Ch 44; Found and Meet You


Sebuah motor Honda CBR150R berhenti tepat di sebuah perumahan cluster yang cukup sepi.

Sang pemilik motor, membuka kaca helmnya untuk melihat ke sekitar lingkungan tersebut.

"Bener ini, kan? Dari rumah sakit Sumber waras, ada minimarket, belok ke perumahan Green Garden." Ia bergumam sendiri sambil melihat ponsel pintarnya untuk mencocokkan alamat.

"Mana udah sore gini."

Remaja tersebut melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan setengah 6 sore. Padahal estimasi waktu untuk sampai ke kota ini, hanya 4 jam. Tapi tadi ia sempat salah jalan dan harus putar balik, sehingga memakan waktu 4 setengah jam.

"Telepon pemiliknya aja, deh."

Ardan, yang akhirnya berhasil sampai ke kota Kembang dengan bermodalkan nekat.

Jujur saja, ia tidak percaya diri dengan alternatif jalan yang ia pilih. Tapi dengan berbekal Google map dan tanya-tanya orang di jalan, ia akhirnya bisa sampai.

Andai dirinya sudah memiliki SIM, tidak mungkin ia mencari jalan pintas seperti ini.

Tidak masalah. Toh, sekarang dirinya sudah sampai di sini dengan selamat. Beristirahat semalam dan lanjutkan perjalanan esok hari untuk mencari keberadaan Geo.

Mengingat itu, Ardan senyum-senyum sendiri. Ia jadi tidak sabar untuk bertemu dengannya.

"Ah, iya bu. Ini saya Ardan yang nyewa kos harian di tempat ibu." Ardan langsung menjelaskan situasinya ketika sambungan teleponnya berhasil diangkat oleh pemilik kos.

"Jadi tinggal lurus aja, trus ke gang cempaka? Rumah nomor 28? Ah, oke...oke. Terima kasih, bu."

Ardan meskipun ceroboh dan terkadang bodoh, dirinya sudah mempersiapkan semuanya sebelum melakukan perjalanan ini.

Sehari sebelumnya, Ardan sudah mencari kos-kosan harian di kota ini secara online. Ketika menemukan yang tepat, Ardan langsung memesannya dan mentransfer uang mukanya.

Tidak begitu sulit. Selama dirinya masih memegang uang, Ardan bisa survive di sini.

Hanya satu kendala saja, dirinya belum menemukan sekolah Geo yang sekarang di kota ini.

Tidak perlu menemukan alamat tempat dia tinggal. Hanya dengan menemukan sekolahnya saja, Ardan bisa bertemu dengan Geo.

Tapi...ya memang belum dapat informasi lebih detail tentang sekolah Geo saat ini.

Sekali lagi, Ardan dalam hati menenangkan dirinya bahwa semua itu tidak masalah. Ia akan mencari tahu nanti ketika sudah sampai di kos-kosan sembari beristirahat.

"Memang cerdas Ardan Firmansyah ini." Dia terkekeh sendiri dengan pemikirannya. Ketika dirinya sadar bahwa langit sudah berwarna jingga dan hampir gelap, dirinya segera menyalakan motor dan menuju kos-kosan harian yang telah ia sewa.

Ketika Ardan sampai sana, kos-kosan harian yang ia sewa ternyata terlihat seperti rumah biasa. Hanya saja, sudah direnovasi sedemikian rupa sehingga ada banyak kamar di dalamnya.

Ketika Ardan sampai sana, langsung disambut oleh pemilik kos-kosan dan diberikan kunci.

Ada 5 kamar di rumah itu dan Ardan mendapatkan kamar nomor 2 yang menggunakan AC.

"Akhirnya sampai juga."

Ardan melemparkan tas dan merebahkan tubuhnya ke kasur yang empuk. Seharian dia mengendarai motor, punggung terasa sangat kaku dan kulitnya seperti terbakar. Padahal ia sudah memakai sunblock.

"Cuaca sekarang emang parah."

Remaja 16 tahun itu melihat ke sekeliling kamar. Cukup nyaman juga ternyata.

Sebenarnya ini seperti bukan kos-kosan harian. Lebih ke home stay, sih.

Tadi Ardan diberitahu sang pemilik bangunan ini, kalau ada beberapa tamu yang sudah berada di sini satu bulan karena sedang PKL dari salah satu SMK di kabupaten sebelah.

Ada juga tamu yang menyewa kamar selama 3 bulan karena pekerjaan. Dan hanya ia sendiri yang sewa kamar ini selama 2 hari.

Masih ada 2 kamar tersisa dan katanya sudah ada yang booking wisatawan yang akan berlibur ke kota Kembang ini.

Meski penginapan ini cukup nyaman, ternyata tidak perlu KTP. Bagi tamu di bawah umur, cukup menggunakan kartu OSIS sekolahnya atau fotocopy KK.

Ardan sudah menyiapkan itu semua. Makanya dia mudah saja untuk menyewa kamar ini.

"Gacor juga, nih, kalau gue bisnis ginian di tempat gue. Mana ada tanah nganggur." Ardan bergumam sendiri sambil memikirkan prospek keuntungan jika ia membuka kos-kosan harian seperti ini.

"Heh, tolol amat! Napa gue jadi mikirin bisnis?!"

Ardan segera mengambil ponsel yang ada di saku jeans sebelah kanan. Dengan terburu-buru, remaja tersebut membuka aplikasi browser untuk mencari informasi seputar sekolah-sekolah di sini.

Namun, sebelum dirinya menuju aplikasi browser, notifikasi panggilan tak terjawab dan puluhan pesan, telah masuk ke ponselnya.

Padahal tadi pada saat di gerbang depan, hpnya tidak ada notifikasi. Kenapa diabaikan sebentar, langsung banyak seperti ini?

Ardan memang sengaja memasang mode silent pada ponselnya agar selama perjalanan, tidak terganggu dengan notifikasi yang masuk. Itulah mengapa, dirinya baru sadar ada notifikasi sebanyak ini.

Semua panggilan dan pesan yang masuk berasal dari satu orang, yaitu kakaknya, Rayan.

"Kak Rayan?"

Dengan gerakan cepat, Ardan membuka pesan-pesan yang kakaknya kirim untuknya. Semua menanyakan keberadaan dirinya saat ini.

Ardan menghela napas dan melemparkan ponselnya ke samping kepala.

"Jangan bales dulu, deh." Ucapnya, "gue ogah direcokin kak Rayan."

Iya. Ardan udah tahu, kok, jika kakannya telah menyerah dengan perasaannya.

Tapi Ardan tetap saja tidak ingin Rayan ikut campur dengan situasinya sekarang. Ia hanya ingin bertemu dengan Geo tanpa ada gangguan dari siapapun. Udah. Hanya itu saja.

Saat dirinya sedang berada di lamunannya, tiba-tiba terjingkat ketika ponselnya bergetar.

Nama Kak Rayan memenuhi layar dengan panggilan masuknya tersebut.

Ardan menghela napas saja. Enggan untuk mengangkat panggilan sang kakak, remaja 16 tahun itu melemparkan ponselnya ke sisi lain ranjang dan berdiri untuk mandi.

Ia ingin merilekskan tubuh. Urusan mencari sekolah Geo, ia akan lakukan nanti setelah tubuhnya segar.

Ah, mungkin setelah makan juga bisa. Sebelum bergegas mandi, Ardan memesan makanan melalui ojek online.

Nasi dan ayam bakar sepertinya enak. Setidaknya, dirinya akan bisa berpikir jernih ketika perut tidak kosong.

Di keterangan, makanannya akan sampai 20 menit lagi. Kebetulan. Dirinya bisa mandi dulu sembari menunggu makanannya tiba.

Suara klakson yang saling bersahut membuat kepala Rayan menjadi pening. Matanya sudah berair, membuat dirinya harus melepas kacamatanya sebentar dan memijat bagian tengah pelipisnya.

Dirinya sudah cukup lelah setelah hampir 4 jam mengendarai mobilnya melewati tol.

Punggungnya juga pegal dan ingin segera merebahkan diri. Di tengah kemacetan ini, Rayan menyenderkan punggung dan menengadahkan kepalanya karena bagian leher terasa cukup kaku.

Sesekali, tengkuknya ia pijat dan suara sendawa pun keluar. Ah, dirinya pasti masuk angin.

Sementara mobilnya belum bisa dia majukan, Rayan kembali membuka ponselnya. Ia ingin mengecek, apakah pesannya dibalas oleh sang adik.

Namun, kenyataannya, tidak ada satu pun pesannya dibalas oleh Ardan.

"Ini anak lagi di mana, sih? Pesan gue dibaca tapi kagak dibalas." Gumam Rayan dengan geram. Kalau Ardan bukan adiknya, ia tidak akan rela terjebak macet seperti ini untuk menyusul remaja itu.

Ia hanya ingat Ardan yang tempo hari dihukum sang ayah. Adiknya memang bandel dan nekat. Meski sudah dihukum seperti itu, Ardan tidak ada kapoknya.

Ia sebagai kakak, sudah ngeri sendiri membayangkan ayah mereka menghukum Ardan bila tahu anak bungsunya mencari Geo.

"Dasar bocah bego." Ia tidak mungkin mengatakan ini di hadapan Ardan. Tapi saat ini dirinya sedang terbelenggu emosi, sehingga tidak bisa mengontrol ucapannya.

Pandangan Rayan tiba-tiba mengabur dan dia sesekali menggelengkan kepalanya untuk mengatasi hal tersebut. Beruntung, penglihatannya kembali normal dan arus kendaraan mulai berjalan.

"Sial. Kayaknya gue kecapekan." Rayan pun menengok jam di lengannya dan sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

Pantas saja ia capek. Dirinya habis kuliah, bukannya istirahat setelah pulang ke rumah, dirinya harus pergi lagi untuk mencari adiknya.

Bahkan dirinya belum menyentuh kasur barang sedetik!

Astaga...

Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik ia mencari hotel dan beristirahat.

Setelah keluar dari arus jalanan macet, Rayan menemukan sebuah hotel yang berada di pinggir kota –masih di jalan besar.

Ia tidak peduli harga kamar per malam dari hotel ini mahal, paling penting dirinya bisa beristirahat dan melepas rasa lelahnya.

Bangunan hotel ini cukup bagus meski tidak terlalu besar. Tapi sepertinya nyaman untuk bermalam di sini.

Rayan masuk ke dalam lobby hotel tersebut dan langsung menuju ke resepsionis.

Ia memesan sebuah kamar yang paling murah. Itu pun sudah harus deposit 800 ribu.

Untungnya ia sudah memiliki kartu kredit. Jadi mendapat potongan harga.

Ya sudah lah. Ini juga demi bisa menemukan adiknya. Umur-umur seperti Ardan memang belum bisa berpikir secara jernih. Jadi, suka bertindak semaunya sendiri tanpa pertimbangan.

Rayan tersenyum pada wanita resepsionus tersebut setelah mendapatkan kartu aksesnya untuk menuju kamar.

Karena ia tidak membawa banyak barang, tidak memerlukan bantuan bell boy.

Mahasiswa tersebut langsung menuju ke lantai 5 dan segera masuk ke kamarnya di nomor 502.

"Pantes semalam 400ribu. Ya, lumayan nyaman, sih."

Rayan bergumam sendiri sambil merebahkan tubuhnya ke kasur hotel yang empuk itu. Ia menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan.

Lega sekali rasanya karena punggungnya bisa direbahkan seperti ini.

Mungkin saking lelahnya, perut Rayan tiba-tiba berbunyi sehingga mahasiswa itu kaget dan memegangi perutnya.

"Bener juga. Gue belum makan dari tadi."

Rayan langsung mengambil tasnya yang tadi ia taruh di meja dekat ranjang. Ia ingat dengan bekal yang dibawakan oleh Bi Mirah tadi di rumah.

Kotak makan yang Rayan bawa model dua tingkat. Bi Mirah tadi berkata, kalau satunya buat Ardan jika sudah ketemu.

Sekali lagi, Rayan menghela napas sembari melihat bekal yang ada di tangannya.

Boro-boro ketemu. Pesan dan panggilannya saja diabaikan oleh si bungsu.

Karena Rayan sudah cukup lapar, ia akhirnya memakan bekal tersebut.

Sulit rasanya menelan makanan itu ketika yang ada di pikirannya hanya Ardan saat ini.

Setelah tiga suapan, Rayan berhenti dan meminum air yang ia ambil dari kulkas di kamar hotelnya.

"Gue telepon Ardan lagi kali, ya? Udah jam 10. Apa dia masih di jalan?"

Seharusnya kalau Ardan akalnya dipake, anak itu sudah menyewa hotel atau penginapan.

"Tapi 'kan Ardan belum punya KTP." ...dan Rayan baru sadar akan hal ini.

Memang ada penginapan yang menerima tamunya tanpa kartu identitas? Jika ada pun, mungkin itu hotel abal-abal yang biasa digunakan untuk para pasangan mesum.

Kekhawatiran Rayan semakin besar ketika pikiran tersebut terlintas. Ia takut jika adiknya bertemu dengan orang jahat di penginapan abal-abal itu.

Ia segera menghubungi nomor Ardan. Tapi sudah ditunggu, tidak juga diangkat.

Rayan berteriak emosi akan hal tersebut. Darahnya seperti naik ke atas karena saat ini perasaannya campur aduk antara khawatir, cemas, takut, dan marah.

"Kenapa gak diangkat, sih, Ardan!!!" Ia tidak peduli jika kamar sebelah mendengar teriakannya. Rayan sudah sangat emosi karena tingkah adiknya itu.

"Eh, gue tahu cara mancing Ardan buat bales pesan gue."

Rayan langsung mengirimkan foto yang ia capture tadi di laptopnya perihal detail informasi sekolah Geo yang sekarang di website Kementerian Pendidikan.

Rayan yakin, jika Ardan belum terpikir mencari nama Geo di website tersebut.

Maka, si sulung langsung mengirimkan gambar itu pada sang adik.

Benar dugaannya. Belum juga 5 menit, pesannya langsung dibalas. Namun, hanya satu kata yang ia terima; makasih.

Sudah.

Tidak ada kata imbuhan lainnya pada pesan tersebut. Rayan langsung menekan tombol dial untuk menelpon nomor adiknya.

Sekali lagi, Rayan dibuat kecewa karena nomor adiknya sama sekali tidak bisa dihubungi dan hanya suara operator saja yang terdengar.

"Ahh tolol!" Untuk kesekian kalinya, Rayan kembali melontarkan kata-kata buruk dari bibirnya. "Harusnya gue sensor alamat sekolah Geo sebelum ngirim. Ah bego!"

Ya sudahlah. Terlanjur.

Mungkin besok dia bisa menemui Ardan di sekolah Geo. Anak itu sudah pasti langsung ke sana menemui Geo. Adiknya itu 'kan tipe yang tidak sabaran.

Lebih baik, dirinya mandi dan istirahat agar besok bisa bangun lebih segar untuk mengejar remaja bandel itu.

Untuk urusan kuliah, ia akan meminta izin pada dosennya langsung. Untung saja, besok hanya satu mata kuliah. Jadi, tidak masalah jika ia ambil absen besok.

Sudah mandi, rapi dan dirinya butuh makan.

Ardan melihat ke jam dinding kamar penginapannya yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

Ia sudah menghubungi Fauzan bahwa dirinya hari ini absen karena diare.

Ardan tertawa sendiri mengingatnya.

Diare?

Alasan yang konyol. Tapi sepertinya Fauzan tidak mempedulikan itu. Sahabat rajinnya itu hanya meng-iya-kan dan tidak bertanya apa-apa lagi.

Paling nanti Daren yang kepo. Tapi akan ia abaikan nanti. Besok juga dirinya berangkat, jadi bisa menjelaskan semuanya pada dua sahabatnya itu.

"Gue udah cari tahu jam pulang SMA Citra Unggul. Kalau hari Selasa, biasanya pulang setengah dua."

Ardan bergumam sambil melihat ke arah jam dinding. Sebenarnya ia berniat untuk berangkat sekarang untuk menemui Geo.

Namun, sepertinya tidak efektif. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian jika menemui remaja itu di pagi hari. Jadi, ia putuskan untuk mendatanginya sepulang sekolah nanti.

Masih ada beberapa jam dirinya bisa ke sekolah tersebut. Jadi, Ardan sudah agendakan untuk pagi ini, ia cari sarapan di sekitar sini.

Beruntung juga ia menginap di sini. Jarak penginapannya ke sekolah Geo hanya 35 menit. Ia akan berangkat setegngah satu nanti.

Ia tidak peduli jika nanti cuacanya begitu terik. Di Kota Kembang, hawanya tidak begitu kering seperti di tempat tinggalnya.

"Baiklah. Cari sarapan dulu."

Ah, dia sengaja mematikan ponselnya lagi.

Ardan sangat risih jika kakaknya menghubunginya terus-menerus.

Ia bisa membayangkan, Rayan pasti kesal dengan tindakannya sekarang. Tapi ia tidak peduli.

Jika ia tidak nekat seperti ini, keburu ayah dan bundanya pulang. Besok sore, kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Untuk itulah, ia harus bertemu Geo hari ini, apapun yang terjadi.

Ia berterimakasih kepada kakaknya karena dengan baik hati –atau tololnya –sang kakak memberikan alamat sekolah Geo.

Ardan tahu, kakaknya melakukan itu demi dirinya mau membalas pesan Rayan. Tapi untuk kali ini, Ardan enggan mengaitkan masalahnya dengan sang kakak.

Jika pun dirinya nanti dihukum ayahnya, maka cukup dirinya saja, Rayan tidak boleh ikut dihukum.

"Geo!"

Geo kaget ketika sebuah lengan merangkul bahunya. Ternyata itu Angga, teman sebangkunya.

Remaja yang lebih tinggi sedikit darinya itu tersenyum lebar ketika merangkul dirinya.

"Pulang bareng gue, yak?" Angga menawarkan diri.

Geo mengernyit sebentar sembari memikirkan jawaban yang tepat, "gak deh. Gue naik angkot aja,"

"Halah. Kayak sama siapa aja. Udah dua minggu kita kenal, belum pernah main bareng, loh."

Sekali lagi, Geo merasa tidak tertarik dengan ajakan teman sebangkunya itu.

"Ayolah." Angga terus membujuk ketika wajah Geo seperti akan menolak tawarannya.

"Emang mau ke mana?"

Mereka sudah hampir sampai ke parkiran motor. Angga melihat ke langit yang cukup cerah dengan matahari bersinar terang.

"Kayaknya nanti kagak hujan. Gimana kalau muter-muter aja?"

Geo mendengkus, "lagi banyak bensin, lu?"

"Iya." Jawabnya tanpa pikir panjang, "makanya aku ajak kamu. Mau, gak?"

Geo tidak langsung menjawab. Ia sebenarnya ingin segera pulang dan rebahan di kamarnya daripada harus berkeliling di jalanan yang panas.

"Ge?" Angga kembali memanggil nama teman sebangkunya itu.

Masih dengan merangkul bahu Geo, Angga membelokkan tubuh Geo ke parkiran, tempat motornya berada.

"Udah ayolah. Ntar kuantar sampai kos kok."

Ya... Geo, sih, percaya bakal diantar. Tapi dirinya sedang malas untuk diajak pergi. Tapi...selama dua minggu lebih dirinya tinggal di sini, Geo memang belum pernah berkeliling.

Ia belum tahu beberapa tempat menarik di sini karena setiap pulang sekolah, pasti langsung pulang ke kos.

Selain ingin berhemat, Geo juga bukan tipe remaja yang suka main di luaran sana.

"Ya udah, deh." Kata Geo dengan pasrah.

Mendengar itu, Angga langsung bersorak senang dan segera mempercepat jalannya agar bisa sampai ke motornya.

Motor milik Angga bukan seperti milik Ardan yang terlihat keren dan mahal. Angga hanya menggunakan motor matic biasa berwarna putih.

"Ayo naik." Suruh Angga, "ah, iya. Ini helmnya."

Geo mundur beberapa langkah agar dirinya bisa naik ke jok belakang.

"Lo bawa 2 helm?" Geo memang sudah melihat ada dua helm yang tergantung di bagian dashboard. Tapi ia kira milik siswa lain yang numpang naruh helm.

"Tadi pagi sempet nganter ibu ke pasar. Trus helmnya aku bawa sekalian."

Geo mengambil helm coklat yang Angga sodorkan padanya dan segera memakainya. Ia pun naik ke motor matic tersebut dan memposisikan dirinya agar nyaman.

"Udah? Pegangan kalau gak mau jatuh."

Geo mendesis kesal, "Hadeh. Gue bukan cewek kalik."

Angga yang mendengar itu hanya tertawa. Tentu saja Geo bukan cewek. Dia hanya bercanda saja karena muka Geo terlihat sangat masam.

Biasanya gitu, sih. Tapi mungkin karena cuacanya panas, jadi mood Geo tidak bagus.

"Kita muter sekita sini aja, nyari jalan lain buat ke kosan lo. Jadi kayak keliling jalan-jalan, kan?"

Geo yang sudah duduk di belakang hanya memutar kedua matanya bosan dan menghela napas dengan cukup keras.

"Terserah, deh."

"Wookey! Kita jalan."

Angga pun menjalankan motornya. Sementara Geo tidak berpegangan apapun karena dirasa tidak perlu. Lagipula, motor matic tidak terlalu kencang melajunya.

Sementara itu, di luar sekolah Citra Unggul, Ardan sudah ada di sana dengan masih nangkring di motor CBR hitamnya.

Beberapa siswa yang lewat, sedikit meliriknya karena motor milik Ardan memang cukup bagus.

Sementara para siswi cekikikan karena Ardan memang tampak begitu keren dengan jaket bomber hitam-putih, celana jeans, dan helm yang kacanya dibuka.

Cewek mana yang tidak terpesona melihat cowok seperti itu? Mana tinggi pula.

Namun, semua perhatian tersebut, diabaikan oleh Ardan. Remaja 16 tahun itu tetap menatap tajam ke arah gerbang untuk menunggu seseorang yang sangat ia cari.

"Mana, sih?" Gumamnya, "harusnya udah keluar semua."

Baru berkata seperti itu, Ardan melihat satu sosok yang mirip sekali dengan Geo. Untuk mempertajam pandangannya, ia melepaskan helm.

"Itu Geo, bukan, sih?"

Benar. Itu Geo. Ia tidak salah lihat. Gaya rambutnya masih seperti dulu dan tidak berubah, itulah mengapa Ardan bisa langsung mengenalnya.

"Dia dengan siapa?"

Mood Ardan langsung berubah jelek ketika melihat Geo berboncengan dengan cowok lain.

Ia langsung teringat dengan suara cowok yang saat itu menerima teleponnya di ponsel Geo.

Genggamannya pada helm, langsung berubah kencang hingga otot-otot di tangannya terlihat.

Tanpa menunggu apapun, Ardan segera memasang helmnya kembali dan mengikuti motor matic putih itu pergi.

Ardan sengaja tidak terlalu dekat dan memberi jarak beberapa meter dari dua siswa tersebut.

Meski dirinya sedang emosi, ia masih bisa memakai logikanya untuk tidak terlalu mencolok. Nanti yang ada, Geo kabur darinya.

Setelah mengikuti kedua siswa tersebut, Ardan baru sadar bahwa Geo dan cowok tersebut hanya mengitari jalanan di daerah sini saja.

Mereka berhenti di sebuah gedung yang daerahnya cukup asri dengan banyak pepohonan di sepanjang jalan.

Ini bukan seperti rumah, lebih terlihat seperti kos-kosan. Apa ini tempat kos-kosan Geo?

Ardan sengaja memberhentikan motornya cukup jauh dan dekat dengan tikungan. Meski begitu, ia masih melihat keduanya cukup jelas.

Kini, Ardan melihat Geo turun dari motor matic itu dan hendak melepaskan helm coklat yang ia pakai.

Tapi sepertinya remaja itu kesulitan untuk melepaskannya, hingga remaja yang masih di atas motor, berusaha membantu melepaskan kaitan helm tersebut.

Ardan melihatnya dengan geram. Apa-apaan itu?! Memuakkan!

Ia menyalakan motornya dan menepikannya di dekat kedua remaja itu.

"Geo!"

Keduanya terlonjak kaget. Helm pun sudah terlepas dan Geo melihat dengan jelas orang yang tadi memanggilnya.

Kedua bola matanya membulat sempurna, manakala ia sadar bahwa orang yang sedang berjalan menghampirinya adalah orang yang ingin ia jauhi.

"Ardan?" Tanpa ia sadari, kedua bibirnya menyebutkan nama tersebut.

"Heh? Ardan?"

Tentu saja Angga tidak asing dengan nama itu. Nama yang ia lihat berulang kali muncul di layar ponsel Geo dan tidak pernah ditanggapi.

Angga juga masih ingat suara Ardan yang membentaknya pada saat ia tidak sengaja menerima panggilan cowok itu yang masuk ke ponsel Geo.

Jadi.... itu Ardan?

"Angga, lo mundur." Begitu ia sadar bahwa Ardan mendekatinya, Geo segera memasang badan di depan Angga. Ia takut, jika teman sebangkunya ini dihajar oleh remaja jangkung itu.

"Ar –Ardan? Lo kok bisa ke sini?" Geo mencoba membuka suara setelah remaja tinggi besar itu sudah berada di depannya.

Bukannya menjawab, Ardan justru menatap Angga dengan tajam. Hal itu sukses membuat Geo bertambah khawatir sehingga dirinya berusaha menyembunyikan Angga di belakang tubuhnya.

"Dia siapa?" Ardan bertanya tanpa menatap Geo. Kedua mata tajamnya masih terus menatap Angga yang hanya diam di tempat.

Melihat cowok di depannya terlihat angkuh, Angga yang sejak tadi diam, merasa sangat risih dengan sikap remaja bernama Ardan itu.

"Angga." Jawabnya. Ia balik menatap Ardan dengan tajam, "kenapa? Ada masalah?" Angga pun turun dari motornya dan ikut menatap pongah pada Ardan.

Dalam hati, Geo melenguh pasrah. Ia berusaha untuk mencegah adanya konflik, Angga malah menyulutkan api.

Lihat saja, Ardan sudah mengepalkan kedua tangannya. Ternyata, lama tidak bertemu, tidak mengubah perangai pebasket muda itu.

Ardan masih saja emosian dan tidak bisa mengendalikan diri.

"Angga. Cepetan lo pergi." Geo mendorong teman sebangkunya secara pelan agar kembali naik ke atas motornya.

Tapi sepertinya cowok Sunda itu juga telah tersinggung dengan sikap Ardan, sehingga remaja tersebut enggan menuruti perintah Geo.

"Angga, please. Lo pulang aja. Gue gak apa-apa, kok." Geo berkata lirih dan masih kekeh menyuruh teman sebangkunya pergi.

"Gak apa-apa gimana? Tu cowok keliatan gak baik." Angga memang tidak tahu apa-apa mengenai cerita antara Geo dan Ardan.

Namun, ia merasa bahwa Geo akan mengalami hal buruk jika cowok tinggi itu berada di sekitar teman sebangkunya.

"Heh, brengsek lo –"

"Udah...udah..." Geo langsung menyela. Ia berbalik dan kembali menyuruh Angga pergi, "pergi aja, Ngga. Gue gak apa-apa, oke?"

"Ya. Mending lo pergi! Ganggu!"

Nada bicara Ardan yang sombong dan angkuh, kembali menyulutkan kemarahan Angga yang membuat remaja tersebut kembali turun dari motornya dan berusaha mendekati Ardan.

Sementara itu, Geo berusaha untuk memegang tubuh Angga agar tidak berbuat lebih jauh.

"Apa? Mau hajar gue? Sini gue hajar!"

Ah...ternyata percuma saja. Geo memegangi Angga, tapi Ardan justru berlari mendekat dengan tangan kanannya yang sudah terkepal keras.

Geo sudah menduga bahwa keduanya pasti akan adu jotos di depan kos-kosannya.

Namun, sebelum itu terjadi, sebuah suara baritone yang membuat semuanya berhenti dan menengok ke sumber suara.

"Jangan berantem! Ini di wilayah orang!"

Itu adalah Rayan. Ternyata mahasiswa satu ini sedari tadi mengikuti ketiga remaja tersebut –tepatnya di belakang Ardan.

Awalnya Rayan sempat takut jika adiknya menyadari keberadaannya. Tapi sepertinya si bungsu sudah dikuasai emosi sehingga tidak memperhatikan sekitarnya.

Rayan melihat, adiknya terkejut ketika mengetahui dirinya ada berada di sini, di sampingnya dan bahkan merangkul tubuhnya agar tidak memukul Angga.

"Kak Rayan?"

Itu suara Geo. Ardan masih diam terpaku menatap kakak kandungnya.

"Halo. Hai." Rayan menoleh ke arah remaja yang ada di samping Geo dan tersenyum, "Kamu. Halo juga. Saya kakaknya Ardan."

"Kak!!!"

Rayan terjingkat kaget karena Ardan berteriak tepat di telinganya.

"Gak usah teriak-teriak." Ucap Rayan dengan suara tenang.

"Kok lo ada di sini?"

"Ya gue emang ada di sini." Rayan masih membalas ucapan menggebu adiknya dengan santai.

"Ngapain? Kok –" Ardan tiba-tiba berhenti berbicara ketika sebuah pemikiran terlintas, "Lo udah dari semalam di sini?!"

Rayan hanya tersenyum. Ia lalu menatap Angga kembali dan berkata.

"Dek, kamu pulang aja dulu. Ini Geo ada sedikit urusan. Besok ketemu Geo lagi, ya, di sekolah."

Angga terlihat bingung, tapi Geo berusaha meyakinkan teman sebangkunya itu bahwa semua baik-baik saja dan menyuruhnya untuk pulang.

Bujukan halus ternyata lebih ampuh. Nyatanya, Angga segera pergi dari sana dan meninggalkan tiga orang yang masih berdiri saling berpandangan.

Rayan menghela napas, kedua tangannya ia letakkan di pinggang dan menatap dua remaja di bawah umur yang berdiri di depannya.

"Nah, sekarang, selesaikan masalah kalian berdua agar semuanya clear."

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top