Ch 31; Sleepover
Bu Lina berjalan ke depan dan membuka gorden dari jendela ruang tamu. Wanita akhir 40 tahunan itu menghela napas ketika dilihatnya hujan masih cukup deras.
Ibu dua anak itu memikirkan nasib Geo yang masih berada di sini sementara jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sepertinya hujan malam ini akan sangat awet.
Mengingat hal tersebut, bu Lina memiliki sebuah ide. Ia tersenyum lebar dan berjalan menuju ruang makan.
Tadi dirinya membuat pisang goreng untuk dua remaja itu dan sekarang baik Ardan dan Geo sangat menikmatinya.
Bu Lina merasa senang melihat bungsunya sudah mulai ceria. Bahkan Ardan sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran sang ayah yang tetap duduk di ruang makan.
Ia juga heran terhadap sang suami. Tumben-tumbenan tahan duduk di sana sambil bermain ponselnya. Biasanya, sang kepala keluarga akan berpindah ke ruang tengah untuk bersantai setelah makan malam.
Namun, bu Lina sepertinya mengabaikan hal itu karena suasana hangat tercipta di rumahnya ini setelah kehadiran Geo. Ia pun berterima kasih akan hal itu.
"Geo, nak." Panggil wanita akhir 40 tahunan itu ketika sudah sampai di ruang makan, "di luar masih hujan. Bagaimana kalau kamu tidur di sini saja?"
"Apa?" Geo meminum teh untuk melegakan tenggorokannya setelah memakan pisang goreng, lalu ia kembali bersuara, "aku pulang saja, tan."
"Loh. Masih hujan ini. Mau pulang naik apa? Naik mobil juga pandangannya terbatas. Bahaya." Jelas bu Lina. Ia tidak masalah jika nanti Ardan mengantarkan Geo. Tapi hujannya cukup deras, pandangan mata untuk berkendara sangatlah terbatas. Cukup berbahaya, bukan?
Geo terlihat gelisah, lalu ia tersentak saat Ardan dari belakang menyentuh bahunya. "Udah, tidur di sini aja. Besok pagi-pagi gue anter ke rumah lo."
Hal itu didukung oleh sang ibu dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, "ranjang di kamar Ardan luas, bisa tidur untuk kalian berdua."
"Geo mungkin takut dimarahi orang rumah jika menginap di sini." Tiba-tiba sang kepala keluarga di rumah itu bersuara sambil menurunkan ponsel dari pandangannya dan menatap sang isteri.
"Eh? Benar juga." Bu Lina lalu mengambil ponselnya yang ia simpan di dekat dispenser dapur, "berapa nomor hp tantemu? Biar tante yang mengabarinya."
Sejenak, Geo menghela napas berat karena dirinya sudah tidak mungkin menolak tawaran dari ibunya Ardan. Maka, dengan ragu, dirinya menerima ponsel bu Lina dan memasukkan nomor hp tante Hana yang sudah ia hafal di luar kepala.
"Ini, tante." Ucap Geo setelah memasukkan nomor ponsel tante Hana dan menyerahkan benda elektronik itu ke sang pemilik.
"Tante telepon bu Hana dulu, ya?"
Wanita tersebut mencoba menghubungi tante Hana dan ternyata hanya menunggu beberapa detik, telepon itu tersambung dan mereka saling bincang.
Ibunya Ardan berusaha menjelaskan perihal kondisi Geo sekarang yang tidak bisa pulang.
Sengaja, wanita akhir 40tahunan itu menyalakan loundspeaker agar semua orang di sana dengar.
"Oh, ya. Tidak apa-apa. Maaf, ya bu Lina kalau keponakan saya merepotkan." Ucap tante Hana dari seberang.
"Ah, tidak merepotkan, kok. Kalau begitu, Geo boleh menginap di sini ya?" Dengan nada yang sangat sopan, bu Lina kembali meminta izin pada bu Hana dan langsung disetujui.
Tante Hana juga menyampaikan beberapa pesan kepada sang keponakan agar tidak terlalu merepotkan keluarga Ardan. Setelah itu, sambungan telepon tersebut terputus dan Ardan terlihat lega.
Kenapa Ardan yang terlihat lega? Geo juga heran ketika melihat ekspresi anak IPA tersebut. Tapi ia mencoba abaikan.
"Sekarang, kalian tidur saja. Besok bangun pagi, kan?"
Kedua remaja itu mengangguk dan berdiri dari duduknya. Mereka berdua hendak pergi dari ruang tamu, ketika pak Indra bersuara.
"Ardan, jika Geo tidak nyaman tidur seranjang denganmu, kamu tidur di sofa saja."
Ardan melirik ke arah Geo yang juga meliriknya. Mereka sama-sama diam. Kemudian sang pebasket muda menoleh pada ibunya, tapi wanita tersebut hanya membalasnya dengan senyuman –seakan-akan mengatakan bahwa ia harus menuruti ucapan sang ayah.
"Baik, Yah."
Tanpa menunggu respon dari sang ayah, Ardan menarik tangan Geo secara tiba-tiba hingga membuat anak redaksi itu kaget.
Mereka berdua berjalan menuju ke kamar Ardan yang ternyata di lantai satu dan sangat dekat dengan area dapur.
Tapi tunggu...
Geo celingak-celinguk ke sekeliling ruangan tersebut. Sangat sepi. Ia baru sadar bahwa sedari tadi ia tidak melihat Rayan di sekitar sini. Ke mana mahasiswa itu.
Geo ingin menanyakan hal itu pada Ardan, tapi entah mengapa, ada rasa sungkan jika ia benar-benar bertanya tentang keberadaan Rayan pada Ardan.
"Ayo masuk, Ge."
"Eh?" Geo tersadar dan sekarang pintu kamar Ardan terbuka. Sang pemilik kamar kembali menariknya agar cepat masuk dan ia sungguh dibuat kagum.
Kamar Ardan begitu luas. Ada ranjang yang begitu besar, meja belajar dengan satu set komputer yang terlihat cukup mahal.
Di pinggir jendela, ada sofa –inilah alasan ayahnya Ardan menyuruh anak bungsunya untuk tidur di sofa jika dirinya merasa kurang nyaman.
Bagaimana bisa Ardan di sofa? Harusnya, Geo yang tidur di sofa karena ia numpang tidur di sini.
"Masuk...masuk... Eh, bentar." Ardan cepat-cepat mengambil jaket dan beberapa baju yang tergeletak asal di atas ranjang dan melemparkannya ke keranjang cucian di ujung sana.
Kamar Ardan begitu nyaman dan luas. Dilengkapi dengan adanya AC, kamarnya begitu lega dan tidak pengap. Ardan benar-benar anak orang kaya.
Berbeda dengan kamarnya yang kecil, pengap, dan lembab, itu membuatnya kurang nyaman. Terkadang jika musim hujan, atapnya bocor. Yah...bersyukurlah, dari pada hidup di jalanan.
"Gue rapiin dulu kasurnya."
Ardan mengambil sapu lidi yang ada di sela-sela kasur dan lemari untuk membersihkan kotoran yang ada di sprei.
Pemuda itu juga merapikan kain sprei yang terlihat kusut agar lembali rapi.
Geo yang melihat itu, merasa tidak enak karena ia menumpang tidur malam ini, tapi justru merepotkan sang pemilik kamar.
Ardan kaget ketika Geo sudah menunduk di sampingnya dan ikut merapikan sprei.
Geo yang sudah terbiasa mengganti dan merapikan sprei, gerakannya cukup lihai dan cepat, membuat Ardan kagum dengan apa yang dilakukan Geo saat ini.
Dirinya akui, pekerjaan rumah –bahkan sekadar merapikan sprei, semuanya dilakukan oleh asisten rumah tangga atau ibunya. Dirinya sadar, harusnya di usianya yang hampir dewasa, harus tahu dasar-dasar pekerjaan rumah agar nantinya ia tidak kaget ketika harus merantau sendirian di luar kota atau luar negeri.
"Lo gak biasa rapiin sprei, Dan?" Geo yang masih merapikan sprei, bertanya pada Ardan tanpa memandangnya.
Merasa malu, Ardan hanya meringis kaku dan menggaruk belakang kepalanya, "ya...begitulah." Lalu ia terpaksa untuk tertawa untuk menutupi rasa malunya.
"Nah, selesai." Geo memandang ranjang Ardan yang telah rapi, lalu ia menoleh pada sang pemilik kamar, "gue tidur di sofa aja. Lo di kasur."
Ardan terkejut dan langsung menolaknya, "mana bisa! Gue aja yang di sofa, lo di kasur aja!"
Tidak bisa... Jika dirinya membalas perkataan Ardan, pasti pertengkaran ini tidak ada habisnya.
Maka, Geo membuat kesimpulan yang mungkin ini lebih bagus dilakukan sejak awal.
"Lo punya kamar tamu?"
"Ada." Jawab Ardan dan itu membuat Geo bernapas lega, "tapi sekarang jadi tempat menaruh beberapa barang. Gak mungkin lo tidur di sana." Lanjut Ardan hingga membuat senyuman Geo langsung luntur.
Pantas saja kedua orang tua Ardan tidak menawarkannya kamar tamu. Ternyata memang tidak difungsikan lagi sebagai kamar tamu.
"Ya sudah." Ucap Geo pasrah.
"Sudah apa?" Perkataan Geo yang terlalu menggantung, membuat Ardan penasaran.
"Ya, sudah. Kita tidur seranjang aja. Luas ini kasur lo."
" –eh!" Ardan tersedak ludahnya sendiri dengan pernyataan Geo. "Beneran?"
Alis Geo naik sebelah karena Ardan seperti tidak percaya dengan perkataannya.
"Ya iyalah. Sama-sama laki pula. Gak ada masalah."
Gak ada masalah?!
Geo lupa kah jika Ardan pernah mengakui perasaannya padanya? Kenapa remaja yang ada di depannya itu terlihat sangat santai sementara Ardan sendiri sudah panas dingin membayangkan mereka tidur satu ranjang.
"A-ah, bener. Gak ada masalah." Ardan mencoba tersenyum kaku untuk menanggapinya.
"Lo ada sikat gigi baru? Gue mau sikat gigi sebelum tidur." Bukannya kurang ajar atau banyak minta, tapi Geo memang tidak bisa tidur jika belum gosok gigi. Apalagi ia tadi makan banyak.
"Oh, ada. Lo pergi ke kamar mandi di samping kamar ini. Ada sikat gigi baru di rak kedua. Pake aja."
Geo hanya mengangguk dengan penjelasan Ardan. Ia pun segera keluar dari kamar, tapi Ardan kembali memanggilnya.
"Lo gak ganti baju? Gue pinjemin baju."
Sejenak, anak OSIS tersebut terdiam, kemudian ia menjawab, "gak usah. Pake baju ini aja. Nyaman dipake, kok."
Geo memang hanya memakai kaos hitam polos dan celana training panjang. Ia tidak menggunakan baju yang proper karena sejak awal ia datang ke rumah Ardan sebentar saja.
Siapa sangka, sekarang ia malah terjebak di sini dan akan tidur di rumah mewah milik keluarga Ardan.
"O-oh. Oke."
Perlu waktu 15 menit hingga Geo kembali dari kamar mandi ke kamarnya dan gantian Ardan yang bersih-bersih sebelum tidur.
Setelah kasur telah rapi, mereka berdua juga sudah bersih, Geo telah memposisikan dirinya di salah satu sisi ranjang.
Sungguh, itu membuat tubuh Ardan sedikit bergetar. Bagaimana bisa ia kembali ke kamar melihat pemandangan dengan orang yang ia sedang sukai, kini berada di kamarnya.
Ardan sama sekali tidak membayangkan hal ini bisa terjadi!
Sadarlah Ardan! Geo hanya numpang tidur! Singkirkan pikiran aneh lo itu! Ardan mencoba menyadarkan dirinya dan menentralkan detak jantungnya.
Hingga dirinya sudah yakin, kakinya ia langkahkan lebih dalam ke kamarnya. Geo hanya melirik padanya dengan masih dalam posisi tidur miring.
"Gue di sini. Gak apa-apa, kan?" Tanya Geo. Ia hanya takut jika sisi kiri ranjang tersebut adalah sisi yang sering Ardan tempati.
"Boleh. Jangan sungkan-sungkan." Ardan mencoba santai. Ia menyibukkan diri dengan membereskan buku di meja komputernya agar tidak terus-terusan memandang Geo yang ada di ranjangnya.
"Oke. Gue udah ngantuk banget, boleh tidur duluan?"
Tidur duluan? Ardan segera menoleh dan menatap kecewa pada Geo yang sudah menutup kedua matanya. Padahal ini masih jam sepuluh –masih belum terlalu malam jika menurut Ardan.
Tapi ia tiba-tiba dikejutkan dengan dering ponsel berbunyi. Itu bukan dering ponsel milik Ardan, karena ia terbiasa memasang mode getar saja tanpa suara.
Ardan menoleh dan mendapati Geo sudah duduk diatas kasur dan hanya memandang layar ponselnya saja tanpa mengangkat panggilan yang masuk.
Kenapa tidak diangkat? Ardan penasaran, tapi ia tidak bertanya. Dirinya semakin terkejut ketika Geo justru mematikan panggilan teleponnya.
"Loh? Kok dimatiin?" Ardan memang tidak tahan dengan rasa penasarannya. Pada akhirnya, ia bertanya kepada anak IPS itu.
"Itu William."
Ardan tidak merespon. Ia hanya membulatkan mulutnya dan mengangguk mengerti.
"Jika gue angkat, malah berisik –lo tahu, kan?" Geo tidak menjelaskannya pun, Ardan sudah pasti paham.
Tentu saja Ardan sangat paham. Ketika Geo pamit tidur di rumahnya, bocah itu pasti uring-uringan dan tidak membiarkan kakaknya bermalam di sini.
Tapi melihat sikap dari Geo, Ardan merasa cukup senang. Bukan bermaksud ia senang karena Geo mengacuhkan William.
Ardan hanya senang bahwa Geo sudah mulai tegas dan tidak mudah diatur lagi oleh remaja yang lebih muda darinya itu. Geo sepertinya telah berada pada pendiriannya sendiri.
"Lo gak tidur, Dan? Bukannya besok mau nganterin gue pagi-pagi?"
Ardan terperanjat dan berdiri kaku ketika Geo mengatakan hal itu. Sebenarnya tidak ada yang salah dari perkataan Geo. Hanya saja, pikirannya Ardan yang tidak beres hingga membuatnya jadi canggung seperti ini.
"O-oke...."
Kenapa dirinya jadi seperti ini? Ardan berulang kali menanyakan hal tersebut di dalam hatinya.
Mungkin inilah yang dirasakan setiap orang jika berdekatan dengan seseorang yang disukainya? Ardan baru pertama kali menyukai seseorang secara romantis.
Sayangnya, orang yang ia sukai memiliki gender sama dengannya. Harusnya tidak masalah, mengingat Ardan termasuk orang yang acuh, tidak pedulian, dan sangat dingin.
Tapi perasaan yang ia miliki menggugurkan semua sikapnya hingga sekarang Ardan seperti orang bodoh ketika berduaan dengan orang yang disukainya.
"Lo..." Ardan menjeda kalimatnya. Kini ia sudah duduk di pinggir kasur dan Geo telah berbaring santai, "...lo suka tidur pake lampu atau gelap-gelapan?"
Gelap-gelapan? Kenapa kata itu begitu aneh ketika diucapkan. Bahkan Geo langsung menoleh pada Ardan dengan satu alis yang menukik naik dan ekspresi heran.
" –maksud gue, tidur pake lampu terang atau lampu tidur! Iya! Maksud gue begitu!" Ardan sudah sangat gugup hingga ketika mengatakan kalimat tersebut, ia harus dengan suara tinggi dan sedikit terbata.
Melihat itu, Geo mendengkus geli. Ia tahu apa yang Ardan rasakan saat ini. Ya salah sendiri ada rasa padanya. Untuk saat ini, dirinya hanya menganggap Ardan sebagai sahabatnya. Entah nanti takdir menuntunnya, Geo hanya mengikuti alur saja.
"Lampu tidur aja. Gue suka pusing kalau tidur pake lampu seterang ini." Jawab Geo.
"Oh. Oke." Ardan langsung cepat tanggap berdiri dan menghidupkan lampu tidur yang ada di meja nakas dekat ranjang. Ia sedikit berlari untuk mematikan lampu utama kamarnya hingga ruangan tersebut menjadi tamaram.
"Suhu ACnya udah pas, atau kurang dingin?" Ardan kembali bertanya. Ia takut jika Geo merasa pengap selama tidur.
"Udah pas, kok." Lagi pula, ini sedang hujan. Hawa dingin masih terasa meski kamar ini terlihat tidak ada ventilasinya.
"Baiklah."
Setelah semuanya beres, Ardan naik ke ranjang dan membaringkan tubuhnya secara rileks di dekat Geo.
Rileks, Ardan... Ini hanya tidur biasa! Ia mesugesti dirinya sendiri agar tetap santai dan rileks berada di samping Geo.
Mereka berdua terdiam cukup lama, hanya suara detik jam yang terdengar di ruangan itu. Luar kamar juga sudah sepi, kemungkinan besar kedua orang tua Ardan sudah tidur di lantai atas.
Ardan melirik ke arah samping kirinya, di mana Geo tidur miring membelakanginya tanpa bergerak.
"Sudah tidur, kah?" Gumam Ardan tanpa sengaja. Ia juga mengatakan itu dengan suara yang cukup lirih.
"Belum,"
"Eh?" Ardan terkejut ketika mendengar Geo menjawabnya. "Kirain udah."
Geo membalikkan tubuhnya hingga sekarang terlentang. Matanya menatap ke langit-langit kamar dan terdiam.
"Di tempat baru memang sulit buat gue tidur."
"Oh." Ardan ikut terlentang dan menatap langit-langit kamar dengan sesekali melirik ke arah Geo. Tiba-tiba, ia teringat akan sesuayu. "Ge, gue mau tanya."
"Apa?"
"Siapa yang bikin lo seperti itu tadi siang?"
Geo tidak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak sebelum menjawabnya.
"Esa dan temen-temennya."
Terdengar. Ardan melenguh kesal setelah mendengar jawaban dari Geo.
"Gue lagi ke lab geografi buat ambli globe. Entah siapa yang ngasih tahu keberadaan gue, tapi Esa tiba-tiba sudah ada di ruang lab itu."
Geo mencoba menjelaskan dan Ardan terdiam untuk mendengar semua itu.
"Gak mungkin Esa ambil globe juga, kan? Dia anak IPA." Lanjut Geo sambil membayangkan kejadian tadi yang membuat sekujur tubuhnya kotor karena tepung dan telur.
"Gak ada yang liat lo waktu dibully mereka?"
"Gak ada." Jawab anak IPS itu, "gue dibawa ke belakang lab geografi –di sana memang sangat sepi. Terus mereka langsung eksekusi."
"Sialan mereka."
Geo menoleh ke arah Ardan yang barusan mengumpat. Ia bisa melihat ekspresi kesal anak IPA itu meski kondisi ruangan cukup gelap.
"Gak usah balas dendam. Gue gak pengin lo dapet masalah lagi." Geo mencoba memperingatkan kepada pebasket muda itu karena ia tahu apa yang ada di pikiran Ardan saat ini.
"Tapi Ge –"
" –biarin aja. Nanti kalau mereka bully gue lagi, mau dibawa langsung aja ke kesiswaan."
Sebenarnya Ardan tidak setuju dengan usul Geo. Anak seperti Esa memang harus diberi pelajaran dulu baru kapok. Namun, jika ia membantah perkataan Geo, pasti anak itu kembali marah padanya.
Mereka baru saja berbaikan, tidak mungkin kembali marahan hanya karena hal ini, bukan?
"Udah lah. Gue mau tidur."
Sepertinya Geo benar-benar mengantuk, karena setelah mengatakan hal tersebut, remaja itu telah tertidur pulas dengan napas halus yang terdengar dari hidungnya.
Ardan melirik sebentar dan tersenyum pada Geo yang telah tertidur.
"Selamat tidur, Geo." Ia pun menyusul untuk menutup kedua matanya dan tertidur.
Awalnya memang semuanya berjalan normal dan Ardan berharap tidur pulas hingga pagi. Tapi di tengah malam, tiba-tiba ia merasakan ada beban di perutnya.
Mengetahui hal itu, ia akhirnya bangun dan langsung tersentak kaget ketika tangan Geo sudah memeluk perutnya dan kepalanya bersandar nyaman di dadanya.
Mendadak, tenggorokan Ardan kering mengetahui posisinya dan Geo sangat dekat. Ia takut jika Geo akan bangun karena merasakan detak jantungnya yang begitu keras.
Pebasket muda itu mencoba menetralkan detak jantungnya agar tidak berdetak terlalu keras. Ia beberapa kali mengatur napasnya dan akhirnya berhasil.
Ia tidak mungkin menyingkirkan Geo. Anak itu terlihat sangat nyaman ketika memeluknya. Mungkin...mungkin saja Geo mengira dirinya adalah sebuah bantal hingga memeluknya seperti ini.
Wajar saja, ia melihat guling yang tadi dipeluk Geo, telah menggelinding ke lantai. Sudah pasti sekarang Geo mengira dirinya adalah sebuah guling.
Dasar!
Ardan melirik ke arah Geo yang masih memeluknya dengan nyaman. Di dalam hatinya, ia ingin membalas pelukan itu. Tapi...apakah nanti Geo terbangun?
Tapi jika tidak dicoba, bukankah tidak tahu? Maka, dengan tangan yang gemetar, Ardan menggerakkan tangannya untuk membalas pelukan itu.
Pelan-pelan agar nanti tidur Geo tidak terganggu dengan pergerakannya.
Eh? Berhasil! Geo sama sekali tidak terbangun! Bahkan ketika lengannya merengkuh tubuh Geo, remaja itu semakin merapatkan dirinya ke tubuh Ardan.
Ya Tuhan....amalan baik apa yang ia lakukan hingga bisa mendapatkan momen seindah ini?
Harusnya Ardan sampai situ saja, tapi tangannya kembali bergerak untuk membelai pipi Geo. Dengan kesadaran penuh, ia membelainya dengan pelan.
Ia tidak tahu, selama hampir satu tahun mengenai Geo, ia baru sadar bahwa pipi Geo terasa cukup...halus? Untuk ukuran seorang remaja laki-laki, kenapa pipi Geo terasa lembut?
Ardan merasa, dirinya sudah cukup jauh atas tindakannya itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menurunkannya dan kembali menempatkan tangannya itu ke tubuh Geo untuk memeluknya.
Dengan senyuman lebar yang menghiasi wajah dan tangan yang merengkuh tubuh Geo, Ardan kembali menutup matanya dan jatuh ke dunia mimpinya lagi.
"Lo udah bangun?"
Ardan terbangun secara tiba-tiba dengan kedua mata yang terbuka setengah. Ketika ia melihat Geo yang telah duduk di pinggiran kasur, ia langsung ingat kilasan kejadian semalam.
Mereka berdua sudah tidak berpelukan lagi! Apakah Geo sadar bahwa semalaman mereka saling berpelukan? Atau secara tidak sengaja, ketika sedang tidur mereka sudah saling melepaskan diri?
Ardan akhirnya mendudukan dirinya dan mengusap kedua matanya agar bisa terbuka lebih lebar.
"Ayo, anter gue pulang, Dan?"
Geo terlihat biasa saja padahal semalam mereka tidur sambil berpelukan.
Apa gue mimpi? –pikir Ardan. Tapi ia merasa bahwa semalam bukanlah mimpi karena ia masih merasakan bagaimana tangannya memeluk bahkan menyentuh kulit Geo.
Tapi kenapa Geo seperti tidak terjadi apa-apa? Ardan langsung menggelengkan kepalanya agar tersadar.
"Pulang sekarang?"
Geo mengangguk sebagai jawaban.
"Lo mending mandi di sini aja. Ntar sampe rumah tinggal ganti baju, sarapan, terus berangkat."
Sejenak, Geo terdiam untuk memikirkan usul dari Ardan. Benar juga, sih. Nanti dirinya bisa lebih menghemat waktu. Begitu pikir Geo.
Maka, Geo mengangguk dan menyetujui usul dari Ardan.
"Bentar. Gue ambilin handuk di lemari." Ardan beranjak dari ranjangnya untuk mengambilkan handuk pada Geo.
"Nanti setelah mandi, gue langsung anter lo pulang. Apa sekalian sarapan di sini?" Ucap Ardan sembari mengangsurkan handuk berwarna putih yang baru ia ambil dari lemari.
Geo menggeleng, "gak usah. Langsung anter aja."
"Oke."
Geo pun keluar dari kamar Ardan dan berjalan ke arah kiri, di mana di sana merupakan kamar mandi yang semalam ia gunakan.
Ketika Geo memutar knop pintu, tiba-tiba tidak bisa terbuka karena terkunci dari dalam.
"Sedang dipake?" Tanyanya pada diri sendiri. Tapi beberapa detik kemudian Geo kaget ketika pintu kamar mandi itu terbuka dan sosok pemuda yang ia kenal, muncul dari dalam.
"Kak Rayan?"
Rayan. Pria yang sejak semalam absen di rumah ini, sekarang muncul di hadapannya dengan bertelanjang dada dan handuk yang melingkar di pinggangnya.
Geo secara otomatis langsung mundur karena kaget dengan kehadiran sosok Rayan yang muncul tiba-tiba.
Tidak kalah terkejut, Rayan yang sekarang tidak memakai kacamata, membulatkan kedua matanya ketika melihat Geo.
"Geo? Kok di sini?"
Geo menelan ludahnya karena masih kaget dengan kemunculan Rayan. Ia lalu menjawabnya setelah lebih rileks, "aku tidur di sini, kak. Semalam mau balikin buku Ardan. Malah keserempet hujan. Jadi gak bisa pulang."
Rayan tidak langsung merespon. Mahasiswa itu diam sejenak dengan terus memandang Geo yang kini memeluk handuk putih yang ia duga milik adiknya.
"Tidur bareng Ardan? Di kamarnya dia?"
Entah kenapa, ada nada kecewa yang keluar dari mulut Rayan hingga membuat Geo merasa tidak enak jika menjawabnya.
"Iya, kak." Jawabnya sembari mengangguk dengan ragu. Geo ingin mengakhiri percakapan ini dan segera masuk ke kamar mandi. Tapi Rayan masih berdiri di depan pintu kamar mandi itu.
"Kenapa gak ngabarin kakak kalau kamu nginep di sini?"
Geo menggerakkan bola matanya gelisah ketika Rayan menatapnya dengan tajam tanpa berkedip, "lupa, kak. Semalam hp Geo dimatiin karena hujan." –bohong. Tapi itu yang ada di pikiran Geo yang tersampaikan melalui mulutnya.
"Ehem!"
Geo kembali tersentak ketika mendengar sebuah deheman keras yang berasal dari depan pintu kamar Ardan.
Baik Geo dan Rayan menoleh ke sumber suara dengan ekspresi berbeda. Tanpa sadar, mahasiswa itu menyingkir dari depan pintu kamar mandi untuk menatap ke arah adiknya.
Melihat ada celah, Geo segera masuk ke dalam kamar mandi dan menutupnya. Ia ingin melarikan diri dari kecanggungan diantara kakak-beradik itu!
Sepeninggal Geo, baik Ardan dan Rayan saling tatap tanpa berkata satu katapun.
Ardan melipat kedua tangannya dengan terus menatap kakaknya. Dirinya siap untuk menjawab segala perkataan Rayan. Tapi mahasiswa itu ternyata memilih untuk pergi dan naik ke atas.
Ia tidak ingin berdebat dengan adiknya di pagi buta. Dirinya sudah lelah dan baru pulang pagi ini karena organisasi kampus dan segala tugas kuliahnya. Kali ini, Rayan akan diam dulu dan memilih mengistirahatkan dirinya.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top