Ch 8; Focus on Your Future
Jangan lupa, setelah baca wajib vote dan komen ^^ Happy Reading!
Pria paruh baya itu berteriak kesal saat ia tersandung sebuah sepatu yang ada di dekat tangga menuju dapur.
Pak Abim, pria paruh baya itu segera mengambil sepatu yang membuatnya tadi kesandung dan meleparkannya secara asal.
Beruntung, di depan sana tidak ada orang. Tapi sang istri yang baru pulang dari tempat kerjanya, langsung kaget ketika baru membuka pintu, tiba-tiba ada sepatu yang terlempar.
"Kamu melempar apa, Yah?"
"Sepatu sialan!"
Ibu dua anak itu langsung melepaskan alas kakinya dan mencoba untuk menuju ke titik sepatu yang tadi suaminya lempar.
"Loh, ini kan sepatunya Geo, Yah?"
"Oh... jadi punya anak sialan itu?" Gigi Pak Abim langsung bergemelutuk karena kesal.
"Ayah!"
"Apa?" Pria paruh baya itu meletakkan kedua tangannya di pinggang dan menatap sang istri dengan nyalang. "emang dia pembawa sial di keluarga ini." Setelah itu, Pak Abim mengambil kursi dan duduk di ruang makan.
Ia mencoba meredakan amarahnya dengan meminum air yang sudah ada di meja. Beberapa menit, pasangan suami-istri tersebut terdiam.
Lalu, bu Hana mencoba mendekat ke arah sang suami dan duduk di salah satu kursi meja makan tersebut.
"Ayah..." Panggilnya dengan pelan, berharap sang suami mampu mengalihkan perhatian kepadanya.
"Geovany adalah anak dari kakak kandung bunda. Dia yang dulu membantu kita di masa-masa sulit saat kita baru memiliki William. Ayah ingat?"
Pria paruh baya itu sama sekali tidak memandangnya. Pak Abim terdiam menatap tembok yang ada di ruangan makan tersebut.
"Kini Geo tidak memiliki siapa-siapa kecuali kita. Bunda menyayanginya, sama seperti ke Will dan Nathan." Lanjutnya.
Bu Hana sepertinya tahu bahwa sang suami tidak akan membalas ucapannya, jadi ia kembali berbicara.
"Berhentilah memarahinya, Yah." Wanita dua anak itu mencoba menggenggam tangan suaminya agar mau memandang dirinya, "ya? Kasihan Geo. Dia bergantung pada kita. Tidak mungkin kita membiarkannya hidup sendiri, kan?"
"Untuk apa melihara anak yang gak ngasilin? Kita aja susah!"
"Ayah..."
" –HAH" Teriak pria paruh baya itu. Ia berdiri dan segera menuju kamarnya. Pintu kamar dibanting keras, pertanda bahwa ayah dari William dan Nathan itu masih sangat marah.
Tante Hana hanya menghela napas pasrah. Ia sudah berusaha untuk memberi pengertia kepada suaminya dan meminta sang suami untuk tidak membenci Geo lagi.
Padahal saat awal Geo tinggal di sini, sang suami seperti tidak masalah dan bersikap sewajarnya. Meski terlihat dingin, dulu sang suami cukup peduli kepada Geo.
Tapi semenjak usaha dagingnya yang semula sukses justru menurun, pria itu selalu marah-marah dan melampiaskannya pada Geo. Ia menganggap bahwa penurunan usahanya karena ada Geo di rumah ini yang membawa sial.
Hana, selaku istri sekaligus tante dari Geo merasa sang suami sudah sangat keterlaluan. Ia berusaha untuk terus menyayangi keponakannya di tengah kebencian sang suami pada Geo.
Ia menghela napas dengan berat. Wanita paruh baya itu melihat ke arah jam dinding. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sebenttar lagi anak-anak kemungkinan sudah pulang.
Tadi Geo, Will, dan Nathan pamit makan mie ayam di depan gang jalan depan. Beruntung mereka bertiga tidak mendengar suaminya marah.
Ia terus berdoa agar hati suaminya bisa dilembutkan dan kembali berlaku baik kepada Geo.
*****
"Dek."
Rayan mengetuk kamar adiknya yang sedari sore tertutup. Penghuni kamar ini sama sekali tidak keluar setelah Ardan keluar dari kamar mandi sore tadi.
"Dek." Rayan mencoba mengetuk lagi karena tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam. "Buka dong, dek."
Karena tidak sabaran, Rayan akhirnya masuk. Beruntung kamarnya tidak terkunci, sehingga ia bisa membukanya dengan muda.
Ah...
Ternyata anak itu tidur. Jam baru menunjukkan pukul setengah 7. Ia memanggil adiknya karena disuruh untuk makan. Baik ayah dan ibunya sedang makan di ruang makan, tinggal adiknya ini yang tidak kelihatan.
Ayahnya menyuruh Rayan untuk memanggil Ardan agar keluar dari kamar dan makan malam karena sejak sore, kedua orang tuanya tidak melihat si bungsu.
"Dek, makan." Rayan mencoba membangunkan adiknya dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Bukannya bangun, Ardan hanya melenguh saja dan garuk-garuk badan.
Sepertinya adiknya ini sangat lelah hingga sulit dibangunkan. Tapi bila dibiarkan saja, nanti tengah malam pasti kelaperan dan kemungkinan makanan juga sudah dingin. Anak itu mana mau panasin sendiri.
Ardan ini punya penyakit asam lambung akibat gaya hidupnya yang tidak teratur. Jadi atlet, tapi kebutuhan gizi jarang sekali seimbang.
"Dek!"
Kali ini, akhirnya Ardan membuka sebelah matanya dan melihat ke arahnya.
"Apa, sih, kak? Ngantuk tahu!"
"Bangun. Makan. Ayah udah suruh lo bangun, tuh."
Ardan terdiam sebentar. Kini kedua matanya sudah terbuka tapi dirinya masih terlentang menatap langit-langit. Sepertinya sedang mengumpulkan nyawanya,
"Skip makan malam deh, kak."
"Heh! Nanti dimarahin ayah."
Ardan terdiam, otaknya berpikir akan sesuatu. Benar juga. Ayahnya ini sangat galak. Jika tahu dirinya melewatkan jam makan malam, besok pasti akan diceramahi.
"Ayok buruan. Sebentar lagi ayah sama ibu selesai tuh."
Ardan menggaruk-garuk kepalanya sembari menatap kosong ke arah tembok. Pada akhirnya, bocah 16 tahun itu beranjak dari ranjangnya dan keluar kamar.
Rayan tersenyum senang manakala adiknya mau menuruti permintaannya.
"Nah, keluar juga anak ini." Seru pria 51 tahun itu sambil menyantap sisa makanannya yang hampir habis. "Kenapa lama sekali?"
"Dia tidur, Yah." Rayan menjawabnya karena Ardan sepertinya enggan berbicara untuk saat ini.
"Ada kegiatan apa di sekolah sampai-sampai pulang sore dan ketiduran seperti itu?" Ayahnya kembali bertanya pada Ardan.
Si bungsu belum menjawab, ia fokuskan untuk mengambil makanan yang ada di atas meja dengan cukup lemas.
"Ada acara di sekolah, Yah. Anniv sekolahan."
"Emang kamu jadi apa, kenapa capek gitu?"
"Ikut lomba basket mewakili kelas."
Pria dua anak itu menghentikan kegiatannya yang sedang menghabiskan sisa-sisa makanannya. Ia langsung menatap anak bungsunya yang kini sedang makan di suapan pertama.
"Basket lagi?"
Mencium bau yang tidak enak, satu-satunya wanita yang ada di sana langsung memegang halus bahu suaminya. Ia merasa takut jika sang suami naik pitam karena Ardan menyebutkan kata 'basket' lagi.
"Kamu lelah begitu, ketiduran dan lupa makan hanya karena basket?"
"Iya." Jawab Ardan enteng. Ia sama sekali tidak mempedulikan tatapan ayahnya yang kini sedang menahan emosi. Ardan masih terus makan dengan pandangan tertunduk menatap piring berisi menu makan malamnya.
"Ayah sudah bilang, berhenti main basket dan fokus sekolah saja!" Kini, suara pria paruh baya itu meninggi karena sangat kesal dengan tindakan anak bungsunya yang sama sekali tidak mendengarkan nasehatnya.
"Ardan, kalau ayah sedang berbicara, tatap mata ayah!" Perintahnya dengan kasar.
Ardan akhirnya menghela napas lelah. Anak itu langsung menatap sang ayah sembari mengunyah makanannya. Setelah tertelan, ia berbicara, "salah Ardan di mana, Yah?"
"Kamu main basket terus-terusan. Menghabiskan waktu dengan kegiatan tidak berguna dari pada belajar."
"Yah, itu event setahun sekali. Semua murid –yang bukan atlet basket pun, mereka semua ikut untuk berpartisipasi."
"Ardan –"
" –jika Ardan tetap belajar, belajar dengan siapa? Semua murid berpartisipasi dalam lomba olahraga yang terselenggara, bukan ardan aja." Ardan memotong ucapan ayahnya karena ini dirasa sangat aneh.
Ayahnya itu terlalu diktaktor. Keinginannya pada kedua anaknya harus diikuti. Sejujurnya, Rayan juga jago gambar dan desain. Kakaknya itu ada impian untuk masuk ke fakultas teknik menjadi arsitek.
Tapi kenyataannya, itu tidak diizinkan ayahnya. Beruntung bahwa Rayan anaknya penurut dan tidak pembangkang, jadi ketika disuruh masuk ke fakultas hukum, setuju-setuju saja.
Dulu Ardan sempat kesal sebenarnya karena kakaknya selalu menuruti kemauan ayahnya. Tapi Ardan bukan Rayan. Ia memiliki impian dan jalan hidupnya sendiri.
Ia berpikir, dengan berprestasi di bidang basket, ayahnya akan lupa dengan hal lainnya dan fokus mengembangkan bakat Ardan untuk menjadi pebasket handal. Nyatanya, hingga sekarang kesukaannya masih terus ditentang.
"Selesai perlombaan sekolah, berhenti main basket. Ayah akan meminta pihak sekolah untuk mengeluarkanmu dari tim basket!"
"Ayah...ah, sepertinya itu berlebihan." Rayan mencoba membela sang adik karena ayahnya terlihat cukup berlebihan.
Rayan tahu, seberapa cinta sang bungsu dengan olahraga tersebut. Rayan melihat dulu saat SMP, Ardan latihan sampai malam dan ia menjemputnya di lapangan basket kompleks.
Rayan tahu, seberapa gigihnya sang adik untuk mendapatkan posisinya sekarang. Bahkan gurunya menawarkan Ardan untuk mengikuti beasiswa universitas jalur atlet.
"Berlebihan bagaimana? Ini demi kebaikan!" Ayahnya lalu menatap Ardan lagi, "prestasi basketmu bagus, tapi mata pelajaran lainnya tidak bagus, mau daftar kuliah pake apa? Piagam dan medalimu itu?"
Ardan terdiam. Ia tidak meneruskan makan malamnya. Matanya memerah sambil terus menatap sang ayah tanpa berkedip.
"Minggu depan, ayah akan ke sekolahmu. Ayah juga akan mendaftarkanmu pada kelas intensif di lembaga bimbingan belajar."
"Ayah..." Sang ibu mencoba menghentikn ucapan suaminya yang dinilai sangat berlebihan. Ia khawatir melihat Ardan yang sepertinya sangat menahan amarahnya hingga kedua matanya memerah.
"Kamu diam saja, Bu. Ini demi kebaikannya supaya bisa memilih jurusan benar saat kuliah nanti."
Setelah mendengar itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, Ardan melemparkan sendok dan garpunya. Ia berdiri dari kursi makannya dan berjalan menuju kamar.
Ia menghiraukan panggilan ayah, ibu dan kakaknya. Dirinya sudah muak jika terus di sana dan mendengar ucapan ayahnya yang menurutnya sangat egois.
Setelah membanting pintu kamarnya, ia menguncinya dan melemparkan tubuhnya ke ranjang. Matanya sedikit berair karena menahan amarah sejak tadi di meja makan.
Pemuda dengan tinggi 180cm itu memijat-mijat pelipisnya karena dirasa sangat pusing dengan berbagai situasi yang ia alami. Dirinya butuh satu orang saja yang mendukungnya.
Tidak masalah jika orang tersebut hanya melihatnya sebagai penonton. Ardan hanya berharap, segala keputusan yang diambilnya, jangan pernah disepelekan. Ia hanya ingin dukungan dan bimbingan.
Jika kakek dan neneknya masih ada, kemungkinan besar dua orang itu yang mendukungnya secar penuh. Bahkan ayahnya pun akan mengikuti omongan sang kakek.
Kini, ia bertahan sendiri dunia basket. Mau sebaik apa kakaknya –Rayan, tapi kakaknya masih berada di bawah kuasa ayah mereka.
"Gue lelah."
*****
Tidak terasa, pekan olahraga di sekolahnya akhirnya dimulai. Ardan sudah cukup bersemangat untuk bertanding hari ini.
Ia belum melihat, siapa lawan yang akan ia hadapi di lapangan.
Setelah pertengakarannya dengan ayahnya, Ardan memang mengurangi intensitas latihannya. Meski kesal harus menuruti sang ayah, tapi setidaknya tindakannya itu menunda ayahnya datang ke sekolah dan menghentikan kegiatan basketnya secara total.
Ibunya berusaha membujuk sang ayah untuk menghentikan niatnya datang ke sekolah Ardan, dan entah bagaimana caranya, pria otoriter itu mau menuruti sang istri dan sudah tidak membahas lagi ketika mereka makan malam bersama.
Tapi Ardan tidak bisa lega dulu, karena kapan saja, ayahnya itu akan merealisasikan niatannya dan melarang Ardan bermain basket untuk selamanya. Jadi, untuk saat ini, ia bertindak biasa saja.
"Bro, kita lawan IPS 2."
Salah satu teman kelasnya yang ikut ke dalam kelompok basket tiba-tiba masuk ke kelas dan mengumumkan hal tersebut.
Ardan sedikit kaget mendengarnya. IPS 2 berarti kelasnya Geo, dong?
"Wait. Maksud lo IPS 2 kelas 10?" Tanya salah satu anak yang ada di ruangan itu.
"Ya iyalah kelas 10. Babak penyisihan kan lawan sesama satu angkatan. Nanti saat final, baru kita bisa lawan kakak kelas."
Oh Berarti betul kalau itu kelasnya Geo. Ardan sedikit menyeringai karena dia melawan kelasnya Geo dan nanti akan bertemu dengan bocah redaksi itu.
Sejak kemarin memang ia tidak melihatnya. Tidak mengganggunya sekali, terasa sangat sepi.
"Ah, gampang itu. anak IPS 2 rata-rata, kan, bukan atlet. Mana ada atlet dari kelas itu."
Itu bukan Ardan yang berbicara, tapi wakil ketua kelasnya yang tiba-tiba berceloteh demikian.
"Ardan." Panggil sang wakil ketua kelas
"Ya?"
"Meski lawan kali ini cukup mudah, lo jangan kendor. Ok?"
Ardan tidak menjawabnya. Ia hanya mengangguk sambil mengacungkan dua jempolnya pada wakil ketua kelas itu.
"Guys, lagi apaan, sih? Buruan keluar. Pertandingan sudah mau mulai." Sang bendahara galak meneriaki mereka untuk segera keluar kelas.
Ardan bersiap dan memperbaiki seragamnya.
Tunggu. Ngapain dia segala macam merapikan pakainnya? Toh, nanti saat main basket dirinya akan kacau juga.
Ah. ini bukan karena nanti akan bertemu dengan Geo, kan?
Ardan menggeleng-gelengkan kepalanya, namun senyum dari wajahnya tidak juga terhapus, justru bertambah lebar ketika ia memasuki lapangan.
Karena ini bukan pertandingan besar, masing-masing siswa hanya memakai baju olahraga. Untuk membedakan tim 1 dan 2, pihak sekolah meminjamkan vest berbahan jersey berwarna biru dan merah.
Kelas Ardan kebagian warna merah, sementara kelasnya Geo menggunakan warna biru.
Ketika sang atlet basket itu melihat Geo masuk ke lapangan, Ardan sudah senyum-senyum tidak jelas. Sementara Geo terlihat memutar bola matanya bosan dan memalingkan matanya –asal tidak menatap Ardan yang masih seperti orang tolol karena terus menatapnya.
"Baiklah. Masing-masing tim ada satu perwakilan yang maju." Wasit mengambil intruksi agar pertandingan bisa langsung dimulai.
Dari kelas Ardan, ia sendiri yang maju, sementara kelas IPS 2 entah siapa, Ardan sama sekali tidak mengenalnya. Padahal ia sudah berharap Geo yang maju. Tapi ia baru ingat jika pemuda itu sama sekali belum menguasai permainan basket.
"Siap?" Sang wasit yang merupakan guru olahraga mereka menengok pada kedua perwakilan masing-masing tim untuk meyakinkan bahwa semuanya sudah bersedia.
PRIIITT!
Peluit pun berbunyi, berbarengan dengan bola basket yang dilambungkan sang wasit ke atas. Baik Ardan dan siswa satunya lagi saling berebut untuk mendapatkan bola tersebut.
Karena Ardan bertubuh besar dan tinggi, mudah saja ia untuk menggapainya dan langsung mendribble bola itu menuju ring lawan.
Beberapa kali, Ardan dihadang oleh tim musuh yang ia lewati dengan mudah. Tapi saat berhadapan dengan Geo, ia mencoba berhenti sejenak.
"Mau rebut, eh?" Tantanng Ardan pada anak redaksi itu.
Bukannya kesal, Geo terlihat cuek dan cenderung tanpa ekspresi. "Gak." Jawabnya dengan singkat.
Padahal Ardan berulang kali melapangkan pertahanannya agar Geo bisa mengambil kesempatan untuk merebut bola yang ada di tangannya, tapi sepertinya pemuda yang lebih pendek darinya itu tidak berminat.
"Heh, gak rebut?" Ardan mencoba menawarkan.
Awalnya Geo terlihat ragu, tapi tangannya mencoba meraih bola tersebut dan dirinya kaget karena Ardan begitu mudahnya menyerahkan bola itu padanya.
"Eh?"
"Udah bawa aja."
Geo sedikit gugup karena ini baru pertama kalinya mau mendribble bola di pertandingan asli. Jujur, ia sangat bingung harus bagaimana.
Tapi karena bola itu sudah terlanjur di tangannya, Geo menggiring bola dengan langkahnya yang lebar.
Ia takut kalau nanti tidak akan bisa memasukkan bola, jadi dirinya hendak mengoperkannya pada Damar.
Tapi sebelum melemparkannya, ada siswa lain yang ingin merebut bolanya dari belakang tapi justru kakinya terpeleset. Alhasil, siswa tersebut jatuh hingga menimpa Geo yang ada di bawahnya.
Pluit beberapa kali dibunyikan karena pertandingan menjadi ricuh. Geo mengenyit kesakitan karena tadi dadanya menyentuh bagian lantai dengan cukup keras.
"GEO!"
Ardan yang melihat itu langsung berlari menuju pemuda tersebut. Geo sedang mengenyit kesakitan sambil terus memegangi dadanya.
"Minggir lo, tolol!" Ardan mendorong bahu teman kelasnya yang membuat kecelakaan ini terjadi.
"Ge, lo gak papa? Ada yang sakit? Mana yang sakit? Ayo ke UKS!"
Geo hanya menggeleng-geleng saja sambil sesekali batuk. Ia sebenarnya sangat pengap karena dikerubungi banyak orang seperti ini. Belum lagi Ardan yang bertanya terus-terusan.
"PMR!" Guru olahraga yang berlaku sebagai wasit di sana berteriak untuk memanggil PMR sekolah.
Beberapa anggota PMR laki-laki dan perempuan datang berlari sambil membawa tandu.
"Dan, kamu bisa minggir sebentar?" Pinta sang guru olahraga. Pria paruh baya itu mendekat ke arah Geo dan menanyakan kondisinya pada anak redaksi tersebut.
Ardan memang sedikit menjauh, tapi ia tidak pergi dan masih menatap khawatir pada Geo. Jika ia tidak dilarang, Ardan bisa langsung menggendong Geo ke UKS atau membawanya ke rumah sakit.
Tapi dirinya sadar, arahan dari sang guru adalah solusi terbaik agar nanti bisa teratasi dengan tepat.
"Geovany masih bisa jalan atau dibawa dengan tandu?"
Geo belum menjawab. Ia masih mengatur napasnya, "masih bisa jalan, pak –" Lalu ia batuk lagi dan membuat Ardan kembali khawatir.
"Baiklah, karena kamu tidak mungkin melanjutkan pertandingan, lebih baik kamu beristirahat ke UKS. Nanti dokter UKS akan menanganimu."
Geo hanya mengangguk setuju atas perkataan sang guru olahraga. Dua orang siswa berusaha membantu Geo berdiri dan memapahnya berjalan keluar dari lapangan.
Kedua mata Ardan tidak lepas dari Geo yang menjauh dari area pertandingan. Ia hendak mengikuti rombongan Geo dan anak-anak PMR, tapi ada seseorang yang menahannya.
"Mau ke mana? Pertandingan belum usai."
Ardan melihat, guru olahraga sedang mencari kelas IPS 2 untuk menggantikan absennya Geo di tim. Sementara Ardan berjalan mendekat pada Kevin yang tadi membuat Geo jatuh.
"Cok, lo kalo niat menang, jangan curang." Ardan tahu aturan, meski ia ingin sekali melemparkan tinju ke wajah Kevin, tapi ia tahan.
"Lo kira gue sengaja? Kaki gue kepleset, cok."
Ardan memandang Kevin dengan tajam dan penuh amarah. "Bada lo tuh gede, nyet." Kata ardan sambil mendorong dada Kevin dengan jari telunjuknya, "Geo kurus dan lebih kecil dari lo. Harusnya reflek lo bagus buat gak jatuhin tubuhnya."
Setau Ardan, Kevin memang dari SMP mengikuti karate. Ia berhenti melakukan kegiatan fisik tersebut karena pernah cedera dan tidak diperbolehkan lagi untuk kembali berkarate oleh orang tuanya.
Seorang Kevin yang ahli karate harusnya refleknya bagus saat tadi jatuh. Itu pemikiran Ardan hingga dirinya emosi pada Kevin.
"Bacot, lu, Dan. Tu anak aja yang kerempeng. Lemah pula. Gitu aja dibawa ke UKS –"
" –bangsat." Ardan hendak mengangkat tangan untuk meninju wajah menyebalkan Kevin, tapi Fauzan yang memang sedang menonton di pinggir lapangan langsung menghentikannya.
"Dan, tahan diri lo. Jangan tolol."
Fauzan menoleh ke sekitar, takut ada guru atau siswa lain yang melihat pertengkaran mereka. BEruntung Fauzan telah selesai bertanding voli, jadi ia sempat menonton basket.
"Udah, Dan, Vin. Cepet bertanding lagi."
Nyatanya, ucapan Fauzan benar, sang wasit kembali meniupkan pluitnya lagi. Kelas IPS 2 sudah memiliki pengganti Geo sehingga semuanya bisa kembali siap untuk meneruskan pertandingan.
Ardan mencoba menetralkan emosinya, tapi matanya masih menatap tajam pada Kevin. Ia berniat, setelah pertandingan ini usai, dirinya akan berlari menuju UKS. Hatinya tidak tenang karena teringat wajah Geo yang kesakitan tadi.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top