Ch 6; Acidentally Meet A New Person
Jangan lupa, ya! Setelah baca, vote dan komen!
Geo melirik adik sepupunya yang tiba-tiba melenguh keras dengan kedua tangan menutup kepalanya.
"Panas?"
"Hu um" Jawab remaja 13 tahun itu.
Geo hanya tersenyum dan ikut menutup kepala adik sepupunya dengan tangan kirinya. Karena Geo lebih tinggi, mudah saja dia melakukan itu hingga adiknya tersenyu,.
"Andai kita ada motor. Pasti bisa lebih cepet."
Geo yang mendengar itu menghela napas dan memandang sepupunya dengan tatapan sedih. Di rumah memang tidak ada kendaraan lain selain sepeda dan mobil pick up milik pamannya.
Mobil pick up pun dikhususkan untuk membawa daging ke pasar. Sementara Tante Hana ke tempat kerja menggunakan angkot atau ojek online.
Jadi, mereka bertiga –anak-anak biasanya berangkat menggunakan bus atau sepeda yang sering rusak karena sudah terlalu tua. Itu pun juga hanya 2 saja –milik Geo dan William. Nathan belum memilikinya.
"Tadi kakak udah nawarin naik sepeda, lhoh."
Hari Minggu ini, Nathan memang meminta Geo untuk menemaninya ke toko alat tulis, ada yang ingin anak itu beli katanya.
Besok Senin akan ada kerajinan tangan yang membutuhkan banyak bahan, jadi Nathan harus membelinya ke toko alat tulis.
William mana mau menemani adiknya. Anak itu lebih memilih berdiam diri di kamar. Alhasil, Nathan memintanya untuk menemani –mana mungkin Nathan meminta pada ayahnya, yang ada malah kena omelan.
"Aku kasian sama Kak Geo kalau boncengin aku pake sepeda. Entar kecapean."
Geo tertawa dan ia mengacak rambut adik sepupunya dengan gemas. "Mana ada. Kamu 'kan kurus."
Berbeda dengan William yang sekarang berotot dan tinggi, Nathan memang kurus dan kecil. Mungkin masa pubertasnya sedikit telat, jadi badannya belum juga besar.
Nathan mendengar itu hanya mengerucutkan bibirnya. Semua belanjaan sudah ia beli dan ada di kantong belanjaan.
Tinggal pulang saja, tapi mereka harus jalan sebentar menuju halte untuk menunggu bus yang akan menuju ke rumahnya.
"Panas banget."
"Tadi gak bawa topi, sih, kamu."
Nathan kembali mendengkus keras, "Lupaaaa"
Mendengar adiknya yang terlihat frustasi, Geo malah tertawa. Ia masih menutup kepala adiknya dengan tangan yang berbalut hoodie coklat.
Ini hari Minggu, tapi tumben jalanan cukup sepi. Ya, tidak heran sebenarnya. Untuk menuju toko alat tulis langganan memang bukan jalan besar karena harus masuk lagi ke jalan yang lebih kecil.
Bukannya di tempat lain tidak ada toko alat tulis, Geo memilih toko tersebut karena memang harganya murah tapi sangat lengkap. Meski harus naik bus dulu dan jalan kaki, tapi worth it. Dari SMP, Geo selalu beli alat tulis di sini.
"Tumben sepi, ya, kak jalanannya? Biasanya ramai?"
"Hu um." Geovany diam sejenak, "mungkin banyak yang diam di rumah. Panas, sih."
"Iya panas." Nathan kembali menghela napas, "makasih ya, kak udah nemenin aku beli ini semua. Meski panas-panasan."
Geo Tersenyum dan menepuk-nepuk kepala adik sepupunya itu, "kayak sama siapa aja. Kakak senang bisa bantu Nathan, tau."
Selain itu, Geo juga tahu diri kalau dirinya menumpang. Maka dari itu, paling tidak ia baik kepada keluarga tantenya –terutama William dan Nathan.
Tinggal berbelok dan lurus sedikit, mereka akan sampai pada halte tujuan. Inginnya begitu, tapi ketika ia berbelok, tepat di depan kios fotokopi yang tutup, terkapar seorang laki-laki yang sulit berdiri karena kakinya tertimpa motor.
"Mas!" Geo langsung berlari. Nathan yang melihatnya juga ikut berlari dan sedikit panik. Ia baru pertama kali melihat orang kecelakaan.
"Mas gak papa?"
Motor sport yang cukup besar, memang sangat berat. Tapi Geo masih bisa mengangkatnya agar kembali berdiri –dibantu oleh Nathan.
Pria itu sedikit lega karena motornya bisa terangkat dan kakinya bisa bebas.
"Mas, kakimu gak apa-apa?
Pria itu masih memegangi kaki kanannya yang tadi tertindih. Pergelangan kakinya ia gerak-gerakkan sedikit untuk memastikan ia mengalami cedera atau tidak.
"Ah, Oke. Gak papa." Jawabnya. Ia melepaskan helmnya karena merasa pengap.
Geo melihatnya. Pria itu terlihat masih muda, mungkin awal dua puluhan. Ia juga memakai kacamata dan rambutnya pendek dengan style biasa.
Geo akhirnya mengulurkan tangannya untuk membantu pria tersebut berdiri. Ia tersenyum karena uluran tangannya bersambut.
Geo bisa melihat bahwa pria berkacamata itu sedikit mengaduh kesakitan dan pincang saat berdiri tadi.
"Mas jatuh dari motor?"
"Ya. Tadi pas di belokan, kaget ada kucing yang lagi berantem. Mau ngehindar, malah kena pot semen itu.
Geo menoleh dan melihat pot semen besar yang memang terletak di depan kios fotokopi tersebut. Pot tersebut memang belum lama dibuat –Geo paham karena sering lewat jalan ini ketika naik bus dari sekolah.
"Kaki mas gak patah, kan?"
Bukannya menjawab, pria tersebut malah tertawa, "enggak kok. Itu sebenarnya gue udah berdiri. Tapi karena kaki sedikit luka, lemes dah gue. Terus jatuh, tapi motor ini gak langsung nimpa kok."
Geo sepertinya kurang paham dengan penjelasan tersebut, jadi dia diam dan menunggu penjelasan lainnya.
"...gue sempat nahan beberapa saat, tapi karena berat, kujatuhin perlahan –eh malah kena kaki." Lanjut pria tersebut sambil menggoyang-goyangkan kaki tangannya secara pelan untuk meyakinkan Geo.
"Oh..." Geo mengangguk-angguk paham, "mas luka?"
Ia menaikkan celananya untuk melihat lukanya. Ada sedikit lecet di bagian lutut dan memar biru di bagian mata kaki.
"Ya, dikit. Gak apa-apa, masih bisa bawa motor gue."
"Bentar, mas."
Geo menghadap ke arah adik sepupunya untuk menunggu di sini, sementara dia akan menuju ke apotek yang ada di dekat halte itu.
"Eh, gak usah."
"Gak apa-apa, mas. Takut nanti infeksi, mending dibersihin dulu."
Geo berlari untuk menuju apotek yang ada di dekat sana. Sementara Nathan, duduk di pinggir kios fotokopi sambil menunggu kakak sepupunya, Anak SMP itu tidak berkata apa-apa pada pria berkacamata di depannya. Jadi, mereka berdua sama-sama diam.
.
.
.
Rayan Wardana –dia hari ini sangat sial. Sudah harus datang ke kampus dari semalam. Ketika diperbolehkan pulang, malah mengalami kecelakaan.
Ia kini duduk di trotoar. Jika pemuda tadi tidak menolongnya, mungkin kakinya akan mengalami cedera. Kenapa hari Minggu malah jalanan sepi, sih? Dirinya hampir menelpon ambulance jika tidak ada orang yang menolongnya tadi.
"Minum dulu, mas."
Rayan mendongak dan kaget karena pemuda tadi sudah ada di sampingnya dan menawarkan minum. Dengan ragu, ia menerimanya dan meminum air mineral itu.
Ah, segarnya... Ia memang butuh minum, sih. Lagi pula, cuaca panas banget.
Bisa minggir ke sini mas. Deketan aja sama adikku."
Sejenak, Rayan terdiam dan memikirkan sesuatu, "buat apa ya?"
Pemuda itu menaikkan kantong plastik putih, "obatin kakinya mas."
"E-eh, gak usah. Nanti gue obatin di rumah aja, deh."
Rayan melihat kalau pemuda itu berdecak kesal, "nanti sampe rumah bisa langsung istirahat aja. Udah sini, mas aku obatin."
Rayan pasrah dan ia berdiri. Sedikit sulit saat berdiri karena masih terasa sakit pada pergelangan kakinya. Sambil tertatih, ia duduk di sebelah anak kecil yang katanya adik dari pemuda itu.
"Gulung celananya, mas, biar aku obati."
Rayan menurut –entah kenapa, ia juga tidak tahu. Padahal ia anti untuk bersinggungan dengan orang asing jika tidak terlalu penting. Tapi sekarang dirinya malah menuruti setiap permintaan remaja asing ini.
"Maaf, ya, kak, aku cuci dulu lukamu sama air biar bersih."
Dengan telaten, pemuda itu membasahi tisu yang baru ia beli dengan air mineral yang tadi diminum olehnya.
"Maaf, ya, mas." Ucapnya lagi sebelum membersihkan lukanya dengan tisu yang telah dibasahi, "tadi gak ada tidu basah, terpaksa harus seperti ini."
Ah.
Sebentar.... Rayan terasa kaku saat pemuda itu mulai membersihkan lukanya dan –APA ITU?
Kenapa sambil ditiup-tiup segala lututnya?!
Eh, bentar.
Rayan mencoba menstabilkan detak jantungnya yang tiba-tiba cepat. Ia merasakan kedua telinganya panas dengan perlakuan pemuda ini.
"Nah sudah."
"Su-sudah?"
Shit! shit! Shit!
Kenapa dia jadi gagap begitu?
Pemuda itu tertawa lirih, "maksudku sudah bersihnya. Sekarang tinggal olesin antiseptiknya."
Dengan telaten, pemuda itu meneteskan obat antiseptik berwarna coklat ke lukanya. Rayan sedikit mengernyit karena rasa perih yang ia rasakan.
Ia beralih dari menatap lukanya ke wajah pemuda itu.
Ah, cukup tampan juga anak ini. Apalagi kulitnya bersih dan tidak ada jerawat –pasti ia merawat dirinya dengan baik.
Wait. Apa ia sedang mengagumi wajah seorang pemuda? Seseorang yang memiliki gender sama dengannya?
Wait. Ini sudah sangat salah! Tapi entah kenapa matanya dengan nakal tidak mau mengalihkan pandangannya pada pemuda itu. Seakan-akan, matanya terpaku dan tidak bisa memandang lainnya.
" –mas?"
Ah, dilihat-lihat selain tampan, pemuda ini juga manis. Meski rambut depan menutupi wajahnya, tapi tidak mengurangi manis di wajahnya. Apalagi ketika mengernyitkan dahi, ia begitu menarik.
Oh! Ada apa dengannya saat ini?
" –mas? Mas udah selesai."
"Huh?" Ia tersadar saat pemuda di depannya menepuk bahu dan terus memanggilnya.
"Udah mas."
"Oh." Ia lalu melihat ke lututnya yang udah diberi antiseptik. "Oh, ya. Makasih, ya." Kenapa dirinya jadi kaku begini?
"Jangan ditutupin kain kasa atau plester ya, mas. Nanti lukanya gak cepet kering. Olesi aja sama antiseptik ini."
Lagi, Rayan terpaku memandang pemuda yang ada di depannya. Ia mengira, pasti dia seumuran sama Ardan.
Ah, Ardan meski seumuran pemuda ini, adiknya sama sekali tidak manis. Nurut kagak, bantah segalanya adalah hobi. Dia heran, kenapa dirinya yang pembawaannya tenang seperti ini, memiliki adik yang sangat rebel?
"Oke." Rayan menurunkan kembali kain celananya. Ia memang menggunakan celana bahan, wajar saja jika lututnya kena luka karena celana bahan tidak setebal jeans.
"Ini mas bawa obatnya. Di dalamnya ada salep buat ngilangin lebamnya." Pemuda itu menjejalkan kantung plastik putih itu ke tangan Rayan yang masih terpaku memandangnya.
"Ini..." Rayan melihat isi kantung plastik itu, "berapa harganya? Biar gue ganti."
"Eh, gak usah mas." Pemuda itu mencoba menolaknya. Ia menyuruh adiknya untuk berdiri dan beberapa detik kemudian, ada bus yang lewat.
"Eh, maaf mas. Aku pamit, ya. Busku udah dateng." Setelah itu, pemuda tersebut berlari sambil menarik tangan adiknya.
Rayan terdiam dan memikirkan sesuatu, eh bentar. Dia belum tahu nama anak itu.
"Hei –ah, sudahlah." Lagipula dia sudah naik bus, tidak mungkin kedengaran.
Rayan melihat bungkusan itu lalu ia angkat dan memandanginya. Dengan tatapan bodoh, dirinya malah menyunggingkan senyum.
"Ah, padahal kaki gue sakit, napa jadi senyum-senyum begini?"
Ia berdiri dan berniat untuk pulang. Tapi ia kembali kesal dengan pikirannya, "ah, sial. Harusnya tadi gue minta nomor hpnya."
Ya, siapa tahu kan bisa ketemu lagi sebagai bentuk ucapan terimakasin dan mengajaknya makan bersama. Niatnya seperti itu, tapi ya mau bagaimana lagi.
"Kira-kira, dia rumahnya di mana ya?"
*****
"Heh, monyet!"
Rayan menoleh ke pintu kamarnya dan kepala adiknya menyembul dari sana. Beberapa detik kemudian, anak itu masuk ke dalam kamarnya dengan membuka pintunya lebar-lebar.
"Gak sopan panggil kakak sendiri monyet."
Anak itu terdiam sesaat dan melihat kaki Rayan yang memiliki beberapa luka lecet dan lebam –terutama kaki kanannya. Karena menggunakan celana pendek, jadi semua lukanya terlihat.
"Lo habis kecelakaan?"
Mendengar itu, Rayan tersenyum jenaka, "ciyeee yang khawatirin kakaknya"
"Bacot lu, kak." Tapi sang adik –Ardan mengambil kursi belajar kakaknya dan menempatkannya di dekat ranjang mahasiswa itu.
"Parah, gak?"
"Gak, kok. Cuma lecet-lecet aja."
Rayan tersenyum senang ketika wajah adiknya terlihat khawatir, "tadi ayah cerita keras banget di ruang tengah tentang kronologi kecelakaan kak Rayan."
"Terus?"
"Ya gue yang di kamar, denger lah. Kan kamar gue di lantai 1. Jadi keluar." Ia terdiam, lalu berkata lagi,"...terus nemuin lo."
Meski adiknya ini memang kadang tidak ada adab, terkadang dia masih sangat menggemaskan. Terlebih lagi ketika sedang mengkhawatirkannya seperti ini.
"Masih sakit, kak?"
"Udah enggak." Jawabnya sambil senyum-senyum tidak jelas membuat sang adik heran hingga menaikkan sebelah alisnya.
"Lu kenapa? Ceria banget padahal habis kecelakaan."
Rayan tidak langsung menjawab, ia masih senyum-senyum tak jelas dengan kedua matanya yang menatap ke langit-langit kamarnya.
"Ada hikmahnya gue kecelakaan."
"Apa hikmahnya?"
"Ketemu cowok manis."
Ardan langsung memasang wajah dingin dan suntuk. Ia tahu bahwa kakaknya seorang biseksual. Tapi baru kali ini ia melihat kakaknya kayak orang bego karena bayangin seseorang yang baru dtemuinya.
"Jadi lo kena love at first sign gitu?"
Rayan melirik ke arah adiknya, "maybe?"
"Halah, gembel lu." Ardan ingin menendang kaki kakaknya, tapi ia ingat kalau Rayan habis kecelakaan. Jadi dia hanya berdecak saja. "Siapa emangnya?" Ardan juga penasaran. Siapa cowok yang bikin kakaknya jatuh hati kembali.
"Nah itu." Rayan menurunkan senyumnya, "gue lupa gak nanya namanya."
"Lah, si tolol."
Rayan kesal karena adiknya mulai kembali mengejeknya. "Tapi dia begitu baik. Dia bahkan beliin dan obatin gue di pinggir jalan dengan telaten."
"Ciyeee yang baper. Dasar baperan lu."
"Heh! kagak ya! Gue bukan orang yang gampang jatuh hati. Ini orang beda, Dan, beneran dah!"
Ardan masih ingat, ketika kakaknya masih 18 tahun. Ia menangis semalaman setelah putus dengan ceweknya. Setelah itu, ia tidak pacaran lagi. Pernah dekat dengan salah satu cowok di kampusnya, tapi sekadar hubungan tanpa status.
Sekarang, sepertinya Rayan sudah membuka hati –atau memang tidak sengaja hatinya tertawan oleh laki-laki asing yang tadi menolongnya.
"Sepertinya tu anak seumuran lo, Dan."
"Dia masih SMA?"
Rayan berpikir sejenak, lalu ia menjawab, "ya. sepertinya masih SMA."
"Hati-hati lu, jangan pacarin umur minor."
Rayan memutar bola matanya bosan, "Iya, gue tahu. Gue kan mahasiswa hukum."
"Iya...iyaa... si paling anak hukum." Sindir sang adik yang benar-benar kesal karena Rayan sekarang sedang tertawa lepas.
Kak." Panggil Ardan.
"Ya,"
"Lo ngomong gitu, jadi aku kepikiran satu hal."
Rayan menaikkan sebelah alisnya dan memandang Ardan dengan penasaran, "apa?"
Ardan tidak langsung menjawab. Ia sempat ragu untuk mengatakannya –tahu sendiri kalau kakaknya kadang tidak bisa diajak diskusi.
"Tidak." Ardan menggeleng, "tidak jadi."
Awalnya Ardan hanya ingin mengatakan bahwa dia juga baru mengenal seseorang yang cukup menarik. Tapi dirinya juga penasaran, memang apa yang membuatnya tertarik?
Ini tertarik dalam konteks apa? Suka?
Terus suka atas dasar apa?
Makanya Ardan tidak jadi bercerita karena ia juga masih bingung dengan dirinya sendiri. Ia belum menceritakan kegelisahan ini pada siapapun. Baik Daren dan Fauzan juga belum ia ceritakan.
Tapi ia sudah seperti ini sejak dirinya makan bekal masakan bundanya bersama Geo di kantin.
"Gak jadi, kak."
****
"Habis dari mana kalian?!"
Geo terjingkat kaget ketika baru masuk, pamannya sudah berada di dapur dan memandanginya.
Geo dan Nathan memang lewat pintu belakang –di mana itu aksesnya langsung ke dapur. Mereka sengaja lewat belakang karena memang pintu depan biasanya terkunci dan Geo enggan meminta orang di rumah untuk membukakannya.
"Beli alat tulis di toko yang mau ke sekolah adek, Yah." Nathan mencoba menjawab dengan pelan, sementara Geo mencuri tatap pada pamannya dengan rasa takut.
"Heh!" Tentu saja panggilan tersebut bukan pria tujukan pada Nathan, tapi untuk Geo. "Elo yang ngajak Nathan ke sana?"
"Iya, paman." Jawab Geo pelan. Ia menunduk dan tidak berani menatap pamannya.
"Di toko jalan raya depan sana 'kan ada! Ngapain lo ngajak Nathan jauh-jauh ke sana, hah?!" Kali ini, Geo mendapat pukulan kecil pada bahunya hingga ia mengaduh sedikit.
"Ayah! Yah! Jangan marahin kak Geo! Ini Nathan yang mau, kok. Udah Yah, jangan marahi kak Geo." Dengan tenaganya yang tidak seberapa, Nathan mencoba menahan ayahnya yang hendak memukul kakak sepupunya itu.
"Masuk kamar kamu!" Perintah Paman Abim pada anak bungsunya.
"Tapi Yah –"
" –MASUK!"
Secara terpaksa, Nathan akhirnya masuk ke dalam kamar. Sebelum pergi dari dapur, ia menoleh ke belakang dan menatap kakak sepupunya dengan tatapan sedih.
"Kenapa pulangnya sesore ini, huh?"
"Maaf, Paman. Tadi nunggu busnya lama –"
Geo merasa kaget saat secara tiba-tiba telinganya ditarik oleh pamannya dengan cukup keras. Ia hendak mengaduh bersuara, tapi dirinya urungkan karena rasa takutnya. Ia takut nanti jika ia menunjukkan kesakitannya, justru pamannya akan menariknya lebih keras.
"Berani-beraninya bawa anak gue pergi jauh-jauh. Lo mau celakain Nathan?!"
Geo mencoba menstabilkan diri karena tarikan pada telinganya justru bertambah keras. Ia sampai menaikkan sebelah bahunya agar rasa sakit itu bisa berkurang.
"E-enggak, Paman. Geo beneran Cuma temenin Nathan."
"Lo itu tolol atau gimana, sih?!" Pria 2 anak itu semakin keras menarik telinga keponakannya, "Noh di jalan besar depan juga ada toko alat tulis, tolol! Kenapa gak ke sana aja?"
"Di sana kurang lengkap, Paman." Ah, Geo sudah tidak kuat lagi. Ia akhirnya mencoba menghentikannya dengan memegang tangan pamannya itu. "Tolong lepasin, paman. Telinga Geo sakit."
Saking sakitnya, mata Geo sedikit berair. Ini bukan karena ia cengeng. Tapi karena rasa sakit pada telinga yang dekat dengan mata, membuat air matanya keluar.
"Ayah!"
Geo mendengar suara Tante Hana yang baru masuk dari pintu depan. Baik Geo dan Paman Abim menoleh ke sumber suara.
Geo tidak tahu tantenya habis dari mana karena biasanya hari Minggu biasanya libur.
Wanita dua anak itu tergopoh-gopoh menuju ke arah sang suami dan keponakannya. Dengan memaksa, tante Hana melepaskan tangan sang suami di telinga Geo.
"Ada apa ini?"
Kedua mata tente Hana fokus menatap sang suami dengan tajam. Ia sungguh marah ketika suaminya sudah melakukan kekerasan pada Geo.
"Anak sialan ini membawa Nathan pergi sampai sore." Jelas Paman Abim, "dia mungkin bisa mencelakai Nathan jika dibiarkan."
"Mencelakai apa?!"
Baru kali ini Geo mendengar suara tantenya yang meninggi ketika berbicara dengan Paman Abim. Geo semakin tidak enak berada di tengah-tengah mereka berdua.
"Nathan dan Geo udah pamit dari tadi pagi padaku. Mereka mau beli perlengkapan alat tulis di Toko Jaya Baru."
Tantenya kembali berbicara dan membela Geo. Ia merasa kecewa dengan suaminya karena terus main tangan.
"Hana –"
" –Geo, kamu ke kamar saja." Tante Hana mencoba memotong ucapan sang suami dan menyuruh Geo untuk pergi dari sana.
Geo sebenarnya ragu, tapi ia menurut. Sebelum ia pergi, pamannya masih menatapnya dengan rasa dendam.
Remaja 16 tahun naik ke kamarnya. Ia tidak tahu apa yang tante dan pamannya katakan di bawah. Tapi berulang kali tante Hana meninggikan suaranya.
Sudah berapa kali dirinya mendengar paman dan tantenya bertengkar. Ini bukan kali pertama. Sejak dirinya tinggal di sini, pertengkaran itu pasti ada. Terkadang, tante Hana juga mendapatkan serangan fisik dari paman Abim.
Geo merasa, keberadaannya di sini membawa bencana. Ia ingin sekali keluar dari sini, tapi ia masih sekolah, belum bekerja –tidak ada pemasukan.
Ia duduk di kasurnya dan terdiam. Ia sedikit sayup-sayup mendengar pertengkaran paman dan tantenya yang ujung-ujungnya sang paman menyalahkan Geo.
Ia mendorong anakan rambutnya ke belakang dan menunduk.
Andai ayah dan ibu masih hidup.
Geo selalu berandai-andai seperti itu ketika suasana di rumah tantenya sedang panas. Ia ingin sekali hidup tenang dan tidak menjadi beban untuk siapapun. Jika ujung-ujungnya seperti ini, harusnya dia dulunya setujju untuk masuk ke panti asuhan.
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top