Ch13; Do I Love You?

Setelah baca, jangan lupa untuk tinggalkan jejak, ya!


.

.

Geo sedikit lebih lega ketika bus yang ditumpanginya akhirnya sampai di depan sekolah dan terlihat gerbangnya masih terbuka.

Padahal tadi di bus ia sudah mempersiapkan alasan yang cukup masuk akal jika dibawa ke ruang piket guru karena kemungkinan telat masuk.

"Untunglah belum telat."

Karena tadi Geo sudah membayar saat bus jalan, ia langsung saja turun dan berlari untuk masuk ke sekolahnya.

Tapi ia langsung terjingkat kaget ketika mendengar seseorang memanggilnya dari arah samping.

"GEO!"

Anak redaksi itu langsung menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, di mana di depan pos satpam ada seorang pemuda yang sangat ia kenali.

"Ardan?"

Sang atlet basket tersenyum lebar ketika berjalan ke arahnya. Alis Geo naik sebelah karena heran dengan tingkah Ardan saat ini.

"Pagi."

"Pagi." Jawab Geo dengan masih memikirkan keanehan yang ada di dalam diri Ardan.

"Elo dari tadi di sana, Dan?"

"Ya."

"Ngapain?"

"Titip helm." Jawabnya, "lo emang gak tahu kalau pos satpam juga terima penitipan helm?"

Geo langsung menggeleng. Tentu saja ia tidak tahu. Dirinya tidak pernah membawa motor, informasi ini baru pertama kali ia ketahui.

Ah, sebenarnya itu akal-akalan Ardan saja. Dia memang sering menitipkan helm ke pos satpam, tapi tidak sampai menunggu lama.

Ia sengaja berada di pos satpam dalam beberapa waktu karena menunggu Geo di sana. Kenapa Ardan yakin sekali jika anak redaksi itu masih belum berangkat?

Tentu saja karena si Laila yang tiba-tiba mendatanginya dan bertanya tentang Geo karena belum ada di kelas.

Otomatis, Ardan tahu bahwa anak itu belum berangkat dan berniat untuk menunggunya di depan –tepatnya di pos satpam.

"Ke kelas?"

"Hm." Geo melihat jam tangannya. 3 menit lagi bel masuk kemungkinan akan berbunyi, ia harus cepat-cepat untuk sampai kelas.

"Jangan cepat-cepat, Ge. Santai aja napa."

"Ini udah hampir masuk, bagaimana bisa santai?!"

Bukannya kesal karena Geo menjawabnya dengan ketus, Ardan yang ada di sampingnya justru senyum-senyum tidak jelas seperti orang gila. Namun, dengan kaki panjangnya, ia masih bisa mengimbangi langkah Geo yang terburu-buru.

"Lo ngapain gak belok? Kelas IPA di sana." Geo menunjuk belokan di koridor tersebut, di mana arah itu memang menuju kelas IPA.

"Gue mau anterin lu ke kelas. Jadi muter."

Geo terdiam sebentar untuk mencerna ucapan dari Ardan yang sedikit rada ngaco ini.

"Gak perlu, deh kayaknya."

"Ya gak papa. Sekalian olahraga, kan?" Ucap Ardan dengan tidak menurunkan senyumnya, "yok lanjut jalan."

"Aneh."

Meski dikatai aneh oleh Geo, Ardan tidak peduli dan masih terus berjalan berdampingan dengan pemuda itu.

Beberapa kali siswa yang mengenal Ardan memang menyapanya dan disuruh untuk berbelok menuju kelas IPA. Tapi si Ardan terlalu santai menjawabnya dengan,

"santai aja. Gue anterin Geo dulu, takut ilang."

Sebenarnya Geo sudah sangat malu sepanjang koridor karena Ardan meracau tidak jelas ketika disapa oleh siswa lainnya.

Bahkan Geo sampai harus setengah berlari untuk bisa sampai ke kelasnya yang berada di ujung belakang sana.

Akhirnya, dirinya sudah berada di kelas. Untuk mencegah sang atlet basket itu ikut masuk, ia berbalik dsan Ardan dengan terkejutnya langsung mundur karena jaraknya dengan Geo terlalu dekat.

"Mau apa? Gue udah sampai. Sana balik."

"Ih kejamnya." Ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal, "setidaknya liat lo masuk sampai duduk ke bangku lah."

Geo menghela napas, ia lalu melipat kedua tangannya di depan dada, "lo kesambet apa, sih, Dan?"

"nothing."

Setelah mendengar ucapan dari Ardan, akhirnya Geo sudah tidak peduli lagi dan masuk ke dalam kelas.

Ia mengabaikan Damar yang menanyakan keberadaan Ardan di depan pintu kelas.

"Dia anterin lo ke kelas?"

Geo hanya mengedikkan kedua bahunya saja –cuek. Ia tidak ingin memusingkan tingkah Ardan yang saat ini terlihat cukup aneh.

****

Geo mengira bahwa sikap aneh Ardan sudah berakhir tadi pagi. Tapi siang ini, sang atlet basket sudah ada di depan kelasnya sambil duduk di ambalan kelas sambil meminum es cekek.

Sesekali, Ardan menyapa balik beberapa siswi IPS yang menyapanya dengan centil. Itu membuat Geo memutarkan kedua bola matanya.

Geo mencoba pura-pura tidak melihat Ardan yang masih sibuk meminum es cekeknya sampai tandas.

Tapi ternyata misi untuk melarikan diri langsung gagal ketika Laila memanggilnya dari ujung koridor hingga Ardan menoleh dan beranjak dari duduknya.

"Haduh..." Keluh Geo karena dua orang yang sedang tidak ingin ia temui, sekarang malah berjalan ke arahnya.

"Ge, main, yuk." Ajak Laila.

Tapi dengan segera, Ardan menepuk bahu gadis itu dan membalas ucapan Laila, "enak aja. Gue yang udah nungguin Geo dari tadi di sini. Dia mau main sama gue."

Sepertinya Laila enggan percaya dengan Ardan, jadi ia abaikan dan memandang anak redaksi itu untuk menanyakan kebenarannya, "emang, iya, Ge?"

Geo menggeleng, "gak. Gue mau pulang, kok."

Laila melirik ke arah Ardan dan menjulurkan lidahnya main-main ke atlet basket tersebut. Tentu saja Ardan semakin kesal, ia membuat gerakan pura-pura memukul gadis tersebut.

"Ge, gue mau ajak lo main."

Geo tidak menjawab, ia hanya menghela napas sambil memandang Ardan dengan tatapan bosannya, "Gak mau."

Senyuman Ardan langsung menghilang seketika setelah mendengar penolakan dari Geo tanpa memikirkan perasaannya.

"Astaga, Ge. Kejem banget nolaknya."

"Ya terus gue harus gimana?" Tukas Geo dengan kesal, "orang emang gak mau."

"Iya. Lo jangan maksa –"

"Eh, lo gak usah ikut campur." Ardan mencoba memotong ucapan Laila yang justru mengompori Geo agar menolak ajakan Ardan.

"Gue sebenarnya pengin cerita ke elo. Ayolah. Gue gak ada temen buat cerita."

"Perasaan temen lo banyak." Jawab Geo. Dirinya masih kekeh untuk menolak ajakan Ardan.

"Mereka semua sibuk. Ada keperluan masing-masing."

"Ya Geo juga sibuk. Dia mau main sama gue –"

"—sst!" Jari telunjuk Ardan diarahkan ke depan Laila agar gadis itu diam dan tidak mengganggu perbincangannya dengan Geo. "Lu mending pergi atau diem aja."

Laila tentu saja langsung mengerucutkan bibirnya kesal sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada.

"Gimana, Ge?" Tanyanya lagi. Sang atlet basket ternyata masih berharap jika Geo mau diajak main olehnya. "Ayolah...Cuma muter-muter aja, kok."

"Aku gak bisa kalau pulang terlalu sore."

Tangan kanan Ardan langsung terangkat dan jarinya membentuk huruf V. Ia meneggakkan tubuhnya dan berkata, "gue janji, bakal nganterin lo sebelum maghrib."

Geo melihat jam tangannya. Masih jam 2 siang, sih. Lagi pula hari ini dia tidak ada kerjaan, PR juga sudah selesai semua.

Ia melirik Laila, dan dirinya langsung merasa tidak enak pada gadis itu bila menyetujui ajakan dari Ardan. Tapi dia juga sudah pernah main sama Laila, sih waktu itu.

"Uhm... Laila, sori ya. Mungkin lain kali. Gue mau main dulu sama Ardan."

"Ge –" Laila terlihat tidak percaya bahwa dirinya tertolak begitu saja, "wah...tega banget."

"Sori Laila, hari ini lo gak beruntung." Secara refleks, Ardan memegang pergelangan tangan Geo dan menariknya untuk segera berjalan dan menuju ke parkiran.

Hal tersebut tentu membuat Laila menaikkan sebelah alisnya karena antara Geo dan Ardan memang terlihat sekali ada hal yang cukup mencurigakan.

Bagaimana bisa Ardan menarik Geo semudah itu, padahal mereka sama-sama cowok? Terus Geo juga diem aja pula ditarik gitu, kayak pasrah.

Laila terdiam sejenak. Ia menekuk kedua tangannya di depan dada, kemudian sebelah tangannya terangkat untuk mengetuk-ngetuk jari telunjuknya sambil memikirkan sesuatu.

Siswi dari kelas IPA 2 itu langsung menahan napasnya dengan keras ketika menemukan satu kesimpulan yang membuatnya tiba-tiba terkejut.

"Jangan-jangan Ardan –Ha? Serius?!"

Laila menoleh ke belakang, di mana Ardan dan Geo sudah menghilang di ujung koridor dan telah sampai di parkiran motor.

****

"Ini helmnya siapa?"

"APA?!" Karena berada di atas motor yang melaju, Ardan sama sekali tidak mendengar ucapan Geo yang mengatakan sesuatu padanya.

"Ini helmnya siapa??" Tanya Geo kembali dengan nada yang lebih tinggi.

"Hooo....Daren!"

Geo langsung merasa tidak enak karena Ardan harus meminjam helm milik temannya. Jika helm ini dipakai olehnya, lalu anak itu memakai helmnya siapa?

"Terus Daren pake helmnya siapa buat pulang?"

"Rumahnya deket dari sekolah, lewat jalan tikus juga sampai. Tenang aja."

Dulu Ardan juga bilang gitu waktu nganterin dia pulang. Ini membuat dirinya tidak enak. Tapi sudah terlanjut, ya sudahlah.

"Kita mau ke mana?" Tanya Geo lagi dengan suara yang cukup keras.

"Lo mau ke mana?"

Sebelah alis Geo langsung naik begitu Ardan berkata demikian. Gimana, sih, katanya mau ajak dirinya pergi, malah nanya balik.

"Ya, kan, lo yang ajak." Balasnya dengan nada ketus, "gimana, sih?" Kalimat terakhir Geo katakan dengan berbisik agar Ardan tidak mendengarnya.

"Ke alun-alun kota, mau? Di sana banyak jajan. kita jajan aja di sana."

Tiba-tiba Ardan melambatkan laju motornya, mungkin sambil menunggu Geo berpikir. Setelah beberapa saat, akhirnya Geo menyetujuinya juga.

Di balik hlm full facenya, Ardan tersenyum senang karena Geo setuju atas usulannya. Akhirnya ia bisa berduaan dengan Geo tanpa ada Laila, Damar, Ojan atau Daren.

Tunggu dulu...

Memang kalau sudah berduaan mau ngapain? Mereka aja di alun-alun kota. Rame pula.

Ardan langsung menggeleng-gelengkan kepalanya karena otaknya terus-menerus berpikir hal-hal yang membuatnya pusing.

"Lo kenapa, Dan?"

"Eh?" Ia terkejut ketika Geo tiba-tiba bertanya seperti itu. "Gak apa-apa." Ardan segera mencari alasan agar Geo tidak merasa penasaran, "ini tadi kayak bunyi sesuatu di telinga gue."

"Udah gak papa?"

"Gak kok." Untuk mengurangi canggungnya, Ardan tertawa kaku di akhir ucapannya.

Tidak terasa, mereka berdua sudah sampai di alun-alun kota. Ardan memakirkannya di pinggir alun-alun dekat pendopo pemerintahan kota. Ia menyuruh tukang parkir untuk mendekat.

"Titip, bang. Helmnya jangan sampai hilang, mahal, nih."

"Siap, bos!" Ucap sang juru parkir.

Ardan mengeluarkan uang lima ribu dari dompetnya dan diserahkan pada abang-abang berompi orange. "Nih. Titip, loh, bang."

"Beres."

Ardan mengedikkan kepalanya ke arah Geo untuk mulai jalan dan meninggalkan area parkir. Mereka berdua menuju ke tempat para pedagang yang mangkal di sana.

Karena masih siang, para penjual memang tidak begitu banyak. Tapi menurut Ardan, ini sudah sangat ramai dan lengkap. Ada tukang siomay, batagor, pentol, leker, cilok, kebab, dan masih banyak lagi.

Ardan melirik ke arah Geo yang sibuk melihat beberapa pedagang dengan dahi mengekerut. Entah kenapa, Ardan melihat kalau Geo yang sedang kebingungan terlihat sangat lucu.

Kulitnya yang kuning langsat jadi tambah pucat karena terkena sengatan matahari. Pipinya rada memerah karena pantulan sinar UVnya.

Ah...

I think he's cute tho even Geo is a boy –Ardan langsung berhenti ketika pikiran tersebut melintas di otaknya. Dirinya berdeham dan berkedip beberapa kali, takut kalau dirinya sedang kecapekan atau apa karena bisa berpikir demikian.

"Dan, lo oke?" Geo yang berdiri beberapa langkah di depannya menoleh ke belakang dengan tatapan penasaran.

"—uhm... ya—oke oke..." Ia mencoba meneguk ludahnya karena tiba-tiba kerongkongannya kering. "Jadi mau beli apa? Biar gue yang traktir."

"Eh, gak usah!"

Geo merogoh saku celana seragamnya dan mengeluarkan uang 50ribu-an dari dalam kantongnya.

"Gue masih ada duit, nih."

Ardan berdecak sebal. Ia mengambil uang tersebut dari tangan Geo dan memasukkan kembali uang tersebut ke saku celana anak redaksi tersebut.

Sang atlet basket mengedikkan kepalanya ke arah penjual jus jeruk. "Haus, kan? Kita minum dulu."

Geo tidak berkomentar apa-apa. Anak itu hanya mengekori Ardan yang berjalan menuju gerobak jus jeruk.

"Dua, bang."

"Oke." Abang penjual jus jeruk itu menghentikan diri untuk memotong jeruk ketika ia teringat akan sesuatu, "pake gula, mas?"

Ardan yang mendapat pertanyaan tersebut, menoleh ke belakang untuk menunggu jawaban dari Geo. Anak redaksi itu diam sejenak karena masih mencerna situasi sekarang. Beberapa detik kemudian, ia langsung menjawab.

"Pake dikit aja."

"Samain aja, bang." Ucap Ardan menimpali. Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya jus tersebut sudah siap dan Ardan memberikan salah satunya pada Geo.

"Mau jajan apa lagi, Ge?" Tawar Ardan pada anak redaksi tersebut. Geo terlhat diam dan tidak mengatakan apa-apa. Tapi kedua matanya seperti sedang melihat satu per satu gerobak jualan yang ada di sekitar sana.

"Bingung, Dan. Banyak banget." Ucapnya sambil menggaruk rambutnya yang sudah sedikit lebih panjang.

"Siomay mau?"

Geo tidak langsung menjawabnya, tapi sedetik kemudian ia mengangguk dan berjalan menuju gerobak siomay yang berwarna coklat di samping kursi semen alun-alun.

"Bang, dua, ya."

"Eh." Geo tiba-tiba bersuara, "ini gue bayar sendiri, ya?"

"Halah." Ardan mengibas-ngibaskan sebelah tangannya, "ini gue semua yang traktir. Uang lo disimpen aja."

"Tapi –"

" –Gak usah tapi-tapi."

Ya udah deh. Pikir Geo. Ia juga tidak memiliki jatah uang banyak untuk sekadar jajan seperti ini. Ia masih lebih memilih membelikan jajan untuk kedua adik sepupunya dari pada menggunakan uangnya untuk dirinya jajan.

Benar juga... Ia harus membelikan beberapa makanan untuk adiknya nanti.

Geo sudah berniat, setelah makan siomay ini, dirinya akan membelikan beberapa makanan untuk kedua adik sepupunya.

Apalagi Nathan yang sangat suka kebab sama leker. Jika ia belikan, adik bungsunya itu pasti akan sangat senang.

Untuk William...

Geo meletakkan jari telunjuknya di dagu dan mengetuk-ngetuknya sembari berpikir jajan apa yang cocok untuk adik pertamanya itu.

Masalahnya, dia jarang sekali melihat William jajan. Jika memang jajan pun, biasanya mie ayam yang ada di depan gang kompleks.

"Apa ya?" Gumam Geo, dan itu suksws membuat Ardan yang ada di sampingnya langsung menoleh.

"Kenapa, Ge?"

"Eh?" Geo malah kaget karena suara Ardan membuat dia berhenti dari lamunannya.

"Ada apa? Kurang jajannya?"

"Enggak. Gue Cuma pengin beliin adik-adik gue jajan nanti."

Ardan mengerutkan dahinya setelah mendengar ucapan Geo. Ini adalah hal baru yang ia dengar dari Geo –bahwa anak redaksi itu memiliki adik yang lebih dari satu.

"Lo punya adek?"

"Ya." Jawabnya, "adek sepupu. Ada dua." Geo melanjutkan ucapannya lagi, takut nanti terjadi salah paham.

"Hooo... anak tantemu?"

Geo mengangguk. Ia masih memandang beberapa gerobak jualan untuk memikirkan jajanan yang cocok untuk William.

"Pilih saja jajan buat dua adikmu itu, nanti kubayarin."

Haduh... Dalam hati Geo mengeluh karena ia sudah keceplosan. Setelah mendengar pembicaraannya tadi, sudah pasti Ardan mau membelikannya lagi.

Iya Geo tahu, jika melihat dari tampilan dan gaya hidupnya, Ardan memang dari kalangan orang mampu. Uang sakunya pasti banyak.

Belum lagi uang hasil turnament basket yang sering ia ikuti, sudah pasti banyak dana masuk ke kantongnya karena prestasinya itu.

Geo menghela napas karena merasa tidak enak. Mungkin dirinya tidak akan bisa membalas semua pemberian Ardan untuknya. Mulai dari kado hoodie, jajan, hingga terkadang mengantarnya pulang.

"Ayo buruan pilih. Tapi terlebih dulu, pilih jajan buat lo dulu."

Ya sudah, lah... pikir Geo. Lagi pula, Ardan memang anaknya baik dan tidak neko-neko. Jika dirinya ada uang, mungkin akan mengajak atlet basket itu makan di suatu tempat. Anggap aja timbal balik.

"Kan udah ada siomay" Tunjuknya pada bungkusan tas plastik yang ada di tangan kiri Ardan.

"Masih kurang, lah." Keluh Ardan, "setelah kita beli jajan lagi, kita duduk di sana." Tunjuk Ardan pada sebuah bangku semen yang ada di bawah pohon dekat TV plasma raksasa yang ada di alun-alun.

"Risol boleh." Akhirnya Geo mau mengutarakan keinginannya tanpa merasa sungkan. Ardan langsung nyengir lebar. Tanpa berkata apa-apa, pemuda jangkung itu berjalan menuju gerobak yang menjual risol dan segera memesannya.

.

.

.

"Itu nanti buat adikmu. Sekarang kita makan."

Geo kesulitan untuk duduk karena kedua tangannya penuh dengan berbagai makanan. Tidak menyangka juga setelah membeli risol, Ardan malah menyuruhnya membeli makanan untuk kedua adiknya sekalian.

"Makasih, Dan. Ini banyak banget sebenarnya."

"Sekalian biar tante dan pamanmu ikut makan juga."

Mendengar kata paman, senyuman Geo langsung menghilang. Mau bawa makanan sebanyak apa, jika yang membawa adalah dirinya, sang paman tidak akan mau menyentuh makanan tersebut.

Merasa suasana langsung berubah, Ardan langsung mengalihkan topiknya. "Wah risolnya enak. Ini bener-bener smoke beef mahal nih."

Perhatian Geo langsung tralihkan. Pemuda itu langsung mengambil satu risol dan memakannya.

Ah...benar, pikirnya. Risolnya enak.

"Sebenarnya Weekend kemarin gue mau ajak lo main, Ge. Tapi malah gue bangun sore."

Geo yang sedang minum jus jeruknya langsung berhenti dan mengelap sisa air jus yang ada di sekitar mulutnya.

Jujur pemandangan tersebut membuat Ardan sedikit terkejut dan terdiam. Bagaimana bisa tetesan aor yang merambat ke dagu seorang lelaki seumurannya, malah terlihat seksi?

Ardan kembali menegukkan air liurnya dan mengambil nafas dalam-dalam agar pikirannya menjadi jernih. Ia pun menghadap ke depan –tepatnya ke arah lapangan alun-alun dan kembali meneruskan memakan risol.

"Ah, kalau ajak main pas weekend kemarin juga gue gak bisa."

"Kenapa?"

"Gue bantu paman di pasar."

Ardan langsung memasukkan sisa risol yang ada di tangannya dan segera menelannya dalam waktu cepat. Ia menoleh ke arah Geo dan bertanya, "di pasar, lo gak diapa-apain, kan?"

Bukannya menjawab, Geo malah mendengkus tertawa. Ia kembali meminum jusnya dan menggeleng, "ya dimarahi, sih. Sebentar. Itu juga karena ada ibu-ibu pembeli yang cegah paman mukul gue."

"Serius? Paman lo sampe mau mukul lo?"

"Yaa...untungnya ada ibu-ibu tersebut yang nolongin."

Ardan langsung berpikir ucapan kakaknya, di mana kakaknya khawatir jika pamannya Geo bisa bertindak lebih jauh lagi. Sebab, di tempat umum saja berani bentak-bentak dan hampir memukulnya, apalagi jika di rumah?

"Apa lo gak ada saudara lain, Ge?"

Geo belum menjawab, ia menunduk dan tersenyum kaku. Tapi Ardan merasa bersalah karena menanyakan hal tersebut. Ia takut jika pertanyaannya justru menyakiti Geo.

"Eh, sorry. Gak dijawab juga gak apa-apa."

"Gak ada tempat lain, Dan. Makanya gue bertahan di rumah itu."

Untuk mencairkan kekakuannya itu, Geo meminum kembali jusnya dan menghela napas dengan suara yang cukup keras.

Bahkan Geo tidak sadar jika sedari tadi, Ardan menatapnya dengan pandangan peduli.

"Beruntung waktu itu ada ibu-ibu dan kakak yang baik. Jadi gue gak malu dipukuli paman di pasar."

Ardan mendengar dengan seksama ucapan Geo itu. Ia tidak menyela ketika pemuda itu berbicara, meski ia tahu yang dimaksud Geo adalah ibu dan kakaknya yang kemarin bertemu di pasar.

"Kakak itu juga baik. Dia sampai-sampai ngasih nomor hpnya ke gue. Katanya kalau butuh apa-apa, bisa hubungi dia."

Ardan masih mendengarkannya meski hatinya tiba-tiba panas. Bahkan minuman jus jeruk yang sangat dingin ia minum sampai habis –tapi dadanya masih terasa terbakar.

"Gue jadi pengin punya abang. Pasti enak, ada yang lindungi."

Kali ini, Ardan terbatuk dan menepuk dadanya beberapa kali. Melihat itu, Geo juga ikut menepuk-nepuk punggung Ardan dengan pelan.

"Lo gak apa-apa, Dan?"

Ardan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dirinya masih sibuk untuk mentralisi diri dari batuknya.

"Lo tau?" Ucap Ardan setelah tenang dan tidak batuk lagi, "kakak-kakak yang lo maksud itu, itu abang gue."

"What?"

"—dan ibu-ibu yang nolongin lo, itu bunda gue."

Geo tidak tahu harus merespon apa, dirinya hanya menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal karena bingung.

"Orang yang lo maksud, si Rayan, kan?"

Kali ini kedua mata Geo terkejut, karena awal tadi kemungkinan besar Ardan hanya salah ngomong. Tapi ketika menyebutkan nama 'Rayan', ia terkejut.

"Jadi dia abang lo?"

Ardan mengangguk untuk menjawabnya.

Geo sungguh tidak tahu, kenapa dirinya malah dikelilingi oleh orang-orang yang saling berhubungan seperti ini? Mana tahu jika Rayan itu kakaknya Ardan.

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top