Path-11 : Time Goes By

"Jadi, tuan putri hendak memberi tahuku bahwa tuan putri berhasil kembali ke masa lalu?"

Aku mengangguk, menyorot William, menatap kosong di manik hitam kelamnya. "Apakah ini yang kau maksud bahwa kau melihatku kembali ke masa lalu?"

Kepala pelayan setiaku menatapku sejenak, kemudian mengendikkan kedua bahunya. Lelaki berumur setengah abad itu meletakan nampan berisi cangkir teh hangat kepadaku, mempersilahkanku untuk minum. "Entahlah. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Sihir hitam yang menyumbat kekuatanku ini benar-benar menghalangiku untuk melihat masa depan lebih jauh."

Tanganku meraih cangkir teh hangat itu. Suasana di dalam ruang markas bawah tanah perpustakaan sentral memang hangat, jadi bisa sedikit menenangkan pikiranku yang kacau balau. "Berarti maksudmu ... ada kemungkinan aku kembali ke masa lalu lagi? Lebih jauh?"

"Mungkin saja," William beranjak duduk di sofa, menghadapku. "Aku sempat melihatmu, samar memang. Tapi aku yakin melihatmu kembali ke masa lalu."

"Masa sekarang?"

"Bukan," William menggeleng. "Benar-benar masa lalu. Aku tak tahu dimana dan kapan. Samar sekali aku melihatnya. Seperti saat kita menonton DVD yang sudah rusak. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Maafkan aku, putri."

"Tak perlu meminta maaf begitu," ujarku sembari menyeruput teh hangat. "William, kau tadi sempat bilang jika aku kembali ke masa lalu, maka aku tak akan bisa lagi kembali ke masa sekarang. Apa maksudmu?"

William berdeham pelan, "Sebenarnya kemampuan memanipulasi waktumu untuk kembali ke masa lalu itu terbagi menjadi dua, putri. Kembali ke masa lalu dan datang ke masa lalu itu dua hal yang sangat berbeda. Jika kau kembali ke masa lalu, kau benar-benar memutar roda waktu dan kembali ke masa lalu. Seperti halnya tuan putri kemarin, kembali ke beberapa menit yang lalu. Kamu menjalankan kembali waktu yang telah berlalu. Setiap kali kamu melakukan hal yang berbeda, maka kamu akan merubah masa depan. Berbeda halnya dengan datang ke masa lalu.

Jika tuan putri datang ke masa lalu, berarti tuan putri memang pergi dan datang dari masa depan. Kamu tak harus menjalani lagi kehidupan di masa lalu dan dapat kembali ke masa depan. Tapi ada yang perlu diwaspadai. Jika kamu melakukan sesuatu yang berdampak besar, maka tak menutup kemungkinan bahwa masa depan dapat berubah."

Aku termenung sesaat setelah mendengar penjelasan William. "Jadi ... yang kau lihat itu aku datang ke masa lalu, bukan kembali ke masa lalu?"

William mengangguk, "Benar."

"Ini rumit," ungkapku jujur. "Aku tak menyangka bahwa kekuatanku ini sangat berpengaruhi takdir."

"Itulah mengapa kau spesial, putri." William tersenyum penuh arti. "Kau dapat merubah takdir. Kau dapat memanipulasinya sesukamu. Kau memikul banyak harapan di pundakmu. Karena ... masa depan memang ada di tanganmu, putri."

Aku tertegun. Mendengar ucapan William membuatku mengingat masa-masa ketika aku bertemu Ayah, Ibu, dan Beth di taman kehidupan. Saat itu aku melihat bunga kehidupanku yang begitu berwarna. Aku tak memang masih tak mengerti mengapa bunga kehidupanku dapat lebih berwarna dibandingkan bunga kehidupan yang lainnya. Namun, aku tahu bahwa aku memang spesial. Memiliki kemampuan yang dapat memanipulasi waktu, menyimpan pedang cahaya, dan pemilik kekuatan es. Aku memang bukanlah penyihir biasa. Aku ... spesial.

Bolehkah aku menganggap diriku spesial?

Tapi aku tak pernah merasa seperti itu. Aku selalu merasa tertinggal. Masih banyak yang belum kupahami tentang dunia yang luas ini. Dan tugasku adalah ... mencari jawaban atas pertanyaan yang tersisa.

Hidup terlalu berharga untuk disia-siakan.

Bertanya memang penting, namun mencari tahu kenyataannya adalah hal yang jauh lebih bermakna.

Menjadi penyihir pemilik kekuatan itu ... adalah tugas yang berat.

"Sebaiknya kau kembali, putri," William tersenyum, menatapku hangat. "Besok ujian kenaikan tingkat, kan? Sebaiknya kamu kembali dan beristirahat."

Aku mengangguk patuh, lalu melirik arloji yang melingkari pergelangan tanganku. "Jadwal pemberangkatan kereta terbang terdekat juga sebentar lagi. Sebaiknya aku pergi sekarang."

"Apakah aku harus memerintahkan pelayan untuk mengirim kereta pegasus kemari?"

"Tidak perlu," aku menggeleng cepat, menolak halus. "Aku akan naik kereta terbang saja, itu lebih baik."

"Baiklah. Segala yang terucap dari mulutmu adalah perintah bagiku."

Setelah menghabiskan tehku aku beranjak berdiri. William mengantarku hingga ke pintu keluar perpustakaan sentral. Saat aku hendak melangkahkan kaki untuk pergi, ingatanku segera terhubung dengan sesuatu. Sontak, aku menoleh, menatap William yang masih memandangku. "Oh iya, hampir saja aku lupa. Ada yang ingin kutanyakan."

William menatapku heran. "Apa itu, putri?"

"William, apakah saat perang dua tahun lalu, kau berada di markas bawah tanah perpustakaan sentral sepanjang waktu?" tanyaku dengan hati-hati.

Lelaki dengan rambut yang sudah memutih itu mengangguk, "Seingatku begitu."

Aku menggigit bibir bawahku, "Kau benar-benar tidak pergi dari sana?"

"Tidak," William menggeleng. "Aku menggunakan mantra survival untuk bertahan hidup. Sesekali ada kawan lama yang datang dan membawakan bekal untukku."

Keningku berkerut, "Kawan lama?"

"Tenang saja, dia dapat terpercaya."

Aku termangut-mangut, mengangguk mengerti. "Kalau boleh tahu, siapa?"

"Namanya Folster, dia sekarang tinggal di desa yang berdiri di wilayah Kerajaan Timur. Hanya dia orang yang dapat kupercaya."

"Benar dia dapat dipercaya?" tanyaku meyakinkan. "Maksudku, bukannya aku tidak percaya atau apa. Tapi ... apakah benar ...?"

"Benar, putri. Aku sudah mengenalnya lebih dari tiga puluh tahun."

Kalau begitu, siapapun yang bernama Folster itu bukanlah orang jahat. Lalu, siapa orang yang berkemungkinan yang mengirimkan sihir hitam kepada William?

"Oh, menjelang perang, aku pernah beberapa kali keluar dari markas," ucap William cepat. Sepertinya dia baru saja mengingatnya. "Aku bertemu dengan para kepala pelayan lainnya untuk bertukar informasi. Aku juga sempat rapat bersama para raja."

"Begitu," sebuah bola lampu seperti bersinar terang di benakku. Kalau begitu, muncul banyak peluang yang bisa jadi pengirim sihir hitam kepada William. Dan lagi, mungkin saja dia juga yang telah menyebar sihir hitam di sekolahku. Sepertinya aku harus mengumpulkan alibi-alibi semua tersangka. "Kalau begitu terima kasih untuk informasinya."

William mengangguk, mengusap dagunya pelan. "Kalau perlu sesuatu, hubungi saja aku, putri."

"Baiklah, terima kasih."

***

Siang ini, dewan berkumpul di ruang dewan. Membahas serius tentang bencana yang tengah menimpa sekolah akhir-akhir ini. Rapat baru saja dimulai, dan kami semua sudah sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri.

Romeo berdeham keras, "Jadi, apakah kalian punya seseorang yang patut dicurigai sebagai tersangka?"

"Di sekolah?" tanyaku.

Romeo mengangguk, membuatku yang hendak menceritakan semua rencanaku langsung buyar seketika. Aku mengunci mulutku, menunggu momen yang tepat.

Hening. Tak ada yang menyuarakan pendapat mereka. Membuat Romeo menghela napas panjang.

"Kalau menurutku, murid di sini tidak ada yang mencurigakan," Ryan bersuara, "Kau tahu? Sejak perang, syarat untuk masuk ke sini tidaklah mudah. Latar belakang, kekuatan, informasi pribadi, semua harus diisi dengan lengkap. Belum lagi ujian masuknya yang terbilang sulit. Jadi, mustahil bagiku jika ada murid sini yang bekerja sama dengan sihir hitam."

Yang lain mengangguk menyetujui. Romeo mengerutkan keningnya, "Kalau begitu, pelakunya orang luar?"

"Itu kemungkinan terdekat," Hanz berpendapat, "Orang luar bisa jadi siapa saja, kan? Menyamar sebagai tamu undangan, guru, dan orang berkunjung."

"Karena guru terlihat mustahil, maka kita buang kemungkinan itu. Orang berkunjung juga tidak mungkin, karena sistem keamanan di sini sungguh ketat. Kita singkirkan dua kemungkinan itu," Val tampak sedang menyoret-nyoret kertas. "Berarti tamu undangan. Siapa saja akhir-akhir ini tamu yang diundang?"

Aku mengangkat tanganku, ingin berkata. "Hei, aku ..."

"Beberapa raja, bangsawan kehormatan, beberapa prajurit, dan murid berprestasi dari sekolah lain," Flo menjawab, "Jika kemungkinannya raja, itu mustahil. Untuk apa raja mau menghancurkan dimensi sihir, kan? Lagipula, hei, kita anak para raja. Masa kita mau mencurigai satu sama lain?"

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali, "Aku ..."

"Benar, maka itu tak mungkin," Yura memotong ucapanku. Sepertinya dia tak sadar bahwa aku ingin berbicara. "Jadi kemungkinan tersisa hanyalah bangsawan kehormatan, prajurit, dan murid dari sekolah lain. Menurut kalian, mana yang alibinya kurang?"

Aku ingin berkata, tapi mereka tidak mendengarkanku.

"Bangsawan mungkin. Tapi untuk apa mereka menghancurkan dimensi tempat dimana mereka tinggal?" Val mengacak pelan rambutnya.

"Kalau prajurit, mungkin saja. Murid juga bisa jadi. Kita tak pernah tahu alasan apa yang dimiliki para penjahat," ujar Romeo.

"Aku .."

"Kalau begitu semua bisa jadi tersangka," sahut Ryan. Dia tampak jengkel. "Siapa sebenarnya pelakunya? Menyusahkan sekali."

Sena yang sedari tadi memilih diam berdeham, membuat seluruh pasang mata kini menatapnya.

"Kau tahu sesuatu, Sena?" Romeo bertanya.

Sena menatap lelaki itu dengan sorot malas, "Tidak, tapi Kena tahu."

Kini, seluruh pasang mata menatapku. "Kena, kenapa tidak bilang dari tadi?" omel Romeo.

"Aku dari tadi ingin bilang, tapi tidak ada yang mendengarkan," seruku dengan jengkel. Aku memutar bola mataku, malas.

Yura berkedip, "Oh, pantas saja kau tadi tampak kesal."

"Yasudah, cepat katakan," desak Hanz. "Kita tidak memiliki banyak waktu."

Aku menghela napas panjang. Manik diamond-ku menatap satu per satu netra mereka lekat-lekat. "Apakah kalian ingat, William adalah orang pertama yang terkena sihir hitam dua tahun lalu?" Setelah melihat mereka semua mengangguk, akupun melanjutkan, "Mengingat dia selalu berada di markas bawah tanah perpustakaan sentral sepanjang waktu, maka mustahil jika dia bisa terkena sihir hitam. Kecuali, dengan dua kemungkinan.

Pertama, ada orang yang berhasil masuk ke dalam dan memberikan William sihir hitam. Kedua, William keluar dari tempat itu. Tadi pagi aku sempat bertanya kepada William, dan sepertinya kemungkinan pertama itu sangat mustahil. Maka, aku memilih opsi kedua."

"Memangnya William sempat meninggalkan markas?" tanya Romeo, tampak terkejut.

Aku mengangguk, "William meninggalkan markas untuk bertemu dengan kepala pelayan lain dan bertukar informasi. Dia juga rapat bersama para raja. Karena raja memiliki alibi yang sangat kuat, jadi kita singkirkan," kupandangi satu per satu ekspresi yang berbeda-beda dari raut wajah mereka. "Maka, yang tersisa hanyalah kepala pelayan."

"Ini masuk akal," ujar Hanz. "Menjadi kepala pelayan itu lebih mudah dibanding masuk ke sekolah ini. Hanya dengan mencalonkan diri, mengikuti tes, lalu upacara. Sesederhana itu."

"Tapi, bagaimana dengan kepala pelayanku yang sudah mengabdi bahkan sejak zaman pemerintahan nenekku?" Flo angkat suara. "Apa dia harus dicurigai?"

"Tidak semua harus dicurigai," Ryan tampak berpikir keras. "Untuk menyelinap dan menjadi kepala pelayan yang baru, maka kepala pelayan yang lama harus disingkirkan. Yang mana berarti, kepala pelayan yang baru mengabdi kurang dari sepuluh tahun harus dipertanyakan."

"Di Kerajaanku, kepala pelayan sudah berganti karena kepala pelayan yang lama sudah terlalu tua untuk mengatur," ucap Yura.

"Kepala pelayan kerajaanku juga berganti. Karena yang lama gugur saat perang dua tahun lalu," ujar Val. "Agar cepat, angjat tangan saja."

Satu, dua, tiga, empat. Ada empat kemungkinan.

"Baiklah, kita sudah memperkecil kemungkinan," Romeo bersedekap. "Kalau begitu, kita harus memata-matai mereka, dan mencari alibi terlemah."

Kami mengangguk menurut.

"Baiklah, kalau begitu rapat selesai." Romeo menutup rapat hari ini. "Dan Sena, aku ingin bicara sebentar denganmu. Bisa?"

Sena mengangguk pelan.

"Oh, aku juga ingin bicara denganmu dan Sena," Hanz berujar. Lelaki berambut biru muda itu menatap kami satu per satu. "Bisa kalian keluar dulu? Kami butuh privasi."

"Baiklah," Yura beranjak berdiri, melangkah santai ke ambang pintu. "Tapi jika ada masalah, jangan segan untuk memberi tahu kami."

Hanz tersenyum, "Tenang saja."

"Ayo, Kena."

Aku beranjak berdiri. Menoleh sesaat, sebelum akhirnya ikut pergi keluar dari ruangan dewan.

***

"Jadi, Sena," Romeo menghela napas berat, menatap temannya itu dengan tatapan tak enak hati. "Apakah kamu tahu untuk apa aku berbicata denganmu?"

"Iya," Sena menjawab santai. "Kau ingin aku membuatkan kristal penetral untuk satu sekolah?"

Hanz yang berdiri di samping Sena melotot tak percaya, "Kau gila? Kekuatanmu akan melemah! Bahkan, mungkin saja efeknya tak dapat terasa!!"

"Tapi, tidak ada pilihan lain, Hanz." Romeo menatap putus asa, membuat Hanz tertegun. Seumur hidupnya, Hanz tidak pernah melihat seorang Romeo bisa seputus asa sekarang. "Kita sudah mencoba semua jenis mantra kuno, dan tidak berhasil. Satu-satunya jalan untuk mencegah banyaknya murid yang terkena sihir hitam adalah dengan benda yang dibuat langsung oleh pemilik kekuatan penetral murni, yaitu Sena."

"Apakah kau sudah memikirkan dampaknya, Romeo?" Hanz menatap sang ketua lamat-lamat. "Kekebalan fisik Sena dapat menurun, dan kekuatan netralernya akan melemah. Mungkin kemampuannya bisa kembali kuat, tapi itu membutuhkan waktu. Mungkin bisa memakan hingga bertahun-tahun. Apakah kalian yakin?"

Romeo menatap Sena, "Semua kuserahkan kepada Sena."

Hanz kini beralih menatap Sena, "Bagaimana?"

Lelaki bersurai merah itu mengangguk tanpa pikir panjang. "Bukan masalah. Apapun resikonya, aku siap."

Romeo beranjak berdiri dari kursinya, kemudian berjalan mendekati Sena, lalu menepuk pundak lelaki itu. "Kau memang baik hati, Sena. Terima kasih."

"Rela mengorbankan kekuatan demi orang lain, adalah sesuatu yang mulia." Hanz menatap Sena lekat. "Terima kasih."

Sena menggeleng, "Itu tugas seorang pemimpin, kan?"

"Iya," Romeo menatap sendu, "Kau benar."

Karena atmosfer ruangan yang mendadak menjadi mencekam, Sena berusaha mengalihkan perhatian. Lelaki itu berdeham pelan, "Hanz, kau bilang ingin membicarakan sesuatu."

"Oh," Hanz yang tampak tersadar dari lamunannya karena teguran Sena, langsung mengeluarkan sesuatu dari pocket-nya. Ia menyerahkan seberkas dokumen kepada Romeo. "Aku menemukan beberapa murid yang tidak memiliki latar belakang. Sebagian besar, berasal dari panti asuhan."

"Ah, ini bisa dimasukan ke dalam daftar tersangka," ujar Romeo sembari menerima dokumen dari Hanz. "Terima kasih, akan aku cek nanti malam."

"Baiklah, kalau begitu aku kembali ke kelas dulu," Hanz menghela napas panjang. Pandangannya beralih kepada Sena. "Kau juga, Sena. Besok kau ada ujian kenaikan tingkat, kan? Kembalilah dan berlatih. Maaf telah menyita waktumu."

"Iya," ucap Sena. "Kalau begitu, sampai nanti."

"Sampai nanti."

***TBC***

A/N

WKWKWKWKWKKKK kesambet apa Vara sampe nulis chapter sepanjang ini?

Chapter ini mengandung misteri, jadi secara ga sadar Vara semangat ngetiknya!

Penuh dengan hipotesis dan mengandalkan otak, hmm.

Untuk bocoran yah, Vara itu tipe sadis yang suka menyiksa karakter.

Jadi silahkan ditebak, karakter mana yang akan Vara siksa.

Antagonis? Bukan. Prontagonis, kok :)

Bisa jadi Kena, Sena, Yura, dll.

Alice? Hmmm. Nggak. Menurut Vara, Alice belum Vara siksa. Apaan le cuman nyegel kekuatan udah Vara siksa? Kalian belum mengenal Vara hohoho.

Di SOM aja Vara nyiksa Kena sampe berchapter-chapter, Alice itu belum seberapa :3

Iya, bisa jadi karakter yang akan Vara siksa ini bakal tersiksa banget, hwuehehehe.

Silahkan ditebak.

Big Luv, Vara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top