Ch 34; Force To Move Out


"Silakan dimakan. Kamu belum makan, kan?"

Geo sedikit kaget karena Pak Indra belum juga membicarakan maksud pertemuan mereka ini. Pria awal 50 tahunan itu justru menyuruhnya untuk makan.

Geo tidak memilih menu, ia meminta Pak Indra saja yang memesankannya. Kini, di hadapannya ada berbagai makanan khas Jawa yang cukup menggoda selera. Namun, di situasi seperti ini, Geo sama sekali tidak ada selera makan.

"Ayo dimakan." Pak Indra berkata kembali karena Geo sama sekali belum menyentuh makanannya.

Geo dengan kaku mengangguk dan tersenyum sopan. Ia masih menunggu ayah dua anak itu untuk makan dulu, dirinya tahu sopan santun, jadi tidak akan mendahului orang yang lebih tua darinya.

Ketika Pak Indra sudah mulai makan, Geo baru berani memegang sendok dan garpunya.

Mereka berdua makan dengan tenang dan tidak ada satu kata pun terucap dari keduanya. Itu membuat Geo ingin segera menyelesaikan acara makan ini dan membicarakan kepentingan Pak Indra padanya.

"Sudah selesai makan?"

Geo hampir saja tersedak ketika suara berat dari pria paruh baya di hadapannya terdengar. Geo segera menyelesaikan minumnya dan meletakkan gelas tersebut di meja.

"Sudah, om." Jawabnya. Ia melihat ke arah piringnya yang sudah bersih, sementara milik pak Indra masih ada sisa. Namun sepertinya, pak Indra sudah selesai dan tidak akan makan lagi.

"Baiklah." Pria paruh baya itu menegakkan duduknya. Kakinya bersila dengan baik –itu membuat Geo bertambah gugup. Ia semakin penasaran mengenai apa yang akan dibicarakan oleh ayahnya Ardan.

"Om mau berbicara serius denganmu, anak muda."

Remaja 16 tahun itu meneguk ludahnya ketika pak Indra memandangnya dengan cukup serius –ini benar-benar membuatnya gugup.

"Ya, om." Apa pekerjaan yang akan diberikan om Indra begitu sulit hingga seserius ini? –pikir Geo.

"Om tidak ingin basa-basi." Pria awal 50 tahunan itu menghela napas panjang sebelum meneruskan ucapannya, "bisakah kau pergi dari kota ini?"

Sejenak, Geo tidak bisa mencerna dengan ucapan Pak Indra padanya. Ia mungkin merasa bahwa dirinya salah dengar, tapi sepertinya tidak sama sekali.

"Ap –apa?" Remaja itu terbata saat bersuara, "maksud Anda, saya harus pergi?"

"Ya. Pergi yang jauh. Pindah sekolah dan jangan menampakkan diri di hadapan kedua putraku."

Dahi Geo berkerut dalam. Ia semakin bingung dengan pernyataan yang keluar dari mulut pria paruh baya itu. Kenapa tiba-tiba membicarakan tentang Ardan dan Rayan?

"Tunggu, om..." Geo mengangkat tangannya dan memberi tanda agar Pak Indra menghentikan ucapannya sejenak, "maksud om apa? Saya disuruh menjauhi Ardan dan kak Rayan?"

"Ya." Jawabnya dengan mantap. "Kamu jangan pura-pura tidak tahu, nak. Om sudah tahu semuanya." Kedua tangan pria itu dilipat di depan dada. Tatapan matanya yang semula teduh, kini memandang Geo dengan cukup sinis.

"Maaf. Saya sama sekali tidak tahu maksud om."

"Oh." Itu respon singkatnya, tapi Geo merasa intimidasi yang sangat kuat. "Kamu pasti lihat wajah Ardan yang babak belur beberapa hari lalu, bukan?"

Ah...Ya. Geo ingat. Pada saat itu, ia enggan menanyakan perihal luka lebam di wajah Ardan.

Geo hanya mengangguk untuk merespon pertanyaan dari pak Indra.

"Kamu tahu penyebabnya?"

Geo menggeleng. Ia belum juga membuka suara.

"Itu karena dia berkelahi dengan Rayan. Coba tebak, mereka berkelahi karena apa?" Pak Indra menjeda kalimatnya. Memandang Geo semakin tajam, hingga remaja itu sedikit memundurkan duduknya karena merasa terintimidasi.

"Ti-tidak tahu." Jawab Geo dengan menggeleng lemah.

"Karena memperebutkanmu."

"Huh?!" Bagai disambar petir di siang bolong, jantung Geo terasa jatuh ke dasar perutnya ketika mendengar hal itu. Kedua matanya melebar dan detak jantungnya berdetak sangat cepat.

"Ya. Memperebutkanmu." Pak Indra mendecih seperti mengejek, "aneh, bukan? Dua orang lelaki, memperebutkan seorang lelaki."

"Om –om...tunggu!" Tangan Geo bahkan bergetar setelah mendengar penuturan tersebut. Ia bahkan merasa tidak bisa berdiri, "jadi...kak Rayan –" Geo tidak bisa meneruskan ucapannya.

Ini benar-benar hal yang baru ia dengar. Ardan dan Rayan. Memperebutkan dirinya?! Bagaimana bisa?

Ia memang sudah tahu mengenai perasaan Ardan padanya. Tapi ia tidak menyangka bahwa Rayan juga...menyukainya?

Geo langsung teringat dengan semua perhatian yang Rayan berikan padanya. Padahal ia sudah menganggap semua perhatian tersebut hanya sekadar kakak kepada seorang adik, tapi ternyata di balik itu...Rayan tertarik padanya.

"Ah, kamu hanya terkejut mengenai Rayan yang juga memperebutkanmu." Pak Indra kembali bersuara. Kedua tangannya ia lipat di depan dada dan kembali menatap Geo, "berarti kamu sudah tahu perasaan Ardan padamu?"

Geo sama sekali tidak bisa menjawab. Ia seperti ketangkap basah telah mencuri. Padahal dirinya tidak bersalah sama sekali, tapi kenapa ia merasa bahwa ini semua adalah kesalahannya?

"Waktu kalian tidur bersama saat hujan, kamu sudah tahu perasaan Ardan, bukan?"

Kini Geo tahu, ternyata Pak Indra tidak beranjak dari ruang makan pada saat ia bermalam di sana, ayah dua anak itu sedang memperhatikan gerak-gerik anaknya saat bersama Geo.

"I-iya." Jawabnya dengan ragu. Ada rasa takut luar biasa yang Geo rasakan. Dirinya tidak tahu bagaimana nasibnya setelah ini.

"Jauhi mereka berdua."

Perkataan Pak Indra kembali membuatnya membeku, "maksud Anda?"

"Jauhi Rayan dan Ardan. Pergi dari kota ini dan anggaplah kalian semua tidak pernah mengenal sebelumnya. Kamu hanya menjadi pengaruh buruk untuk kedua putraku."

Emosi Geo naik. Harga dirinya terasa diinjaak-injak atas ucapan Pak Indra padanya.

"Pengaruh buruk?" Geo berusaha untuk tidak menaikkan nada suaranya. Ia ingat bahwa ini di tempat umum. Meski jarak antara saung cukup jauh, pasti akan jadi pusat perhatian ketika dirinya berkata lebih keras.

"Ya." Jawab Pak Indra. "Kamu anak yatim piatu. Hanya tinggal dengan paman dan bibimu. Tidak ada yang mengajarimu tentang sopan santun bahkan orientasi seksual –"

" –mohon maaf karena saya harus memotong ucapan, Anda." Ia menetralkan emosinya dengan menarik napas dalam sebelum kembali berbicara.

"Saya memang yatim piatu, tapi tante dan paman saya mendidik dan merawat saya dengan baik layaknya anak sendiri." Ucap Geo dengan terus menstabilkan nada bicaranya agar tidak meledak-ledak.

Ia pun kembali berbicara lagi, "jika Anda menuduh saya membawa pengaruh buruk untuk kedua putra Anda, itu salah."

"Tidak –"

" –dengarkan saya dulu, Pak Indra." Geo kembali memotong ucapan pria paruh baya di depannya. Saat dirinya sudah siap bersuara lagi, Geo kembali membuang napas.

"Saya tahu perasaan Ardan. Tapi demi Tuhan saya tidak pernah menanggapinya. Tidak sama sekali."

Meski Geo menjelaskannya panjang lebar, sepertinya ayah dua anak itu sama sekali tidak percaya. Pak Indra justru mendecih dan tiba-tiba mengambil tas kerjanya yang sedari tadi diletakkan di sampingnya.

Geo menaikkan sebelas alisnya ketika ayah dari Ardan itu mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dan cukup tebal. Ia penasaran, apa yang akan dilakukan pria paruh baya itu setelah ini.

"Ini." Pak Indra meletakkan amplop coklat itu di atas meja dan mendorongnya tepat di hadapan Geo, "ambilah."

Kepala Geo sedikit miring ke samping karena penasaran dengan isi amplop tersebut. "Apa ini?" Tunjuk Geo dengan tangan kanannya.

"Uang."

"Uang?" Geo lebih heran dengan ucapan lelaki paruh baya tersebut.

"Ambil uang itu. Pindah dari kota ini agar kedua putraku tidak berhubungan denganmu."

Kerongkongan Geo semakin kering setelah mendengar pernyataan tersebut. Ulu hatinya terasa tercabik karena mendapatkan penghinaan seperti ini.

Dosa apa yang ia lakukan di masa lalu hingga harus menghadapi situasi seperti ini di usianya yang masih sangat muda.

Geo mungkin akan memakluminya jika ini mimpi –atau dirinya sedang syuting sebuah sinetron striping. Tapi nyatanya, ini semua nyata. Dirinya mendengar pernyataan itu semua dan bukan mimpi semata.

Tanpa dia rasa, kini ada sesuatu yang menjalar di pipinya dan jatuh tepat di kedua pahanya yang terlipat.

Air matanya...

Geo menangis. Menangis karena dirinya merasa terhina dan tidak mampu membela dirinya.

Ia hanya seorang yatim piatu yang menumpang di rumah paman dan bibinya. Tidak ada yang akan membelanya saat ini. Terlebih lagi, ia berhadapan dengan orang kaya yang berkuasa. Dia tidak akan bisa melawannya.

"Anda memberiku uang ini...untuk pergi dari sini?" Geo kaget ketika suaranya bergetar dan bahkan sedikit tercekat karena menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara tangisnya.

Seakan-akan tidak peduli dengan wajah sedih remaja tersebut, Pak Indra mengangguk. "Ambil. Kamu yang membuat kedua putraku keluar dari norma sosial. Mau jadi apa jika mereka terus-terusan berdekatan denganmu?"

"Tapi saya tidak pernah menanggapi perasaan mereka, om. Bahkan baru hari ini aku tahu tentang perasaan Rayan pada saya."

"Ck."

Decakan pria paruh baya itu, membuat hati Geo mencelos. Terlebih lagi, saat Pak Indra menegakkan duduknya dan mengisyaratkan Geo untuk mendekat padanya.

"Kemarilah." Geo menurut, ia menundukkan kepalanya ketika Pak Indra seperti akan membisikkan sesuatu.

"Kamu ambil uang ini. Pergi dari kota ini. Jika kamu menolak, hidup keluarga dari paman dan bibimu akan menderita setelah ini."

Kedua mata Geo membulat, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia melihat ke arah Pak Indra yang sudah duduk tegap lagi dan mendorong amplop tebal tersebut untuk lebih dekat dengan Geo.

"Ambil dan pergi." Ucapnya sekali lagi.

Geo tidak tahu harus merespon apa. Air matanya sudah turun tanpa bisa ia kontrol. Geo menghapus air matanya dengan segera ketika ada pelayan lewat membawa nampan kosong, meliriknya dengan heran.

"Ambil."

Geo sudah tidak tahan lagi. Ia tidak ada pilihan. Tidak mungkin Geo mengedepankan egonya dan menukar keselamatan keluarga tante Hana. Ia tidak akan tega.

Maka, dengan terpaksa, Geo mengambil amplop coklat tersebut. Ia sedikit kaget karena isinya cukup berat dan sangat tebal

Berapa uang yang Pak Indra masukkan ke dalam?

Tapi Geo langsung mengabaikannya. Ia memasukkan amplop tebal itu ke dalam tas dengan tergersa-gesa.

"Kalau begitu –"

" –pergilah. Tak usah berpamitan. Ingat pesan saya."

Padahal Geo hanya ingin bersikap sopan, tapi mendengar betapa angkuhnya Pak Indra, Geo mengepalkan kedua tangannya untuk menahan emosi.

Setelah itu, ia keluar dari saung dan memakai sepatunya. Tanpa berpamitan, dirinya pergi dari restoran itu dengan langkah lebar dan tidak menolehkan kepalanya ke belakang.

"Diangkat, kak?"

Bu Hana bertanya untuk ketiga kalinya pada sang sulung –William yang sedang berusaha menelpon Geo.

William mematikan ponselnya dan menggeleng ke arah sang ibu untuk merespon pertanyaan tadi.

"Duh...kakakmu ke mana, ya, Will?" Tanya bu Hana dengan khawatir. Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan sang keponakan belum juga pulang ke rumah.

"Kenapa tadi kamu gak pulang bareng kakakmu, sih?" Ucap wanita awal 40 tahunan itu dengan kesal.

"Tadi kak Geo katanya mau nemuin seseorang, makanya aku pulang duluan."

Dahi bu Hana mengkerut setelah mendengar hal tersebut, "siapa?"

William mengedikkan kedua bahunya, "entahlah. Dia gak ngomong mau ketemu siapa."

Bu Hana semakin khawatir. Ia kembali berjalan ke arah jendela depan untuk melihat gerbang depan –siapa tahu Geo sudah pulang. Tapi nyatanya, gerbang depan masih kosong dan tidak ada siapapun.

Malam sudah semakin larut, bahkan Nathan dan sang suami sudah tertidur sejak pukul 9 tadi. Kini, tinggal mereka berdua yang masih terjaga untuk menunggu Geo pulang.

"Bagaimana jika dia menemui orang aneh dan Geo diculik?"

Gumaman sang ibu didengar langsung oleh William. Remaja 15 tahun itu hanya memutar bola matanya dan menghela napas panjang.

"Bunda terlalu banyak menonton sinetron."

Merasa tidak terima dikomentari demikian, Bu Hana berbalik dan menatap ke arah anak sulungnya.

"Tapi bisa saja –"

Ucapan wanita tersebut terhenti ketika mendengar decitan gerbang besi depan yang terbuka. Bu Hana segera melihat dari jendela dan melihat Geo yang sedang berjalan menuju pintu belakang.

"Nah, kan. Tuh anaknya pulang."

Bu Hana mengabaikan ucapan William, ia segera menuju ke pintu dapur untuk menyambut kepulangan sang keponakan yang sedari tadi membuatnya khawatir.

"Geo. Kamu dari mana, nak? Kenapa baru pulang?" Bu Hana sudah tidak sabar memberi pertanyaan pada remaja 16 tahun itu ketika Geo sedang mencopot sepatunya.

Dengan lesu, Geo yang sudah melepaskan sepatu, berbalik menghadap tantenya dan tersenyum lemah, "maaf, ya, tante. Tadi Geo ada urusan sebentar sama temen."

Bu Hana merasa ada yang aneh dengan keponakannya. Wajahnya sangat lesu dan lelah. Kedua matanya juga sembab dan merah –seperti orang menangis.

"Geo, kamu gak apa-apa?" Wanita awal 40 tahunan itu memegang kedua bahu sang keponakan dengan wajah khawatir.

Geo menggeleng dan tetap tersenyum, "tidak apa-apa. Geo Cuma lelah karena urusan OSIS sama klub jurnalistik yang baru terbentuk."

"Tadi kak Geo nemuin siapa? Kenapa kak Geo keliatan lelah gitu?"

Baik bu Hana dan Geo langsung menoleh ke sumber suara. William berdiri di dapur dan memandang wajah kakak sepupunya dengan curiga.

"Loh? Belum tidur lo, Will?"

"Kak –"

" –tante...William, aku mau langsung ke atas aja ya? Mau istirahat."

"Mau mandi dulu, Ge? Nanti tante bikin air panasnya."

Geo tersenyum lemah dan menggeleng, "gak usah, tante. Udah malem. Mungkin mau cuci muka sama gosok gigi aja."

Setelah itu, Geo naik ke atas menuju kamarnya. William hendak menyusul kakak sepupunya itu, tapi ibunya langsung menahan sang sulung.

"Udah biarin aja. Kakakmu itu sepertinya butuh istirahat."

"Tapi bun –"

" –Will..."

Begitu melihat kedua mata ibunya yang memandangnya tajam, William mau menurut dan berbalik untuk pergi ke kamarnya. Dengan penuh emosi, William menutup pintu kamarnya sedikit lebih keras hingga membuat bu Hana terlonjak.

Sebenarnya, ia juga penasaran dengan keadaan Geo saat ini. Tapi ia tahu, sang keponakan masih membutuhkan waktu untuk bercerita, maka bu Hana tidak memaksanya sekarang.

Dua hari setelah pertemuan tersebut, Geo bersekolah seperti biasa. Ia masih belum bisa cerita dengan tante Hana ataupun William.

Lagi pula, Geo benar-benar bingung harus bagaimana ia menceritakan masalahnya ini.

Uang yang diberikan pak Indra masih tersimpan di lemari bajunya. Pria paruh baya itu juga mengirimkan pesan sepulangnya ia dari restoran.

Pesan yang dikirim pak Indra padanya membuat Geo tidak bisa tenang. Isi pesan tersebut mengharuskan dirinya untuk meninggalkan kota ini dalam waktu kurang dari sebulan.

Bagaimana bisa ia melakukan ini? Apa yang akan ia katakan pada tantenya jika harus pindah sekolah dan keluar dari kota ini?

Selama dua hari ini, Ardan juga tidak henti-henti mendekatinya. Beruntung, Geo memiliki teman seperti Damar dan Laila yang bisa diajak bekerjasama, sehingga Ardan bisa ia jauhi dengan bantuan kedua temannya itu.

Sementara Rayan...

Geo yang sedang duduk di halte bus merasa berat dan menghela napas panjang.

Mahasiswa itu juga pernah menghubunginya beberapa kali bahkan memaksanya untuk bertemu. Tapi Geo sengaja memblokir nomor mahasiswa itu.

Lagi pula, Rayan kemungkinan besar tidak berani ke rumahnya atau ke sekolah.

Lamunan Geo seketika terhenti ketika bus yang sedari tadi ia tunggu akhirnya datang. Dirinya masuk dan bersiap untuk pulang.

Ternyata, ketika sudah berada di rumah, tante Hana telah menunggunya di ruang tamu.

"Geo."

"Tante gak kerja?" Ini masih jam 4 sore, biasanya tantenya akan pulang jam 5 atau 7 malam.

"Tante sengaja izin pulang lebih awal."

Geo melihat ke sekeliling rumah yang terlihat sangat sepi. Padahal ia tadi lihat kalau William sudah pulang tadi siang.

"Ke mana yang lain?" Tanyanya.

"Ah, William dan Nathan diajak ayahnya pergi ke pasar."

Tumben –begitu pikir Geo. Biasanya jika ke pasar, pasti ia yang diajak. Tapi entah kenapa, pamannya justru mengajak kedua putranya.

"Oh." Hanya itu respon dari Geo. "Kalau begitu, Geo ke kamar, ya, Tan?"

"Geo. Tunggu, nak."

Tangan Geo ditahan oleh Bu Hana. Wanita itu sedikit menarik tangan sang keponakan untuk duduk di sampingnya.

"Ada apa, tante?"

"Tante mau bicara penting sama kamu, nak. Mumpung tidak ada Nathan dan William."

Dagi Geo mengerut dalam setelah mendengar ucapan dari tantenya, "memang mau bicara apa tante?" Sebenarnya Geo tahu tentang apa yang akan tantenya bicarakan padanya.

"Bicara tentang kamu yang pulang telat dua hari lalu. Bisa bicara dengan tante?"

Tante Hana menepuk-nepuk sofa yang ada di sampingnya agar Geo duduk di sana, remaja itu pun menurut dan duduk di sana.

Mereka berdua duduk bersisihan dengan tante Hana yang menghadap ke arah Geo dan tangannya ia letakkan di salah satu lengan keponakannya.

"Dua hari lalu, ada masalah apa, hm?"

Geo menunduk. Ia sebenarnya enggan mengungkapkan cerita ini pada tantenya.

"Geo..." Tante Hana mengusap lengan Geo dengan penuh rasa perhatian. Geo adalah anak dari kakaknya, sudah semestinya anak itu mendapat perhatiannya. Jadi, ketika Geo terlihat murung dan banyak masalah, dirinya tidak tinggal diam.

"Kamu tahu, nak? Setelah kamu pulang telat dengan mata sembab, wajah murung, dan dua hari napsu makanmu trun, tante terus-terusan kepikiran."

"Tante..."

Wanita itu menepuk-nepuk lengan keponakannya dan memandangnya dengan tatapan penuh sayang, "kamu itu bukanlah orang lain di rumah ini, Geo. Kamu anak tante juga. Wajar jika tante kepikiran jika kamu murung beberapa hari ini."

Geo berkedip dan merasakan air matanya turun begitu saja. Ia tidak menyangka bahwa sikap diamnya itu membuat tantenya kepikiran hingga mengganggu kegiatannya. "Maafin Geo, tante..."

Tante Hana menggeleng, "jangan minta maaf. Tante hanya ingin tahu apa masalah yang sedang kamu hadapi." Ucapnya, "tante janji, tante akan bantu masalahmu ini."

Tidak bisa..

Meski dengan cara apapun, Tante Hana tidak akan bisa membantu Geo –itulah yang remaja itu pikirkan.

"Geo dibully, tante."

Kedua mata wanita dua anak itu terbelalak lebar ketika mendengarnya, "dibully?!"

Geo mengangguk. Ini adalah skenario yang sudah ia susun sejak semalam. Dirinya tahu, ia tidak mungkin diam saja jika ingin pindah dari sekolah dan keluar dari kota ini. Maka dari itu, mau tidak mau ia harus menyusun skenario palsu yang meyakinkan tantenya agar mau membantu Geo pindah.

"Geo dibully oleh kakak kelas karena kesalahpahaman."

"Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja." Ucap tante Hana dengan amarah yang tertahan, "apa ada guru yang mengetahui hal ini?"

Geo menggeleng, "tidak, tante. Mereka selalu punya tempat tersembunyi agar tidak ketahuan guru."

Tiba-tiba ibu dua anak itu langsung teringat akan sesuatu, "berarti luka-luka lebam waktu itu, mereka yang lakuin?"

Sekali lagi, Geo mengangguk.

"Besok tante ke sekolah. Kita laporkan kakak kelasmu itu. Siapa namanya?!"

Geo memegang tangan tantenya –mencoba menenangkan, dan wanita itu menatap Geo. "Jangan, tan. Mereka sudah kelas 12. Akan sangat disayangkan bila kena skor penalty dan tidak bisa ikut ujian masuk perguruan tinggi."

"Nak, tapi pembully itu–"

" –Geo hanya ingin pindah saja, tante."

"Pindah?" Wanita tersebut sedikit kaget mendengar penuturan Geo, "pindah dari sekolah maksudnya?"

"Ya. Pindah dari sekolah dan pindah dari kota ini."

"Geo." Tante Hana menatap sang keponakan, tangannya masih mengudsap lengan remaja itu, "bukankah ini terlalu jauh? Kita bisa laporkan –"

" –orang tuanya salah satu donatur tetap di sekolah. Tante mau lapor pun, pihak sekolah akan membelanya."

Kedua tangan wanita itu terkulai lemas mendengar itu. Matanya sudah berkaca-kaca dengan manatap nanar pada sang keponakan.

"Tapi...kenapa kamu harus pindah dari sini juga?"

Geo mencoba tersenyum meski kedua matanya juga sembab, "mereka pasti akan terus menggangguku selama masih di kota ini."

"Geo, tante gak bisa melepaskanmu ke tempat lain."

"Bisa." Geo mencoba meyakinkan, "Geo sebentar lagi 17 tahun. Geo juga punya tabungan hasil warisan kedua orang tua Geo."

"Tapi itu tidak cukup, Geo."

Geo memegang kedua tangan tantenya, "cukup. Selama hampir sebulan saat liburan kenaikan kelas, Geo bukannya sempat kerja? Geo ada tabungan dari kerja paruh waktu itu."

"Ge..."

"Cukup tante..." Ucapnya dengan terus mencoba meyakinkan wanita di hadapannya itu, "percayalah."

Wanita dewasa itu terlihat lemas, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa menyelamatkan keponakannya. Namun, mendengar sang pembully adalah donatur tetap sekolah... ia tidak bisa berbuat apapun.

"Bagaimana dengan kedua adikmu?"

"Jangan ceritakan masalah ini pada mereka, terutama William." Ucap Geo, "tante bisa, kan menjaga rahasia ini? William akan mengacau jika tahu semuanya."

Bu Hana menunduk dengan terus meremas jari-jemari Geo untuk saling menguatkan satu sama lain, "tante akan usahakan."

"Terima kasih, tante."

"Ke mana kamu akan pindah?"

"Kota B. Bukankah jarak dari sini ke kota tersebut cukup dekat? Tante, William, Nathan, bahkan paman, bisa datang kapan saja."

Melihat Geo yang sudah memiliki rencana akan kepindahannya, wanita tersebut justru menangis. Itu berarti sang keponakan sudah memikirkannya jauh-jauh hari.

Ia merasa sangat buruk menjadi seorang tante dan orang tua bagi keponakannya.

"Tante janji, kan, mau bantu kepindahan Geo?"

Wanita itu hanya mengangguk, dirinya sudah sulit untuk berkata-kata.

"Geo berniat akan pindah seminggu atau 10 hari lagi. Besok, Geo akan cari-cari informasi sekolah di sana."

"Geo...apa kamu tidak sayang? Kamu sudah kelas 11, menjabat sebagai OSIS dan nilai-nilaimu juga bagus di sekolah itu –"

" –justru karena masih kelas 11 di awal semester, tidak masalah jika harus pindah." Geo memotong perkataan tantenya. Ia tidak ingin jika tante Hana terus menahannya.

Wanita tersebut menghela napas, ia sudah pasrah dan hanya mengangguk paham atas perkataan yang Geo lontarkan.

"Tante akan bantu cari sekolahan dan tempat tinggal kamu di sana nanti."

"Makasih, tante."

Tante Hana tersenyum, ia mengusap rambut keponakannya dengan perasaan yang campur aduk. Kini, ia bingung, bagaimana meghadapi anak sulungnya ketika mengabari kepindahan kakaknya ini.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top