Ch 32; You Are Busted!


Ardan melenguh sebal ketika kamarnya diketuk oleh seseorang. Ia baru saja pulang dari sekolah, berniat untuk tidur sampai sore karena hari ini pulang lebih awal –pukul 12 siang. Namun, ada saja orang yang mengganggunya.

Besok adalah hari Sabtu, sekolah libur dan ekstrakulikuler juga tidak ada jadwal meski sudah menerima anggota baru di semester ini. Harusnya Ardan bisa bersantai, tapi sepertinya tidak.

Lihat saja sekarang ini. Dia baru saja ganti baju dan hendak tidur, tapi ada orang yang mengetuk kamarnya.

"Ardan... ini bunda, nak."

Ah...bunda... Rasa marah yang tadi ia rasakan langsung lenyap seketika saat Ardan mengetahui bahwa yang mengetuk pintu kamarnya adalah sang ibu.

"Ya, masuk." Ardan memang tidak pernah mengunci kamarnya dengan syarat, harus mengetuk dulu sebelum masuk ke kamar anggota keluarga lainnya –itulah aturan yang diterapkan ayahnya.

"Dan...malam ini kamu ada acara?" Begitu bundanya masuk kamar, langsung bersender pada kusen pintu tanpa masuk lebih dalam.

Ardan menaikkan sebelah alisnya setelah mendengar pertanyaan tersebut, "Sepertinya gak, bund. Kenapa?"

"Malam ini...makan di luar, ya?" Jeda sesaat, Lina melihat ekspresi dari anaknya, "sama ayah dan kak Rayan."

Mendengar kalimat terakhir, membuat lengkungan bibir Ardan turun dan dia membaringkan tubuhnya dengan membelakangi sang ibu.

"Ardan gak ikut."

Sang ibu langsung merengut sedih mendengar jawaban anak bungsunya. Ia berjalan untuk masuk ke dalam kamar Ardan dan mendudukkan dirinya di pinggir ranjang.

"Ayah yang ajak, loh. Nanti gimana kalau dia marah lagi sama kamu?"

Ardan terdiam dan tidak langsung merespon ucapan dari ibunya itu. "Kak Rayan juga sudah setuju mau ikut. Kalau nanti kamu menolak, ayah akan semakin marah."

Meski ibunya sudah menjelaskan mengenai hal tersebut, Ardan masih saja membelakangi ibunya dan enggan menoleh.

"Ardan..."

"...aku mau tidur dulu, bund. Kita bahas nanti."

Sepertinya si bungsu masih marah pada ayah dan juga kakaknya. Padahal dengan acara makan malam ini, ia berharap ketiga orang yang ia sayangi bisa akur lagi.

Acara makan malam ini sebenarnya bukan ide dari Lina sendiri, tapi permintaan sang suami.

Awalnya, ia juga kaget ketika ayah dari anak-anaknya meminta makan malam di luar yang bertujuan untuk merekatkan hubungannya kembali dengan kedua anaknya –terutama Ardan.

Lina begitu senang mendengar itu. Bahkan sang suami juga telah booking salah satu restoran di hotel bintang 5 di kota ini. Ia sebagai istri sangatlah senang karena suaminya mau menyatukan kembali keluarganya yang beberapa hari ini saling acuh.

Ia begitu senang ketika Rayan menyetujuinya. Anak itu akan pulang lebih awal dari kampus.

Tapi...ketika ibu dua anak itu mengajak anak bungsunya, jawabannya berlawanan dengan Rayan. Ia sudah menduga bahwa Ardan akan menolak, mengingat anak itu masih bersikap dingin dengan ayah dan kakaknya.

"Ya sudah, kamu tidur dulu."

Mungkin dengan tidur, anak itu berubah pikiran dan mau ikut acara makan malam. Ia tidak ingin suaminya mengamuk lagi. Dirinya ingin semua anggota keluarganya hidup damai bersama di rumah ini.

"Mana Ardan?"

Pria awal 50 tahunan itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah untuk mencari anak bungsunya. Namun, yang ada hanya Rayan yang duduk santai di ruang makan sambil memaikan ponselnya.

"Di kamar, Yah."

"Di kamar?"

Suara sang suami sudah berat dan penuh emosi. Lina sebagai istri sudah sangat was-was, takut ayah dua anak itu kembali meledakkan amarahnya dan memarahi si bungsu.

"Mungkin dia kelelahan, Yah."

"Bukannya sejak tadi siang sudah tidur?!"

Mendengar suara ayahnya yang sangat lantang, Rayan menoleh ke ruang tengah, di mana kedua orang tuanya ada di sana. Begitu ia tahu mereka berdua sedang meributkan Ardan, Rayan hanya mendengkus dan kembali fokus ke ponselnya. Ia tidak peduli sama sekali.

"Bunda mau ke kamar Ardan dulu. Ayah tunggu di sini." Sebagai wanita satu-satunya di keluarga ini, Lina memang mencoba untuk terus bersabar dan tidak terpancing emosi.

Ia segera berlari menuju kamar anak bungsunya agar tidak ada pertengkaran antara suami dan anak keduanya itu.

"Ardan, nak." Tanpa mengetuk pintu dan mengabaikan aturan rumah, ibu dua anak tersebut langsung masuk dan memanggil anak bungsunya.

Ternyata Ardan tidak tidur. Anak itu sedang sibuk di meja belajar sambil memainkan game di komputernya.

"Nak..." Ia menyentuh bahu sang anak agar berhenti bermain game dan menatao ke arahnya, "dengerin bunda."

Pada akhirnya, remaja tersebut mengalah. Ia menghentikan kegiatannya dan memutar kursi gamingnya agar bisa berhadapan dengan ibundanya.

"Ayo, nak. Siap-siap. 15 menit lagi kita berangkat." Ucap sang ibu dengan sangat halus meski si bungsu menatap bosan ke arahnya.

"Gak mau ikut." Jawabnya singkat dan kekeh dengan pendiriannya sejak tadi siang.

Sang ibu menoleh ke jam dinding yang ada di kamar itu –pukul 6.45 petang. Jam 7 mereka sudah harus berangkat karena jam bookingnya harus sampai sana setengah 8.

"Nak...nanti ayah marah."

Ardan menghela napas, sepertinya ia sedang menahan amarahnya, "Bund, semisal aku ikut, yang ada malah bertengkar sama ayah dan kak Rayan."

"Enggak. Bunda janji. Makan malam ini dimaksudkan untuk memperbaiki hubungan kalian." Lina mencoba dengan sangat hati-hati memberikan pengertian kepada Ardan agar mau ikut.

Namun, Ardan hanya berdecak sebal. "Gak mau." Itulah jawaban finalnya yang membuat sang ibu melenguh lemas.

Tapi, seketika ruangan menjadi sangat tegang ketika sang kepala rumah tangga masuk ke kamar Ardan dan menarik si bungsu untuk mengikuti pria tersebut.

Beruntung, meski tindakan ini dilakukan secara mendadak, Ardan tidak menolaknya dan mengikuti sang ayah yang masih menarik lengannya.

"Duduk." Perintah sang ayah ketika mereka semua sudah sampai di ruang tengah. Ia lalu menoleh ke arah anak sulungnya yang masih ada di ruang makan, "kak, sini."

Rayan memang sudah dasarnya penurut, begitu ayahnya menyuruhnya untuk datang, maka ia datang tanpa ada bantahan.

Sang ayah menunjuk space kosong di sebelah Ardan ketika Rayan sudah sampai di ruang tengah, dan mahasiswa itu pun duduk sesuai perintah.

"Malam ini kalian semua harus ikut makan malam." Ketika mengatakan hal itu, kedua mata pria bernama indra tersebut menyalang tajam ke arah Ardan, "terutama Ardan, kamu juga harus ikut. Gak boleh nolak."

Sempat Ardan hendak menolak. Tapi tatapan tajam ayahnya menghentikannya.

"Kamu juga, kak. Harus ikut." Ucap sang ayah lagi dengan menatap si sulung dengan tegas.

"Iya, Yah."

"Aku di rumah aja."

Ardan terlalu berani mengatakan hal tersebut, sampai-sampai sang ibu menutup kedua matanya. Ia takut jika sang suami marah lagi pada anak bungsunya itu.

"Baiklah."

Eh? Semua terkejut ketika sang kepala keluarga mengatakan demikian. Mereka semua terdiam dan menunggu ucapan sang ayah berikutnya.

"Nanti kita ke rumah Geo, ya? Kita ajak dia. Boleh, kan, bund?" Pria paruh baya itu menatap sang istri yang hanya dibalas dengan anggukan cepat.

"Geo?!"

Begitu mendengar itu, Ardan bersuara kembali. Ia menatap sang ayah tidak percaya.

"Kenapa ajak Geo?"

"Ayah sejak awal mau mengajak Geo selain keluarga kita." Ucapnya santai, "ayo, siap-siap. Kita harus sampai restoran jam setengah 8." Sang ayah menarik tangan Rayan untuk segera bangun. Anak sulungnya memang sudah rapi, termasuk dirinya sang sang istri. Tinggal Ardan saja yang masih memakai kaos dan celana santai karena sejak awal tidak ada niatan untuk ikut.

"Aku ikut!" Tiba-tiba Ardan bersuara dengan lantang ketika melihat semua anggota keluarganya berdiri dan hendak menuju ke pintu garasi.

"Aku ikut!" Ulangnya lagi. Ardan mengabaikan pandangan aneh dari ibu dan ayahnya. Siswa kelas 11 tersebut langsung berlari pergi menuju kamarnya untuk berganti pakaian.

Dari kamarnya, Ardan juga berteriak untuk ditunggu sebentar dan sang ibu menjawab,

"Iya...kami tunggu, kok, dek."

Ardan memang tidak membutuhkan waktu lama untuk bersiap-siap. Ia hanya mengenakan celana jeans, kaos putih polos dan dilapisi dengan kemeja biru dongker.

Rambutnya tersisir dengan rapi tapi tidak terlalu formal –agar terkesan masih kelihatan santai saja. Meski makan di resto hotel bintang 5, toh bukan fine dinning yang mengharuskan dia memakai setelan rapi seperti jas.

"Aku udah siap."

"Perasaan tadi kamu menolak paling keras. Kenapa sekarang jadi semangat?" Sang ayah berkomentar. Ia melihat penampilan sang bungsu dari atas sampai bawah.

Wajahnya juga berubah ceria, berbeda sekali dengan tadi yang terkesan cemberut dan enggan berlama-lama bersama keluarga.

Ardan yang mendengar itu, hanya menggaruk belakang kepalanya. Ia bergerak gelisah untuk menjawab ucapan ayahnya tadi.

"Ayah...sudah syukur Ardan akhirnya jadi ikut."

Seperti biasa, bundanya selalu menjadi malaikat penyelamatnya. Karena setelah mengatakan hal tersebut, sang ayah berbalik dan meneruskan perjalanannya menuju garasi.

Akhirnya mereka semua sudah berada di dalam mobil dengan kedua orang tua Ardan di depan, lalu ia dan kakaknya bersebelahan di belakang.

Keduanya terasa canggung karena sejak bertengkar, belum ada salah satu dari mereka yang bertegur sapa. Pada akhirnya, Rayan hanya fokus pada ponsel sementara Ardan menghadap ke jendela untuk melihat jalanan.

Ayahnya tidak berbohong. Mobil mereka memang melaju ke jalan yang akan menuju rumah Geo.

Ardan sudah mengirimkan pesan pada anak IPS itu, tapi sepertinya hpnya mati karena hanya centang satu.

Ya sudahlah... Ardan juga nanti ketemu Geo. Mengingat itu, tanpa sadar dirinya tersenyum senang. Hanya membayangkan makan malam bersama Geo saja, ia sudah sangat bersemangat dan mengabaikan bahwa ia masih belum berbaikan dengan kakak dan ayahnya.

Tapi Ardan juga tidak sadar, bahwa pemuda yang lebih tua darinya itu memperhatikannya. Ia melihat Ardan yang tersenyum sendirian sembari melihat jalanan dengan tatapan tidak suka.

Sementara itu, kedua pemuda yang duduk bersisihan juga diawasi oleh pria paruh baya yang sedang menyetir mobil. Matanya yang berkacamata melihat ke arah kedua puteranya melalui kaca spion depan.

Dan di dalam pikirannya, ia mengetahui akan sesuatu –ia tahu penyebab kedua puteranya menjadi tidak akur seperti sekarang.

Namun, Indra sebagai seorang ayah masih berharap bahwa semua dugaannya salah besar.

Tidak membutuhkan waktu lama, mobil BMW berwarna coklat itu memasuki kompleks perumahan yang dihuni oleh keluarga Geo dan berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis dengan taman cukup luas yang dihiasi berbagai macam tanaman dan bunga hias.

Ardan yang tidak sabaran, langsung keluar dari mobil dengan wajah sumringah. Sekali lagi, pria paruh baya itu melirik ke arah anak bungsunya dengan tidak suka.

"Ah, sepertinya mereka semua lagi duduk santai di teras." Ibu dua anak itu melihat ke teras, memang terlihat ada bu Hana dan dua puteranya sedang duduk santai di depan rumah.

"Permisi." Keluarga Ardan berdiri di depan pintu gerbang yang hanya setinggi perut orang dewasa. Mereka tidak berani masuk, sebelum ada salah satu orang rumah tersebut membukakannya.

"Eh?" Terdengar bu Hana seperti terkejut dan berdiri dari duduknya. Wanita itu segera berlari kecil untuk menuju gerbang. "Eh...ibu Lina dan keluarga." Tante dari Geo itu tersenyum lebar –sekaligus bingung dengan kedatangan keluarga Ardan secara mendadak. "Mari masuk...masuk..."

Bu Hana segera membuka pintu gerbang depan dan menyambut rombongan tamu itu untuk masuk. Kedua anaknya yang sedari tadi sibuk dengan urusannya masing-masing, langsung berdiri.

Nathan, putera bungsu dari bu Hana berlari ke arah rombongan keluarga Ardan untuk mengajak mereka bersalaman layaknya anak-anak ke orang yang lebih tua.

Sementara William, si anak sulung, justru diam berdiri saja. Sampai akhirnya, sang ibu –Hana, mencolek lengan anak sulungnya agar mau bersalaman dengan rombongan tamu itu.

Pada akhirnya, William mau salim dengan mereka –termasuk Ardan tentu saja.

"Bu Lina dan pak Indra, ada perlu apa, ya datang ke rumah kami?" Bu Hana mencoba bertanya dengan penuh hati-hati agar tidak menyinggung keluarga dari Ardan.

Dengan senyum yang begitu ramah, bu Lina bersuara, "Geo ada di rumah, bu?"

Terlihat sekali kalau bu Hana menampakkan wajah yang bingung, "Geo?"

"Begini, bu." Sang kepala rumah tangga –pak Indra maju selangkah dari istrinya dan mencoba berbicara pada wanita di depannya, "saya dan keluarga berniat mengajak Geo untuk makan malam bersama. Apa malam ini Geo bisa kami ajak keluar?"

Bu Hana terlihat kebingungan dan belum menjawab tawaran dari ayah Ardan tersebut. Ibu muda itu masih mencari jawaban yang pas untuk meresponnya.

"Begini, pak, bu..." Sejenak, bu Hana menjeda kalimatnya untuk menarik napas dan menghembuskannya, "kebetulan Geo diajak keluar sama suami saya –paman Geo."

"Ke mana, tante?" Ardan yang sedari tadi diam, tiba-tiba bersuara hingga semua pasang mata yang ada di sana tertuju pada Ardan dengan beragam ekspresi.

"Geo diajak pamannya ke salah satu peternakan di luar kota sejak pulang sekolah."

"Kira-kira, pulangnya kapan, ya, tante?" Lagi, Ardan bertanya kembali kepada bu Hana dengan ekspresi penuh pertanyaan.

"Aduhh...tante juga kurang tahu. Soalnya ada pesanan daging yang cukup banyak buat hari Minggu. Jadi, mungkin sampai malam. Geo memang suka bantuin pamannya."

Bu Hana mencoba menjelaskan dengan baik kepada keluarga Ardan. Ia tidak ingin dianggap mengekang sang keponakan, karena pada dasarnya, Geo memang belum pulang dan sampai sekarang tidak ada kabar.

"Jadi, tidak bisa kami ajak, ya, bu?" Pak Indra sekali lagi bertanya kepada tantenya Geo untuk memastikan.

"Maaf, pak. Sepertinya tidak bisa." Wanita awal empat puluh tahunan itu menoleh ke Ardan, "nak Ardan, coba hubungi nomor Geo saja."

"Nomornya –"

" –hpnya ketinggalan di kamar kak Geo, bund. Mati." Ucapan Ardan langsung dipotong oleh William yang menatapnya dengan sinis.

Ah, ketinggalan, ya? Pantas saja sedari tadi pesan yang Ardan kirimkan tidak ada yang masuk. Ternyata hpnya juga mati.

"Baiklah. Karena Geo tidak bisa, maka kami pamit undur diri, ya, bu Hana." Pak Indra sebagai kepala keluarga, langsung izin pamit dari rumah tersebut.

Bu Hana mengantarkan keluarga Ardan sampai pintu gerbang depan.

"Kami pamit, bu. Maaf bila merepotkan." Bu Lina tersenyum ramah kepada tantenya Geo ketika sudah berada di dalam mobil.

"Iya, bu. Hati-hati di jalan."

Setelah kaca pintu mobil telah dinaikkan, rombongan keluarga tersebut berjalan pergi dan bu Hana kembali ke teras rumah menghampiri anak-anaknya.

"Ngapain, sih, mereka ke sini? Sok akrab banget!" William langsung bergumam tak suka setelah kepergian keluarga Ardan.

"Kakak..." Lagi dan lagi, bu Hana harus bisa sabar menghadapi sifat anak sulungnya yang masih senewen dengan keluarga Ardan, "mereka datang ke sini, kan, niatnya baik."


"Kakak gak boleh gitu. Mereka baik loh mau ajak kak Geo makan malam." Nathan yang memang tidak tahu permasalahan ini sejak awal, mencoba menasehati sang kakak dengan polosnya.

"Diem kamu." Remaja 15 tahun itu menatap tajam adiknya, "kamu gak tahu apa-apa mending diem."

"Bunda..." Nathan tidak terima ketika sang kakak memarahinya, "kak Will, nih."

"Will..."

William masih tidak menoleh ke arah sang ibu. Dirinya mendudukkan diri ke kursi yang ada di teras dengan kesal hingga beberapa kali menghela napas keras.

"Bunda gak tahu fakta lain yang bikin aku gak suka sama Ardan."

"Nathan, masuk ke kamar dulu, nak?" Pinta bu Hana kepada anak bungsunya. Nathan pun mengangguk dan masuk ke kamar. Wanita awal 40 tahunan itu kembali memandang anak sulungnya dan duduk di sampingnya.

"Fakta apa?" Tanyanya sembari membelai lengan si sulung.

William akhirnya mau menghadap sang ibu dan berkata, "bund, Ardan baik ke kak Geo, tuh, karena dia suka sama kak Geo?"

"Suka?" Tanyanya dengan wajah penasaran.

"Iya. Suka secara romantic. Tahu, kan? Bunda pasti menyadari hal itu."

"Bunda..." Bu Hana menjeda kalimatnya, sebenarnya ia sudah pernah berprasangka demikian dari sebelum keponakannya kecelakaan. Tapi itu hanya pemikiran yang dirinya anggap semu. Namun, ternyata anak sulungnya merasakan hal sama.

"Bun, bunda harus bantu William agar kak Geo menjauh dari Ardan. Memang Bunda terima kalau kak Geo sama Ardan menjalin hubungan?" William mengatakannya dengan penuh emosional karena sedari tadi dirinya menahan amarahnya.

"Sebenarnya, bunda tidak ada hak untuk melakukan itu, Will."

"Bunda!"

"Kakakmu punya hak untuk menyukai siapapun. Bunda juga tidak ada hak melarang Ardan menyukai Geo."

Mendengar itu, William mendengkus kesal. "Berarti bunda terima tindakan menyimpang jika mereka berdua bersama?"

Sebelum bu Hana merespon pertanyaan William, anak sulungnya sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju kamarnya. Ia tersentak kaget ketika terdengar dari luar, William membanting pintu kamarnya dengan cukup keras.

Sementara itu, bu Hana hanya menggeleng dan menghela napas pasrah dengan tingkah anak sulungnya itu.

Makan malam keluarga pak Indra berlangsung lancar meski pada saat di restoran, tidak banyak yang berbicara.

Ardan tetap diam dan menjawab seperlunya. Sepulangnya dari rumah Geo hingga berada di restoran bahkan sampai perjalanan pulang, remaja 16 tahun itu enggan berbincang bersama anggota keluarga lainnya.

Rayan pun sama –mahasiswa tersebut terlihat sangat letih. Bu Lina mengira, anak sulungnya mungkin kecapekan karena kegiatan kampus yang begitu banyak dan sekarang harus ikut makan malam keluarga.

Namun, tidak dengan pemikiran pak Indra. Ia melihat setiap detail ekspresi kedua anaknya.

Sama seperti Ardan, ketika ia mengatakan bahwa Geo akan diajak, ada senyuman kecil tersungging di bibir anak sulungnya.

Akan tetapi, saat Geo tidak jadi ikut karena ada sebuah urusan, Rayan langsung murung dan jadi pendiam.

Padahal, biasanya anak sulungnya akan senang ketika semua anggota keluarganya kumpul seperti ini. Acara makan malam di restoran mewah memang rutin mereka lakukan meski hanya sebulan satu atau dua kali –dan Rayan akan selalu ikut dengan wajah ceria selelah apapun dia.

Berbeda dengan hari ini, Rayan memang sangat muram. Mengabaikan keadaan bahwa sekarang si sulung sedang bertengkar dengan adiknya, Rayan sebenarnya tipe yang akan mencairkan suasana yang kaku di keluarganya.

Melihat semua itu, Pak Indra semakin yakin dengan semua prasangkanya selama ini.

Mereka telah sampai di garasi rumahnya dan masing-masing hendak turun dari mobil BMW tersebut. Tapi sebelum itu, sang kepala rumah tangga mengeluarkan suaranya.

"Rayan dan Ardan langsung masuk ke ruang kerja ayah."

Mereka semua yang ada di dalam mobil langsung membeku dan detik berikutnya sang istri bertanya,

"Ada apa, Yah? Kok mereka disuruh ke ruangan kerja ayah?"

Pak Indra menoleh pada sang istri tanpa ekspresi, "bunda tidak perlu tahu. Bunda langsung masuk saja ke kamar."

Bu Lina sebenarnya enggan mengikuti perintah suaminya. Tapi melihat sang suami sangat serius, ia jadi takut untuk menolak.

Ia tidak masalah jika sang suami memiliki pembicaraan penting dengan kedua puteranya tanpa melibatkan dirinya. Namun, ia hanya takut jika ayah dua anak itu menyakiti Rayan dan Ardan.

"Baiklah." Akhirnya bu Lina terpaksa menyetujui. Wanita satu-satunya di keluarga itu keluar dari mobil dan langsung menuju ke kamarnya setelah masuk ke rumah dari pintu garasi.

"Kalian..." Sang kepala rumah tangga menoleh ke bangku penumpang belakang dan melihat kedua anaknya, "segera masuk ke ruang kerja ayah."

Keduanya tidak ada yang menjawab dan langsung keluar dari pintu masing-masing. Baik Rayan dan Ardan belum ada yang saling bicara dan bahkan seperti enggan bersentuhan meski duduk berdekatan.

"Duduk di sana."

Ketika sudah berada di ruang kerja sang ayah, Ardan dan Rayan duduk di sofa panjang di samping meja kerja ayahnya.

Pria paruh baya itu ikut duduk di single sofa dan menghadap pada kedua anaknya.

"Kalian tahu kenapa ayah panggil kalian ke sini?"

Rayan dan Ardan belum menjawab. Rayan hanya menatap sang ayah, sementara si bungsu menunduk dan enggan menegakkan kepalanya.

Pak Indra terlihat frustasi dalam menahan emosi sedari tadi. Ia menghirup napas dalam dan menghembuskannya dengan cukup keras.

Dipandangnya Rayan dan Ardan secara bergantian dan dirinya mulai kembali bersuara,

"Ayah sudah tahu penyebab pertengkaran kalian."

Ardan seketika menegakkan tubuhnya dan menatap sang ayah. Bibirnya bergerak tapi dirinya tidak bisa mengeluarkan suara.

"Semua itu karena Geo, kan? Bocah yatim piatu itu –"

" –ayah!" Rayan segera memotong ucapan ayahnya dengan suara tegas. Ia tidak tega mendengar cacian untuk Geo dari mulut ayahnya sendiri, "Yah, kita bisa bicarakan ini baik-baik."

"Baik-baik bagaimana?!" Nadanya mulai tinggi. Pak Indra sudah tidak bisa menahannya lagi, "melihat kalian bertengkar memperebutkan satu anak laki-laki, bagaimana bisa dibicarakan baik-baik, hah?!"

"Ayah..." Kini Ardan yang bersuara, "tolong jangan seperti ini."

Pak Indra berdiri dari tempat duduknya dan menatap kedua putranya dengan penuh amarah.

"Ayah tanya kepada kalian berdua," Ia menjeda kalimatnya untuk mempersiapkan pertanyaan yang akan ia lontarkan, "kalian berdua suka dengan anak itu?"

"Ayah..." Rayan membujuk ayahnya agar berhenti membahas masalah ini.

"Cepat jawab! Kalian mencintai anak itu?!"

Keduanya terdiam dan menunduk. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sembari meremas tangannya yang gemetar.

"Rayan..Ardan..." Panggilnya lagi, "cepat jawab ayah –"

"IYA!" Ardan yang sudah menahan emosinya, kini meluap dan menatap nyalang pada ayahnya, "apa ada yang salah? Tidak ada yang salah dalam mencintai seseorang, kan?! Ardan suka –"

PLAK!

Satu tamparan langsung membungkam mulut Ardan. Tamparan yang keras itu pun menghuyungkan tubuh jangkungnya hingga kembali terjatuh di sofa.

Melihat adiknya seperti itu, Rayan merasa tidak terima. Ia berdiri di depan tubuh Ardan yang masih tersungkur di sofa ketika ayahnya ingin memukul Ardan lagi.

"Yah, berhentilah. Tidak semua masalah diselesaikan dengan kekerasan –"

PLAK!

Rayan menjadi korban yang kedua. Si sulung mendapat tamparan dari ayahnya. Ini pertama kalinya ia mendapat tamparan dari ayahnya.

Tamparan yang ayahnya layangkan padanya memang pedih. Tapi rasa kecewa dan sakit hati menutup semua rasa perih di pipinya akibat tamparan tersebut.

Berbeda dengan adiknya, Rayan hanya terhuyung sedikit dan kembali berdiri untuk menatap ayahnya.

"Ayah...masalah seperti ini sampai membuatmu tega memukul anak-anakmu?" Ucap Rayan. Suaranya sedikit bergetar karena menahan emosinya.

"Aku bahkan bisa bertindak lebih jauh jika kalian masih berhubungan dengan anak itu!"

BRAK!

Ardan berlari dari ruangan tersebut dan membanting pintu agar bisa keluar. Remaja itu sudah muak mendengar penuturan ayahnya yang ia dengar seperti omong kosong belaka.

"Ardan! Kembali!"

Ardan tidak kembali. Anak itu mengurung diri di kamar dan enggan keluar meski sang ibu telah membujuknya.

"Ayah, kamu apakan Ardan lagi waktu di ruang kerja?" Tanya bu Lina pada sang suami sesaat setelah mereka berdua tengah bersiap untuk tidur.

Pak Indra pun terdiam dan ia memilih mematikan lampu tidurnya dan tidur dengan membelakangi sang istri.

"Kenapa pulang malam sekali?" Bu Hana melihat jam dinding yang sekarang sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam ketika menyambut suami dan keponakannya yang baru pulang.

"Harus deal harga dulu. Susah sekali." Pak Abim menjawab sambil menyerahkan jaketnya kepada sang istri.

"Geo, besok kamu libur, kan? Istirahat ya."

Geo tersenyum, "baik, tante."

"Ayah mau mandi pake air anget atau mau cuci muka aja?" Tawar bu Hana pada sang suami. Melihat suaminya kecapekan dan berkeringat, sudah pasti ada keinginan untuk mandi.

"Boleh lah mandi air anget." Jawabnya, "sekalian Geo dibuatin, bund."

Ucapan suami membuatnya terkejut. Ia tidak menyangka jika suaminya memiliki kepedulian pada sang keponakan. Dengan senyum merekah, ia mengangguk, "baik."

Bu Hana segera menuju dapur sementara sang suami rebahan di sofa ruang tengah. Di dapur, Geo sedang meminum air dingin yang baru dikeluarkan dari kulkas.

"Geo, tante bikinin air anget ya? Mandi. Habis itu baru tidur."

Geo mengangguk, "makasih, tante." Jawabnya. Ia baru sadar jika rumah ini sudah sangat sepi, "Nathan dan William udah tidur, tan?"

"Udah dari jam 10." Bu Hana menjawabnya sambil menampung air di panci, "oiya. Tante baru inget."

Alis Geo naik ketika adik dari ayahnya itu memegang lengannya, "inget apa, tan?"

"Tadi keluarga Ardan datang ke sini."

"Hah? Ngapain, tan?"

Bu Hana sedikit mengingat-ingaat, "tadi, sih, bilangnya mau ajak kamu makan malam."

Wajah Geo bertambah heran dengan pernyataan dari tantenya itu. "Dalam rangka apa?"

"Entahlah." Bu Hana hendak melanjutkan ucapannya tapi air dalam panci kedua sudah penuh, jadi ia segera lari untuk mematikan kran.

Sementara Geo penasaran dengan tujuan dari keluarga Ardan yang tiba-tiba datang ke sini dan mengajaknya malam malam. Padahal sejak siang, Ardan tidak memberitahu apa-apa padanya meski sempat bertemu di kantin.

tbc


A/N : Saya masih buka comission batch 3. Bagi yang ingin bikin cerita melalui comission ke saya, bisa hubungi nomor 085156494198

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top