Ch 7; Feel Jealous
Halooo kembali lagi dengan saya. Maaf updatenya lama karena banyak sekali kesibukan. Hahaha... Oke enjoy. Jangan lupa setelah baca harus vote dan komen!
.
.
.
Ardan yang baru sampai di koridor kelas IPA langsung penasaran dengan kerumunan siswa yang ada di depan mading.
Tumben... Ardan membatin. Masalahnya, mading itu sudah hampir dua bulan tidak ramai lagi kecuali kalau ada berita dirinya yang baru memenangkan lomba basket.
Ya, dirinya memang narsis, tapi sesuai dengan fakta, bukan? Ardan tidak pernah bohong, kok.
"Ada apa, sih?"
Dengan tingginya yang mencapai 180cm, anak basket itu dengan mudah membaca pengumuman yang ada di mading meski sekarang ia ada di barisan belakang siswa-siswa lainnya.
"Pekan olahraga sekolah?"
"Eh, elu, Dan." Ardan menurunkan pandangannya dan menemukan cewek berkecamata yang menjadi bendahara di kelasnya. "Elu gabung basket ya buat wakilin kelas kita."
"Lah? Lu kok asal mutusin aja, sih, Rin?"
"Ya gak gue yang mutusin, anak kelas lain juga pasti bakal masukin, elo, kok."
Setelah itu, siswi bernama Erin itu menjauh dari sana. Tapi ia kembali menoleh dan memandangnya dengan tatapan tajam, "bayar kas lu! Udah 2 minggu kagak bayar!"
"Iya bawel!" Malu juga dia dilihatin anak kelas lain. Masa seorang Ardan Firmansyah, pebasket ganteng ditagih hutang kas kelas. "Udah sana lu pergi!" Usirnya.
Sebelum pergi, Ardan kembali membaca pengumuman yang ada di mading lagi. Ternyata Pekan Olahraga ini diadakan untuk merayakan Ulang Tahun Sekolah.
Di pengumuman, perayaan tersebut dimajukan karena pada bulan anniversary sekolah, justru ada ulangan tengah semester.
Ah, ya benar sih. Kalau gak dirayain juga kurang ramai, ini kan ulang tahun sekolah yang cukup terkenal di kota ini.
Ardan selesai membaca, ia sudah sering mengikuti kejuaraan basket antar anak SMA. Jika harus melawan anak kelas lain di sekolahnya, mah, cukup mudah –pikirnya dengan penuh percaya diri.
Anak itu hendak berbelok ke kelasnya, tapi ia melihat seseorang yang begitu mencuri pandangannya meski dari jarak jauh.
Ah, itu dia Geovany.
Anak OSIS yang selalu bawa kamera. Kelas IPS memang ada di belakang dan harus melewati depan lorong kelas IPA, jadi Ardan sering melihat Geo wara-wiri melewati daerah ini saat masuk dan keluar dari kelasnya.
"GEO!"
Suara Ardan yang sangat keras, membuat beberapa siswa di sana menoleh padanya. Sebagian besar menatapnya sinis karena di Senin pagi, sudah ada anak yang teriak-teriak di lorong kelas IPA.
Sungguh. Ardan benar-benar salah jurusan. Anak IPA tidak bisa diajak bercanda, semuanya kelihatan serius.
Ardan mengabaikan tatapan tajam dari anak IPA yang pintar-pintar itu dan berlari menuju Geo sebelum anak itu pergi menjauh darinya.
"Perlu ya teriak-teriak, gitu?"
Lama-lama Geo akan lewat pintu belakang aja kalau tiap ketemu Ardan, pasti dipanggil dengan suara keras hingga menjadi pusat perhatian.
Bukannya menyesal, atlet basket itu malah tersenyum lebar seperti anak bodoh.
"Ada pekan olahraga nih di sekolah. Elo tahu?"
Geo memutar bola matanya. Ia sedikit kesal karena Ardan memanggil namanya keras-keras hanya untuk memberitahukan hal ini. "Lo lupa kalau gue OSIS?"
Ardan menepuk dahinya dengan keras, "benar juga. gue baru ingat." Lalu Ardan tertawa untuk menutupi kebodohannya.
"Tapi...elo ikut lomba, kan? Cabang olahraga apa?"
"Gue jadi panitia bagian PUBDEKDOK."
Ya, wajar saja, sih. Geo memang di bagian jurnalis di OSIS. Tentu saja ketika ada acara, dia akan menjadi anggota dokumentasi dengan kameranya.
"Tapi, kan, tiap kelas harus ada perwakilan yang maju. Cabang olahraganya juga ada basket, voli, futsal, ahh...apa lagi, ya, tadi?" Ardan menggaruk-garuk kepalanya karena bingung.
"Gak." Jawab Geo dengan ketus. Ia lalu pergi meninggalkan Ardan begitu saja. Tapi tangan besar sang atlet basket memegang bahunya hingga anak jurnalis itu menghentikan langkahnya.
"Apa lagi, sih?" Ia sungguh kesal karena untuk ke kelas saja sesulit ini. Ia besok akan lewat pintu belakang sekolah saja jika Ardan seperti ini terus tiap melihatnya.
"Bentar." Ardan mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah kotak bekal yang pernah Geo lihat 2 Minggu lalu, kembali muncul, "nih. Bunda gue masak banyak. Jadi kubawain buat kamu satu."
Dengan gamang, Geo menerimanya. Ia memandang kotak bekal itu beberapa lama, setelah sadar, ia memandang Ardan, "buat gue?"
"Ya. Buat lo."
"Tapi –"
" –dimakan ya, Ge!"
Ardan mengatakan itu sambil pergi berlari menuju kelasnya. Atlet basket itu tidak mengindahkan panggilan Geo.
****
Padahal Geo sudah mewanti-wanti anak kelas kalau dirinya sudah sibuk dengan kegiatan di OSIS. Apalagi dia di bagian dokumentasi, tentu akan sering berkeliling sekolah untuk mendokumentasikan kegiatan.
Namun....
Anak kelas sama sekali tidak mengindahkan ucapannya dan dengan seenak mereka, mencantumkan nama dirinya sebagai bagian perwakilan kelas pada cabang basket.
Berkali-jali Geo menghela napas sambil menatap kameranya yang ada di meja. Ia menghiraukan semua keributan anak-anak di kelas yang sedang sibuk memilih perwakilan anak dari masing-masing cabang olahraga.
"Murung terus."
Damar yang baru kembali entah dari mana, tiba-tiba duduk di sebelahnya dan merangkul tubuh Geo yang lebih pendek darinya itu.
"Elo ikut basket bareng gue, ya, Ge?"
Mendengar itu, Geo langsung menoleh pada teman sebangkunya dan berbicara, "Dam, bisa gak sih gue keluar aja? Gue sibuk jadi panitia."
Damar menepuk-nepuk bahu Geo sambil tersenyum, "Nova aja panitia, kok. Tapi dia ikut voli, tuh."
Ya, Nova memang sama-sama OSIS dan dia menjadi panitia acara ini pada bagian acara.
"Nova nggak keliling sekolah buat dokumentasi."
"Ya... tapi kan seksi PUBDEDOK gak Cuma lo aja, Ge."
Ah, benar.
Jumlah anggota di PUBDEDOK ada 5, termasuk dirinya. Tapi tetap saja....
Geo bukanlah tipe anak yang suka berolahraga.
Meski dirinya lelah karena sering dimintai tolong oleh pamannya, tapi itu bukan termasuk olahraga.
Apalagi basket, ia sama sekali tidak paham. Bagaimana bisa dirinya terpilih di cabang basket sementara dirinya tidak tahu apa-apa? Justru nantinya bisa bikin malu grupnya.
"Gue gak bisa main basket." Jawabnya.
Damar justru melingkarkan tangannya ke leher Geo dan menundukkan kepala mereka berdua untuk membisikkan sesuatu, "tenang aja gue ajarin."
Geo berdecak kesal. Ia benar-benar tidak tertarik dengan olahraga yang namanya basket. Kenapa anak-anak di kelasnya harus memaksanya seperti itu?
"Kita belajar mulai nanti sepulang sekolah, gimana?"
Geo terdiam sebentar. Nanti tidak ada rapat OSIS sih...
"Ayolah. Acaranya 2 Minggu lagi nih. Kita kudu cepet-cepet latihan biar gak bisa dikalahin."
Geo memutar bola matanya bosan. Mana bisa kelasnya menang?
Kelas lain ada beberapa yang atlet basket, sementara kelasnya tidak ada. Jika melawan salah satu kelas yang anggotanya ada atlet basketnya, sudah pasti akan kalah.
Ngomong-ngomong tentang atlet basket, ia jadi ingat harus ngembaliin kotak bekal milik Ardan.
Kenapa pula si Ardan memberinya bekal lagi kemarin? Apa karena Ardan melihat saat dirinya dimarahi pamannya jadi merasa iba?
Dirinya tidak usah dikasihani. Toh, dirinya masih bertahan sampai sekarang meski setiap hari harus makan hati akibat ucapan pamannya.
Tangannya meraba ke laci mejanya dan ia menyentuh satu benda berbentuk kotak.
Ah, ternyata masih ada...
Mungkin nanti saat dirinya latihan, ketemu dengan Ardan dan mengembalikan kotak bekal ini.
"Lo raba-raba apa, Ge?" Tangan Damar ikut meraba yang membuat Geo terganggu dan nabok tangan teman sebangkunya itu dengan cukup keras.
"Ih pelit banget." Ucap Damar sambil mengelus tangannya, "jadi, nanti mau, gak?"
"Ya...boleh lah kalau lapangan gak rame."
Damar tersenyum, "kagak dah. Kita bisa ambil pinggiran lapang Cuma buat latihan dikit-dikit."
Geo tidak menanggapi. Ia lebih memilih untuk membersihkan lensa kameranya dari pada mendengar ucapan Damar yang lainnya.
*****
Sudah berapa kali Geo menghela napas dan meregangkan otot pinggangnya. Karena tidak terbiasa melakukan dribble, pinggangnya sakit saat ia menunduk terus.
Beberapa kali Damar sebenarnya memperingatkan Geo untuk membungkuk sedikit saja, jangan terlalu ke bawah –tapi badannya tidak bisa ia kendalikan.
Bukan salahnya juga ketika dia salah melakukan gerakan dribble. Dirinya bukan seorang pebasket. Olahraga saja sangat jarang.
Ia sudah cukup lelah jalan kaki dari rumah ke halte bus jika tidak menggunakan sepeda –bukankah itu sudah termasuk olahraga?
"Udah deh, Dam, pinggang gue sakit."
"Halah, Ge, baru gini aja udah capek."
Geo kembali meregangkan otot pinggangnya karena sudah terlalu bongkok. Napasnya juga sedikit sesak karena tertahan saat membungkukkan badannya.
Benar-benar fisiknya lemah ketika harus berolahraga. Beruntung ia masuk ke OSIS, setidaknya jika tidak pandai olahraga, otaknya bisa ia manfaatkan untuk hal yang baik.
"Setelah ini lu perlu latihan masukkan bola ke ring, Ge."
Kedua mata Geo membulat, "Apa?!" Ucapnya tersengal, "ENGGAK!"
Dengan gemas, Damar memukul pelan punggung temannya itu hingga Geo mengaduh marah.
"Mumpung lagi gak ada yang pake ini lapangan, manfaatin sebaik mungkin." Damar melihat jam yang terpasang di lengan kirinya, "masih jam 4. Kita bisa pake sampai jam 6."
"Ayolah, Dam. Istirahat dulu bisa gak, sih?"
"Gak!"
Damar sedikit berlari untuk mengambil bola basket yang tadi Geo lempar. Remaja berkulit tan itu kembali lagi menuju ke arah Geo dengan menenteng bola basket dengan salah satu tangannya.
"Ayok mulai." Damar mengangsurkan bola basket tersebut pada Geo yang diterimanya dengan ogah-ogahan.
"Sebentar aja, ya, Dam. Gue capek banget."
"Iya, buruan! Gue pengin liat cara lo lay up ni bola."
"Lay Up apaan, Dam?"
Damar menepuk dahinya karena merasa Geo benar-benar tidak tahu apa-apa tentang basket. Ternyata memiliki tubuh tinggi dan badan bagus, tidak menjamin orang itu menguasai bidang olahraga.
"Lempar bola buat dimasukkin ke ring."
Untuk meresponnya, Geo hanya mengangguk-anggukkan kepala dan mulutnya membentuk huruf O.
"Coba lu lay up. Gue penasaran gimana gerakan lu itu." Perintah Damar.
Sebenarnya Damar sedikit ragu untuk menyuruh Geo melakukan lay up shoot, lihat saja posisinya sekarang, sangat aneh dan sudah jelas, bola tidak akan sampai ke ring.
Benar saja, meski terlihat bertenaga pada saat melempar, karena posisi kedua lengannya tidak benar, bahkan bola itu pun tidak sampai mengenai pinggiran ring.
Secara refleks, Damar tertawa, tapi ia langsung terdiam saat Geo mulai menoleh ke arahnya dan menatap Damar dengan penuh dendam.
"Lagian, gue kan gak bisa main basket! Tetep aja dipilih sama Andre."
"Dia ketua kelas, Ge, jadi tahu lah mana yang lebih baik."
"Ya, gue juga berhak nolak dong?"
Damar menatap Geo, "gak bisa, sih. Soalnya seluruh anak di kelas harus ikut kontribusi lomba meski Cuma jadi pajangan di tim."
Mereka berdua terdiam beberapa saat, sampai Geo kembali bersuara, "ya udah. Jadi gak usah latihan-latihan gini. Gue jadi pajangan aja di tim."
Geo hendak keluar dari lapangan, tapi dengan sigap, Damar langsung menarik bagian kerah kaos yang dipakai Geo –membuat anak OSIS itu hampir terjungkal ke belakang.
"Enak aja! Latihan belum selesai."
"Gue capek, Dam." Wajah Geo yang biasanya datar, terlihat banyak kerutan dan memerah karena terkena sinar matahari terik.
"Pantesan kulit lu pucet! Jarang kena sinar matahari, noh! Ayok Lanjut."
Ternyata ia gagal lagi bernegosiasi dengan Damar, karena pada akhirnya, ia kembali memegang bola basket dan bersiap-siap untuk kembali melakukan lay out shoot.
Tentu saja lagi-lagi gagal. Padahal Damar sudah menyuruh Geo untuk lebih dekat lagi jaraknya dengan ring.
"Udah lah, Dam. Gue emang gak bisa." Keluhnya untuk yang kesekian kalinya pada Damar.
Bukannya menjawab, Damar justru mendekat ke arah Geo dan berdiri di belakangnya. Damar tiba-tiba menaikkan kedua tangan Geo yang masih memegang bola basket.
"Eh –" Tentu saja Geo kaget dengan tindakan Damar yang secara tiba-tiba melakukan hal ini padanya.
Damar memang sedikit lebih tinggi dari Geo, sehingga mudah saja ia mengontrol Geo dari belakang. Remaja ini serius mendikte secara detail bagaimana posisi tangan, tubuh dan kaki sebelum melakukan lay up.
"Dam –"
" –udah diem. Ini gue lagi posisiin badan lu supaya bener pas ngelempar nanti."
Bukan itu! Masalahnya, Geo malu karena harus didikte seperti ini sama Damar. Ia berasa bego banget dalam basket sampai Damar yang anaknya slengekan risih melihatnya yang bermain tidak benar dari tadi.
"BNah, udah." Kata Damar. Bocah berkulit tan itu tersenyum ketika posisi Geo sekarang lebih benar untuk melakukan lay up. "Coba lempar tu bola. Jangan terlalu keras, konsentrasi, dan fokuskan pandangan pada ring."
Geo mencoba menuruti setiap ucapan dari Damar. Ia berkonsentrasi dan memfokuskan diri pada ring. Setelah yakin, dirinya melemparkan bola tersebut dan berhasil masuk.
Geo berteriak senang dan meloncat-loncat merayakan keberhasilannya. Damar juga tidak kalah senang. Akhirnya setelah satu jam latihan, Geo ada perkembangannya.
Mereka saling merangkul sambil terus tertawa melihat ke arah ring. Berkali-kali, Damar juga mengusap kepala Geo dengan kasar.
"Berhasil juga lu nyet...nyet. astaga..."
Geo tertawa saja. Ia akhirnya mendudukkan dirinya di lapangan basket outdoor. Karena lapangan ini hasil cor-coran semen, tentu saja sangat panas setelah tersengat matahari.
Tapi Geo tidak peduli. Dirinya lelah, tapi sekaligus lega karena berhasil memasukkan satu bola.
Damar tiba-tiba datang dan mengaitkan sebelah tangannya ke bahu Geo. Ia menghela napas keras.
"Akhirnya si bego ini ada perubahan juga. Gak sia-sia gue dikte satu per satu."
Mendengar itu, Geo langsung menyingkirkan tangan Damar yang ada di bahunya. "Sialan lu."
Lalu mereka tertawa lagi.
Keduanya masih bersandar satu sama lain sambil mengistirahatkan diri, sampai ada suara yang mengintrupsi mereka berdua.
"Kalian berdua lagi apa?"
Baik Damar dan Geo langsung menoleh ke belakang. Mereka berdua menemukan sosok atlet basket yang wara-wiri masuk mading sekolah, siapa lagi kalau bukan Ardan.
Tingginya yang sangat menjulang, membuat keduanya harus mendongakkan kepalanya hingga batas maksimal masing-masing –itu pun hampir membuat Geo terjungkal kebelakang.
"Woy ada atlet basket nih."
Damar menanggapinya dulu. Anak itu berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor karena debu yang menempel setelah ia duduk. "Mau latihan, Dan?"
Bukannya menjawab, Ardan malah menatap Geo yang masih terduduk di bawah, "kau sedang apa sama dia?"
"Latihan basket, dong, bro. Ngapain lagi?"
Lagi-lagi, Damar yang menjawab dengan cengirannya yang super lebar.
Bahkan Damar sama sekali tidak merasa, jika dirinya mendapat pelototan mematikan dari Ardan karena terus menjawab pertanyaan yang ia tujukan pada Geo.
"Gue gak tanya sama lo."
"Ya, kan, gue dengar. Sah-sah saja, dong kalau gue jawab." Damar kembali menjawabnya, disusul dengan cengiran lebarnya.
Hal tersebut justru bertambah kesal. Tapi ia mencoba menahan diri untuk tidak mendorong bocah itu.
"Lo kepilih basket buat wakilin kelas, Ge?"
Geo merasa kalau Ardan memang sudah sangat marah karena pertanyaannya selalu dijawab oleh Damar. Maka, sekarang Geo langsung menjawabnya.
"Ya. Gue latihan sama Damar karena gak tau apa-apa tentang basket."
"Betul." Itu Damar lagi yang menyela.
Sebelum kembali berkata, Ardan melirik tajam pada Damar, "kenapa gak minta latihan sama gue aja?"
"Ngapain? Elu juga pasti sibuk nyiapin diri buat kelas lo sendiri."
"Gue masih sempet kok."
Baik Geo dan Damar saling berpandangan dan kembali memandang Ardan, "gak usah. Damar udah cukup membantu, kok."
"Yoi, bro." Damar langsung menanggapi, "tenang aja. Gini-gini juga gue pernah masuk klub basket waktu SMP."
Ardan kembali tersulut emosi, "besok lu latihan sama gue aja, Ge."
Geo heran melihat tingkah Ardan yang terdengar emosi dan sangat memaksa. Baru kali ini ia melihat Ardan seperti itu.
Tapi tiba-tiba Geo ingat akan sesuatu, "Oh, iya Dan. Gue mau ngembaliin kotak bekal lo."
Geo berlari ke pinggir lapangan untuk mengambil tas. Ia langsung membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kota bekal milik Ardan.
"Nih."
"Kemarin dimakan, kan?"
Geo mengangguk.
"Wah, masa Geo dikasih bekal, gue kagak." Damar tiba-tiba menyambar di tengah-tengah percakapan mereka berdua.
Karena Ardan kesal, ia mengarahkan tendangan kosong padanya, yang justru membuat Damar tertawa. Padahal Ardan sudah sangat emosi.
"Besok lu latihan sama gue, Ge."
Geo menghela napas dan risih dengan perintah tersebut, "Gak lah. Sama Damar aja gue."
"Ni orang kagak bener. Ngapain latihan basket malah saling sender gitu tadi."
Geo semakin heran karena perkataan ngelantur dari Ardan. Kapan ia saling sandar dengan Damar?
Oh!
Astaga... mana ada? Mereka Cuma duduk sambil lihatin ring basket sekaligus istirahat.
"Aneh, lu, Dan."
Itu kata Geo. Anak itu justru menyampirkan tasnya dan berjalan untuk keluar dari lapangan basket. Tapi Ardan langsung mengejarnya dan berdiri di depan Geo.
"Mau ke mana?"
"Pulang lhah. Udah sore. Lu mau pake lapangannya, kan?"
Sementara itu, Damar berlari untuk mengambil bola basket dan berniat untuk menyusul teman sebangkunya itu.
Ardan yang masih ada di depan Geo, tidak menjawab pertanyaan pemuda di depannya, ia malah balik bertanya, "besok latihan sama gue, ya?"
"Mana ada? Gue kan beda kelas sama lo."
"Ya siapa peduli? Kan Cuma latihan!"
Ardan kaget saat ada tangan yang kulitnya lebih gelap dari Ardan, merangkul bahunya.
"Tenang aja, bro. Geo latihan sama gue aja. Dia kan tim kelas gue."
Ardan langsung menyingkirkan tangan dari pemuda yang tingginya hampir sama dengannya itu. Ia menatap Damar sebentar, sebelum kembali menoleh pada Geo.
"Gue lebih ahli dari ni anak." Tunjuknya pada Damar, "jadi besok lu latihan sama gue aja."
"Ih, bacot banget." Geo sedikit menggumamkan kata tersebut yang tidak didengar baik Damar dan juga Ardan.
"Gue cabut." Pamit Geo. Anak itu sedikit berlari, takut ditarik lagi sama Ardan.
Sementara itu, Ardan ditinggal berdua bersama Damar yang masih memandangi kepergian Geo. Bocah berkulit gelap itu segera menoleh pada Ardan, "Lo gak usah repot-repot. Geo urusan gue."
"Emang lu siapanya, Geo?" Ardan sedikit menggertakkan giginya karena kesal.
"Temen sebangkunya."
Sang atlet basket mendecih, "besok Geo latihan sama gue aja."
Damar tidak langsung menjawab. Anak itu membenarkan letak tasnya, dan berkata, "ya...silakan aja kalau Geo mau."
Damar hendak pergi dari lapangan itu, namun ia berbalik untuk mengatakan sesuatu pada Ardan, "posesif amat, sih, lu? Kayak pacarnya Geo aja."
Setelah itu, Damar dengan tak berdosanya pergi meninggalkan Ardan yang sekarang sedang termenung kaku atas ucapan Damar lagi.
Pacar, yaa...
Ardan tidak sadar, kini wajah hingga telinganya memerah dan badannya masih belum bergerak.
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top