Ch 36; The Day I Move
DAK!
Baik Geo dan Laila terkejut hingga memundurkan langkahnya ke belakang ketika Damar menendang salah satu meja di kelasnya.
"Damar. Berisik tahu!" Tukas Laila yang kesal karena tindakan Damar barusan.
"Ge, emang lo harus pindah? Gak bisa gitu menetap di sini?" Damar mengabaikan gerutuan gadis di sampingnya. Ia menatap teman sebangkunya yang beberapa menit lalu mengatakan bahwa dia akan pindah.
"Gak bisa, Dam. Gue emang harus pindah Sabtu nanti."
"Pasti gara-gara anak kelas 12 itu, kan?"
Laila menunggu respon dari Geo. Dirinya juga penasaran mengenai alasan anak IPS tersebut pindah dari sekolah dan bahkan kota ini.
"Ge, jawab!" Nada bicara Damar mulai meninggi. Mereka semua memang sedang berada di kelas IPS 2 setelah kelas usai.
Ini merupakan inisiatif Geo mengajak Damar dan Laila berbicara mengenai kepindahannya. Ia akan merasa sangat jahat bila tidak berpamitan.
Ah, tenang saja. Geo sudah yakin 100%, tidak ada Ardan di sekolah ini. Anak itu sedang sibuk dengan turnamen basket yang diadakan oleh sebuah brand besar untuk mewakili sekolah ini, jadi si pebasket muda itu jarang sekali di sekolah.
Geo menggeleng, "Gak, Dam. Gue udah urus semua kepindahan gue. Sekolah juga sudah ada, termasuk tempat tinggal di kota itu."
Damar menunduk, kedua tangannya terkepal. Rasa-rasanya ia tidak terima jika harus berpisah dengan teman baiknya sejak kelas 10.
Damar merasa bahwa Geo adalah teman yang begitu baik dan perhatian. Mereka juga jarang sekali bertengkar dan lebih banyak bercanda. Tapi kenapa waktu kebersamaan mereka sesingkat ini?
"Lo tega banget baru ngomong sekarang. Kalau emang gara-gara Esa cs, gue bantu, Ge."
"Bukan hanya karena Esa cs saja. Tapi ada banyak alasan lain yang gak bisa gue ungkapin sekarang." Geo melihat ke arah Damar dan Laila bergantian.
"Kalian bisa kok datang ke tempat gue kalo lagi free. Gue juga bakal main ke rumah tante Hana kalau lagi liburan."
Damar masih terlihat kesal. Bahkan Lailah memukul lengan remaja jangkung tersebut karena dirasa berlebihan.
"Heh." Geo ikut menabok lengan Damar, "zaman udah canggih. Kalau lu kangen, bisa telepon, video call juga bisa!"
Damar mendecih kesal. Ia mendorong dahi Geo hingga remaja yang lebih pendek darinya itu hampir terhuyung jatuh ke belakang.
"Ngeselin tahu, gak? Tanpa ada tanda-tanda, lo tiba-tiba pamit mau pindah."
Laila hanya mengangguk – menyetujui ucapan Damar. Dirinya yang sedikit memiliki rasa pada Geo juga merasa sedih ditinggal remaja pria tersebut.
"Sori, deh." Ucap Geo. "Lagipula, jarak dari sini ke tempat gue deket kok. Naik kereta cepat juga Cuma 2 jam."
"Ya tapi 'kan mahal!" Laila menimpali dengan kesal.
"Makanya kalian jangan jajan mulu. Mulai sekarang nabung buat bisa ketemu sama gue."
Damar gemas bercampur kesal ketika mendengar ucapan Geo tersebut. Ia kembali mendorong kepala Geo. Tapi bukannya kesal, mantan OSIS divisi redaksi tersebut malah tertawa dan memeluk kedua temannya.
"Makasih buat kalian berdua yang mau temenan sama gue selama berada di sini."
Ia tulus mengucapkan hal tersebut, karena memang Damar dan Laila selalu ada bersamanya selama ia satu tahun lebih berada di sekolah ini.
"Baju, buku, barang-barang milik Geo..." Wanita awal 40 tahunan itu sedang berdiri di samping mobil pick-up suaminya sembari memastikan barang-barang milik sang keponakan terangkut semua.
"Geo," Hana memanggil keponakannya yang sedang membawa kardus berisi barang-barangnya, "kamu yakin semua barang yang dibutuhin di sana telah naik ke mobil?"
Geo menaruh satu kardus terakhir di atas tumpukan kardus lainnya. Ia mengikatnya dengan kencang dan setelahnya menjawab pertanyaan tantenya, "sepertinya sudah. Beberapa barang yang kurang begitu penting, aku tinggal di sini. Gak apa-apa 'kan, tante?"
"Gak apa-apa. Lagipula, kamu juga akan main ke sini kalau liburan, kan? Jadi, jangan bawa semua barangmu. Tinggalkan beberapa di sini."
Mendengar itu, Geo hanya tersenyum kaku. Justru, dirinya enggan sering-sering datang ke sini. Jika nanti dirinya bertemu dengan orang-orang itu lagi, justru menambah sakit pada dirinya.
"William...Nathan! Kalian udah siap?" Hana memanggil kedua putranya yang masih berada di dalam kamar. Sementara itu, Hana mencari sang suami yang ternyata sudah siap dan sedang merokok di samping teras.
Nathan muncul duluan. Anak 13 tahun itu terlihat lesu dan kurang bersemangat.
"Kak Geo emang harus pergi hari ini, ya?"
Geo tersenyum sedih. Ia rangkul remaja yang baru buper itu dan berkata, "Ya." Jawabnya, "soalnya Senin, kakak sudah harus masuk sekolah baru."
Nathan diam saja, tapi anak itu justru memeluk kakak sepupunya dan enggan untuk melepaskannya. Sementara itu, William baru saja keluar dari rumah.
Anak itu terlihat diam dan tidak berkata apa-apa. Sebenarnya, Geo tidak meminta tante dan keluarga mengantarkannya sampai ke kota tersebut. Namun, dengan inisiatif tante Hana, semuanya ikut. Mereka juga ingin melihat tempat tinggal dan sekolah barunya di sana.
Beruntung sekolah Geo yang baru menerima pendaftaran online dengan data-data yang diupload dalam bentuk soft file. Asal uang administrasi dan gedung terbayar, dokumen penting lainnya bisa menyusul saat Geo telah masuk ke sekolah tersebut.
Untuk itulah, setelah ia mendapat surat kepindahan dari sekolah lamanya, Geo tidak menunggu lama lagi untuk pindah.
"Sudah semuanya, kan?" Hana melihat ke arah sang suami dan memanggilnya, "Ayah, mari berangkat."
Pria tersebut berjalan menuju ke arah mobil pick-upnya. Tepat saat itu, mobil Xenia yang telah dipesan tante Hana, sampai di depan gerbang.
"Nah, itu mobilnya sudah datang. Kamu, William, dan Nathan masuk mobil itu ya? Bunda sama Ayah di mobil pick-up?"
Geo tersenyum, "baik, tante."
William masih saja diam. Anak itu tidak berkata apa-apa dan langsung menuju ke mobil. Sementara Nathan berlari mengikuti sang kakak.
Geo hendak melangkahkan kakinya untuk menyusul kedua adiknya itu, namun ia menunda niatnya ketika ponsel di genggamannya berbunyi.
Geo melihat layar pada benda elektronik tersebut.
Ardan is calling...
Geo sedikit kaget ketika Ardan tiba-tiba menelponnya di kala dirinya akan pergi dari sini.
Remaja 16 tahun itu tetap memandang layar ponselnya tanpa ada niatan untuk menjawab panggilan tersebut. Dirinya hanya terdiam hingga akhirnya panggilan berakhir dan layar kembali mati.
Akan tetapi, detik berikutnya, dering ponselnya terdengar lagi dan tantenya yang akan masuk ke mobil pick-up, memperhatikan tingkah sang keponakan.
"Geo, telepon dari siapa? Kok gak diangkat?"
Geo tersadar dengan lamunannya dan menegakkan kepala. Tanpa melihat ke layar, ia langsung menekan tombol power pada ponselnya dan mematikan benda elektronik tersebut.
"Gak dari siapa-siapa tante." Ucapnya sembari mengantongi kembali benda elektronik persegi panjang itu.
"Beneran? Bukan telepon penting?"
Geo dengan senyum kakunya menjawab, "gak kok. Eh, lebih baik kita cepat-cepat berangkat" Geo mencoba mengalihkan pembicaraan. Tepat saat itu juga, William yang sedari tadi terdiam, berteriak memanggil namanya agar cepat masuk ke dalam mobil.
"Ayo, tante kita jalan. Geo ke mobil dulu, ya?" Dirinya harus cepat-cepat pergi dari sini sebelum Ardan menyusulnya. Apalagi, sekarang ponselnya mati, sudah pasti si pebasket muda itu sudah kalang kabut dan kemungkinan datang ke rumahnya.
Hana mengangguk, "nanti suruh supirnya ikutin mobil paman, ya?"
"Siap!" Setelah mengatakan itu, Geo berjalan cepat menuju mobil Xenia hitam yang ada di depan gerbang. Sebelum dirinya sampai ke mobil tersebut, Geo menoleh ke belakang.
Ia menatap rumah, taman, dan segala hal di tempat ini dengan pandangan sedih. Sebentar lagi, dirinya akan meninggalkan tempat ini –tempat di mana dirinya tumbuh dan mendapat kasih sayang keluarga setelah dirinya menjadi anak yatim piatu.
Geo masih ingat ketika dirinya baru pertama kali datang ke rumah ini. Ia masih berusia 10 tahun. Masih polos, naif, dan sangat tertutup.
Tapi tante Hana berusaha dengan keras agar Geo merasa diterima di rumah ini. Kedua adiknya juga sangat menyayanginya, bahkan tante Hana tidak pernah membedakan kasih sayangnya kepada mereka bertiga.
Ah...
Rasa-rasanya, ia enggan untuk meninggalkan rumah ini...
Namun, ini demi kebaikan semuanya, bukan? Geo tidak boleh egois dan harus menjaga keluarganya. Biarlah dia menukar kenyamanannya dengan pindah dari sini, daripada harus mempertaruhkan keselamatan tante dan keluarganya.
"Kak Geo!"
Lamunan remaja tersebut buyar, ketika mendengar suara teriakan dari mobil Xenia hitam. William kembali memanggilnya karena Geo tidak kunjung masuk ke dalam mobil.
Untuk terakhir kalinya, Geo kembali memandang rumah tersebut dan menghembuskan napasnya dengan berat. Setelah dirasa puas, ia berbalik dan melangkahkan kakinya ke mobil yang sudah menunggunya.
"Lama amat, sih?"
Padahal, sejak tadi remaja 15 tahun itu diam dan tidak bersuara. Tapi sekarang menjadi cerewet dan serasa ingin cepat-cepat pergi dari sini.
"Sabar, Will."
"Udah mendung, nih. Bagaimana kalau hujan?"
Geo masuk dan duduk di depan –di samping supir. Dirinya menoleh ke belakang sambil memasang sabuk pengaman, "Ya kalau hujan gede kita mampir di rest area. Ya, kan, pak?" Geo tiba-tiba mengalihkan ucapannya pada sang supir yang hanya direspon dengan anggukan saja.
William terlihat kesal, jadi Geo kembali menggodanya, "tidak sabar melihat kakak pindah, ya? Semangat amat nganter kakak."
Digoda seperti itu, membuat William berdecih dan mengambil earphone di sakunya. Ia abaikan godaan kakak sepupunya itu dengan menyumpal kedua telinganya dengan benda putih tersebut untuk mendengarkan musik.
Geo hanya tersenyum dan melihat ke arah langit dari dalam mobil. Memang benar sudah mendung. Dirinya harus cepat-cepat jalan atau nanti terjebak hujan.
Ia melihat tantenya mengunci pintu gerbang setelah mobil pick up pamannya keluar dari halaman. Begitu mobil tersebut jalan, Geo berkata,
"Pak, ikuti mobil pick up itu aja, ya?"
"Baik, mas."
Setelah itu, kedua mobil tersebut melaju untuk mencapai kota tujuan.
Terakhir kalinya, Geo melihat ke arah rumahnya dan mengucapkan kata selamat tinggal di dalam hatinya. Semua kenangan di rumah ini, tidak akan ia lupakan.
"Sial!"
Ardan melemparkan ponselnya ke ranjang ketika terdengar suara operator yang menjawab teleponnya. Sudah berkali-kali ia menghubungi nomor Geo, tapi tidak kunjung diangkat.
Dirinya hanya ingin menanyakan kabar Geo karena seminggu ini dirinya sibuk dengan turnamen basket.
Sebenarnya, ketika Ardan berada di sekolah saat latihan, beberapa kali melihat Geo bersama Damar dan Laila, namun dirinya tidak bisa mendekati pemuda itu karena fokus latihan.
Setelah itu, mereka sudah tidak pernah bertemu lagi. Meski Ardan bernisiatif mengirim pesan pada Geo, remaja itu tidak membalasnya. Niatnya, Sabtu ini dirinya akan berkunjung ke rumah Geo dan menghubunginya terlebih dulu.
Namun, sudah berulang kali dirinya menelpon anak redaksi tersebut, tidak kunjung mengangkat panggilannya.
Ardan kesal dan frustasi karena rindu. Maka, ia mengambil jaket yang ada di gantungan bajunya dan keluar dari kamar.
Ia berniat untuk berjalan menuju garasi rumahnya dan mengambil kunci motor di dekat pintu akses garasi. Namun, tiba-tiba suara seorang wanita memanggil namanya.
"Mau ke mana?" Tanya wanita tersebut setelah memanggil nama Ardan.
Ardan menoleh dan menemukan sang ibu telah berdandan rapi.
"Keluar sebentar."
"Buru-buru banget? Lagi genting, gak? Kalau gak begitu genting, nemenin bunda ke supermarket dong."
Ardan mengantongi kunci motornya dan menatap ke arah wanita di depannya itu. "Gak bisa, bund. Ardan sudah harus pergi."
Wajah wanita tersebut terlihat sedih dan menghela napas, "bukannya kemarin kamu bilang, hari Sabtu gak ada latihan, ya?"
"Ya memang. Tapi Ardan mau pergi sebentar."
"Ke mana?"
Ardan kali ini tidak langsung menjawab. Remaja itu tidak akan jujur bila dirinya harus ke rumah Geo. Setelah insiden penamparan ayahnya, nama Geo sudah menjadi sesuatu yang haram disebutkan di rumah ini.
"Ardan..." Remaja itu diam sejenak, " –intinya Ardan mau pergi sebentar."
"Ya udah sekalian nemenin bunda ke supermarket. Gak apa-apa nanti kamu mampir dulu ke tempat tujuanmu. Cuma sebentar, kan?"
Ucapan ibunya justru membuat Ardan bertambah pusing. Dirinya menggaruk kepalanya dengan frustasi. Tapi tiba-tiba ia terpikir akan satu hal.
"Bunda dianter kak Rayan saja. Dia 'kan juga libur kuliah. Biasanya juga sama kak Rayan perginya."
Wanita tersebut kembali menghela napas dan menegakkan kepalanya ke lantai dua, di mana di sana ada kamar Rayan.
"Kakakmu sakit. Semalaman dia demam. Makanya bunda minta tolong kamu buat nemenin."
Alis Ardan naik satu –yang menandakan dia tidak percaya dengan ucapan ibunya.
Kamarnya memang ada di lantai satu, sehingga sangat jarang sekali dirinya mengetahui keadaan di lantai atas.
Dia kira, kakaknya baik-baik saja mengingat kemarin sore juga masih mengerjakan tugasnya di halaman belakang.
"Masa? Kemarin Ardan liat, kak Rayan baik-baik saja."
"Kamu lihat sendiri saja. Sejak semalam kakakmu gak bisa bangun. Dibawa ke dokter sama sekali gak mau."
Ardan menghela napas setelah mendengat penjelasan dari ibunya, "gak mau sembuh kalik dia –"
" –Ardan..." Potong bu Lina karena anak bungsunya terlihat tidak peduli dengan kakaknya.
"Udah tahu sakit, harusnya ke dokter malah gak mau!" Bukannya tidak peduli, justru Ardan kesal karena sang kakak yang enggan diantar ke dokter.
"Bunda udah kasih dia obat penurun panas kok tadi pagi setelah sarapan."
"Ayah?" Jika mereka pergi, setidaknya ada ayahnya yang berada di rumah untuk menjaga Rayan.
"Kerja. Ada meeting mendadak dengan klien."
Ah, tentu saja. Mana ada hari libur bagi pria tua itu? Dia mau libur jika ada sesuatu yang mendadak –misalnya menghajar anaknya.
"Terus kakak nanti sama siapa?" Ada rasa iba juga yang ia rasakan pada kakaknya. Ia ingin melihat kondisi Rayan –karena sekesal apapun dia pada Rayan, ia tetap kakaknya –akan tetapi, dirinya juga masih diliputi rasa gengsi yang begitu besar jika harus naik ke atas dan menjenguk kakaknya.
"Bunda udah titip ke bi Mirah. Nanti siang disuruh antar makanan ke kamar kakak sekalian disiapin obatnya."
Ardan sejenak terdiam, dalam kebimbangan, kepalanya begitu banyak hal yang dipikirkan. Dirinya tidak mungkin menolak permintaan ibunya karena wanita tersebut terlihat sudah bersiap dan dandan dengan rapi.
Namun, di sisi lain juga ia ingin pergi ke tempat Geo...
Ah, mungkin nanti malam, toh, rumah Geo juga tidak bergeser.
"Ya sudah. Ardan ambil kunci mobil dulu."
Wanita akhir 40 tahunan itu tersenyum ketika si bungsu mau menerima ajakannya. Ia pun bersiap mengambil sepatu dan menunggu Ardan memanaskan mobil yang akan mereka gunakan.
Sudah pukul setengah satu siang. Wanita 60 tahunan itu tidak lupa dengan pesan sang majikan untuk mengantarkan makan siang ke kamar Rayan.
Ia hanya menyiapkan sayur bening, nasi dan beberapa buah-buahan yang telah dikupas. Itu pesan dari Bu Lina sebelum majikannya pergi.
Ketika sampai di kamar Rayan yang tidak terkunci, Bu Mirah melihat pria muda itu tidur dalam keadaan tidak nyaman.
Matanya memang tertutup, tapi bibirnya seperti menggumamkan sesuatu yang tidak begitu jelas.
Bi Mirah menaruh makan siang Rayan di sebelah meja kecil dekat ranjang yang telah Bu Lina siapkan sejak pagi. Kini, Bi Mirah sedikit mendengar gumaman dari anak majikannya tersebut.
"Geo..."
Wanita tua itu terlihat kaget karena nama itu tidak begitu asing. Ia mencoba mengingat-ingat lagi nama tersebut. Rayan terlihat kembali menyebutkan nama itu di dalam tidurnya hingga Bi Mirah penasaran.
"Ah...anak itu!" Gumam wanita tua tersebut dengan suara rendah. Ia ingat dengan nama Geo yang disebut Rayan dalam tidurnya.
Tapi...kenapa Mas Rayan menyebut nama anak itu di tidurnya? –pikir Bu Mirah. Namun, lamunan wanita paruh baya itu teralihkan ketika pria muda yang terbaring, membuka kedua matanya.
Segera saja asisten rumah tangga tersebut mendekat ke arah ranjang, "Mas Rayan sudah bangun?"
Mahasiswa itu tidak langsung menjawab. Ia berdeham dengan keras karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.
Bi Mirah yang sangat peka, langsung mengangsurkan minuman ke Rayan. Namun, karena pria muda itu tengah terbaring, Bi Mirah membantu anak majikannya untuk bangun dan duduk.
Rayan menerima gelas tersebut dan meminumnya, dibantu oleh Bi Mirah yang masih memegang gelas tersebut. Setelahnya, pemuda 21 tahun itu menyenderkan kepalanya yang berat pada headboard bed di belakangnya.
"Masih pusing, mas?"
Rayan mengangguk dengan kedua mata yang masih terpejam.
Bi Mirah menuangkan sayur bening ke piring yang berisi nasi. Lalu, wanita tersebut menyodorkan makanan tersebut ke arah Rayan.
"Makan dulu, ya, mas? Nanti minum obat."
Kedua mata Rayan terbuka dan mengintip menu makan yang bibinya hidangkan padanya. Lalu, ia melenguh sebal, "tidak usah, bi. Belum lapar."
"Mas, gak boleh gitu. Kata ibu, tadi pagi mas Rayan juga makan sedikit."
Rayan berdecak. Ia kembali memejamkan kedua matanya karena sangat pusing. Badannya masih ia senderkan pada headboard ranjangnya.
"Mau makan yang lain? Ada opor ayam di dapur. Mas Rayan mau makan itu?"
Rayan kembali menggeleng. Dirinya memang tidak berselera untuk makan. Rasa-rasanya ia hanya butuh tidur saja.
"Makan dua atau tiga suap aja, mas, gak apa-apa. Yang penting, perut gak kosong buat minum obat."
Wanita tua itu sudah merawat Rayan sejak pemuda itu baru lahir, tentu saja tahu watak dari anak sulung majikannya itu.
Meski mau hidangkan makanan mewah sekalipun, seorang Rayan yang sedang sakit pastinya enggan untuk memakannya.
"Gak usah, bi..." Ucapnya dengan suara yang rendah. Pria muda itu memang sudah tidak ada tenaga lagi. Badannya sedikit diturunkan tapi setengah punggungnya masih bersandar ke headboard.
Bi Mirah terlihat bingung. Dia tidak bisa membiarkan anak majikannya seharian tanpa ada makanan yang masuk. Apalagi tadi ketika ia menyentuh lengannya, suhu tubuh Rayan masih cukup tinggi.
Jika tidak makan, bagaimana bisa meminum obat? Maka, Bi Mirah duduk di pinggiran ranjang Rayan dan berkata,
"Bibi suapin, ya?"
Rayan membuka kedua matanya dan menatap wanita 60 tahunan itu ketika mendengar tawarannya.
"Suapin?"
Bi Mirah mengangguk. Wanita paruh baya itu sudah sering menyuapi Rayan dan Ardan pada saat mereka masih kecil. Tidak masalah dirinya melakukan hal itu lagi jika bisa membuat anak majikannya makan.
"Ibu sudah beli obat sendiri kemarin malam pas mas Rayan lagi demam. Masa gak mau diminum obatnya, sementara kalau mau minum obat, harus makan dulu."
Rayan mendengkus kesal. Dirinya tidak pernah tega jika sudah menyangkut ibunya. Bayangan wanita yang melahirkannya itu panik semalam, membuat dirinya merasa jahat jika tidak meminum obatnya.
Ia tidak tahu jika bundanya semalam pergi ke luar untuk membeli obat. Ia kira, memang sudah ada di rumah.
Mengingat itu, Rayan menghela napas berat dan menoleh ke arah wanita tua yang duduk di samping ranjang sambil memegang poring.
"Ya sudah, bi. Rayan mau makan."
Wanita tua itu tersenyum. Ia hendak mengangsurkan piring yang sedari tadi dipegangnya, namun Rayan berkata,
"Tolong suapi saja, bi. Rasanya lemas sekali meski hanya memegang sendok."
Rayan memang pria yang telah dewasa. Tapi ketika dirinya sakit, tetap seperti anak-anak yang terlalu manja dan sedikit sulit untuk disuruh makan.
Tidak masalah jika harus disuapi jika dirinya bisa minum obat. Rayan juga ada keinginan kuat untuk cepat sembuh.
Entah apa yang di mimpikannya, ia terus-terusan kepikiran Geo. Wajah remaja itu terus muncul di mimpinya selama sakit. Rayan merasa, ada sesuatu yang menimpa remaja itu hingga dirinya terus memimpikannya.
"Mas Rayan."
Lamunannya terhenti ketika Bi Mirah sudah mengangsurkan sesendok nasi dan sayur bayam di hadapannya.
Dengan lemas, Rayan membuka mulutnya dan mulai memakannya.
Hambar...
"Tidak enak, ya, mas?" Tanya Bi Mirah ketika wajah dari majikannya mengernyit seperti itu.
"Hambar."
"Ya jelas hambar, to, mas. Kan lagi sakit. Kalau lagi sehat, masakan bibi mah, selalu enak."
Sebenarnya Bi Mirah sedang tidak melucu, tapi entah kenapa Rayan sedikit tertawa dengan ucapan wanita paruh baya itu.
"Nah, mas Rayan udah senyum-senyum. Nanti juga sembuh."
"Bisa aja kamu, bi." Rayan kembali membuka kedua mulutnya, saat Bi Mirah kembali menyuapinya lagi. Rayan menerimanya dengan senang.
Setelah dua suapan, ia rasa dirinya sudah bisa makan sendiri. Kedua tangannya terulur untuk mengambil piring yang ada di tangan Bi Mirah.
"Aku mau makan sendiri aja, bi."
"Serius, mas?"
Rayan mengangguk. Ia benar-benar memakannya sendiri dengan cukup lahap. Dirinya baru sadar jika sedang sangat lapar saat ini.
Rasanya memang hambar, tapi perutnya terasa sangat keroncongan, hingga membuatnya ingin mengisinya dengan makanan.
Bu Mirah tersenyum senang ketika piring tersebut hampir habis. Rayan memang tidak menghabiskan semuanya, tapi sayur bening di mangkok tersebut, diminum habis kuahnya oleh pria muda itu dan menyisakan daun bayamnya saja.
"Gini, kan, bagus mas. Nanti bisa cepat sembuh." Ucap Bi Mirah. Wanita itu telah menyiapkan 3 buah pil yang sudah dikasih tahu oleh Bu Lina untuk Rayan.
Wanita tua itu menyerahkan piring kecil berisi 3 pil itu pada anak sulung majikannya dan langsung diminum dalam sekali tenggak.
"Terima kasih, Bi."
"Sama-sama." Bi Mirah membereskan kembali peralatan makan yang ada di meja kecil tersebut untuk diletakkan ke atas nampan, "kalau begitu, istirahat, ya, mas. Bibi keluar dulu."
Rayan mengangguk. Pria muda itu mulai membaringkan dirinya. Ia tidak menggunakan selimut, karena itu akan menghalangi udara yang bisa menurunkan panas tubuhnya.
Jadi, Rayan hanya menggunakan celana pendek dan tidur terlentang di atas kasur. Kedua matanya tertutup dan berharap nanti malam, ia bisa sembuh dan bisa bertamu ke rumah Geo keesokan harinya.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top