Ch 38; Dealing With Ego


Suara berisik terdengar dari garasi, membuat Bi Mirah yang sedang membersihkan dapur, berlari ke sumber suara.

Di sana, terdapat Ardan –anak bungsu dari majikannya yang baru saja pulang.

Remaja yang masih mengenakan seragam itu, menurunkan standar dengan kasar dan menaruh motornya secara asal.

Bi Mirah berpikir, jika mobil tuannya sudah datang, kemungkinan besar Pak Indra langsung memarahi anak bungsunya itu.

"Mas –"

Wanita paruh baya itu tersentak kaget ketika Ardan menaruh helm mahalnya itu secara kasar ke kursi kayu garasi hingga menggelinding ke lantai. Ardan mengabaikannya dan tidak ada niatan untuk mengambil pelindung kepala itu.

Ardan masuk ke dalam dengan melewati Bi Mirah begitu saja. Kedua matanya memerah dan ekspresinya begitu marah seperti menahan emosi yang meledak kapan saja.

"Mana Indra?" Gumam Ardan –tapi Bi Mirah juga mendengarnya.

Wanita paruh baya itu terlihat terkejut ketika Ardan memanggil ayahnya dengan menyebut nama pria tersebut.

"Ke mana Indra?!" Pandangan Ardan menyalang dan melihat ke sekitar rumah yang sangat sepi.

Bi Mirah yang merasa ada hal yang tidak beres dari anak bungsu majikannya itu, langsung berlari kecil ke arah remaja tersebut.

"Mas, bapak belum pulang." Jelas asisten rumah tangga tersebut.

Ardan menoleh dan memicingkan sebelah matanya ketika mendengar penuturan dari orang tua tersebut.

"Mas Rayan dan ibu juga tidak ada di rumah –"

"Bajingan!"

Bi Mirah kembali kaget ketika ucapannya terpotong dengan umpatan dari Ardan. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Jadi, wanita tua tersebut hanya berdiri dengan kepala yang tertunduk.

"Mau bahagia aja, gue kagak diijinin sama si Indra itu." Ardan mendengkus. Ia sedikit tertawa penuh kesakitan ketika mengingat betapa menyedihkan dirinya saat ini. "Bangsat!"

PRANGG!

Emosinya sudah tidak terkontrol lagi, Ardan melampiaskannya dengan menendang meja kecil yang ada di dekatnya.

Vas bunga yang ada di atas meja tersebut, otomatis langsung jatuh karena tendangan keras yang Ardan lakukan tadi.

Asisten rumah tangga tersebut tidak menyangka. Ia yang mengenal Ardan sejak lahir, baru kali ini remaja itu marah besar seperti sekarang.

Memanggil ayahnya dengan nama hingga memecahkan vas bunga, itu adalah hal yang membuat Bi Mirah kaget dan masih tidak percaya.

Bi Mirah langsung berlari ke belakang untuk mengambil sapu dan pengki untuk membersihkan pecahan vas tersebut.

Ketika dirinya kembali, Ardan sudah tidak ada. Namun, wanita tua itu mendengar suara pintu yang dibanting dengan cukup keras.

Ternyata Ardan masuk ke dalam kamarnya.

Sebelum Bi Mirah membersihkan pecahan vas tersebut, wanita tua itu mengira-ngira, penyebab apa yang membuat anak bungsu majikannya semarah itu?

"Ehm" Kepala keluarga tersebut berdeham lirih ketika melihat suasana rumahnya begitu sepi.

Semua menu makan malamnya telah berada di atas meja, tapi ada sesuatu yang kurang.

Ah, benar.

Indra melupakan sang anak bungsu. Dirinya sudah lama tidak makan malam dengan Ardan karena anak itu terlalu sibuk dengan turnamen basket.

Hah...

Sebenarnya, ia sebagai ayah tidak melarang kegiatan sang anak. Hanya saja, ketika Ardan sudah bersentuhan dengan basket, anak itu sering lupa akan segalanya.

Padahal ini semester baru, kesempatan untuknya agar bisa berubah dan meningkatkan nilai akademiknya. Tapi Ardan malah kembali aktif pada dunia basketnya.

"Mana Ardan?" Akhirnya Indra mengucapkan kalimat yang sudah ia pendam sedari tadi.

Lina yang sedang menyiapkan nasi dan lauk-pauk untuk sang suami, menghentikan gerakan tangannya.

"Ah, benar. Ardan belum ke sini." Saking jarangnya Ardan ikut makan malam bersama, bahkan sang ibu sering lupa keberadaan anak bungsunya, "motor Ardan sudah ada di garasi. Pasti dia di kamar." Lanjutnya.

"Kak, tolong bangunkan Ardan untuk makan malam."

Rayan yang sedari tadi memainkan ponselnya, langsung berhenti dan menatap ayahnya. Hubungan dia dengan Ardan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, sang adik masih cukup kaku jika sedang bersama.

Rayan tidak masalah dan mewajarkan situasi mereka saat ini. Mungkin adiknya masih butuh waktu untuk bisa kembali akrab dengannya.

"Ah, oke." Akhirnya si sulung melakukan perintah ayahnya. Ia berjalan menuju kamar Ardan yang cukup dekat dari ruang malan di lantai satu.

"Ardan. Dek?" Rayan mengetuk pintu kamar adiknya. Ia menunggu beberapa detik, tapi tidak ada jawaban. Mahasiswa tersebut mengetuk lagi, "Ardan. Makan malam."

Diam. Benar-benar tidak ada jawaban dari dalam kamar adiknya. Alis Rayan naik dan dahinya berkerut karena dia heran dengan adiknya yang tidak ada respon.

"Ardan." Ia memanggil lagi.

Tiba-tiba Rayan mendengar teriakan ibunya, di mana sang bunda menyuruh dirinya untuk masuk ke dalam kamar sang adik.

Rayan menurut, si sulung akhirnya masuk ke dalam kamar sang adik. Di dalam sana, ia menemukan adiknya tertidur terkelungkup dengan kepala yang mengarah ke pintu langsung.

Rayan berjalan mendekat. Ia jongkok untuk bisa mensejajarkan kepalanya dengan sang adik.

Mahasiswa itu terlihat heran karena melihat bulu mata sang adik basah. Belum lagi ada jejak air mata di pipinya.

"Kenapa dia?" Gumamnya.

Rayan sudah lama tidak berbicara dengan adiknya. Tapi ia tahu jika Ardan sibuk dengan turnamen basketnya.

Jadi, ketika ia melihat Ardan yang seperti ini, jujur saja, Rayan sedikit khawatir. Mau bagaimana pun, dia adalah adik satu-satunya. Jika Ardan menangis sampai ketiduran seperti ini, masalah apa yang dia emban.

Karena kepeduliannya dengan Ardan, dirinya bahkan sudah tidak menghubungi Geo lagi. Rayan tidak tahu bagaimana kabar remaja itu.

Ia berusaha memutus hubungan dengan Geo, tentu bukan hal yang mudah. Namun, dengan cara ini, setidaknya ia bisa menjaga perasaan sang adik.

Rayan tersentak ketika mendengar suara ibunya yang kembali berteriak untuk cepat-cepat membangunkan Ardan.

Sebenarnya, ia tidak tega. Apalagi adiknya terlihat sangat lelah. Bahkan celana seragamnya belum diganti dan atasannya hanya memakai kaos putih polos.

Namun, jika adiknya tidak dibangunkan sekarang, tengah malam pasti akan kelaparan.

"Ardan...bangun." Ia mencoba menepuk-nepuk bahu adiknya dengan pelan.

"Ardan –" Ternyata tidak sesulit yang ia duga. Adiknya akhirnya bangun meski dengan gerutuan tidak jelas.

"Akhirnya lo bangun juga."

"Apaan, sih?!" Ardan menjawabnya dengan wajah yang masam. Ia menepis tangan kakaknya yang hendak membantunya untuk bangun, "gue bisa bangun sendiri."

Rayan mencoba bersabar. Jarak umur 5 tahun dengannya, membuat dirinya sudah terbiasa untuk mengalah pada sang adik. Tidak apa. Dirinya lebih dewasa, jadi jangan bertindak kekanakan pada adiknya.

Rayan berdiri dari jongkoknya dan melihat adiknya mengucek kedua matanya dengan kasar.

"Cuci muka sana. Makan malam."

Ardan mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah kakaknya. Kemudian, ia melirik ke arah jam dinding, sudah pukul 7 malam. Benar, ini waktunya makan malam.

Kedua mata Ardan terbuka sepenuhnya ketika ia teringat akan sesuatu.

"Kak, ayah di rumah?"

Meski bingung, Rayan menjawab, "Ya. Ini juga gue bangunin lo karena suruhan ayah. Lo disuruh makan."

Ardan terdiam sebentar. Ia sudah berniat setelah makan malam, akan berbicara dengan ayahnya.

"Kok diem? Sana cuci muka, ganti baju, terus makan."

Rayan langsung heran ketika sang adik menuruti segala ucapannya. Ardan langsung bangun dan membawa baju ganti yang diambil dari lemari. Tapi memang wajahnya terlihat masam dan tidak mengatakan apapun padanya.

Setelah itu, remaja tersebut langsung melesat ke kamar mandi yang letaknya persis di sebelah kamar Ardan.

Rayan mengedikkan kedua bahunya. Lalu ia keluar dari kamar adiknya dan kembali ke ruang makan.

"Loh...mana adikmu?"

Rayan duduk dan menerima nasi yang sudah diambilkan oleh sang ibu, "sedang cuci muka. Tadi dia ketiduran. Sepertinya kecapekan karena kegiatan sekolah."

"Mari kita makan dulu. Nanti Ardan bisa nyusul." Sang kepala keluarga memotong ucapan Rayan. Mereka semua berdoa masing-masing dengan panduan dari Indra sebagai kepala keluarga.

"Amin." Indra mengakhiri doa tersebut dan mulai untuk makan.

Setelah beberapa menit mereka bertiga makan, Ardan baru muncul dengan wajah yang lebih segar daripada tadi sehabis bangun tidur.

"Adek..." Sang bunda melihat anak bungsunya yang menempatkan diri di sampingnya. "Mau makan apa? Mau bunda ambilin?"

Meski Ardan sudah beranjak dewasa, Lina tetaplah seorang ibu yang ingin terus memanjakan anaknya. Apalagi Ardan adalah anak bungsunya.

Ardan tidak menjawab, tapi tangannya meraih piring yang ada di tangan bundanya dan mengambil makan sendiri.

Melihat itu, Lina terlihat senang. Meski suasana hati Ardan saat ini terlihat tidak baik, setidaknya remaja itu masih mau keluar dari kamar dan makan malam bersama.

Mereka semua makan dengan tenang. Tidak ada seseorang pun yang mengeluarkan suara –hanya denting alat makan saja yang terdengar dan itu adalah hal wajar.

Namun, meski begitu, Ardan ternyata mencuri pandang ke arah ayahnya yang duduk di ujung tengah meja. Siapa sangka, ketika ia melirik sang kepala rumah tangga, justru tertangkap basah.

Ardan tidak menurunkan pandangannya. Ketika sang ayah menangkap basah dirinya yang sedang menatap pria paruh baya itu, Ardan justru memandangnya lebih tajam dengan luapan rasa benci yang telah ia tahan sedari sore.

"Aku mau bicara sama ayah." Ucap Ardan tiba-tiba ketika makan malam sudah selesai semua.

Lina yang sedang berada di dapur, menoleh ke ruang makan –di mana suami dan anak bungsunya sedang berdiri berhadapan.

Rayan yang sedang menumpuk piring kotor untuk ia bawa ke dapur, ikut menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah adik dan ayahnya.

Sebelah alis Rayan naik, mahasiswa tersebut penasaran dengan apa yang terjadi.

"Boleh. Ikut ke ruang kerja ayah."

Baik Lina dan Rayan tidak bersuara. Ayah dan si bungsu berjalan depan-belakang meninggalkan ruang makan.

Rayan menoleh ke arah sang ibu yang masih berdiri di depan washtafel untuk bertanya dengan apa yang terjadi saat ini. Namun, wanita akhir 40 tahunan tersebut malah mengedikkan kedua bahunya.

Sementara itu, Ardan telah masuk ke ruang kerja ayahnya. Ia masih ingat pertengkaran beberapa minggu lalu –ketika ayahnya tahu bahwa ia dan Rayan menyukai Geo.

Kali ini pun sama. Dia datang ke ruangan ini untuk membahas remaja tersebut. Kemungkinan besar, ayahnya juga tahu alasan dirinya meminta sang kepala keluarga berbicara empat mata.

"Ada apa?" Indra mendudukkan dirinya di kursi kerja. Sementara Ardan, berdiri di depan meja kerja dengan terus memandang ayahnya dengan tajam.

"Ayah sudah tahu tujuan Ardan." Remaja itu mengatakannya dengan nada dingin. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi, dan itu membuat Indra mengernyitkan dahinya.

Pria awal lima puluh tahunan itu menghela napas dan menyenderkan punggungnya di kursi kerja yang empuk. "Jika kamu mau membicarakan anak yatim piatu –"

" –jadi benar, kan?" Ardan langsung memutuskan ucapan ayahnya. "...kalau ayah yang membuat Geo pindah dari kota ini."

Kini, tatapan Ardan berubah tajam. Napasnya menjadi berat karena dia menahan emosinya. Remaja 16 tahun itu tidak ingin ibu dan kakaknya dengar dari luar.

"Ah, anak itu sudah pindah ternyata."

"Jangan pura-pura tidak tahu!" Nada bicara Ardan sudah mulai tinggi. Ia kini mendekatkan tubuhnya hingga lututnya menempel pada meja kerja ayahnya.

"Ayah benar-benar baru mengetahui berita ini." –ya, benar. Indra baru tahu bahwa anak itu sudah pindah. Ia sendiri memang menyuruh Geo untuk segera pergi dari kota ini, tapi sesungguhnya dirinya tidak tahu kapan pastinya.

Ah...

Memang sudah tiga hari ini, dirinya belum mengecek ponselnya. Ia lebih sering mengecek ponsel kerjanya, sehingga tidak tahu apakah anak itu menghubunginya lagi atau tidak.

"Baguslah. Satu masalah terselesaikan." Gumam Indra. Ia sedikit tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Masalah?" Ardan sama sekali tidak percaya dengan ucapan ayahnya itu, "ayah pikir Geo adalah sebuah masalah?!"

Indra mendongak, dirinya memandang anak bungsunya yang sekarang telah tersulut emosi. "Ya. Masalah."

"Jika dia tidak menggoda kalian berdua, pasti nasibnya tidak seperti sekarang. Anak itu bebas untuk tinggal di kota ini selamanya." Lanjut Indra dengan nada menyepelekan. Dirinya sama sekali tidak merasa bersalah telah melakukan hal tersebut.

Ini adalah bentuk kepedulian kepada kedua putranya.

"Gila." Gumam Ardan. Ia menunduk dan kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya, "ayah benar-benar gila."

"Jika memang gila adalah cara untuk menyelamatkan kalian berdua dari penyimpangan seksual, tak masalah jika ayah gila."

"Ayah..." Ardan tiba-tiba lemas setelah mendengar penuturan dari ayahnya. Ia tidak menduga di umurnya yang baru 16 tahun ini, sudah menghadapi situasi yang cukup sulit baginya.

"Apa? Dia itu membawa dampak buruk bagi kamu dan Rayan." Indra berdiri dari duduknya. jari telunjuknya ia arahkan pada sang anak bungsu.

"Si Geovany itu anak yatim piatu yang tidak diajari orang tuanya sejak kecil. Pantaslah orientasi seksualnya menyimpang!" Tidak cukup dengan kalimat sebelumnya, Indra kembali berucap agar anak bungsunya paham bahwa semua tindakannya ini untuk kebaikan Ardan dan Rayan.

" –AYAH!" Ardan mulai naik emosinya. Ia sudah tidak peduli jika kakak dan ibunya mendengar teriakan tadi.

"Tidak ada yang bisa melarang ayah! Biarkan dia pergi atau ayah akan hancurkan keluarga tantenya itu!"

Ucapan tersebut sempat membekukan tubuh remaja 16 tahun itu. Ardan terdiam dan lidahnya kelu untuk merespon perkataan ayahnya tadi.

"Tidak ada ayah yang menginginkan anaknya menyimpang! Maka dari itu, ayah perlu menyingkirkan anak itu."

Tubuh Ardan tiba-tiba lemas. Ia berpegangan pada meja kerja ayahnya dan menundukkan kepala. Napasnya tiba-tiba sesak dan kepalanya sedikit berat.

"Kamu dan Rayan masih muda. Masa depan kalian masih panjang. Ayah tidak akan membiarkan hidup kalian hancur hanya karena remaja homo –"

Ucapan Indra terhenti ketika mendengar anak bungsunya tiba-tiba tertawa. Remaja itu masih menundukkan kepalanya, tapi bahunya bergetar dan suara tawa terdengar begitu jelas.

"Apa yang kamu tertawakan?"

Bukannya berhenti, Ardan justru kembali menegakkan kembali badannya. Dia menatap sang ayah dengan matanya yang merah dan sedikit basah.

"Remaja homo..." Ardan mengulang ucapan terakhir ayahnya yang tadi. "Ya, benar. Remaja homo."

"Ardan!"

Pebasket muda tersebut kembali tertawa –itu membuat ayahnya keluar dari meja kerjanya dan berjalan untuk mendekati si bungsu.

"Apa ayah lupa? Bukankah waktu itu sudah aku katakan bahwa aku yang duluan menyukai Geo. Bukan dia."

Indra tidak merespon. Ia masih menunggu ucapan anak bungsunya.

"Geo bahkan menjauh ketika aku menyampaikan perasaanku padanya." Kepala Ardan mendongak dan mengingat-ingat masa itu. Ia lalu terkekeh.

"Jangan asal ngomong!" Tentu saja sang kepala keluarga tidak ingin percaya dengan ucapan anaknya.

"Tidak. Itu nyata." Jawab Ardan. "Bahkan kak Rayan pun menyukai Geo duluan. Makanya kita berantem waktu itu."

"Ardan!" Bentakan yang cukup keras, menandakan sang ayah enggan mendengar omong kosong dari anak bungsunya itu.

"Apa?" Ardan kembali mendengkus di tengah tawanya, "itu semua benar. Jikalau ingin jauhin kita dari penyimpangan, bukan Geo yang disuruh pergi. Tapi Ardan dan Rayan –"

Kalimat Ardan belum selesai ketika tangan besar ayahnya telah menampar hingga tubuh jangkungnya terjatuh ke lantai.

Rasa panas pada pipinya langsung menjalar begitu cepat. Ardan yakin, pipi kirinya telah memerah karena tamparan itu.

"Diam kamu, Ardan!" Suaranya telah meninggi. Bahkan Indra yakin bahwa istri dan anak sulungnya yang ada di luar mendengarnya.

"Diam?" Ardan terkekeh, "bagaimana aku bisa diam ketika ayah telah merusak hidup orang lain hanya karena pola pikirnya yang salah."

"Dasar anak tidak tahu diuntung."

Dengan amarah yang sangat besar, Indra berjalan ke arah anak bungsunya. Tangannya ia julurkan ke kerah Ardan dan menariknya dengan kuat hingga tubuh remaja itu berdiri.

Kini, keduanya saling berpandangan dengan kerah bagian depan kaos Ardan ditarik dengan keras oleh pria tersebut. Ardan memang sedikit lebih tinggi dari ayahnya, tapi tenaganya tidak lebih kuat dari pria paruh baya itu.

"Awalnya ayah tidak akan menghukummu. Tapi memang kamu perlu diberi pelajaran sekali-sekali."

Ardan bukannya takut, malah menunjukkan senyum yang culas, dia pun berucap dengan rasa percaya diri tinggi, "apa? Ayah mau memukul Ardan?"

Siswa yang berada di jurusan IPA tersebut, malah menghadapkan wajahnya untuk lebih dekat ke wajah sang ayah, "nih. Silakan pukul sepuas ayah. Ardan rela ayah pukul berkali-kali asalkan tidak pernah mengganggu Geo lagi –"

BUGGGHH –

Bukan tamparan yang Ardan terima, justru sebuah bogem keras mendarat di sisi wajahnya. Secara otomatis, tubuhnya terlempar dan jatuh ke lantai.

Seperkian detik, Ardan sesak napas karena pukulan yang mendadak. Tapi akhirnya dirinya mulai sadar dan menatap sang ayah dengan pandangan marah.

"Ayah bahkan rela memukulmu hingga pingsan bila itu bisa membuatmu sadar." Ucap pria paruh baya itu tanpa ada rasa penyesalan setelah insiden pemukulan tersebut.

Ardan meludah karena ia merasakan bau karat di mulutnya. Benar saja, air liurnya bercampur dengan darah setelah ia ludahkan.

Pebasket itu terkekeh meski bibirnya terasa sakit.

"Sadar? Memang aku kenapa, Yah?"

Seperti telah kehilangan akal sehatnya, pria paruh baya itu merendahkan tubuhnya, mencengkram kembali bagian depan kaos si bungsu –hingga membuat Ardan berdiri secara terpaksa.

"Ayah –"

Sang ayah terdiam. Pria dua anak itu tetap berjalan sambil menarik Ardan pada bagian depan kaosnya.

Ardan sempat tidak bisa mengimbangi laju sang ayah hingga membuatnya beberapa kali hampir terjatuh.

Mereka berdua keluar dari ruangan tersebut. Ardan langsung kaget ketika di depan pintu sudah ada kakaknya.

"Ayah!" Rayan berteriak kaget saat melihat adiknya ditarik seperti itu, "kenapa dengan Ardan?"

"Minggir!"

"Ayah...ayah...ayah..." Rayan berjalan di belakang keduanya dan mencoba menahan ayahnya yang terus menyeret Ardan entah ke mana.

Rayan berulang kali menoleh ke arah Ardan untuk meminta penjelasan, tapi remaja itu tetap diam tanpa ekspresi.

"Ayah..." Rayan kini mulai berani. Ia menghentikan laju sang kepala keluarga dengan berdiri di depannya. "Ayah mau membawa Ardan ke mana?"

"Kamu tidak usah ikut campur, Rayan. Ini urusanku dengan Ardan."

Indra hendak kembali berjalan, tapi Rayan kembali menghalau dan berkata, "ini urusanku. Ardan adalah adik Rayan, Yah."

Mereka saling tatap dan kali ini, Rayan berharap sang ayah mau melepaskan adiknya. Tapi harapannya pupus begitu saja ketika ayahnya memukul Rayan dengan keras hingga si sulung terjatuh ke lantai.

"Ayah!" Kali ini bukan suara Rayan atau Ardan, melainkan suara wanita yang menjerit histeris melihat situasi sekarang dilihatnya.

Lina menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia yang sedang di dapur, memang mendengar sekilas keributan –tapi ia menyangka bahwa itu suara TV. Namun, ketika ia mencari sumber suara, bukan acara TV yang ia dengar sebelumnya, tapi sang suami sedang menyiksa kedua putranya.

Lina segera berlari dan membantu Rayan untuk berdiri. Ia melihat ke arah si bungsu yang kaos bagian depan dicengkeram oleh sang suami.

Lina dengan cepat, meraih tangan suaminya agar melepaskan cengkramannya pada Ardan. Tapi tenaga sang suami jauh lebih kuat dan itu tidak mengubah apapun.

"Lepaskan Ardan!" Lina mengancam sang suami dengan nada tinggi dan tatapan tajam.

"Tidak akan."

"Ayah!" Wanita tersebut berteriak histeris hingga bi Mirah datang untuk mengintip ke ruangan depan. Namun, wanita tua itu segera mundur setelah tahu, bahwa ini bukan ranahnya.

"Ayah mau memberi pelajaran untuk Ardan."

"Pelajaran apa?! Apa yang buat Ardan pantas dihukum seperti ini?"

Tiga lelaki yang ada di sana terdiam dan tidak berani menjawab –dan itu membuat Lina kesal.

"Tidak ada, bukan?" Wanita itu kembali berusaha melepaskan cengkraman sang suami pada kerah anak bungsunya, "sekarang lepaskan Ardan –"

"Ardan menyukai laki-laki."

Lina yang mendengar itu, langsung lemas. Dirinya bahkan tidak berusaha lagi melepaskan cengkraman sang suami pada Ardan. Kedua tangannya seperti tak berdaya untuk sekedar terangkat.

"Apa?" Lina menatap Ardan yang sekarang tertunduk. Ia masih tidak percaya dengan ucapan sang suami.

"Tidak hanya Ardan, Rayan juga sama. Mereka menyukai satu lelaki yang sama."

Lina kini memundurkan tubuhnya dan hampir terjatuh –beruntung, Rayan sigap menangkap tubuh sang ibu. Kaki wanita itu benar-benar lemas saat ini.

"Kejadian Rayan dan Ardan waktu itu, disebabkan karena mereka berdua memperebutkan laki-laki tersebut."

Ucapan sang suami tersebut membuat wanita dua anak itu benar-benar terkejut. Dadanya sesak, badannya lemas, dan pandangannya mulai kabur.

Rayan yang sedari tadi menumpu sang ibu, akhirnya menuntun tubuh kecil wanita tersebut untuk bersimpuh ke lantai.

"...ayah tidak bohong, kan?" Akhirnya, Lina menemukan suaranya meski bernada lirih dan bergetar.

"Tidak." Jawabnya, "untuk itu. Ayah akan memberi pelajaran pada Ardan." Indra menoleh ke arah si sulung yang sekarang terlihat sangat tegang, "kamu pun akan mendapatkan hukuman jika ikut membantah seperti adikmu."

Lina langsung kembali teringat dengan situasi anak bungsunya. Entah bagaimana, wanita tersebut kembali memperoleh kekuatannya dan berdiri.

"Meski begitu, kamu tidak pantas menghukum anakmu sekejam ini!"

Lina kembali berusaha untuk melepaskan cengkraman sang suami. Tapi tetap saja itu sangat sulit.

Rayan yang melihat itu, merasa kasihan kepada sang ibu yang kini menangis. Ia pun membantu wanita yang melahirkannya itu untuk melepaskan Ardan.

"Ternyata kalian semua sama saja."

Dengan sekali tarikan, sebelum Rayan memegang lengan Indra, pria paruh baya itu kembali menyeret Ardan untuk ke luar rumah.

Di samping rumah, memang ada sebuah gudang yang terpisah. Di gudang tersebut hanya berisi barang-barang tak layak pakai.

Indra ingin mengunci anak bungsunya di sana. Dirinya bukan bermaksud jahat, tapi hanya ingin membuat Ardan jera dan mau mengikuti perintahnya.

"Ayah! Kamu tidak bisa begini sama Ardan!" Rayan berteriak sambil mengejar ayah dan adiknya.

Ia berhasil meraih keduanya, tapi Indra memiliki tenaga cukup kuat untuk menendang Rayan yang tidak siap dengan serangannya.

Si sulung akhirnya terjatuh di lantai teras hingga membuat sang ibu berteriak histeris.

"Rayan!!"

Indra sudah terpancing emosi. Dia tidak puas melihat Rayan yang sudah jatuh, dan akhirnya menendang perut putra sulungnya.

"INDRA!!!"

Tendangan kedua berhasil ditahan oleh sang istri. Lina langsung menahannya meski tubuh tersebut juga terjatuh. Mau bagaimana pun kesalahan sang anak, seorang ibu tidak akan tega melihat mereka tersiksa. Apalagi yang menyiksa mereka adalah suaminya.

"Kalau mau tendang, tendang aku. Hajar aku! Cepat!"

Lina memeluk Rayan –takut jika sang suami kembali memukulnya lagi. Sementara itu, dirinya terus menantang sang suami.

Tapi semua tantangan dari istri, tidak Indra gubris sama sekali. Pria awal lima puluh tahunan itu segera mengabaikan mereka berdua dan kembali berjalan.

"Ayah, jangan sakiti mereka." Ardan yang sedari tadi diam, kini bergumam dengan nada bergetar.

Indra tidak mengindahkan ucapan anak bungsunya. Hingga mereka sampai di gudang rumah samping, Indra menarik Ardan dan mendorongnya untuk masuk ke dalam.

"Renungkan kesalahanmu di dalam. Ayah akan mengeluarkanmu dari sini, setelah sadar dengan tindakan sembronomu itu!"

Ardan ingin menimpalu ucapan ayahnya, tapi pintu gudang itu tertutup dengan keras dan Ardan terjebak di sana.

"Ayah! Tunggu! Jangan dikunci dulu! Ayaaah!" Ardan mencoba menggedor pintu gudang, tapi ayahnya diam bergeming dengan terus memborgol pintu tersebut.

"Ayah! Keluarin Ardan dari sana!"

Indra terdiam ketika sang istri sudah berada di belakangnya.

"Mana kuncinya?!"

Indra segera memasukkan kunci itu ke dalam saku celananya.

"Indra, kamu tega melakukan ini pada anakmu? Dia darah dagingmu!"

Lina mengguncang-guncangkan kedua bahu suaminya agar mau membukakan pintu gudang tersebut.

Tapi Indra terus terdiam. Pria paruh baya itu bahkan tidak memandang mata sang istri karena takut dirinya akan luluh.

"Ini demi kebaikannya."

Hanya itu ucapan yang Indra katakan. Setelahnya, pria dua anak itu pergi dan meninggalkan sang istri yang kini bersimpuh di depan pintu gudang, tempat Ardan dikurung di sana.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top