Ch 45; I Fond You, Geovany
Ardan ada di sini.
Di Kota Kembang yang sekarang menjadi tempat tinggalnya.
Ardan telah melewati berkilo-kilo meter dari rumah ke kota ini sendirian hanya untuk menemuinya?
Ada perasaan gamang yang sulit sekali ia jelaskan secara detail setelah mengetahui fakta satu ini.
Ia yang sudah sekuat tenaga menghindari Ardan.
Ia pula yang selalu menanggapi semua ucapan Ardan dengan kasar dan tidak membelanya ketika William menghajar pebasket muda itu.
Namun, Ardan tidak menyerah.
Ungkapan yang telah pemuda itu lontarkan beberapa bulan lalu kembali Geo ingat. Di mana Ardan berkata jika ia menyayanginya.
Itu.....benar-benar sungguhan?
Geo terlahir di keluarga lengkap sampai umurnya 10 tahun. Setelahnya, ia menjadi seorang yatim-piatu yang mengandalkan belas kasihan dari orang-orang.
Ia beruntung, Tante Hana merawatnya dengan dedikasi tinggi. Semangat hidupnya kembali muncul, ketika dua adiknya menganggap Geo seperti kakaknya sendiri.
Kini, ia menerima rasa cinta lagi yang sama besarnya seperti Tante Hana, Wiilliam dan Nathan –dan itu dari Ardan.
Seorang remaja asing yang ia kenal ketika memergokinya menaiki tembok belakang sekolah saat terlambat.
Seorang remaja yang awalnya bukan siapa-siapa....kini menganggap Geo menjadi sosok yang penting di hidupnya?
Baru pertama kali Geo merasa sangat dihargai oleh orang lain setelah keluarga Tante Hana.
"Uhum!" Rayan tiba-tiba berdeham keras, "kalian akan saling tatap seperti ini di pinggir jalan?"
Kedua remaja sebaya tersebut langsung berkedip seakan-akan mereka baru sadar bahwa ada orang lain, selain Ardan dan Geo.
Rayan meringis canggung ketika ditatap oleh Ardan dan Geo. Kemudian ia menepuk tangannya sekali dan merangkul keduanya untuk masuk ke gedung tersebut.
"Kosmu di lantai berapa, Ge?"
Geo yang masih dirangkul mahasiswa tersebut, menoleh dan menjawab lirih, "di lantai dua. Di ujung sana." Geo menunjuk salah satu kamar di lantai dua yang terlihat jelas dari pekarangan depan gedung ini.
"Ah," Rayan mengangguk mengerti, "silakan kalian bicarakan masalah masing-masing. Selesaikan hari ini juga, sementara kakak, menunggu di kursi taman itu."
Rayan menunjuk bangku taman dengan dagunya yang memang terlihat sejuk karena berada di bawah pohon yang rindang.
"Kak..." Ardan memprotes ucapan kakaknya, tapi Rayan justru mendorong tubuhnya untuk berjalan mengikuti Geo menuju ke kamar pemuda itu.
"Udah sana."
Pada akhirnya, Ardan mengikuti langkah Geo untuk menuju ke lantai dua, di mana ada kamar Geo yang ada di ujung sana.
"Mari masuk. Sori kalau kamar gue berantakan." Geo mempersilakan Ardan untuk masuk duluan dan mengaktifkan lampu ruangan agar tidak gelap.
Ardan pun melepaskan sepatunya dan masuk ke dalam. Kedua matanya menjelajah isi dari ruangan tersebut dan Ardan menyimpulkan bahwa Geo hidup dengan baik di sini.
Kamar Geo memang tidak terlalu luas, tapi lebih besar dari kamar Geo yang di rumah Tante Hana.
Di dalam hanya ada ranjang, lemari yang tidak terlalu besar, serta meja belajar yang menghadap ke jendela luar.
Ada kamar mandi dalam yang sudah terpasang water heater –alat itu terlihat jelas karena kebetulan, pintunya terbuka.
Geo yang menyadari hal itu, langsung menutup pintu kamar mandinya karena dirasa tidak sopan ketika ada orang lain melihat ruang mandinya terbuka seperti itu.
"Kamar gue emang kecil." Ucap Geo tiba-tiba. Sang pemilik kamar meletakkan tasnya ke kursi belajar dan mempersilakan Ardan untuk duduk.
Geo juga menyalakan kipas angin agar ruangan tidak begitu pengap. Geo memang tidak memilih kamar ber-AC karena cuaca di kota ini tidak terlalu panas.
"Mau duduk di kursi apa karpet?"
Di kamar itu memang ada karpet bulu yang lebarnya 90 x 120. Tidak terlalu besar memang, tapi cukup untuk diduduki dua orang.
"Di karpet aja biar nyaman." Jawab Ardan sembari memposisikan dirinya untuk duduk di atas karpet berwarna abu-abu tersebut.
"Oke."
Ah....terasa sangat canggung –batin Geo.
Sudah hampir sebulan ia tidak bertemu dengan Ardan dan sekarang harus berhadapan dengannya lagi setelah mengalami banyak hal.
"Lo...baik?" Geo memulai percakapan diantara keduanya. Ia tidak ingin kebekuan ini terus berlangsung. "Mau minum apa?"
"Gak usah." Ardan memegang tangan Geo yang hendak berdiri mengambilkannya minuman. "Gue baik." Jawab Ardan untuk menanggapi pertanyaan Geo yang pertama, "kita...duduk aja di sini. Gue mau ngomong."
Geo kembali memposisikan dirinya untuk duduk. Mereka berdua saling berhadapan, duduk bersila dengan pikiran masing-masing.
Meski dari luar Geo terlihat sangat tenang, tapi tidak dengan hatinya. Ia bahkan sudah berulang kali meneguk air liurnya sendiri karena tiba-tiba kerongkongannya terasa sangat kering.
"Mau...ngomong apa?"
Ardan yang ditanya seperti itu oleh Geo, justru merasa gugup. Ia telah melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan pemuda itu.
Ardan bahkan enggan memandang langsung ke arah Geo dan lebih memilih melihat karpet terus.
"Ardan?"
"Ya?"
Geo menghela napas karena pemuda di depannya tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, padahal ia yang mengajaknya berbicara.
"Mau ngomong apa –"
" –Ge, gue...cinta sama lo."
Tiba-tiba sekali?
Geo menoleh ke seluruh area kamarnya, takut ada orang yang mengintip. Tapi ia baru sadar bahwa kamarnya di lantai dua. Mana ada yang mengintip dari jendela? Konyol.
"Lo pasti udah nyadar tentang perasaan gue ke lo dari lama."
Geo terdiam. Ia masih mendengarkan ucapan Ardan tanpa menyelanya.
Tentu saja Geo sadar. Itulah mengapa ia menjauhi Ardan hingga pindah ke kota ini.
"Ucapan gue waktu itu beneran gak bohong." Kini Ardan mulai mendekatkan duduknya pada Geo dengan kedua mata yang tak lepas untuk menatap pemuda di depannya. "Gue beneran suka sama lo, Geo. Gue beneran cinta."
Ini ada apa, sih?
Apakah ada kamera tersembunyi di kamar ini kemudian ada MC Katakan Cinta yang masuk ke kamarnya?
Heh, mana ada, kocak!
Ini betulan!
Geo bisa lihat dari sorot mata Ardan yang terlihat sangat serius dan tidak ada candaan di wajah tampannya.
Heh? Apakah Geo mengakui kalau Ardan tampan?
Ya, memang, sih. Itu fakta, kok.
"Geo?"
Ardan yang melihat Geo terdiam dan tidak merespon pernyataan cintanya, justru merasa sangat gugup.
Jantungnya bahkan berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Meski kamar ini tidak terlalu panas, peluh di pelipisnya mulai keluar karena situasi menegangkan di ruangan ini.
Ardan kemudian mengambil tas ranselnya yang ia taruh di belakang tubuhnya. Pebasket muda itu mengambil sesuatu yang ada di dalam ranselnya.
Geo memincingkan matanya ketika melihat benda yang baru dikeluarkan oleh Ardan. Ia bahkan menahan napasnya beberapa detik, saat benda tersebut diangsurkan ke hadapan Geo.
Pemuda 16 tahun itu bingung ketika melihat dua tangkai bunga mawar merah dan kuning.
Sejak kapan Ardan membelinya? Pantas saja sedari tadi kamarnya tercium bau mawar. Ternyata pemuda itu membawanya di tas.
Adik dari Rayan itu memang sengaja membelinya ketika di jalan sebelum ke sekolah Citra Unggul.
Sebenarnya sempat ragu. Tapi harga diri seorang lelaki yang ingin mengungkapkan perasaannya, tidak ingin terlihat buruk. Jadilah Ardan berinsiatif membawa bunga.
"Anu...Dan. Ini buat gue?" Akhirnya Geo mengeluarkan suaranya setelah beberapa menit sebelumnya, dirinya diam.
"Jika lo milih warna merah, berarti lo nerima cinta gue. Tapi kalau memilih mawar kuning, lo Cuma anggap gue temen."
Heh?
Dirinya benar-benar lagi bangun atau mimpi, sih?
Geo merasa dirinya seperti di novel-novel klise remaja yang dijual di pasaran. Ia selalu menertawakan momen seperti ini ketika menonton sinetron atau novel klise. Tapi Geo tidak menyangka bahwa kejadian klise ini, muncul di kehidupannya.
Ah, lain kali Geo tidak akan menertawakan apapun mengenai karya seseorang. Siapa tahu malah terjadi di kehidupannya seperti saat ini.
"Ardan –" Geo tertawa kaku. Dirinya duduk dalam kegelisahan, "Ini...harus gue pilih?"
Ardan mengangguk. "Ya. Biar semua clear dan gue bisa tenang." Jawabnya, "jika lo terima cinta gue, gue bakal sangat berssykur. Tapi..."
Jeda sesaat, dan Ardan menunduk beberapa detik sebelum akhirnya ia melanjutkan ucapannya dengan menatap ke mata Geo langsung.
"...tapi jika lo memilih hubungan kita sebatas sahabat, gue akan berusaha menerima itu. Meski memang sakit." Lanjut Ardan dengan kedua rahangnya yang mengeras.
Geo yang melihat itu sedikit terharu sebenarnya. Ardan yang pertama kali dia kenal sangat emosional dan meledak-ledak, sepertinya sekarang lebih tenang.
Mungkin segala kejadian yang menimpa Ardan dan Geo, membuat pebasket muda itu lebih dewasa dan mengontrol diri dengan baik sehingga tidak asal bertindak seperti dulu.
"Hmm..." Geo menghela napas dan menatap kedua bunga yang ada di depannya.
Sementara menunggu keputusan Geo, Ardan sudah menatap pemuda IPS itu dengan kedua mata sendunya.
Ia sungguh telah pasrah dengan keputusan Geo nanti. Jika pun, ia hanya dianggap sebagai teman biasa...
...ya sudah. Mau bagaimana lagi?
Paling penting, dirinya masih melihat Geo sehat dan tidak menjauh darinya.
"Ya sudah. Aku pilih ini." Tiba-tiba Geo berucap sembari mengambil salah satu bunga di tangan Ardan.
"Jadi...aku dianggap teman –MAWAR MERAH?!" Ardan langsung kaget begitu sadar bahwa yang diambil oleh Geo adalah mawar merah.
Tiba-tiba bibirnya terasa kelu dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak menduga bahwa yang diharapkannya benar-benar terjadi.
Geovany Mahendra menerima cintanya?
Setelah melalui banyak hal yang menyakitkan, kini Ardan boleh memetik kisah bahagianya?
"Geo...lo –maksudnya...kamu –"
"Gue –ah, sudah saatnya pake aku-kamu, kan?" Koreksi Geo. Ia masih tersenyum manis dengan meletakkan bunga tersebut di dadanya, "aku bakal berusaha buat mencintaimu juga."
"Geo..." Ah, Ardan ternyata masih sulit menemukan suaranya.
"Usahamu begitu besar untuk bisa sampai ke sini. Taruhannya juga berisiko karena berurusan dengan ayahmu." Ucap Geo. Ia semakin mendekatkan dirinya pada pebasket muda itu.
Geo masih ingat beberapa Minggu lalu, di mana Ardan mengirimkannya pesan jika dirinya habis dipukuli ayahnya.
Ia sungguh jahat kala itu karena mengabaikan pesan tersebut. Padahal, Ardan seperti itu karena sedang memperjuangkan dirinya.
Entah mengapa, jika dipikirkan, Geo ingin menangis –membayangkan Ardan yang babak belur dipukuli ayahnya dan dia tidak bisa menolongnya pada saat itu.
Dengan pelan, Geo menaruh bunga tersebut di pangkuannya dan kedua tangannya terangkat untuk menangkup kedua pipi Ardan.
"Aku cukup terharu dengan semua usahamu. Setelah pengorbanan yang kamu lakuin untuk ini, bagaimana mungkin aku menolak?"
Jahat sekali kalau ia benar-benar menolaknya, pikir Geo. Ardan sampai ke sini, sama halnya mempertaruhkan nyawanya.
Urusan dengan Pak Indra, ia singkirkan dulu. Kali ini, ia ingin egois dan memprioritaskan hubungannya dengan Ardan.
Tidak ada salahnya mencoba ke tahap yang lebih tinggi dari sekadar teman, bukan?
Lagipula, Ardan adalah pemuda baik dan selalu memprioritaskan dirinya.
Meski ia belum pernah berkencan dengan pria –pun dengan wanita, tapi jika dirinya terus-menerus diperlakukan sebaik ini, bagaimana tidak luluh? Bodoh dirinya bila menyia-nyiakan orang sebaik Ardan.
"Geo....aku –" Ardan masih tidak bisa berkata-kata. Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Mungkin saking bahagianya, kepalanya tidak bisa memikirkan untaian kata-kata yang bisa diucapkan.
Maka, Ardan hanya memeluk Geo dengan erat. Ia membisikkan kata-kata cinta nan manis di telinga Geo yang membuat pemuda IPS itu tersenyum di bahu Ardan.
Merasakan lengan besar Ardan yang memeluk tubuhnya dengan erat, Geo pun tergerak untuk membalas pelukan itu. Ia mengelus punggung tegap dan rapuh tersebut dengan senyuman yang lebar.
"Makasih udah mau mencintai sosok seperti aku, Dan."
"Aku yang harusnya berterimakasih karena kamu mau memberiku kesempatan sebesar ini."
Ardan berjanji, ia tidak akan menyakiti Geo. Bahkan dirinya menjadi garda terdepan untuk menghadapi siapapun yang menyakiti kekasihnya –termasuk sang ayah.
"Terima kasih, Geo."
Ruangan tersebut memang penuh haru, tapi keduanya langsung melepas pelukan, ketika ada suara ketukan di kamar tersebut.
"Ardan...Geo... maaf mengganggu. Tapi ini sudah sore. Ardan, kita harus cepat pulang sebelum ayah dan bunda sampai rumah."
Ah, benar juga.
Ardan melihat jam dinding di ruangan itu yang menunjukkan pukul 4 sore.
"Kamu harus pulang."
Setelah Geo mengatakan itu, ia membantu Ardan merapikan tasnya dan membantunya untuk berdiri dengan cepat.
Geo segera membuka pintu kamar dan tersenyum ke arah Rayan, "halo kak Rayan..."
"Hai." Rayan membalas senyuman Geo, "udah, kan? clear semua urusan kalian?"
Geo tidak langsung menjawab, ia tersenyum dan mengangguk mantap. "Sudah, kak. Kak Rayan bisa membawa pulang Ardan sekarang.
"Arrgghhh gak mau pulang!"
Tiba-tiba Ardan yang ada di belakang Geo langsung merajuk. Wajahnya sangat masam dan letak tas ranselnya tidak begitu benar.
Hal itu membuat Geo membenarkan letak tali ransel di bahu Ardan –yang sekarang adalah kekasihnya – dan mendorongnya untuk keluar dari kamar.
"Udah sana pulang aja."
"Ge..." Ardan merajuk dan memegang gagang pintu kamar Geo dengan erat yang menandakan bahwa dirinya memang enggan untuk pulang.
"Ardan!" Rayan yang kesal melihat tingkah adiknya, langsung menarik remaja itu agar segera keluar, "mau ketahuan ayah, hah?"
"Kak, nanti dulu, lah. Sebentaaaarr lagi." Bujuk si bungsu pada kakaknya. Ia bahkan enggan menaruh satu kakinya keluar dari kamar tersebut.
"Gak! Cepet pulang." Rayan kembali menarik adiknya.
"Gak mauuu."
"Lo kalau kek bocah gini, gue jambak ya kepala lu –eh?"
Rayan melepaskan tarikannya pada tangan Ardan ketika ia dengan kedua matanya yang melebar, melihat Geo mencium pipi adiknya.
Sama halnya dengan Rayan, Ardan yang sedari tadi berontak, tiba-tiba terdiam kaku setelah mendapat ciuman singkat di pipi kanannya.
"Pulang lah. Ikuti kata kak Rayan biar gak ada masalah lagi."
"B-b-baiklah."
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Ardan langsung menuruti perintah Geo.
Wajahnya sudah berubah merah hingga ke telinga. Ia semakin kehilangan keseimbangannya ketika Geo memberikan senyuman manis padanya.
"Sampai ketemu lagi, Ardan..."
Pikiran Ardan masih mengawang. Ia justru memegang pipi kanan yang habis dicium Geo. Bahkan dirinya tidak protes ketika Rayan menariknya keluar dari kamar Geo.
"Pakai sepatu lo."
"Huh?" Ternyata Ardan masih belum sadar.
"Pakai sepatu lo." Ulang Rayan.
"Oh. Oke."
Geo yang melihat kekasihnya salah tingkah, sedikit tertawa. Sementara itu, Rayan terdiam berdiri dan melihat Geo dan Ardan secara bergantian.
Ah, dia benar-benar harus ikhlas kali ini.
Melihat kejadian yang mengejutkan tadi, Rayan menyimpulkan bahwa keduanya memutuskan untuk menjalin kasih.
Entah mengapa, rasa cemburu yang dulu sempat hadir di hatinya, telah hilang entah ke mana dan diganti dengan kebahagiaan.
Ia bahagia bahwa usaha adiknya hingga sejauh ini, dihargai oleh Geo dan perasaan Ardan juga diterima dengan baik.
Meski Rayan tahu, Geo yang menerima cinta Ardan, tentu memiliki konsekuensi besar yang akan dihadapi.
"Aku balik dulu." Ardan yang telah selesai memakai sepatunya, berpamitan pada Geo dengan wajah yang masih memerah.
Geo mengangguk. "Hati-hati." Ia lalu menoleh pada Rayan, "kak Rayan juga hati-hati. Makasih udah nyusulin Ardan ke sini."
Rayan tertawa, "sama-sama. Ini anak kalau gak disusulin, pasti nyasar –"
" –KAK!"
Ardan mendelik tajam pada Rayan, sementara kakaknya hanya tertawa sambil mengusak kepalanya dengan gemas.
"Kami pulang dulu, ya, Geo." Ucap Rayan.
"Ya. Hati-hati."
Geo menutup pintu kamarnya setelah pasangan kakak-adik itu menghilang dari pintu gerbang depan.
Sementara itu, mereka yang sudah jauh dari kamar Geo, si sulung langsung menggoda adik satu-satunya. Ia sudah tahan sejak tadi.
"Jadi...lo jadian, nih sama Geo?"
Dengan bangganya, Ardan membusungkan dada dan tersenyum lebar, "hooo jelas. Seorang Ardan Firmansyah gak akan ditolak."
"Ya...mana bisa ditolak. Lo udah sering nangis di depan Geo. Jelas Geo merasa iba liat lo –"
" –KAK!" Ardan menyela ucapan kakaknya dengan kesal, "jangan bilang lo masih suka sama Geo." Tuduh Ardan seenaknya, "gak bisa! Geo udah jadi pacar gue!"
Adiknya ini...
Rayan tidak tahan untuk mempiting leher adiknya di bawah ketiak dan mengacak rambutnya dengan kasar karena saking gemasnya.
"Gemas sekali adik gue satu ini..." Ucap Rayan sambil terus mengusak kasar kepala adiknya, "iya...iya...Geo milik lo. Kakak dukung 100%"
Setelah Ardan berhasil keluar dari cengkraman kakaknya, ia memandang Rayan, "beneran, kak?"
Rayan mengangguk mantap, "asal lo kasih kakak pajak jadian! Traktir kakak sekarang!"
Ardan tersenyum lebar. Entah mengapa, ia lega mendengar itu. Padahal Rayan telah mengatakan bahwa dirinya sudah menyerah dengan perasaannya. Tapi tetap saja, Ardan ingin meyakinkan hal itu sekali lagi.
"Oke. Nanti gue traktir lu semua menu di KFC deh."
"Murah amat di KFC."
"Kak, gue masih sekolah. Duit juga udah tinggal dikit –"
" –iya...iyaa..." Rayan menyela dan mengusak kembali kepala sang adik, "bercanda." Ucapnya, "tapi mending traktir kakak nasi padang aja deh yang deket rumah."
"Beneran?" Padahal, Ardan niat mau membelikan Rayan makanan paling enak di restoran cepat saji itu.
"Iya... tapi lauknya harus rendang, ayam pop sama gulai tunjang." Di akhir ucapannya, Rayan tersenyum lebar.
"Yeuuuu itu mah sama aja ngerampok!"
Tentu saja nasi padang dengan lauk-lauk tersebut cukup mahal. Tapi karena Ardan saat ini sedang senang, maka ia menyetujuinya.
"Oke. Gua traktir lu nasi padang lauk mewah!"
Mereka saling bersalaman dan berkata 'deal' secara bersamaan. Setelahnya, Rayan masuk ke mobil dan Ardan menaiki motornya.
Rayan yang sudah checkout dari hotel sejak pagi, akhirnya mengikuti Ardan ke home stay yang adiknya sewa.
Setelahnya, Ardan juga checkout dari penginapan tersebut dan sepakat untuk langsung pulang dengan Ardan di depan dengan motornya, sementara Rayan mengawasi dri belakang menggunakan mobilnya.
Dengan handuk yang masih di kepalanya seusai keramas, Geo menaruh bunga mawar merah itu di vas bunga.
Ah... bukan vas bunga secara harafiah, sih. Tapi ia mengambil botol sirup bekas di dapur kos ini dan dijadikannya vas.
Tidak lupa, ia bersihkan dulu sebelumnya dan dikasih air. Untung dia cepat-cepat menaruhnya di vas, jadi bunganya tidak layu.
Bunga pertama yang Geo dapat dalam 16 tahun hidupnya. Siapa sangka ia mendapatkannya dari seseorang yang dulu pernah ia musuhi.
"Hidup memang kadang kidding." Gumam Geo sembari terbahak sendiri. Ia menaruh vas bunga itu di meja belajarnya agar mendapatkan sinar matahari langsung dari jendela.
Kok bisa, ya, dia dan Ardan sekarang seperti ini?
Dia tidak menyangka sama sekali bahwa pertemuannya di belakang sekolah, bisa menciptakan cerita kehidupan yang baru baginya.
Apapun itu, entah kenapa, Geo bersyukur dengan garis hidupnya saat ini.
Bersekolah di SMAnya yang dulu, menjadi OSIS, ketemu Ardan dan sekarang menjalin hubungan dengannya...
Terasa menyenangkan, bukan?
Tapi tentu saja Geo merasa ada yang ganjal.
Ia bahagia dengan status barunya bersama Ardan. Namun, Ardan masih memiliki keluarga yang pasti akan menentang hubungannya –terutama sang ayah.
Akan tetapi, bolehkah Geo untuk sekali ini saja, bertindak egois dan tidak mementingkan orang lain?
Selama hubungannya hanya diketahui oleh Rayan, bukankah ia akan terus bersama-sama dengan Ardan?
Ngomng-ngomong tentang Ardan, kekasihnya, kenapa pesannya belum di balas? Belum sampai kah dia di rumah?
Semoga Ardan dan Rayan bisa sampai di rumah sebelum orang tuanya kembali. Akan repot bila Ardan ketahuan datang ke kota ini untuk menemuinya.
Lamunannya berhenti, ketika ponselnya yang ada di meja belajar, berdering.
Sedikit kecewa karena notifikasi panggilan bukan dari Ardan, melainkan dari Damar.
Tapi tidak masalah. Dia juga sudah lama tidak terhubung dengan temannya di sekolah yang dulu.
Geo menyingkirkan handuk basah dari kepalanya dan melempar secara asal. Dirinya kemudian duduk di kursi belakang.
Damar mungkin kangen dengan Geo. Biasanya mengirimkannya pesan, sekarang ingin melakukan panggilan video.
Geo dan Damar saling bertukar kabar dan cerita selama melakukan panggilan video, dan Geo cukup dibuat terhibur dengan cerita dari Damar.
"Bro, gue beneran pengin ketemu lo. Kapan, sih, lo balik ke rumah tante Hana?"
Geo tertawa mendengar keluhan dari Damar, "sabar. Weekend ini, gue pulang, kok."
"Beneran?!"
Geo mengangguk, "iya. Nanti gue kabarin. Dateng bareng Laila, ya!"
"Beres, Ge."
Mereka kembali bercerita berbagai hal tentang kehidupan masing-masing, hingga akhirnya, Damar menyadari akan sesuatu.
"Ge, itu di belakang lo bunga ya? Kelihatan masih fresh. Hayoo dikasih siapa, ya?"
"Hah? Ngarang!" Geo terlihat gugup. Ia memang melakukan panggilan video dengan berada di depan mawar tersebut. Tapi itu sungguh tidak disengaja!
"Oh....mau dikasih ke cewek di sekolah baru lo? spill dong ceweknya. Cantik, gak?"
Aduh....
Dia tidak mungkin mengatakan jika bunga itu pemberian dari Ardan. Bisa tersebar ke sekolah bila Damar tahu. Anak itu 'kan memang ember!
Ia harus segera mengakhiri panggilan ini!
Geo memiliki ide agar dirinya bisa menutup panggilan video tersebut dengan cara paling pasaran.
"Halo? Apa? –eh, Damar! Lo ngomong apa? Gue kagak denger!"
"Hah? Masa? Sinyal lagi kacau, kah di sana?"
"Haloooo? Damar? Duh sinyalnya jelek nih. Gue matiin, ya –"
Geo sengaja tidak memberikan salam perpisahan agar tidak mencurigakan. Ia langsung mematikan panggilan tersebut dan langsung menghela napas keras.
"Hahhh... syukurlah!"
Damar tidak mungkin curiga atas aksinya ini, kan? Anak itu terlalu polos dan terkadang sedikit bodoh. Jadi, mungkin aman-aman saja dia melakukan hal itu.
Pulang ya...
Nanti kalau udah pulang ke rumah Tante Hana, bisakah ia bertemu dengan Ardan?
Ia harus menyusun rencana akan hal itu. Tidak mungkin ia menyuruh Ardan ke rumah Tante Hana, bukan? Bisa-bisa Ardan dihajar sama William.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top