Ch 46; Life After Relationship
Fauzan mengernyit bingung ketika mendengar Ardan bersiul-siul dengan cengiran lebar. Padahal jadwal mata pelajaran hari ini cukup memusingkan.
Bayangkan saja, setelah Matematika, berlanjut ke Kimia. Kini, bel istirahat telah berbunyi –akhirnya bisa bernapas lega.
"Ceria bener." Komen Fauzan pada teman sebangkunya. Ia bukannya gimana. Fauzan seneng lihat temannya sebahagia itu. Dia hanya penasaran saja alasan di balik kebahagiaan seorang Ardan Firmansyah.
"Hm?" Ardan yang sudah memasukkan buku paket Kimianya ke tas, langsung menoleh ke arah Fauzan, "ceria lah. Masa manyun mulu."
"Perasaan kemarin lu habis mencret. Tapi berangkat-berangkat kayak kagak habis sakit."
Mendengar itu, Ardan justru tertawa terbahak. Ia merangkul bahu Fauzan dan berkata, "mending kita ke kantin. Makan. Gue laper."
"Gak makan bubur aja? Lo kan habis mencret."
"Ishhh...!" Ardan mendesis dengan kesal karena Fauzan membahas itu terus. Dengan masih merangkul bahu teman sebangkunya, Ardan menoleh ke belakang untuk mengajak Daren.
"Ndut. Ke kantin, yuk?"
Seperti dugaannya, sahabat gempalnya itu tentu tidak akan menolak ajakannya ini.
"Ayok!"
Mereka berdua berdiri dan Ardan merangkul Daren yang tubuhnya besar itu.
Sementara Fauzan, hanya menggeleng pelan dan mengikuti langkah kedua temannya yang sudah berada di depan.
"Rame juga ni kantin." Komentar Ardan ketika mereka bertiga sudah sampai di kantin sekolah.'
"Udah dari dulu kalik, kalau istirahat pertama jelas rame. Kayak baru sekolah di sini aja."
Komentar sarkas dari teman OSISnya itu, membuat Ardan mendengkus jengkel.
Astagaa...
Ardan hanya basa-basi saja. Kenapa Fauzan senewen seperti itu? Pasti karena kerjaan di OSIS banyak hingga membuat sang sahabat sensitif seperti cewek lagi PMS.
"Mau pesen apa?" Daren berucap sambil kedua matanya mengelilingi seisi kantin untuk menemukan stand makanan yang tepat untuk mengisi perut gempalnya itu.
Ardan menarik tangan Daren supaya duduk seperti dirinya dan juga Fauzan dan ia menurut.
"Apa?" Daren masih kebingungan.
"Hari ini gue traktir kalian makan."
Daren yang memang di otaknya hanya makanan, langsung tersenyum lebar. Namun, Fauzan malah menaikkan sebelah alisnya karena dirinya menemukan keanehan lain lagi dari Ardan.
"Beneran?!"
Ardan mengangguk untuk meyakinkan Daren. "Beneran. Sana lo pilih makanan apa aja. Ntar gue yang bayar."
"Oke!" Daren langsung berdiri, "lo mau pesen apa, Jan?"
"Apa aja. Gue ngikut lo aja. Asal minumnya air mineral dingin." Jawab sang anggota OSIS.
"Kalo lo, Dan?" Tanya Daren pada Ardan.
"Samain aja semua gak apa-apa. Gue minumnya es teh aja."
"Okeee!" Jawab Daren dengan semangat. Ia mengambil kartu e-money yang ada di tangan Ardan dengan cepat untuk membayar semua makanan yang akan dia pesan.
Kantin di sekolahnya memang menyediakan pembayaran non-tunai untuk mencegah adanya peredaran uang palsu. Selain itu, mempercepat transaksi sehingga antrean makan tidak menumpuk hanya untuk mencari uang kembalian.
"Ah, tambahin gorengan 5 ribu ya!" Ardan sedikit meninggikan suaranya karena Daren sudah cukup jauh di sana. Daren hanya mengacungkan jempol kanannya dan kembali melangkahkan kakinya.
"Ehem!" Fauzan yang duduk di depan Ardan, melirik sahabatnya itu yang sedang fokus dengan ponselnya. "Beneran ada yang lagi seneng. Tumbenan banget traktir gue sama si gendut."
Disindir seperti itu, Ardan bukannya marah, malah tersenyum sangat lebar. Ia kantongi kembali ponselnya dan menatap Fauzan dengan wajah yang masih sumringah.
"Iya. Gue emang lagi seneng."
"Keliatan, sih. Dari kelas juga lo udah siul-siul gitu. Padahal pelajaran tadi cukup bikin kepala gue mau meledak."
Yaaa...memang. Dirinya juga pusing menghadapi Matematika dan Kimia yang terjadwal secara berurutan. Namun, hal itu tidak membuat moodnya turun.
"Seneng kenapa lo? Habis menang lotre?" Tebak Fauzan secara asal. Dia sebenarnya tidak bisa menebak apa yang membuat sahabatnya itu senang seperti sekarang.
Ardan tidak langsung menjawabnya. Ia menatap langit-langit kantin seperti memikirkan sesuatu, dan kemudian tertawa malu seperti orang gila.
"Beneran gila ni orang." Fauzan asal saja berkomentar. Tapi memang seperti itu keadaannya.
"Gue udah punya pacar, Jan."
"Eh???"
Sebentar.... Selama ini Fauzan tidak pernah melihat sahabatnya ini dekat dengan siswi manapun di sekolah. Apa pacarnya di luar sekolah ini?
"Gue gak jomblo lagi, Jan." Ucap Ardan dengan senyum yang tetap terpatri lebar di wajah tampannya.
"Siapa? Perasaan lu kagak lagi deket sama siapa-siapa di sekolah ini."
"Yaaa emang bukan dari sekolah ini."
Oh...pantes.
"Trus?" Tanya Fauzan, "wah...lu bener-bener parah kagak ngasih tahu gue pacar baru lo."
Ardan masih cengar-cengir tidak jelas sambil mengetuj-ngetuk meja kantin, "ah, lu kenal kok."
"Masa???" Sumpah, Fauzan sama sekali tidak tahu. "Emang siapa?"
"Geo."
"Apa –" Fauzan melihat ke sekeliling kantin, takut ada yang dengar. "Geo?" Ulang Fauzan dengan nada sangat rendah dan diberi anggukan oleh Ardan sebagai jawaban.
"Gilaaa..!!!" Fauzan tidak bisa berkata apa-apa lagi, "kapan?"
"Kemarin. Pas gue ijin kagak berangkat." Jawab Ardan. Ia lalu melanjutkan ucapannya, "dia ada di Kota Kembang ternyata."
"Jadi... lo –wah, parah!" Fauzan yang tadi sempat kaget, kini ikut tersenyum lebar.
Ia tentu saja ikut senang. Fauzan tahu, betapa sukanya Ardan pada sosok Geo. Bahkan masih terpatri jelas di ingatannya, bagaimana Ardan menangis pedih di patah hati pertamanya saat ada masalah dengan Geo.
Fauzan bahkan ikut merasakan ngilu di hatinya waktu itu karena melihat Ardan yang tidak berdaya menghadapi takdir kejam yang menghantamnya.
Bagaimana ia tidak ikut sakit? Ardan yang terkenal lakik banget, sangar di lapangan basket dan selalu senggol-bacok kalau lagi marah, bisa selemah itu ketika menghadapi masalah hati.
Tapi...sekarang telah berubah. Sahabatnya telah melalui semua cobaan itu dan sekarang tinggal memetik buah manisnya.
Fauzan memajukan tubuhnya dan menepuk bahu Ardan dengan cukup keras, "congrats, bro." Ia menepuknya lagi, "gue gak nyangka lo bisa raih kebahagiaan lo sendiri."
Ah...
Ardan jadi terharu ketika Fauzan menepuk bahunya. Ia masih ingat, ketika dirinya menangis lemah di hadapan dua sahabatnya karena urusan asmara.
Jika ia tidak memberitahukan kabar bahagia ini, tentu akan sangat jahat.
Mereka langsung terdiam ketika makanan yang Daren pesan telah datang bersamaan dengan bocah gempal itu di belakang mamang mie ayam.
Ah.. Ternyata Daren memesan 3 porsi mie ayam. Sebenarnya Ardan lebih pengin makan opor, sih. Tapi karena dia juga ngikut Daren, tak apa lah.
Remaja bertubuh besar itu datang dengan membawa nampan yang berisi 2 es teh dan satu air mineral.
"Makasih, mang, udah dibawain." Ucap Daren pada penjual mie ayam setelah makanan tersebut sampai di mejanya dengan selamat.
"Nih minumannya."
Daren meletakkan tiga minuman ke masing-masing pemiliknya dengan hati-hati. Ia pun tersenyum lebar ketika tugasnya telah selesai dan balik ke stand minuman yang ia pesan untuk mengembalikan nampan.
"Tumben kagak males. Biasanya buang sampah jajannya aja, dia kumpulin di laci meja." Ucap Fauzan tertawa geli. Ia semakin tertawa lebar ketika Daren kembali dengan sedikit berlari, membuat perut gempalnya bergetar karena gerakannya itu.
"Jangan lari-lari. Gue sama Ardan gak bakal embat makanan lo."
Daren yang mendengar itu, hanya berdecih kesal. Tapi ternyata ia membawa gorengan yang memang baru jadi.
"Dan, gue pesen 10ribu. Dikit banget kalau 5ribu."
Ardan memang kagret ketika melihat piring gorengannya begitu menggunung. Ternyata memang Daren memesan 10ribu, tidak sesuai dengan pesanannya tadi.
Ya udah deh. Karena hari ini dia yang traktir, tidak masalah.
"Iya..." Jawab Ardan, "silakan dimakan sampai kenyang. Kalau kurang, beli lagi pake uang sendiri."
"Yeeeuuu kirain ditraktir lagi." Daren memang tidak tahu diri, jadi asbun aja bilang kayak gitu.
"Keenakan lo!" sindir Ardan, "sini kartu gue!" Ardan merebut kartunya yang nongol di saku dada milik Daren.
Untungnya ia sudah top-up banyak, jadi bisa bayar makanan teman-temannya.
Daren tidak menunggu lagi, ia langsung melahap seluruh makanan yang ada di depannya seperti tidak ada jeda napas.
Tapi ia menatap heran pada Fauzan yang terlihat senang dan sesekali menepuk bahu Ardan dengan ekspresi bangga.
Sepertinya, ia ketinggalan sesuatu.
"Kenapa lo nepuk-nepuk bahu Ardan, Jan?"
"Huh?" Fauzan menoleh ke arah Daren dan mencerna pertanyaan Daren yang ada di samping Ardan, "ohh.... ini, gue bangga aja karena Ardan udah gak jomblo."
"UHUK –" Daren yang sedang meminum es tehnya, langsung tersedak setelah mendengat ucapan Fauzan. "Udah gak jomblo?!" Ia menoleh pada Ardan yang ada di sampingnya.
Ardan yang dipandangi seperti itu, hanya tersenyum lebar pada Daren dan menepuk lengan gempalnya main-main.
"Lo jadian sama siapa?" Daren merasa kecewa karena dirinya baru tahu, "jadi ini traktiran pajak jadian?!"
"Jangan keras-keras, Daren...." Ucap Ardan mengingatkan, "...ya, bisa dibilang begitu. Ini pajak jadian."
"Sama siapa?!" Darren ngegas dan Fauzan tertawa melihatnya.
"Geo."
"GEO –umph!"
" –ssst! Bisa gak, gak usah ngegas gitu? Nanti orang-orang di sini denger!"
Ardan membekap mulut Daren karena meja di sampingnya mendengar teriakan teman gempalnya itu. Mau gimanapun, Geo mantan siswa di sini. OSIS pula. Tentu banyak siswa di sekolah ini tahu nama Geo.
"Iya. Geo." Ulang Ardan, "Geo yang lo kenal."
Ardan perlahan melepaskan tangannya di mulut Daren dan membuat sahabatnya itu bernapas lega.
"Gila lu!" Ia memukul lengan Ardan, "ada aja gebrakannya! Kapan jadian?"
"Kemarin. Dia ijin sakit ternyata nyusulin doi ke kota Kembang. Gue juga baru diberitahu tadi." Fauzan menimpali. Ia membiarkan Ardan makan dengan tenang setelah hampir dibuat jantungan dengan teriakan Daren.
"Gila...gila...gila." Daren masih tidak menyangka. Akhirnya sahabatnya itu melakukan pergerakan luar biasa. "Emang lo gila, Dan. Tapi kalo gak gini, lo juga bisa kehilangan dia."
"Iya lah. Makanya gue gerak cepet!" Ujar Ardan dengan masih mengunyah mie ayamnya.
"Jadi... Geo pindah ke kota Kembang?" Fauzan yang sejak tadi menyimpan pertanyaan tersebut, akhirnya menyampaikannya secara langsung. Ia penasaran, dari mana Ardan tahu keberadaan Geo hingga bisa menyusulnya.
Baik dirinya dan juga Daren, memang sudah tahu perihal kepindahan Geo karena ayahnya Ardan.
Mereka berdua juga sempat menenangkan Ardan yang begitu frustasi karena kepindahan Geo waktu itu.
Fauzan bahkan pernah kalang kabut, waktu Ardan menyampaikan dirinya tidak bisa mengerjakan tugas kelompok karena habis dihajar ayahnya.
Ia bahkan membantu Ardan membeli obat di apotek di dekat sekolah ketika sahabatnya itu datang dengan kondisi luka di beberapa bagian tubuhnya.
"Ya." Jawab Ardan, "entah emang takdir Tuhan atau gue beruntung, adiknya Geo yang masih SMP keceplosan ke kakak gue mengenai tempat tinggal Geo sekarang."
Fauzan ingat, Geo memang memiliki dua adik sepupu. Dan yang paling kecil, terlihat cukup polos.
"...dan gue berterimakasih banget sama kak Rayan yang juga bantu gue nyariin Geo di sana."
"Eh, lo udah baikan sama kak Rayan –" Lagi-lagi mulut Daren dibungkam. Kali ini oleh Fauzan yang memasukkan gorengan secara paksa ke mulutnya.
Tentu saja Fauzan tidak enak jika masalah keluarga ditanyakan seperti ini meski mereka berdua telah akrab.
Ardan tertawa. Ia lalu melepaskan tangan Fauzan yang masih menahan gorengan di mulut Daren.
"Gak apa-apa." Ucapnya pada Fauzan, "iya. Gue udah baikan sama kak Rayan. Udah cukup lama, kok."
Entah kenapa, Fauzan lega mendengar itu. Ia tidak bisa membayangkan jika antar saudara kandung saling bertengkar.
Dirinya saja yang memiliki adik perempuan di rumah, jika habis bertengkar, akan merasa iba melihat adiknya yang diam setelah ia marahi.
"Syukur, deh." Ujar Fauzan. Kini ia tahu bahwa Ardan mengetahui tempat tinggal Geo karena bantuan kakaknya.
"Apa-apaan, sih, lu Jan?! Astaga... untung mulut gue lebar jadi kagak luka kena gorengan." Daren bersungut-sungut marah, tapi mulutnya sibuk mengunyah gorengan yang tadi telah masuk.
"Gak ada kek gitu, ya, Daren. Asbun banget mulut lo." Ardan menimpali karena ucapan teman gembulnya itu memang terdengar hiperbolis.
"Eh, Dan." Fauzan tiba-tiba memanggil. "Tapi...bokap lo belum tahu hal ini?"
Senyum di wajah Ardan langsung pudar ketika mendengar Fauzan menanyakan hal tersebut.
"Belum...dan gue gak bakal biarin hal ini diketahui bokap."
Daren yang sejak tadi makan, menghentikan kegiatannya itu karena merasa iba dengan sahabatnya. Dipeluklah bahu Ardan untuk menguatkan.
"Tenang, bro. Gue sama Fauzan bakal bantu nutupin ini dari bokap lo." Daren memberikan kata-kata penenang agar Ardan bisa senyum lagi. "Ya, gak, Jan?"
Fauzan langsung mengangguk dan tersenyum. "Ya. Gue bakal jaga rahasia ini dan biarin lo sama Geo jalani hubungan ini dengan bahagia."
Tuhan memang adil...
Ketika ayahnya begitu keras dan sering membuatnya tersiksa, ia memiliki sahabat, kakak, dan ibu yang begitu menyayangi dan mendukung setiap apa yang dirinya lakukan.
Ia sungguh sangat bersyukur dan tidak ingin kehilangan mereka semua.
"Thanks, bro. Gue bakal sering-sering dah traktir lu pada."
Tentu saja yang merasa sangat senang adalah Daren sendiri. Remaja gempal itu menari-nari senang di bangku kantin sambil terus mengganyang mie ayamnya.
"Rayan! Rayan!" Lina yang masih sibuk di dapur, berusaha untuk memanggil anak sulungnya untuk makan malam. Namun, mahasiswa tersebut tidak kunjung turun dari kamarnya.
"Ke mana, sih, tu anak?"
"Ada apa, bund?"
Lina sedikit terjingkat ketika mendengar suara sang suami yang secara tiba-tiba sudah berada di belakanggnya.
"Eh, ayah." Lina masih memanaskan tumisannya. Bi Mirah memang ijin tidak berangkat karena ada saudaranya yang hajatan di luar kota.
Alhasil, ibu dua anak itu yang masak untuk orang rumah. Untuk urusan bersih-bersih, Lina mengandalkan jasa cleaning yang ada di aplikasi.
"Ada apa panggil-panggil Rayan terus?"
Lina tersenyum kaku. Suaminya ini memang tidak suka bila ada orang yang teriak-teriak di rumah, "ini. Tadi 'kan Rayan udah turun. Malah naik ke atas lagi. Bunda mau suruh dia panggilin Ardan buat makan."
"Oh." Hanya respon singkat itulah yang keluar dari mulut sang kepala rumah tangga. "Biar ayah saja yang panggilin Ardan."
Mendengar itu, Lina terkejut. Ia langsung mematikan kompornya dan berbalik untuk melihat mata sang suami, "serius, Yah?"
"Memang kenapa?"
Hanya memanggilkan Ardan, bukan? Kenapa istrinya begitu terkejut seperti itu?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Indra bergegas untuk berjalan menuju kamar si bungsu.
Ia tidak mengetuk pintu kamar Ardan dan langsung membukanya.
Pemandangan pertama yang ia lihat saat membuka pintu kamar tersebut adalah Ardan yang sedang fokus di meja belajar.
Karena meja belajar Ardan membelakangi pintu, membuat remaja tersebut tidak menyadari kedatangan sang ayah. Terlebih lagi, kedua telinga Ardan tersumpal dengan headphone yang sedang memutar musik.
Indra melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam. Dari belakang, ia mengintip apa yang sedang dikerjakan oleh anak bungsunya.
Pandangannya terpaku pada apa yang dikerjakan Ardan saat ini. Anak yang dikenalnya rusuh, ugal-ugalan dan sering membantahnya, kini sedang beljar dengan serius.
Di buku catatannya, Ardan menggambarkan saluran pernapasan dengan sangat rapi beserta penjelasannya yang tertulis di samping gambar tersebut.
Indra terpaku dan tidak percaya bahwa yang ada di depannya saat ini adalah anaknya.
Ia baru sadar.
Ternyata anak bungsunya sudah berubah.
Apakah didikannya selama ini cukup berpengaruh atas perubahan Ardan?
Indra tidak bisa menyimpulkan hal tersebut begitu saja. Sebab, perubahan bisa saja terjadi bila datang dari orang itu sendiri.
Ayah dua anak itu melirik ke arah jam dinding yang ada di kamar Ardan. Sudah menunjukkan pukul 7 kurang 15 menit. Jam makan malam sudah lewat sebenarnya.
Tidak ingin mengagetkan si bungsu, Indra menepuk pelan bahu Ardan secara pelan. Hal tersebut membuat remaja itu terjingkat dan menoleh ke belakang..
"Ayah?"
Ardan buru-buru melepas headphone dari kepalanya dan berdiri menghadap ayahnya.
"Makan." Ucapnya, "bunda udah masak. Belajarnya terusin nanti."
Setelah itu, kepala rumah tangga tersebut, berlalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Sementara Ardan, ia berdiri mematung di sana dan tidak menyangka bahwa barusan ayahnya memanggil Ardan untuk makan.
Ayahnya yang keras dan enggan masuk ke kamar Ardan dengan alasan kamarnya berantakan, baru saja keluar dari kamarnya dan menyuruh dirinya makan?
Ardan speechless...
Tidak ingin membuang waktu lagi, Ardan meletakkan pensil yang sedari tadi ia pegang dan berjalan keluar dari kamar untuk memulai makan malam.
Ketika Ardan sampai ke meja makan, ayahnya sudah duduk di kursi yang biasa beliau tempati. Sementara sang ibu, sibuk sibuk mengambil nasi untuk sang kepala rumah tangga.
Semua makanan telah dihidangkan di meja makan. Ibunya memang jago masak meski ada Bi Mirah yang juga sering memasak untuk keluarga ini.
Ia tidak melihat kakaknya. Padahal biasanya, si sulung tidak pernah telat bila makan malam bersama seperti ini.
"Ardan mau bunda ambilin juga nasinya?" Lamunan Ardan terpecah, ketika ibunya menawarinya nasi.
Ardan tentu saja menggeleng. Ayahnya akan berkomentar pedas jika ia berani menyuruh istrinya mengambilkan nasi untuk Ardan.
"Gak usah, Bund. Ardan aja yang ambil." Si bungsu melirik ke arah ayahnya yang sedang memilih lauk untuk ditaruh di piringnya.
"Lohh...kakak kok baru turun? Tadi disuruh manggilin adikmu, malah gak balik-balik dari kamar." Ibu dua anak tersebut berucap protes pada si sulung, "akhirnya ayah sendiri yang inisiatif manggilin Ardan."
Ardan mendongakkan kepalanya ketika mendengar kursi di sebelahnya digeser dan kakaknya sudah duduk di sana.
Ah... ternyata harusnya yang memanggilnya adalah sang kakak.
"Maaf, bunda..." Rayan menoleh pada ayahnya, "maaf, Yah. Tadi Rayan harus mengirimkan laporan ke dosen dulu. Jadi mengoreksi laporan itu sebentar sebelum dikirim."
Sang bunda hanya mengangguk paham. Sementara ayahnya berdeham dan tidak peduli lagi.
Mereka pun sibuk untuk makan malam tanpa ada suara. Hanya dentingan sendok dan garpu dengan piring yang terdengar sebagai latar belakang suara saat itu.
Namun, diam-diam, Ardan melirik kembali ke ayahnya yang sedang sibuk makan.
Ia baru menyadari bahwa ayahnya datang ke kamarnya bukan atas suruhan ibunya. Tapi inisiatif dari ayahnya sendiri.
16 tahun dirinya hidup, ia tahu bahwa ayahnya orang yang kaku dan enggan mengurusi hal sepele dari anak-anaknya, termasuk memanggilnya makan ke kamar.
Sedari kecil, baik Rayan dan Ardan, sudah harus keluar kamar ketika makan malam tiba karena di waktu tersebut, semua keluarga telah selesai dari aktivitasnya masing-masing.
Jam setengah 7 adalah waktu biasa bagi keluarganya untuk makan malam. Jika sang ayah lembur, diusahakan sore hari pulang dulu dan akan kembali ke kantor setelah makan malam.
Ardan masih ingat ucapan ayahnya dulu saat ia masih kecil bahwa ruang makan adalah tempat terbaik untuk menyatukan keluarga.
Paling tidak, dalam sehari harus makan bersama –dan sang ayah memilih waktu makan malam.
"Ardan"
Suara dalam sang ayah, langsung membuatnya bangun dari lamunan dan menatap sang kepala rumah tangga.
"Ya, ayah?"
"Tadi...kamu lagi belajar?" Terdengar dari nada suaranya, sang ayah terlihat ragu untuk menanyakan hal ini.
Sementara itu, baik sang ibu dan Rayan, memandang heran pada ayahnya dan juga Ardan. Mereka berdua memang tidak tahu apa yang Ardan lakukan ketika dipanggil di kamar oleh ayahnya.
"Ya. Ada tugas biologi."
Sambil menyendok makanan di suapan terakhir, Indra berdeham sebelum berbicara, "Banyak tugasnya?"
Lina dan si sulung –Rayan, tidak ada yang bersuara. Mereka berdua seperti membiarkan sang kepala rumah tangga berbicara dengan putra bungsunya.
Kapan lagi mereka melihat pemandangan seperti ini setelah pertengkaran tersebut?
Meski masih terasa sangat kaku, tapi Lina melihat, suaminya begitu peduli dengan Ardan.
"Gak terlalu, Yah." Jawab Ardan dengan singkat. Remaja itu telah menyelesaikan makan malamnya dan minum air putih untuk melegakan tenggorokan.
"Kamu boleh belajar giat, tapi harus cukup waktu istirahatnya."
Padahal Ardan ingin segera pergi dari ruang makan. Tapi tiba-tiba ayahnya mengatakan demikian.
Ardan memandang ke arah pria dewasa yang ada di ujung meja tersebut dan tersenyum tipis.
"Iya, ayah."
"Ayah mau nambah lagi?" Untuk memecah ketagangan saat ini, Lina menawarkan makanan kembali kepada suaminya. "Apa ayah mau coba manisan kolang-kaling buatan bunda?"
Sang kepala rumah tangga terlihat terusik dengan penawaran dari istrinya, ia menghela napas panjang tapi tetap merespon sang istri.
"Boleh. Jangan tambahin air gula lagi."
Ibu dua anak itu memang membuat manisan kolang-kaling yang tidak terlalu manis karena sang suami biasanya tidak suka makanan manis-manis.
Untuk mengakalinya, ia membuat air gula agar anggota keluarga lainnya bisa menambah rasa manis sesuai keinginan.
"Baik." Lina langsung mengambil gelas pendek yang telah ia siapkan di atas meja, dan menaruh manisan tersebut ke dalamnya.
"Ardan."
Lagi, remaja tersebut terjingkat saat suara sang ayah memanggil namanya, "ya?"
"Kurangi main basket. Jika kamu belajar seperti ini terus, semester ini pasti bisa masuk sepuluh besar di kelas."
Ardan terdiam, sementara Rayan mulai panik untuk menunggu respon sang adik.
Padahal, Ardan sudah cukup senang dengan nasihat ayahnya di awal.
Ia tahu, ayahnya tidak akan berubah dengan cepat. Dari awal memang sudah dilarang bermain basket dan harus fokus pada nilai-nilainya.
Kenapa Ardan harus kecewa hanya karena nasihat awal tadi?
Harusnya sudah terbiasa dan menerimanya, bukan?
"Baik, ayah."
Sudahlah. Ardan tidak ingin memulai keributan. Terlebih, dirinya baru menjalin hubungan dengan Geo. Jika ia kembali berulah, bisa-bisa semuanya terungkap.
Ia tidak masalah bila harus mengorbankan hobi basketnya. Paling penting, ayahnya sudah merasa senang dengan kerja kerasnya dalam menaikkan nilai serta tidak mengganggu Geo, itu akan Ardan syukuri sekali.
"Boleh Ardan kembali ke kamar?" Ardan sudah tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Ia tidak tahu bagaimana nanti emosinya jika sang ayah kembali menasehatinya.
Jika nanti ia terpancing, bisa kacau lagi. Lebih baik ia melarikan diri sebelum sang ayah kembali mengeluarkan suara.
"Loh? Tidak makan manisan kolang-kaling dulu? Seger loh, ini udah bunda masukkin kulkas dari tadi siang."
Padahal Lina sudah memegang gelas untuk menampung manisan yang akan diberikan ke anak bungsunya.
Ardan yang mendengar itu, hanya tersenyum ke arah wanita tersebut, "tidak usah, bunda. Ardan masih banyak tugas. Mungkin nanti setelah selesai, Ardan makan manisannya."
"Benar?" Tanya Lina pada anak bungsunya. Ardan hanya mengangguk untuk meresponnya, "ya udah. Nanti bunda masukkin gelas manisan kamu di kulkas, ya?"
Ardan kembali mengangguk. Ia berdiri dari kursinya dan kembali pamit kepada anggota keluarganya yang masih berada di meja makan.
Sebelum masuk ke kamar, Ardan sempat mendengar ayahnya mengucapkan sesuatu kepada sang ibu.
"Kalau Ardan dipanggilkan guru privat, bagaimana menurut bunda?"
"Boleh saja. Asalkan ditanya dulu sama anaknya."
"Bunda mau 'kan menanyakan ini pada Ardan? Nanti ayah bisa carikan guru privat ke sini."
Terserah lah...
Mau dicarikan guru privat atau dirinya didaftarkan ke lembaga bimbingan belajar, Ardan tidak begitu peduli.
Asalkan sang ayah tidak mengganggu Geo dan hubungannya tidak terbongkar, Ardan akan lakukan semua keinginan pria paruh baya itu.
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top