Ch 30; I Do Care Of You


BLAM!

3 Orang yang sekarang sedang ada di meja makan langsung menoleh ke sumber suara, di mana seorang remaja 16 tahun keluar dari kamarnya di lantai satu dengan membanting pintu sekeras mungkin.

"Ardan!"

Remaja itu tidak mengindahkan panggilan ramah dari satu-satunya wanita di keluarga ini. Ia membenarkan tas yang ada di bahunya dan mulai berjalan.

"Ardan!" Wanita tersebut kembali memanggil nama remaja itu dengan nada lebih keras, "tunggu!"

Terpaksa, Ardan akhirnya memberhentikan lajunya dan berdiri di depan sofa ruang tengah.

Antara ruang makan dan kamar Ardan memang jaraknya cukup dekat tanpa adanya sekat dinding. Hal itulah yang membuat sang ibu langsung memanggilnya ketika ia keluar dari kamar.

"Sarapan dulu, yak? Bunda masak nasi butter favoritmu."

"Gak usah." Jawabnya tanpa menoleh pada wanita paruh baya di sampingnya.

Kini, bu Lina memegang lengan anak bungsunya dan menatapnya dengan penuh harapan.

"Nak, sudah ketiga kalinya kamu gak mau sarapan sama kita semua." Bu Lina menoleh ke belakang dan melihat suami dan anak sulungnya sudah mulai menyantap sarapannya, "mari sarapan bersama agar kalian bisa baikan."

"Baikan?" Untuk pertama kalinya, remaja 16 tahun itu menatap sang ibu, "bagaimana bisa baikan jika orang-orang itu tidak ada minta maafnya samar Ardan." Remaja itu sengaja meninggikan suaranya dengan lirikan tajam ke arah ruang makan agar orang yang dimaksud merasa tersindir.

"Ardan..." keluh sang ibu dengan suara lembut sambil membelai lengan remaja tersebut –mencoba menenangkannya.

"Aku berangkat, bund."

"Bunda bungkusin, ya, buat bekal? Nanti bisa makan di sekolah."

"Biarin aja, bund. Biarin anak itu kelaperan! Anak yang tidak pernah dengerin omongan orang tua, mau jadi apa nanti?!"

Tiba-tiba ayahnya yang sedang menyantap sarapannya di ruang makan, mulai bersuara. Pria awal 50 tahunan itu terlihat menatap tajam pada si bungsu dari kejauhan.

"Ayah!" Tegur sang istri. Ia melihat respon anak bungsunya karena akhir-akhir ini emosi Ardan sama sekali tidak stabil.

Lina, sebagai seorang ibu dan wanita satu-satunya di keluarga ini memang lebih sering bersabar dan mengurus anak-anaknya dengan kelembutan.

Sedari awal mereka berdua dikaruniai anak, ia hanya mengikuti pola asuh suaminya yang tegas dan tidak memanjakan kedua anak-anaknya.

Suaminya mengajarkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan ketegasan. Sementara dirinya mengajarkan kelembutan. Ia kira, ini akan seimbang dan membuat anak-anaknya tumbuh dengan baik. Terbukti, Rayan berhasil tumbuh menjadi anak cerdas, penurut, dan berprestasi.

Tapi ia lupa, setiap anak memiliki sisi yang berbeda. Dan Ardan tidak cocok dengan pola asuh sang orang tua. Bukannya menjadi disiplin, ketegasan sang ayah dianggap kontradiktif dengannya dan sikap sabar sang ibu menjadikan alasan bagi Ardan untuk bisa melakukan apa saja tanpa ada larangan.

Dua anak, dua kepribadian berbeda. Ia sebagai ibu sudah sadar akan hal itu. Tapi suaminya tidak menyadari sama sekali dan menganggap pola asuhnya masih berlaku pada Ardan dengan alasan anak pertama mereka bisa tumbuh baik sesuai harapan.

"Biarkan dia pergi. Lakukan sesukanya. Kalau masih tidak mau mengikuti aturan di rumah ini, tinggal lah di jalan –"

"Ayah, itu sudah kelewatan."

Kini, terdengar Rayan yang mencoba menengahi. Ia memang masih belum bicara dengan adiknya. Tapi ucapan ayahnya sudah keterlaluan. Ia tidak ingin Ardan semakin membenci sang ayah dengan ucapan tadi.

"Adikmu itu –"

" –sudahlah, Yah." Potong Rayan. Ini kali pertama Rayan memotong ucapan sang ayah hingga pria tersebut terkejut sesaat. Tapi setelah itu, Pak Indra diam dan melanjutkan sarapannya.

Sementara Ardan yang ada di ruang tengah sedang menahan emosinya. Sang ibu terus mengusap punggungnya untuk bisa tenang atas ucapan ayahnya tadi.

Pada akhirnya, Ardan hanya terdiam dan berbalik untuk pergi tanpa mengucapkan satu kata pun pada sang ibu.

Remaja itu mengambil motornya dari garasi. Tanpa memanaskannya terlebih dulu, Ardan langsung melajukan kendaraannya karena ia ingin cepat-cepat pergi dari rumah tersebut.

Sesampainya di sekolah, ternyata suasana hati Ardan masih saja kurang baik. Sang atlet basket tidak mendengar satu penjelasan pun dari sang guru.

Beberapa kali, Fauzan sebagai teman sebangkunya menyenggol siku sahabatnya agar tersadar dari lamunannya dan mulai fokus dengan pelajaran Fisika yang sedang guru jelaskan di depan.

Namun, Ardan berulang kali ditegur, tetap saja bengong dan mengabaikan peringatan dari teman sebangkunya.

Sampai akhirnya Pak Tito –selaku guru Fisika melemparkan spidol ke arah Ardan hingga mengenai dahinya.

Ardan tentu saja langsung terjingkat kaget. Dirinya berhenti melamun dan langsung sadar bahwa ia saat ini sedang menjadi pusat perhatian.

Seluruh teman kelasnya menatap aneh ke arahnya dan pak Tito yang ada di depan sana memasang ekspresi kesal.

"Ardan, kamu dengar apa yang tadi bapak jelaskan di papan tulis?!"

Ardan melihat ke arah papan tulis di mana sang guru telah menggambarkan suatu ilustrasi sebuah teori Fisika beserta rumus yang tertulis khusus dengan tinta warna merah.

"Rumus kecepatan?" Ucap Ardan secara asal. Setelah itu, kelas terdengar bergemuruh karena beberapa teman kelasnya tertawa atas ucapan asal darinya.

"Hm. Benar. Kamu sama sekali tidak mendengarkan penjelasan bapak."

Ardan menoleh ke arah Fauzan yang hanya dibalas dengan mendikkan kedua bahunya –tanda sang anggota OSIS itu bingung mau bagaimana.

Sang atlet basket melenguh kesal. Ia tidak sadar sama sekali jika dirinya sedari tadi melamun dan tidak mendengarkan penjelasan sang guru.

"Ma-maaf, pak." Akhirnya Ardan mengakui bahwa dirinya sama sekali tidak mendengarkan penjelasan sang guru.

Dengan kesal, sang guru mengangkat penggaris kayu besarnya dan menunjuk Ardan yang duduk di barisan ketiga dari depan.

"Sekarang, kamu keluar dari pada tidak menyimak penjelasan bapak."

"Tapi, pak Tito, saya –"

" –keluar atau bapak laporkan kejadian ini ke pihak kedisiplinan siswa?"

Ardan pasrah, akhirnya ia mengambil ponsel dari laci meja dan berdiri, "baik, pak."

Yah...dari pada dia dilaporkan ke kesiswaan dan mendapatkan poin pelanggaran, sesekali dikeluarkan tidak masalah, bukan? Lagi pula, ini masih awal semester di kelas 11.

Ardan menoleh ke arah Fauzan dan mengatakan sesuatu dengan suara rendah, "nanti gue pinjem buku lo." Ucapnya.

Fauzan hanya mengangguk dan memberikan jempolnya pada sahabatnya itu. Sementara Ardan hanya mengedikkan dagunya pada Daren saat sang bocah gempal itu menatapnya. Dirinya pun benar-benar keluar dari kelas.

Ardan tidak tahu harus ke mana. Ia hanya asal jalan saja tanpa tujuan. Tapi ternyata kakinya mengantarkan Ardan ke kantin.

Ah, dia baru ingat. Tadi pagi dirinya belum sarapan. Sekarang sudah pukul 9 dan perutnya sudah sangat kelaparan.

"Makan setelah dikeluarkan dari kelas, tidak masalah, kan?" Ucapnya pada diri sendiri.

Mang Wasno, si penjual bakso di kantin sekolahnya sudah mangkal di pojok kantin. Berarti baksonya memang telah siap untuk diperdagangkan.

"Mang, satu. Biasa beningan, sambal 1 sendok aja."

Pria paruh baya itu kaget tiba-tiba ada yang memesan. Ia melihat jam kecil yang ia pasang di rak gerobaknya. Masih pukul 9, tapi kenapa siswa satu ini sudah keluar kelas padahal waktu istirahat 1 jam lagi?

Tapi, mang Wasno seperti mengabaikannya dan mengangguk, "baik mas. Ditunggu, ya."

Ardan mencari salah satu tempat yang menurutnya nyaman. Dirinya juga memesan es kopi di salah satu stan di sana.

Lumayan lah. Dirinya keluar kelas tapi bisa makan dengan tenang seperti ini. Jika sudah jam istirahat, mana bisa ia menemukan kursi kosong di kantin.

"Silakan, mas."

Ah, cepat sekali datangnya. Ardan tersenyum dan menerima bakso tersebut. Meski sudah mengatakan pesanannya tadi, sang penjual bakso tetap memberikan botol kecap, saos, dan semangkok sambal ke hadapan pelanggan pertamanya ini.

"Makasih, mang."

Dengan kondisi yang kelaparan, Ardan mengganyang bakso panas di hadapannya. Lambungnya yang sejak semalam kosong, langsung terisi dan membuatnya sedikit lebih bertenaga.

Ia kembali menyendokkan baksonya lagi hingga mangkok yang awalnya penuh, kini sudah habis setengahnya.

Sedang nikmat-nikmatnya memakan bakso, pandangan matanya terarah pada satu sosok yang berlari dari belakang gedung lab geografi menuju ke toilet.

Sebenarnya, Ardan bisa saja mengacauhkan hal itu. Namun, orang yang berlari tadi terlihat sangat kotor.

Jarak kantin dengan toilet belakang memang cukup dekat sehingga jarak pandang Ardan terhadap orang tersebut sangat jelas.

Siswa yang tadi berlari kotor dengan tepung dan ada bekas pecahan telur di pundaknya. Seragamnya sangat kotor dan sepatunya juga basah.

Paling parahnya, Ardan kenal dengan siswa malang tersebut. Ia pun berhenti makan dan bangun dari duduknya.

"Itu...Geo, kan?"

Ardan langsung melupakan rasa lapar dan betapa nikmatnya bakso yang belum selesai ia santap. Remaja itu langsung berlari menuju ke toilet untuk menyusul siswa yang ia duga sebagai Geo.

Dugaannya benar, sesampainya di toilet, ia melihat Geo sedang membersihkan bajunya dengan air kran di luar toilet.

Sekolahnya memang memiliki toilet dalam gedung dan luar gedung. Jika di dekat kantin ini, toiletnya berada di luar –dekat dengan hutan sekolah.

"Geo?"

Ardan memanggilnya dan Geo sejenak tersentak kaget ketika matanya menangkap Ardan yang berdiri di dekatnya.

"Lo habis diapain bisa kayak gini?"

Ardan kini sadar, tidak hanya bahu Geo yang kena telur, tapi kepala anak redaksi tersebut juga kena. Kemungkinan besar, telur di bahunya karena jatuh dari kepala Geo.

"Siapa yang lakuin ini ke lo?" Ardan mulai kesal dengan diamnya Geo. Remaja itu masih bungkam dengan terus membersihkan kotoran tepung dan telur di sekujur tubuhnya.

Celana, sepatu, seragam atasan semua kotor dan bau amis. Geo tidak mungkin mengikuti kelas dengan kondisi seperti ini. Anak itu juga tidak mungkin bolos dan pulang ke rumah dengan kondisi berantakan seperti itu.

"Lo tunggu di sini sampe gue dateng. Jangan ke mana-mana." Ardan meminta kepada Geo untuk tetap berada di toilet tersebut.

Sementara dirinya lari menuju ke ruang klub basket, di mana ia menyimpan kaos dan juga celana di loker ruangan tersebut.

Beruntung, Ardan sebagai ketua klub basket memegang kunci duplikat dari ruangan itu.

Ia memang menggantungkan kunci ruang klub basket di kontak motornya, sehingga ke mana-mana, pasti Ardan bawa.

Setelah ruangan tersebut terbuka, Ardan segera mengganti seragamnya dengan kaos yang ia simpan di loker.

Ketika dirinya sudah melepaskan seragam dan berganti pakaian, dengan cepat dirinya keluar dari ruangan tersebut dan berlari menuju ke toilet tadi setelah mengunci ruangan itu. Ardan juga sempat membawa shampo yang ia selalu simpan di loker klub.

Ia memang suka mandi di sekolah setelah latihan basket selesai. Itulah mengapa, ada shampo sachet yang tersimpan di lokernya.

Ardan berharap jika Geo tetap berada di sana dan tidak pergi ke mana-mana. Dan dirinya bernapas lega saat Geo masih di toilet tersebut dan telah melepaskan seragamnya.

Kini, anak redaksi itu hanya menggunakan celana OSIS dan kaos putih polos yang menjadi dalaman seragamnya.

"Syukurlah lo masih di sini."

Geo yang sedang mengucek seragamnya, mendongak dan menatap Ardan. Pebasket muda itu terlihat kecapekan dengan napas tersengal.

Tangan kanannya membawa sesuatu yang ia lipat secara asal.

"Nih." Ardan mengangsurkan benda yang sejak tadi ada di tangannya itu, "pakai seragam gue aja."

Geo tidak langsung menerima. Ia mematikan krannya dan menatap Ardan dengan heran.

"Ini seragam lo?" Tanya Geo yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi.

Ardan mengangguk dan tersenyum sedikit. Napasnya telah terkontrol dan tidak tersengal lagi, "ya. Punya gue. Pakai aja." Ucapnya lagi, "tapi mungkin sedikit kebesaran sama lo."

"Gak usah." Jawab Geo dingin. Ia kembali membersihkan seragamnya.

"Celana OSIS lo gak terlalu kotor. Paling kemeja aja. Udah pake punya gue aja." Ardan tetap memaksa. Ia terus-terusan menyodorkan seragam tersebut ke hadapan Geo yang belum juga menerimanya.

Kesal karena Ardan terlalu memaksa, Geo menghela napas dan menatap ke arahnya, "kalau gue pake seragam itu, lo pake apa?"

Ardan menarik-narik kaos hitam yang sedari tadi ia kenakan, "ini." Jawabnya, "gue bawa kaos lain. Jadi, tidak masalah."

Sejenak, Geo tidak berkata apa-apa dan hanya memandang Ardan dan seragam di tangan pemuda itu secara bergantian.

"Tidak usah. Gue gak mau repotin lo."

"Ck." Ardan sungguh sebal dengan sifat Geo yang satu ini, "gak ada yang direpotin di sini. Lo mau ikut pelajaran dengan seragam basa dan bau amis?" Lanjutnya.

Ardan lalu mencari tempat untuk meletakkan seragamnya itu. Akhirnya ia menemukan sebuah washtafel yang sudah tidak terpakai lagi di pojok sana. Syukurlah washtafel tersebut masih cukup bersih.

"Gue taruh di sini."

"Dan –"

" –ya udah. Gue pergi dulu. Dipake aja gak apa-apa."

"Tapi, Dan –"

Belum juga Geo menyelesaikan kalimatnya, Ardan sudah keburu keluar dari area toilet tersebut dengan berlari cepat.

Sepeninggal pebasket muda itu, Geo berbalik dan memandang kemeja seragam yang terlipat di atas washtafel.

Geo awalnya sempat ragu, tapi melihat seragam atasnya sudah tidak mungkin digunakan lagi dan dirinya enggan untuk bolos, pada akhirnya ia berjalan untuk mengambil seragam tersebut.

Ketika mengambilnya, ada dua sachet sampo yang tiba-tiba jatuh dan langsung diambil oleh Geo.

"Sampo?"

Geo mengangkat tangannya ke kepalanya yang basah. Ah, benar juga...

Rambutnya memang terkena pecahan telur dan baru ia bilas saja dengan air dan bau amisnya masih tercium. Bagaimana Ardan bisa kepikiran untuk membawakannya sampo?

"Dapat dari mana dia?" Geo bertanya pada dirinya sendiri. Namun, ia tidak memperpanjang hal itu dan kembali masuk ke bilik kamar mandi untuk membasuh kepalanya dengan sampo dan mengganti seragamnya.

Dalam hatinya, Geo merasa sangat berterima kasih dengan bantuan Ardan kepada dirinya. Mengesampingkan urusan rasa pemuda itu terhadap dirinya, Geo sangat menghargai bantuan ini.

"Tidak mungkin gue balik ke kelas dengan pakaian kayak gini, kan?"

Ardan kembali ke kantin dan duduk di sana. Ternyata baksonya masih di sana –mang Wasno bernisiatif tidak mengangkut mangkok Ardan karena isinya masih banyak. Katanya, mungkin Ardan ada keperluan mendadak dan kembali lagi.

Ya, dirinya memang kembali lagi. Namun, napsu makannya tiba-tiba hilang begitu saja. Maka, ia hanya menghabiskan es kopi yang masih sisa.

Sejenak, Ardan melamun memikirkan nasibnya setelah ini. Karena ia sudah tidak mungkin masuk ke kelas.

Apalagi setelah ini ada mata pelajaran sejarah, di mana gurunya sangat disiplin dan tidak membiarkan dirinya masuk tanpa mengenakan seragam.

Daripada harus masuk dan dikeluarkan lagi, lebih baik dirinya bolos saja. Toh, selama naik ke kelas 11, belum bolos sama sekali.

"Baiklah. Gue bolos aja."

Tapi tentu saja ia tidak akan pulang ke rumah, bisa-bisa dirinya menyetorkan nyawa pada ayahnya. Ayahnya sering pulang tengah hari hanya sekadar untuk makan atau santai sejenak sebelum kembali ke kantor setelah pukul 2 siang. Jadi, rumah bukanlah tempat yang bagus selama dia bolos.

Ardan langsung teringat dengan ruang basket yang menyimpan matras di belakang loker. Ia berpikir, lebih baik dia mengunci diri di sana, tidur dan keluar dari tempat tersebut setelah bel pulang berbunyi.

Lagi pula, ruangan tersebut cukup tersembunyi dan ada di pojok lapangan, jarang sekali ada guru yang lewat.

"Baiklah. Ke ruang klub basket saja."

Sebelum ia beranjak dari duduknya, Ardan memberi pesan pada Fauzan bahwa dirinya akan bolos dan tasnya tolong bawakan ke ruang klub basket setelah bel pulang sekolah.

Fauzan yang memang anak rajin, langsung memarahi Ardan lewat pesan singkat. Namun, bocah bebal itu mengabaikannya. Ia sudah sangat yakin jika Fauzan pasti akan membawakan tasnya nanti.

Terbukti, ketika bel pulang berbunyi, Fauzan mengetuk pintu klub basket.

Ardan yang baru bangun tidur, membuka pintu ruangan tersebut dengan malas. Sebelumnya, Ardan melihat ke sekeliling area itu –takut ada guru yang melihat.

"Thanks, bro." Ucap Ardan dengan senyuman menyebalkannya.

Fauzan mendecih sebal karena tidak bisa menolak permintaan Ardan sejak dulu. Ia menghela napas dan berkata,

"Gue udah masukin buku catatan gue buat mata pelajaran hari ini. Dua hari gak dibalikin, gue tendang kepala lo."

Ardan terkekeh dan mengambil tasnya dari tangan Fauzan, "beres, dah."

"Lo mau pulang apa tetap di sini?"

Ardan tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "gak ada latihan basket, sih. Ya udah gue pulang aja. Lanjut tidur di rumah."

"Tolol banget ni anak kerjaannya tidur kayak kebo."

Bukannya marah karena umpatan Fauzan, Ardan justru terkekeh dengan mata yang masih setengah terbuka karena baru saja bangun tidur.

"Gue balik." Pamit Fauzan. Ia tidak menoleh ke arah Ardan lagi dan terus berjalan lurus.

"Hati-hati, bro."

Fauzan hanya membalas dengan acungan jari tengah sembari terus berjalan ke depan.

Setelah area tersebut telah sepi, Ardan keluar dari sana. Ia siap-siap pulang. Tapi ada pemikiran untuk pergi ke area kelas IPS –sekadar untuk melihat Geo, apakah anak itu benar-benar memakai seragamnya atau tidak.

Tapi Ardan mengurungkan niatnya itu. Sudah cukup hari ini dirinya membolos. Jika harus berjalan memutar, takut ada guru yang melihatnya dan menjadi masalah lagi.

Maka, bocah jangkung itu berjalan menuju parkiran melewati belakang gedung agar tidak terlihat oleh guru.

Bu Lina menatap sendu kamar anak bungsunya yang masih tetap tidak dibuka.

Ia sudah berulang kali mengetuk pintu kayu berwarna putih tersebut, tapi Ardan tidak kunjung keluar atau menjawab sahutannya.

"Sudahlah, bund. Nanti kalau dia lapar tengah malam juga cari makan sendiri di dapur."

Begitu perkataan suaminya dengan nada acuh. Tapi dirinya masih tidak tega. Ardan tidak sarapan ketika pagi dan kemungkinan belum ada nasi yang masuk ke perutnya.

Dirinya sangat paham, jika tidak makan di rumah, Ardan pasti hanya makan bakso, mie ayam, atau siomay di sekolahannya dan itu membuat dirinya sebagai ibu tidak tega anaknya kelaparan.

"Apa ketuk lagi, saja, ya, Yah?" Tanya bu Lina pada sang suami yang masih menyantap ayam kecap buatan istrinya.

Pak Indra sama sekali tidak menjawab, tapi bu Lina tetap beranjak dari duduknya dan menuju ke kamar Ardan.

Malam ini, Rayan tidak bisa pulang lebih awal sehingga hanya mereka bertiga di rumah. Bu Lina sudah berharap Ardan akan keluar dan mau makan malam.

Tapi dirinya lupa jika sang bungsu tidak hanya memiliki konflik dengan kakaknya, tapi juga dengan ayahnya.

"Ardan.." Wanita paruh baya itu memanggil anak bungsunya sembari mengetuk pintu dengan pelan. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban.

"Nak, makan, yuk?" Ia memanggilnya kembali dan terus mengetuk. Tapi Ardan tetap diam saja.

Bu Lina melakukan hal tersebut berulang kali dan tidak menyerah sampai Ardan menjawab, hingga akhirnya ia mendengar bel pintu depan berbunyi.

"Siapa malam-malam bertamu?" Masih pukul 7 malam sebenarnya, tapi ini jarang-jarang ada tamu. Jika pun Rayan yang masuk, anak itu akan masuk dari pintu belakang.

"Iya...sebentar." Bu Lina berlari kecil menuju pintu depan agar sang tamu tidak menunggu lama. Ketika pintu depan terbuka, wanita dua anak itu terkejut dengan tamu yang ada di depannya sekarang.

"Loh, nak Geo?"

"Malam, tante. Maaf Geo langsung masuk, gerbangnya tidak dikunci soalnya."

Sejenak, bu Lina tidak bersuara, sampai akhirnya ia tersenyum, "ah tidak apa, Geo." Jeda sejenak, bu Lina kembali berbicara, "nak Geo ada perlu apa, ya?"

"Ah, gini, tan..." Geo menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dirinya sedikit ada rasa canggung, "Geo mau ketemu Ardan. Mau ngembaliin buku."

Geo merutuki dirinya sendiri setelah mengatakan hal itu. Bagaimana bisa siswa IPS meminjam buku dari anak IPA? Tapi sepertinya bu Lina tidak merasa curiga. Justru wanita cantik itu tersenyum.

"Ah, sebentar, ya. Ardan sedang ada di kamar. Mari masuk dulu."

"Siapa, bund?" Tiba-tiba Pak Indra datang dengan kedua tangannya dilipat di belakang punggungnya. Ketika melihat tamu yang datang adalah Geo, pria paruh baya itu tersenyum.

"Oh...Geo. Lama tidak ketemu. Sehat?" Pak Indra mengulurkan tangannya dan mengajaknya bersalaman. Tentu saja disambut baik oleh remaja itu.

"Baik, om."

Sementara sang ibu memanggil Ardan di kamar, Pak Indra mempersilakan Geo untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Mencari Ardan?"

Geo mengangguk setelah dirinya duduk dengan sopan di sofa empuk tersebut, "iya, om. Mau ngembaliin buku."

Geo memang membawa tas ranselnya. Mungkin berisi buku yang akan dikembalikan.

"Naik apa ke sini?"

Dengan sopan, Geo menjawab, "ojek online, om." Lalu ia tersenyum ramah untuk mengurangi kecanggungan.

"Gimana semester baru ini? Lancar, kan, sekolahnya?"

Untuk kesekian kalinya, Geo mengangguk, "lancar, kok, om. Geo sibuk juga sama OSIS dan klub baru."

Pria awal 50 tahunan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "yang penting, jangan lupakan tugas-tugas sekolah, ya, nak Geo."

Geo memang pernah mendengar jika ayahnya Ardan sangat ketat dengan akademik. Tapi ia tidak menduga bahwa dirinya juga dinasehati.

"Baik, om. Sudah pasti itu." Jawabnya dengan mantap. Ia menoleh ke belakang dan berharap Ardan cepat-cepat keluar dari kamarnya.

"Ardan tidak buat masalah, kan di sekolah?"

"Huh?" Geo tersadar, tapi detik berikutnya ia tersadar, "Ah. Ardan tidak buat masalah, kok. Dia setiap hari masuk kelas."

Bohong. Padahal tadi siang jelas-jelas ia melihat Ardan keluar dari ruang klub basket dengan tas yang dibawakan oleh Fauzan.

"Geo?"

Anak IPS itu terlihat lega ketika melihat Ardan muncul dengan wajah cerah. Pebasket muda itu tersenyum lebar ketika berjalan ke arahnya.

"Lo ke sini? Ada apa?" Ardan mencoba mengabaikan kehadiran ayahnya, yang membuat pria paruh baya itu akhirnya berdiri dan berjalan menjauh dari dua remaja tersebut.

"Gue mau ngembaliin seragam lo." Ucap Geo dengan suara lirih.

"Huh?" Ardan terlihat kebingungan, lalu kedua matanya melebar ketika ingat, "oalah. Besok aja padahal gak apa-apa."

"Gak usah. Ini udah gue laundry kilat. Besok juga lo masih pake, kan?"

Geo mengeluarkan seragam tersebut dengan bungkusan plastik hitam setelah yakin kedua orang tua Ardan tidak ada di sana.

"Makasih, loh, Geo." Ucap Ardan dengan senyum yang tidak kunjung hilang dari bibirnya ketika menerima seragamnya.

"Ya udah. Gue balik."

"Eh! Tunggu –" Begitu Ardan menahan tangan Geo, hujan deras datang dan terlihat jelas dari teras depan. Hal tersebut, membuat Ardan tersenyum lebih lebar, "kan. Gue bilang tunggu. Hujan tuh."

Geo mengeluh keras setelah melihat hujan yang turun dengan deras. Ia tidak mungkin pulang sekarang karena memesan taksi online, tidak ada yang promo dan sayang uangnya.

"Udah duduk aja dulu di sini. Gue pesen minum dulu ke bibi."

Asisten rumah tangga di keluarga Ardan benar-benar membawakan jus jeruk untuk Ardan dan Geo ke ruang tamu.

Setelah itu, bu Lina kembali datang untuk menawarkan Geo makan malam di rumah ini.

Tidak disangka, Ardan yang awalnya enggan makan, justru dengan semangat mengajak Geo dan menarik anak IPS itu ke ruang makan.

Bahkan Ardan sama sekali tidak risih dengan kehadiran sang ayah di ruang makan padahal sudah selesai menyantap hidangannya.

"Geo, lo mau makan apa? Biar gue ambilin."

"Eh, gak usah." Geo berdiri dan mengambil centong nasi yang ada di tangan Ardan. Pada akhirnya, anak redaksi itu mengambil makanannya sendiri sekaligus milik Ardan.

"Makasih, Ge udah diambilin makanannya."

"Hm." Jawab Geo singkat, anak itu lalu menoleh ke arah pak Indra yang sejak tadi memandangi dua remaja tersebut, "makan, om."

"Silakan. Om sudah makan." Jawab pria paruh baya itu. Pak Indra memang hanya duduk di sana sembari menikmati kopi yang baru saja dibuatkan oleh sang istri. Kedua matanya menatap anak bungsunya yang kelihatan sangat ceria.

Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini, tapi ayah dua anak tersebut menatap penuh makna pada sang anak bungsu. Di mana suasana hati Ardan sangat cepat sekali berubah hanya karena kedatangan Geo.

Sepengaruh itu kah dengan kehadiran Geo di sini? Itu membuat Pak Indra menaruh rasa curiga terhadap si bungsu.

Tbc


A/N : Comission Author masih dibuka, silakan hubungi saya saja jika ingin pesan ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top