?" Lexy menatap insten. Dia bersedekap tangan, menghela napas pendek. "Penyebabnya adalah karena dia mengeluarkam kekuatannya secara berlebihan. Penggunaan kekuatan secara berlebihan sangat berdampak buruk bagi energi kehidupan. Dan lagi ...," Lexy melirik leher Sena, kemudian mengarahkan pandangannya kepada Romeo.
"Dan lagi ...?" Romeo menatap antara penasaran dan cemas.
Lexy memejamkan mata sesaat, kembali menghela napas. "Tidak, lupakan. Sena hanya perlu istirahat saja, setelah itu semuanya akan membaik. Tapi, perlu waktu bagi Sena untuk siuman."
"Berapa lama?"
"... Sekitar dua bulan."
"HAH?!" Romeo dan Hanz menatap histeris. "Du-dua bulan?! Kenapa lama sekali?!!"
Lexy menatap jengah, "Sena jelas sedang sekarat, tapi dia memiliki peluang besar untuk sadar. Anggap saja bahwa Sena sedang tertidur dalam mimpi buruknya."
"Kau--" Romeo menggepalkan tangannya, menghela napas berat. "Mau tidak mau, kita harus mengubungi Raja Raven, bukan?"
"Ya, kurasa itu jalan terbaiknya."
BRAK!
Pintu terbuka secara paksa, menampilkan seorang gadis bersurai biru panjang dengan napasnya yang menderu tak karuan. Pupil matanya mengecil, keringat dingin telah membasahi tubuhnya. Seketika, suasana Ruang kesehatan menjadi hening dan mencekam untuk persekian detik. "Romeo, Sena ...," suara Kena tercekat, seakan tenggorokannya tersumpal oleh sesuatu. Kena berjalan mendekat, tangannya sedikit gemetaran. "Tadi ... apa kalian bilang?"
"Kena ..."
"Sena ... Sena tidak akan sadarkan diri selama dua bulan?!" Cairan panas mulai mengepul di pelupuk mata gadis itu. Sekeras apapun usahanya untuk menahannya, tangisnya tetap pecah. "Kenapa? Apa yang terjadi?! Bagaimana mungkin orang sekuat Sena bisa seperti ini hanya karena sebuah pertarungan? SIAPA YANG MELAWAN SENA, HAH?! SIAPA?!!"
"Kena, tenanglah!" Hanz mencekeram kedua bahu Kena, menatap lurus tepat ke manik diamond gadis itu. "Sena hanya perlu istirahat. Setelah itu, semua akan baik-baik saja!"
"BAGAIMANA MUNGKIN AKU BISA BAIK-BAIK SAJA?!" Kena menepis tangan Hanz. Emosinya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. "Saat seseorang yang kau sayangi terluka, bagaimana mungkin aku bisa diam dan bersikap seolah semua baik-baik saja? Kau tidak merasakan apa yang aku rasakan!!" Ini kali pertamanya Kena emosi. Kena selalu memiliki pembawaan yang tenang, tidak pernah Kena mengamuk seperti ini, kecuali enam tahun lalu, ketika tragedi hampa terjadi. Saat dimana Ibunya dan Annabeth mengorbankan diri hanya untuknya, hanya saat itu Kena merasakan emosi yang memuncak.
Tapi kali ini, hal yang sama kembali terulang. Sena tidak akan sadarkan diri selama dua bulan. Tidak ada yang bisa menjamin apakah Sena akan selamat atau tidak. Tidak ada.
Kini, yang bisa Kena lakukan hanyalah menangis, menangis, dan menangis. Bodohnya dia baru menyadari semua perhatian yang Sena berikan sekarang.
"Kena ...," Romeo merapatkan bibirnya, tidak tahu harus mengatakan apa untuk menghibur sahabat masa kecilnya itu. Romeo sendiri bukanlah penghibur yang baik, namun dia pasti akan melakukan sesuatu demi membuat Kena tenang. "Aku ... aku berani menjamin Sena akan baik-baik saja."
Kena terisak. "B-Bagaimana kamu mengetahuinya?"
"Aku yang akan menjamin," Romeo menatap serius. "Aku akan meminta Flo untuk membuat ramuan penyembuh, dan Clyde juga pasti akan membantu. Apalagi Raja Raven pasti akan memanggil healer terbaik di dimensi sihir. Apalagi yang kau takutkan, Kena?"
Kena terdiam, tatapannya berubah kosong, namun keningnya mengernyit. Menandakan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu.
Romeo menghela napas, dia mengusap pipi Kena yang basah karena air mata. "Sudahlah, sebaiknya kau bersiap saja."
"Bersiap?"
"Iya," Romeo tampak ragu untuk melanjutkan, "Karena dua bulan lagi, ujian kelulusan kelas Senior akan dilaksanakan. Guru-guru telah menyepakatinya, sejak jauh hari."
***
"Tanda itu ..." Clyde menatap fokus, dia bahkan memakai kacamata sebagai alat bantu guna menajamkan penglihatannya. "Tidak salah lagi. Sejak kapan Sena mendapatkan luka ini?"
"Entahlah," Lexy mengedikkan kedua bahunya. "Aku juga tidak tahu."
Hari sudah berganti sore. Romeo, Hanz, dan Kena sudah pergi dari tempat itu--atau lebih tepatnya Romeo lah yang memaksa. Kena sempat bersikeras ingin tetap di sini dan menjaga Sena, namun Romeo memaksa Kena untuk beristirahat karena Kena memang baru saja bertarung pagi tadi.
Tepat setelah mereka pergi, Clyde datang memasuki ruangan. Clyde sengaja menunggu mereka pergi terlebih dahulu, baru datang menemui Lexy dan menjenguk Sena.
"Luka di leher Sena ini ...," Clyde menghela napas berat. Dia kembali meneliti luka bakar di leher Sena. Bentuknya seperti garis dengan lengkung di sekitarnya. Clyde memicingkan mata, merasa familiar dengan bentuk luka itu. Dia menyentuh leher Sena, memejamkan mata, mencoba menyalurkan kekuatan penyembuhnya. Saat membuka mata, luka itu masih ada di sana. Tidak tertutup meski Clyde sudah menggunakan kekuatan penyembuhnya. Seakan luka bakar itu telah permanen dan merekat di kulit Sena.
"Bagaimana?"
"Lukanya tidak beregenerasi," Clyde menyelipkan kedua telapak tangannya ke saku jaket. Dia memutar tubuhnya, menghadap sosok Lexy yang sedang duduk di kursi tak jauh dari ranjang tempat Sena berbaring. "Lexy, kau masih ingat tentang apa yang kita bicarakan 'tadi'?"
Lexy mengangguk. "Tentu saja. Kita baru membahasnya beberapa jam lalu."
"Tentang sihir Coctyus yang tidak bisa kita hilangkan kecuali Iblis itu mengeluarkan semua kekuatan penuhnya." Clyde menyenderkan tubuhnya ke dinding ruangan, wajahnya nyaris tanpa ekspresi. "Jika ada murid yang terkena sihir itu, maka tidak ada yang bisa kita lakukan."
Lexy tersentak, "Jangan katakan ..."
"Sayangnya, ini sesuai dengan yang kau pikirkan," Clyde menghela napas berat. "Rencana pertamaku gagal, dan Romeo mulai menyadarinya. Mau tidak mau, aku harus melaksanakan rencana kedua, dua bulan lagi."
Lexy terdiam. "Maksudmu ..."
"Ya, aku akan melaksanakan rencanaku tepat saat ujian kelulusan kelas senior."
***TBC***
AAAAAAAAA, GOMENASAIIIII
Vara niat update hari sabtu, TAPI VARA LUPAAAAAAAA.
Kemarin Vara nggak ada paketan sih :"v
Online mengandalkan hotspot dari Ibu tercinta wkwk.
Untung ada yang ngingetin dari message. ARIGATHANKS NAWANG-CHAN~♡♡
Btw, udah 10 hari ga up wkwk, dan chap tepat akan terjadi time skip. AAAAAAAAA KLIMAKSNYA SEBENTAR LAGI :((
Eh, tapi nggak juga sih. Masih sekitaran beberapa chapter lagi sebelum tamat. Semoga nggak terlalu alot.
Oke, next chap tebak-tebakan ditutup ya! Sebelum next chap, kalian masih diperbolehkan ganti jawaban.
Alasannya jangan lupa mwuehehee.
Ohiya, ada spin-off Alice PoV, baru aja vara publish tadi. Selagi menunggu story ini update, silakan baca itu~
Papayyyaaaa
Big Luv, Vara
🐣🐤🐥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top