Ch 42; Wanna Meet You Soon


"Makasih, pak."

Geo tersenyum dan melihat pria penjaga kos yang berlalu pergi dari depan pintu kamarnya.

Mang Asep tadi mengetuk pintu kamarnya hanya untuk memberikan paket yangbaru diterima dari kurir tadi.

Peraturan di kos ini memang diharuskan paket penghuni kos harus diserahkan dulu ke Mang Asep –si penjaga kos. Kemudian, barulah diberikan kepada pemilik paketnya.

Ya...sebenarnya Geo kurang enak juga, sih karena paketnya harus diantar ke kamar. Tapi dengan cara ini, bisa mencegah paketnya hilang ketika ia tidak berada di sini.

Geo pun menutup pintu kamarnya. Ia tersenyum senang karena paket yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.

Ia tidak pesan macam-macam. Hanya beberapa item khusus untuk dekor meja belajarnya.

Ada jam digital, tempat alat-alat tulis dari akrilik, hingga hijang besi berukuran kecil yang ia nanti tempelkan di tembok.

Meski hiasan dekorasinya cukup sederhana, tapi ini membuat meja belajarnya semakin bagus dan nyaman.

Geo tidak akan memasangnya sekarang. Dirinya cukup lelah setelah menyalin beberapa materi yang tertinggal di sekolah barunya ini.

Beruntung teman-teman di kelasnya sangat baik padanya. Teman sebangkunya –Angga, juga tidak sungkan memberikan beberapa buku referensi pada Geo agar bisa menyalin materi dari mata pelajaran yang telah tertinggal.

"Besok saja, deh. Lagian besok Minggu. Tidak ada jadwal ke mana-mana."

Jadi, Geo memutuskan untuk tiduran saja di ranjangnya dan melihat beberapa status di aplikasi WhatsApp.

Matanya tertuju pada status Nathan yang cukup menarik perhatiannya. Jumlah status yang diunggah banyak sekali –pikir Geo.

Tumben.

Geo pun akhirnya membuka status yang diunggah oleh adik sepupunya itu. Betapa kagetnya ketika Geo melihatnya.

Status Nathan ternyata berisikan bocah remaja itu bersama William dan juga Rayan.

Mereka terlihat bersenang-senang di sebuah kolam renang yang Geo tidak tahu itu letaknya di mana.

Ada gambar Nathan sedang bermain air bersama Rayan, William yang cemberut entah karena apa.

Semua status-status yang diunggah Nathan membuatnya tertawa karena beberapa kali, William tertangkap kamera sedang memasang wajah masam. Pasti mereka berdua bertengkat, pikir Geo.

Geo terus melihat status WA milik Nathan hingga sampai di akhir, ada foto Rayan sendirian terpampang.

Di foto terakhir, Rayan terlihat berdiri di tepi kolam renang dengan senyum lebar. Entah apa yang Rayan lihat, sepertinya hal itu membuat mahasiswa tersebut terhibur.

Ah...sudah lama sekali dirinya tidak tegur sapa dengan kak Rayan.

Kira-kira, apa reaksi mahasiswa tersebut ketika dirinya telah pindah dan telah memblokir nomornya?

Sebenarnya, ada keinginan darinya untuk menghubungi mahasiswa itu. Rayan sudah begitu baik padanya. Bahkan ketika ia sudah pergi, Rayan masih berusaha membahagiakan kedua adiknya.

Namun, Geo sadar. Jika ia menghubungi Rayan, itu bisa menjadi akar permasalahan baru. Lagipula, nomornya telah ia blokir.

Pak Indra lambat-laun juga akan tahu jika ia masih menghubungi kedua putranya dan hal tersebut bisa menyebabkan kekacauan lebih parah.

Ia tidak ingin pak Indra bertindak nekat hingga membahayakan keluarganya di sana. Maka dari itu, Geo sebisa mungkin memutus hubungan baik dengan Ardan atau pun Rayan.

Tapi...melihat kedua adiknya terlihat senang karena diajak berenang, rasa-rasanya Geo tidak enak hati bila tidak membalas kebaikan mahasiswa tersebut.

"Kira-kira gue harus apa biar bisa balas kebaikan Kak Rayan?" Ia bergumam sambil terus menatap salah satu status Nathan yang menampilkan foto mereka bertiga dengan senyum lebar.

Tiba-tiba dia memiliki ide yang cukup bagus untuk bisa membalas kebaikan Rayan.

Geo segera me-dial kontak Nathan dan langsung menelponnya. Ini masih pukul 3 sore. Jika melihat status yang diunggah, kemungkinan besar mereka masih bersama.

"Halo, Nathan." Geo segera menyapa ketika ia mendengar suara remaja 13 tahun itu dari seberang.

"Ada apa, kak?"

"Kamu masih sama William dan kak Rayan?"

Di seberang sana, Nathan belum juga menjawab, tapi beberapa saat kemudian, ia berkata, "ya masih. Kak Geo harus tahu. Hari ini aku seneeeng banget." Remaja itu lalu menceritakan kegiatannya hari ini bersama William dan Rayan.

Mendengar suara Nathan yang begitu ceria, tanpa terasa Geo pun ikut tersenyum, "O ya?" Tiba-tiba Geo panik jika Nathan berada di sekitar Rayan. "Nathan sekarang duduk bareng kak Rayan sama William?

"Hmmm. Sekarang Nathan lagi duduk aja sendiri di cafe. Kak Will lagi ke toilet dan kak Rayan lagi pesan makanan."

Ah, syukurlah. Hati Geo langsung lega.

"Jangan bilang, ya, kalau kakak telepon kamu."

Geo sudah bisa membayangkan jika adik sepupunya pasti bingung dengan ucapannya itu.

"Kenapa? Kak Geo gak mau ngomong sama kak William?"

"Ntar kakak telepon William sendiri."

"Oh." Jawab Nathan singkat, "gak mau ngomong sama kak Rayan?"

Pertanyaan tersebut sukses membuat Geo terdiam sejenak. Namun, karena ia sudah memiliki niat untuk membalas kebaikan mahasiswa itu, Geo akhirnya berkata.

"Nathan, kak Rayan udah baik sama Nathan hari ini. Kamu gak mau balas kebaikan kak Rayan?"

"Ih iyaa...dia udah baik banget. Bahkan ini dibeliin makan. Nathan mau balas kebaikan kak Rayan."

Mendengar itu, Geo tersenyum lebar. Akhirnya ia bisa mengalihkan pembicaraan pada remaja 13 tahun itu.

"Mau kakak bantu?"

"Mauuu!" Jawabnya dengan cukup keras, "gimana, kak?"

"Nanti kakak mau transfer uang ke gopay Nathan. Kamu bisa jajanin kak Rayan pake uang itu."

Geo belum juga mendengar balasan sang adik yang ada di seberang sana. Sepertinya remaja itu bingung.

"Begini," Geo kembali menjelaskannya lagi, "Nathan bisa beliin kak Rayan eskrim pake uang itu. Bilang saja, itu Nathan yang traktir karena hari ini udah bikin Nathan seneng."

"Tapi itu uang dari kak Geo. Gimana bisa Nathan bilang itu dari aku?"

Geo mencoba bersabar dengan pertanyaan remaja 13 tahun itu. Ia memaklumi dengan hal ini karena Nathan memang masih cukup polos.

"Yaaa...gak apa-apa. Kan kak Geo udah ngasih duit itu ke Nathan. Anggap itu uang kamu untuk balas kebaikan kak Rayan."

Remaja SMP itu belum juga membalas ucapan dari Geo. Ia khawatir jika Nathan enggan melakukannya. Namun, di detik berikutnya, jawaban sang adik sepupu membuatnya tersenyum lega.

"Oke." Jawabnya dengan nada penuh percaya diri, "jadi nanti bilang aja kalau itu Nathan yang traktir?"

"Betul!" Geo ikut senang mendengar Nathan sudah paham, "jangan pernah bilang kalau ini dari kak Geo. Nanti kak William tahu, bisa marah." Di akhir kalimatnya, Geo merendahkan suara, seakan-akan dirinya takut terdengar oleh orang yang sedang ia bicarakan.

"Baik, kak! Nathan paham –eh!" Tiba-tiba dari seberang sana, suara Nathan pecah dan membuat Geo panik. Tapi tidak lama kemudian, Nathan kembali bersuara, "udah dulu, kak. Ada kak Rayan dateng –kak William juga."

Setelah itu, sambungan telepon telah terputus dan Geo justru tertawa dibuatnya. Ternyata Nathan sudah cukup paham perihal masalahnya dengan keluarga pak Indra serta William.

Sesuai janji, Geo mentransfer sejumlah uang ke akun Gopay sang adik disisipi juga dengan catatan di dalamnya dengan rekomendasi eskrim yang cocok untuk Rayan.

Setelah beberapa menit, Nathan mengirimkannya pesan melalui WhatsApp untuk mengucapkan terimakasih.

Geo kembali tersenyum. Beruntungnya dia masih memiliki adik yang bisa diajak kerjasama. Jika Nathan memiliki sifat seperti William, sudah pasti anak itu tidak akan melakukannya.

William tipikal remaja kaku dan sulit mengeskpresikan emosinya. Hal itulah yang membuat Geo lebih memilih Nathan untuk melakukan hal tersebut.

Sementara itu, Nathan yang telah selesai makan, dirinya berdiri dari duduknya. Hal tersebut membuat Rayan memicingkan sebelah alisnya heran.

"Nathan mau ke mana?" Tanya Rayan yang baru menenggak jus jeruknya.

"Mau beli gelato. Kak Rayan mau?"

"Gelato?" Rayan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Nathan.

Di lantai bawah tower apartemen ini memang berjejer restoran, cafe, dan bahkan minimarket. Di sebelah cafe yang sedang mereka kunjungi, memang dekat dekat kedai eskrim dan gelato. Tinggal keluar sebentar, sudah sampai.

"Iya, kak. Boleh, kan?" Nathan meminta izin pada orang tertua diantara mereka.

William yang mendengar itu, mengerutkan keningnya. Adiknya dengan berani meminta gelato setelah ditraktir makan? Itu tidak sopan sama sekali.

"Nathan! Kamu 'kan udah ditraktir makan. Malah ngelunjak minta gelato." William menatap sang adik dengan tajam, "gak ada, ya!"

Mendengar itu, Nathan hanya memutar bola matanya bosan, "Yeeuuu siapa juga yang mau minta dibeliin? Orang aku mau beli pake uang sendiri!" Setelah mengatakan itu, Nathan menjulurkan lidahnya ke arah William –meledek.

Tentu saja itu membuat William bertambah heran. Adiknya mau beli gelato uang dari mana? Bukannya semua uang yang dikasih ibunya tadi, dipegang oleh William semua?

"Uang dari mana? Kamu 'kan gak pegang uang!"

"Ih. Kak Will menghina banget." Nathan lalu mengambil ponselnya. Ia membuka suatu aplikasi dan menunjukkannya pada sang kakak, "nih. Aku punya saldo Gopay yang cukup buat beli gelato."

Hah?

Tiba-tiba banget adiknya memiliki saldo Gopay. Biasanya juga minta diisiin sama ayah atau bundanya ke Indoapril. William benar-benar heran sampai dirinya tidak bisa berkata apa-apa.

"Kak Rayan mau gelato, gak? Nathan yang beliin, deh."

Lagi, William langsung kaget dan bahkan hampir tersedak pasta yang sedang dimakannya.

"Gak usah." Tolak Rayan dengan sopan. Ia telah menyelesaikan makannya. Dirinya juga heran, kenapa bocah SMP itu bisa makan begitu cepat dibandingkan dua orang yang lebih tua dari Nathan. "Nathan aja yang beli."

Nathan yang mendengar itu, langsung memasang wajah masam. Lengkungan bibir yang tertarik ke atas, kini mengendur ke bawah, kepalanya pun tertunduk dan itu sukses membuat Rayan khawatir.

"E –eh...Nathan kenapa?" Tanya sang mahasiswa dengan cukup panik.

"Nathan 'kan pengin beliin kak Rayan gelato buat ucapan terima kasih karena udah bikin seneng hari ini."

Yahh.... bikin anak orang sedih, deh. –batin Rayan. Ia jadi bingung mau bersikap bagaimana dan malah menggaruk pelipisnya.

"Gelato kan murah. Satu rasa Cuma tigabelas ribu. Kalau kak Rayan pengin dua rasa, Nathan masih bisa beliin, kok." Nathan kembali bersuara dengan nada sedih.

Rayan mulai bingung. Sebenarnya dirinya sudah kenyang, tapi jika ia menolak tawaran Nathan, itu akan melukai hati remaja itu.

"Ya udah," Ini keputusan final dari Rayan agar bocah 13 tahun itu tidak sedih lagi, "kakak mau gelatonya."

Tepat setelah itu, Nathan tersenyum senang hingga kedua matanya menyipit, "Oke! Mau rasa apa?"

"Rasa apa aja, bebas." Rayan tidak terlalu suka manis. Tapi sepertinya gelato rasa manisnya tidak terlalu kuat.

"Oke! Nathan mau pilihkan rasa terenak."

Nathan hendak pergi ke kedai gelato, tapi tiba-tiba William memanggilnya dan membuat remaja 13 tahun itu menoleh.

"Apa? Kak William mau juga? Oke ntar Nathan beliin. Uangnya cukup kok."

Tanpa menunggu respon dari sang kakak, Nathan berlalu pergi dan menuju kedai gelato yang berdempetan dengan cafe tersebut.

Tidak membutuhkan waktu lama, Nathan kembali dengan dua corn gelato di kedua tangannya.

Di belakang remaja itu, ada seorang wanita dewasa yang mengenakan apron dari kedai gelato di sana. Ternyata wanita tersebut karyawan kedai gelato yang turut membawakan gelato milik Nathan.

Rayan sempat tertawa melihat remaja itu kesulitan memegang dua gelato. Ditambah, Nathan membawa sang karyawan untuk mengantarkan gelatonya.

Ia harus berterimakasih dengan remaja itu dan menikmati gelatonya dengan perasaan senang agar Nathan merasa dihargai dengan usahanya.

Remaja itu ternyata membelikannya gelato rasa espresso dan juga latte. William dibelikan rasa vanilla dan coklat, sementara Nathan sendiri memilih choco mint.

Beruntung mereka duduk di meja luar sehingga tidak dimarahi memakan gelato di area cafe tersebut. Lagipula, masih sebelahan.

Rayan memakan gelato tersebut. Ia tidak menyangka rasanya pas di lidah. Kata Nathan, itu pilihan dari karyawan yang tadi membantu membawakan gelato.

"Tadi aku Cuma bilang ke kakak itu, beli gelato yang rasanya cocok untuk kakak-kakak kuliahan."

Rayan tertawa geli setelah mendengar itu. Polos sekali Nathan ini. Tapi idenya cukup brilian. Terbukti, gelato ini tidak terlalu manis dan sesuai dengan seleranya.

"Makasih, loh, Nath."

"Sama-sama. Ini bentuk ucapan terimakasihku juga sama kak Rayan soalnya udah ajak aku sama kak Will renang." Ia tersenyum lebar dengan memamerkan deretan giginya.

"Sama-sama. Lain kali, kakak akan bawa kalian ke sini lagi."

"Beneran?"

Rayan mengangguk untuk meresponnya. Seketika itu juga, Nathan bersorak senang.

Sementara itu, William masih terdiam memandangi gelato yang hanya dipegang cornnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada sang adik. Tapi yang paling penting ia ingin tahu,

"Nathan, kamu dapet uang dari mana buat beli gelato ini? Mana segini tigapuluh ribu pula. Beli tiga, berarti hampir seratus ribu."

Nathan menoleh ke arah sang kakak sambil terus menjilati gelatonya, "kepo banget kamu, kak."

"Nathan....kamu curi uang bunda buat deposit Gopay?!"

"Enggak!"

Setelahnya mereka berdua bertengkar kecil dan membuat Rayan bingung sendiri. Pertengkaran mereka selesai saat Rayan mengajak mereka pulang.

....sampai akhir, Nathan tidak mengaku ia menggunakan saldo milik siapa. Tapi Rayan berpikir, mungkin bocah SMP itu menabung di aplikasi e-wallet itu.

Rayan mengantarkan dua kakak-beradik itu ke rumahnya. Mereka sampai di rumah, tepat pukul setengah 7 petang.

Berkali-kali, Rayan meminta maaf kepada tante Hana karena mengajak kedua putranya hingga petang.

Tapi wanita tersebut ternyata tidak mempermasalahkannya, justru menawari Rayan untuk makan malam bersama.

"Eh, tidak usah, tante. Saya sudah ditunggu di rumah."

Ada raut kekecewaan yang terlihat jelas di wajah ibu dua anak itu. "Jadi Nak Rayan gak bisa mampir makan malam sebentar? Tante bener-bener udah siapin, loh."

"Maafin Rayan, tante. Tadi bunda saya udah telepon terus minta antar belanja ke supermarket."

Hana menghela napas, "ya sudah. Mungkin lain kali. Tapi Nak Rayan tante bawain bakwan ya?"

"Eh, tante –" Berniat untuk menolak, tapi wanita tersebut sudah masuk ke dalam rumah untuk membungkuskan gorengan bakwan dan camilan gurih di box plastik.

"Ini...gak terlalu banyak, tante?"

Hana tersenyum "gak, kok. Nanti sampe rumah dimakan, ya?"

Rayan pasrah. Ia tidak mungkin menolak lagi karena pasti tante Hana akan sangat kecewa.

"Baik. Nanti Rayan makan, kok."

Terlihat, wanita awal empat puluh tahunan itu tersenyum lebar.

Setelah itu, Rayan berpamitan kepada keluarga tersebut. Pak Abim masih belum terlihat, kemungkinan sang kepala rumah tangga memang belum pulang kerja.

Rayan sedikit kaget ketika ia akan berbalik untuk pergi dari sana, Nathan memeluknya dan mengucapkan banyak terimakasih.

"Sama-sama." Balas Rayan, ia mengusak rambut bocah SMP itu dengan pelan, "terimakasih juga karena udah ditraktir gelato."

Akhirnya, Rayan berbalik untuk pergi dari rumah tersebut. Ia melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam mobilnya.

"Nanti kalian siap-siap jam 5 sore, ya? Pesawat kita terbang jam 7 malam soalnya."

Baik Ardan dan Rayan yang sedang makan, langsung berhenti ketika sang ibu mengatakan demikian. Kakak-beradik itu saling pandang karena tidak tahu dengan apa yang dibicarakan ibunya tadi.

"Loh, kita mau ke mana?" Rayan akhirnya yang bertanya.

"Tuh, 'kan malah lupa..." Lina menghela napas, "kita semua 'kan mau pergi ke Jogja. Ke nikahan anaknya Pakde Warsito, Mbak Arina."

Rayan dan Ardan hanya mengangguk sambil bibirnya membentuk huruf 'O', tanda mereka paham.

"Kalian berdua harus ikut!" Lina berkata demikian seperti mengancam kedua putranya.

Ardan tidak masalah jika ikut. Toh, paling bisa izin beberapa hari dari sekolah. Sekalian healing agar tidak stres memikirkan masalahnya akhir-akhir ini.

"Baik –" Ardan hendak menyetujuinya. Tapi tiba-tiba, Rayan menepuk pahanya yang ada di bawah meja dan memotong perkataan adiknya tadi.

"Tidak bisa, bund."

Wanita tersebut menaikkan sebelah alisnya, "ada apa? Kalian gak menginap gak masalah. Asal pas hari pernikahan, kalian hadir."

"Rayan ada tugas observasi ke Pengadilan Negeri buat nyari bahan skripsi nanti. Sementara Ardan ada ulangan praktik Kimia pas hari Senin. Nikahannya Senin, kan?"

Wanita akhir empatpuluh tahunan itu terlihat kecewa, "apa gak bisa ditunda?"

Sementara itu, Ardan memandang kakaknya dengan heran. Kapan dirinya bilang ada ulangan Kimia hari Senin nanti? Padahal hari tersebut juga tidak ada mata pelajaran Kimia.

Meski heran, Ardan tidak memotong ucapan kakaknya. Rayan melakukan itu, kemungkinan ada sesuatu.

"Gak bisa, bunda. Ini mau observasi kasus pidana pembunuhan satu keluarga itu, loh. Bagus buat jadi bahan buat skripsi Rayan nanti."

Benar juga. Anak sulungnya memang sudah memasuki semester 5. Sebentar lagi harus mempersiapkan skripsi sebelum KKN.

Lina lalu menoleh pada anak bungsunya, "Ardan pasti masih bisa izin, kan?"

Ardan tidak langsung menjawab. Ia ingin menoleh pada sang kakak, tapi takut jika nanti rencana dari Rayan justru gagal. Maka, ia masih terdiam dan memikirkan jawabannya.

"Gak bisa, bund. Ardan juga ulangan praktik Senin nanti penting. Kalau ikut susulan, bukankah lebih sulit karena materi praktik kimianya jelas berbeda."

Ardan menatap kagum kakaknya yang dengan secepat kilat bisa merangkai kata-kata karangan agar bisa dipercaya oleh sang ibu.

Terbukti, wanita dua anak itu terlihat kecewa dan justru Ardan malah tidak suka melihat ekspresi sedih sang ibu.

Ini sebenarnya, kakaknya lagi merencanakan apa, sih?

"Ya sudah. Berarti Cuma ayah sama bunda aja?"

Rayan mengangguk mantap, sementara Ardan mengikutinya dengan penuh keraguan.

"Maaf, ya, bunda. Tiketnya bisa dicancel, kan?" Tanya sang anak sulung.

Sang ibu mengambil ponselnya dan membuka aplikasi booking tiket.

"Bisa, sih. Ya udah. Nanti bunda cancel. Semoga refundnya gak lama."

"Maaf, ya bunda." Ardan yang sedari tadi terdiam, kini bersuara dan merasa tidak tega melihat ekspresinya yang sedih.

Ia ingin segera bertanya pada sang kakak mengenai apa yang direncanakannya hingga melakukan hal seperti ini.

Lina tersenyum ke arah si bungsu sambil masih memegang ponselnya, "tidak apa, sayang. Salah bunda juga karena gak ngomong dulu ke kalian. Nanti bunda bicarakan ini pada ayah kalian."

Ya sudahlah, pikir Lina. Padahal sang suami sudah berangkat sejak pagi agar pekerjaan kantor semuanya beres sebelum pergi ke luar kota. Tapi anak-anak mereka tidak ada yang bisa ikut.

Tidak masalah. Selama anak-anak tidak ikut karena fokus dengan sekolah dan kuliahnya, sang kepala keluarga tidak akan marah.

Sarapan pun selesai. Rayan dan Ardan membantu bi Mirah untuk membereskan piring-piring kotor di meja makan dan meletakkannya ke dapur.

Setelah selesai, Rayan tidak membiarkan sang adik pergi. Mahasiswa itu menarik tangan adiknya.

"Kak –"

" –sstt! ayo ke kamar lo."

Ardan pasrah saja ketika dibawa sang kakak menuju kamarnya. Ia juga masih tetap diam saat Rayan menutup pintu kamar dengan pandangan awas seperti akan melakukan tindakan kriminal.

"Apa, sih, kak? Lo tuh aneh dari tadi!" Ardan mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang. Sementara Rayan mengambil kursi belajar untuk duduk berhadapan dengan adiknya itu.

"Kakak ada kabar yang cukup bikin lo seneng."

Cengiran lebar Rayan, membuat Ardan menaikkan sebelah alisnya.

"Kak, besok gue gak ada ulangan praktik. Lo kenapa bilang gitu sama bunda?"

"Ya karena kakak punya berita yang bikin lo gak akan mau ikut ke Jogja."

Kedua tangan Ardan terlipat di depan dada dan menunggu apa yang dibicarakan kakaknya. "Apa?"

"Ini tentang Geo."

Mendengar satu nama yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya, Ardan langsung menegakkan tubuhnya dan tertarik untuk mendengar berita yang akan disampaikan Rayan.

"Apa?"

Ada senyum culas yang terpatri di wajah tampan Rayan ketika melihat adiknya begitu semangat. "Kan...pengen tahu..."

"Apa, sih, kan? Serius, napa!" Ardan sudah mulai kesal dengan polah kakaknya itu.

"Iya...iyaa... kakak kasih tahu." Sebelum menceritakannya, Rayan menghela napas, "kakak sudah tahu kota tempat Geo tinggal saat ini."

"Yang bener?!" Ardan mulai memajukan tubuhnya. Kaki panjangnya yang semula bersila di atas kasur, kini telah turun hingga menapak lantai agar semakin dekat dengan kakaknya.

"Kemarin kakak 'kan ngajak William sama Nathan renang. Pas kakak lagi main air berdua sama Nathan, bocah itu gak sengaja kelepasan ngomong kalau Geo..." Rayan menjeda kalimatnya dan melihat ekspresi adiknya yang begitu lucu, "lo nungguin, ya?"

Seketika itu juga, Rayan langsung mendapat pukulan keras di kakinya oleh sang adik tercinta.

"Taik! Buruan ngomong!"

Sambil terus mengelus kakinya yang tadi dipukul, Rayan menjawab. "Iyaaa...sabar adeeekk."

"Bacot!"

Rayan tertawa, lalu ia kembali meneruskan ucapannya, "Geo ada di kota kembang."

"Hah?"

"Ya. Deket, bukan?"

"Beneran, kak? Terus kak Rayan tahu tinggalnya di mana?"

Senyum di wajah Rayan segera pudar setelah mendengar hal tersebut, "sayangnya kakak gak tahu tempat tinggalnya."

"Kak –arrghhh! Lo setengah-setengah banget!" Ardan begitu emosi mengetahui fakta tersebut. Padahal ia sudah berekspektasi lebih.

"Lo kira gampang? Itu juga Nathan masih belum sadar kalau dia keceplosan. Coba saja kalau dia sadar, pasti ngadu ke William dan malah ribut."

Bener juga, batin Ardan. Ia hanya memikirkan Geo dan ingin bertemu dengan pemuda tersebut secepat mungkin. Hal itulah yang membuat dirinya sulit untuk berpikir.

"Tenang aja." Ardan terjingkat saat sang kakak merangkul bahunya. Ia mendongak dan mendapati Rayan telah menatapnya, "nanti kakak bantu untuk mencari tempat tinggal Geo. Paling penting, kita udah tahu kota tempat Geo tinggal saat ini."

Ada benarnya ucapan Rayan. Hanya mengetahui kota tempat tinggal Geo saat ini, ia harusnya bersyukur, bukan? Berminggu-minggu dirinya pusing memikirkan keberadaan Geo, ketika tahu kabar ini, ada secercah harapan untuk bisa bertemu dengan pemuda tersebut dalam waktu dekat.

"Beneran, kak?"

Rayan mengangguk, "itulah mengapa kita gak ikut. Selama ayah dan bunda pergi, kita cari tempat tinggal Geo."

Mendengar itu, secara refleks, Ardan langsung memeluk kakaknya. Karena dirinya lebih tinggi, membuat remaja 16 tahun itu sedikit menunduk untuk menyenderkan kepalanya ke bahu sang kakak.

"Makasih, kak."

Dengan membelai punggung sang adik, Rayan menjawab, "sama-sama. Asal lo seneng, kakak ikut seneng."

Tidak ada hal yang patut Ardan syukuri selain memiliki kakak sebaik Rayan. Ia menjadi sangat menyesal pernah memukulnya, padahal sang kakak sebaik ini.

"Jangan sampai ayah dan bunda tahu, mengerti?"

Ardan mengangguk, "terus kuliah kakak gimana? Bukannya ada observasi –" Ardan tiba-tiba menghentikan ucapannya ketika dirinya sadar akan sesuatu, "lo bohongin bunda?"

Senyum culas Rayan menjawab pertanyaan dari Ardan. Sang adik yang masih memeluknya, langsung mendorong tubuh Rayan pelan hingga mundur beberapa langkah.

"Kan emang niatnya mau bantuin lo. Gue supirin, lo bayar bensin."

"Anjir. Gak gratis ternyata."

"Oh....gak mau?"

Ardan berdecak, "iyaaa mau. Gue traktir makan juga nanti."

"Okesip! Tapi syaratnya, setelah lo balik sekolah. Gak ada bolos. Nanti bunda sama ayah curiga."

Ardan mengangguk setuju. Ia juga tidak ada niatan bolos. Nanti malah ayahnya akan memarahinya.

Remaja 16 tahun tersebut tidak menyangka bahwa hari ini akhirnya terjadi. Ia akan segera menemui Geo. Meski tidak tahu alamat detail tempat tinggal atau bahkan sekolahnya, Ardan yakin dirinya bisa menemukan Geo.

Di sore hari, kedua orang tua Ardan benar-benar pergi. Sang ayah terlihat tidak ada masalah ketika dua putranya tidak ikut.

"Nih, uang saku." Sang ibu memberikan sejumlah uang pecahan seratus dan limapuluh ribu ke tangan Ardan dan Rayan, "Jaga rumah baik-baik. Ayah sama bunda Cuma tiga hari di sana. Rabu pulang."

"Oke." Sahut keduanya dengan kompak.

"Ardan," Kini sang ayah bersuara. Tatapannya terlihat sangat mengintimidasinya, "jangan keluyuran ke mana-mana. Selesai sekolah, langsung pulang."

Mati...

Ayahnya seperti tahu akan rencananya dan itu membuat tangan Ardan sedikit berkeringat.

"Iya, ayah."

"Baiklah. Ayah dan bunda mau pergi." Pak Indra menepuk bahu kedua putranya dan masuk ke dalam mobil untuk ke bandara diantar pak Yono.

Sementara itu, Rayan berjalan menutup gerbang pintu rumah dan Ardan kembali masuk ke dalam.

Sebenarnya, Ardan tidak ingin mencari Geo bersama Rayan, itu akan cukup mengganggunya. Mau bagaimana pun, Rayan pernah suka dengan Geo.

Untuk itu, dirinya memiliki rencana untuk pergi sendiri tanpa harus bersama sang kakak.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top