Ch 28; Torehan Luka Bertubi-Tubi


Ardan, Fauzan dan Daren duduk santai bertiga di samping gedung laboratorium fisika. Mereka memang sering ada di sana karena ada tempat duduk semen dengan pohon mangga besar yang membuat halaman tersebut sedikit lebih teduh dibandingkan halaman sekolah di sudut lain.

Fauzan yang sering datang ke sini sebenarnya untuk mengerjakan laporan OSIS. Selain sejuk, jarang ada siswa duduk di sini karena terdengar gosip bahwa tempat itu angker. Tapi Fauzan tidak peduli sama sekali.

Ia terus-terusan datang ke sana ketika jam istirahat satu dan dua ketika sudah pusing dengan kondisi kantin yang sangat ramai.

Namun, sejak akhir semester 2 di kelas 10, Ardan dan Daren mengikutinya. Mereka jadi nyaman untuk ningkrong di situ. Tapi bagi Fauzan, mereka berdua sering mengganggu.

Terutama Ardan yang saat ini menghela napas berulang kali sambil meminum kopi kemasan yang ia beli dari minimarket sekolah.

Tentu saja itu mengganggu Fauzan. Anak OSIS itu sedang membuat surat undangan orang tua siswa untuk izin persami minggu depan. Akan tetapi, dua orang temannya malah mengikutinya.

Fauzan sama sekali tidak konsentrasi sama sekali. Tapi entah kenapa jika dipikir-pikir lagi, kenapa ia yang gemar berorganisasi di sekolah, bisa tahan berteman dengan mereka berdua hingga detik ini.

"Lo lagi buat surat apaan, sih, Jan? Serius amat." Daren yang sedang mengganyang keripik kentangnya, melirik ke layar laptop yang sedang Fauzan pangku.

"Surat izin orang tua buat persami minggu depan."

"Lo ikut pramuka juga? Perasaan kagak deh." Komentar Darren yang memasang wajah bingung karena Fauzan memang sama sekali tidak terlihat bergabung sebagai salah satu Penegak di pramuka sekolahnya.

"Gak. Tapi anak-anak pramuka minta bantuan OSIS. Gue bantu bikin surat." Jelas Fauzan. Ia lalu melirik ke arah dua sahabatnya itu, "tapi kalian justru ganggu gue."

Darren sama sekali tidak merasa bahwa dia adalah pengganggu. Jadi ia melirik Ardan yang sedang melamun dengan masih meminum kopi kemasan botolnya.

"Heh, Dan!" Panggil Daren. Tapi sang pemilik nama masih melamun, "Ardan! Woy!" Kesal, Darren akhirnya mendorong punggung sahabatnya hingga minuman yang ada di tangan Ardan sedikit tumpah.

"Lo tolol apa gimana? Kena celana gue, Ren!" Akhirnya Ardan tersadar dan langsung mengumpat pada sahabat gembulnya itu.

"Lagian lo dari tadi dipanggil diem mulu. Ada masalah?"

Fauzan mendengkus tertawa. Ya...setidaknya, temannya ini bisa mengalihkan stressnya dari berbagai tugas organisasi yang menggunung.

"Kagak. Gue Cuma ngelamun aja."

"Gak mungkin, sih. Lo kalau udah ngelamun kayak gitu, pasti ada yang dipikirin." Timpal Darren. Remaja gempal itu telah mengenal lama sang atlet basket tersebut. Sudah paham betul tabiat dari seorang Ardan Firmansyah.

Bukannya merespon ucapan Darren, Ardan hanya menghela napas dan menghabiskan sisa kopi di dalam botolnya.

Sebenarnya Ardan sedang kepikiran kejadian dua hari lalu, di mana ia dan kakaknya saling adu jotos –ah, lebih tepatnya Ardan yang memukul kakaknya.

Sejak saat itu, baik Ardan dan kakaknya tidak pernah tegure sapa.

Ayahnya juga sudah memaksa Ardan untuk mengatakan alasan mengapa ia memukul sang kakak. Tapi remaja itu tetap bungkam.

Pria awal 50 tahunan itu tidak ada kesempatan bertanya degnan Rayan. Anak sulungnya itu lebih sering menghabiskan waktunya di kampus.

Ketika Rayan pulang, semua orang rumah telah tertidur dan akan berangkat ke kampus pagi-pagi buta.

Bu Lina juga sama bingungnya. Tapi wanita ramah itu tidak menanyakan lebih lanjut. Ia lebih membiarkan kedua puteranya menyelesaikan masalahnya sendiri.

Toh, keduanya sudah cukup besar. Biarkan mereka berdua bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat hingga memiliki titik temu yang dipermasalahkan diantara mereka.

"Si Taik malah tambah ngelamun."

Suara Darren langsung membangunkan Ardan dari lamunannya. Ia menegakkan kepalanya dan menemukan Fauzan serta Darren sedang menatapnya dengan bingung.

Ardan menghela napas dan berdiri dari duduknya, "gue mau ke toilet dulu." Ia menengok jam yang ada di ponselnya. Ternyata 10 menit lagi jam masuk akan berbunyi. "Jangan tungguin gue, langsung masuk kelas aja nanti kalian."

"Pede banget ditungguin."

Ardan tidak mengindahkan komentar sinis dari Darren. Ia berjalan untuk menuju toilet. Jalan paling singkat menuju ke toilet laki-laki adalah lewat belakang sekolah.

Jadi Ardan berbelok ke arah kiri, melewati pohon cemara yang dekat dengan gudang perlengkapan olahraga.

Tapi ketika ia sudah hampir dekat dengan belakang kelas 12, Ardan mendengar ssebuah suara yang cukup mengganggunya.

"Si tolol ini emang gak tahu diri banget."

"Udah tahu lo jelek, masih sok sok-an deketin cewek gue."

"Dia bukan cewek lo."

Itu suara Geo! Ardan langsung menajamkan pendengarannya ketika mendengar sebuah suara yang sangat ia kenali.

Ardan tidak langsung menampakkan diri. Ia berjalan secara perlahan dan bersembunyi di balik tembok.

Di sana, ia melihat salah satu kakak kelas yang tergabung di klub futsal –Esa dengan dua orang temannya yang Ardan sama sekali tidak kenal.

Esa menahan Geo ke tembok dengan tangannya yang mencengkeram kerah siswa IPS itu.

Ardan menggeram jengkel dan kedua tangannya terkepal dengan erat melihat itu.

"Ya, Laila bakal jadi cewek gue kalau lo –si begundal gak sok pedekate sama dia."

Geo terlihat tidak ada rasa takut sama sekali. Anak redaksi itu justru memandang nyalang pada sang kakak kelas.

"Gue Cuma temennya. Gak lebih."

"Taik!" Umpat Esa. Dua temannya memegang kedua tangan Geo dengan kencang, "gue liat lo boncengan berdua waktu itu, ya, brengsek! Gue udah nahan-nahan lama buat gak ngehajar lo!"

Ardan melihat Geo mendengkus dan sedikit tertawa, membuat Esa terlihat bertambah kesal.

"Lo ketawa?!"

"Dia ledekin, lo, Sa." Ucap salah satu temannya yang sedang memegang tangan kanan Geo.

Esa semakin menyudutkan Geo ke tembok, ia yang lebih tinggi dari anak IPS itu, menundukkan kepalanya dan berkata, "lo mau gue mampusin, hah?"

"Kalau lo suka sama Laila, tinggal ungkapin aja. Bilang sama dia." Ucap Geo tanpa rasa takut meski telah diancam, "tapi liat aja nanti, lo diterima apa gak sama Laila –"

" –anjing lo!"

Geo menutup kedua tangannya ketika Esa telah mengangkat tangan kanannya yang mengepal untuk dilayangkan ke wajah Geo.

Anak redaksi itu menutup kedua matanya dan menantikan rasa sakit yang akan ia rasakan karena pukulan dari Esa. Tapi pukulan itu tidak kunjung mengenai pipinya dan justru malah trdengar teriakan Esa dan kedua tangannya sudah lepas dari cengkraman teman-teman anak kelas 12 itu.

"Ardan?"

Kedua mata Geo membulat ketika tangan Ardan telah menahan tangan Esa dengan kuat.

Pantas saja pukulan itu tidak pernah datang –pikir Geo.

"Beraninya keroyokan. Sini kalau berani lawan gue."

"Oh. Ardan. Si anak basket tolol yang masuk turnamen jalur nyogok."

Sebelah alis Ardan terangkat –tuduhan macam apa lagi itu? Ardan tidak pernah menyuap siapapun untuk masuk tim inti pada saat turnamen.

Ia memang masih kelas 10 ketika masuk turnamen basket antar SMA. Umumnya, ketika masuk tim inti, kebanyakan dari kelas 11 dan 12 di awal semester –tapi Ardan bisa masuk dengan mudah karena prestasinya semenjak SMP.

Ia tidak tahu mengenai gosip itu. Oh...ternyata sekarang ia tahu gosip miring yang menyerangnya. Pantas saja ketika ia diangkat sebagai ketua basket oleh ketua yang lama, banyak yang menatapnya tidak senang.

"Lo kalik yang masuk tim futsal nyogok. Kemampuan lo main bolanya sangat amat buruk, bang."

Esa terlihat sangat marah, ia ingin melepaskan tangannya tapi cengkraman Ardan benar-benar kuat –tentu saja, dia anak basket.

"Lepasin, atau gue buat lo cedera dan gak bisa main basket selamanya?"

Ardan terkekeh, "yakin?" Si kapten basket melirik tajam pada dua teman Esa yang sudah siap siaga buat menghajar Ardan.

"Ge, lu pergi dari sini."

"Oh...jadi lo temennya tu orang?"

Ardan diam saja ketika Esa bertanya padanya. Ia masih fokus menatap tajam kakak kelasnya.

"Heh! Jaga ya tatapan lo itu!"

Bukannya menurut, Ardan malah terkekeh geli karena anak kelas 12 itu langsung ciut nyalinya ketika ia tatap terus-menerus.

"Kalau berani, lawan satu-satu, jangan main keroyokan."

"Halah bacot!"

Tiba-tiba salah satu teman Esa yang lebih tinggi dari Ardan langsung menendang kaki Ardan dengan cukup keras.

Ardan yang belum siap, otomatis langsung jatuh tertunduk dengan bertumpu pada kedua lututnya.

Cengkraman pada tangan Esa juga terlepas dan membuat anak futsal itu melayangkan bogem keras ke pipi kiri Ardan.

"Taik. Segini aja lo?"

Mereka bertiga tertawa terbahak. Padahal jika Ardan sudah siap, ia bisa menghadapi ketiganya dengan mudah.

Satu teman Esa yang rambutnya menutupi mata, mulai menendang Ardan hingga mengenai pahanya dengan cukup keras.

Belum juga Ardan berdiri untuk membela diri, Esa menjambak rambut sang ketua basket dan kembali memukul wajahnya –tepat di sudut bibit kirinya.

Bau karat langsung masuk ke indra penciumannya setelah mendapat pukulan dari Esa. Ardan mengusap sudut bibir dan di jarinya terdapat darah yang berasal dari sana.

"Sialan."

Dengan sisa tenaga yang masih ada, Ardan bangun dan mulai menendang perut kedua teman Esa dengan cukup keras dan gerakan cepat.

Tanpa menunggu waktu, Ardan melayangkan tinju ke wajah Esa hingga si pemain futsal tersungkur ke semak-semak yang ada di belakang gedung.

BUGH –

Ardan terkaget ketika mendengar suara debuman yang berasal dari belakangnya. Ia menoleh dan mendapati Geo yang berhasil menumbangkan salah satu teman Esa dengan rambut menutupi dahinya.

Kedua mata Ardan terbelalak. Bagaimana tidak? Ia kira Geo sudah pergi sedari tadi. Tapi kenapa anak itu masih berada di sini?

"Lo masih di sini?" Tanya Ardan.

"Jadi, lo pengin digebukin mereka bertiga sampai habis?"

"Tapi –"

" –awas, Dan!" Geo segera mendorong tubuh Ardan ke samping ketika melihat Esa hendak memukul Ardan dari belakang. Beruntung, Geo lebih cepat dan telah menendang selangkangan sang kakak kelas hingga ia menjerit kesakitan.

"Aghh! Brengsek! Brengsek! Sakit, toloooll." Esa menggenggam bagian selangkangannya dengan terus mengaduh berisik. Ia lalu menoleh ke arah temannya yang menatap Esa dengan khawatir. "Ngapain berdiri aja? Serang balik mereka, idiot! Ega, Serang si Geo!"

Remaja yang bertubuh jangkung itu berlari dan mulai menyerang Geo. Namun, anak IPS itu berhasil mengelak.

Geo cukup bangga dengan refleksnya yang sungguh cepat. Namun, rasa banggannya segera sirna manakala pemuda bernama Ega itu langsung menarik tangan Geo. Satu tangannya yang bebas, mengepal dan langsung dilayangkan ke wajah anak redaksi itu.

"ARGH –" Hidung Geo berdenyut kesakitan saat pukulan itu tepat mengenai tulang hidungnya.

"Rasakan tinju gue. Mampus, kan, lo?"

Ejekan Ega membuat Geo naik pitam. Ia tidak terima dipukul seperti itu. Maka, saat Ega terlihat lengah, Geo balik memukul bagian kiri wajahnya hingga anak kelas 12 itu terhuyung dan jatuh.

"Brengsek –"

Geo mendengar umpatan Ardan yang ada di ujung sana. Ternyata pebasket itu sudah diserang balik oleh Esa dan satu temannya yang lain.

"Ardan!" Ketika ia menoleh ke arah Ega, anak kelas 12 itu masih tersungkur dan mengaduh kesakitan. Ia tidak peduli. Geo langsung berbalik arah dan menolong Ardan yang sedang dihajar habis-habisan oleh Esa.

Posisi anak kelas 12 itu berada di perut Ardan hingga Esa leluasa memukuli wajah Ardan dengan leluasa.

"Berhenti, woy!"

BUGH –

Geo yang sudah mengambil ancang-ancang dari jauh, berhasil menendang tubuh Esa dari samping hingga membuat anak kelas 12 itu tersingkir dari tubuh Ardan dan tersungkur di tanah.

Esa sepertinya kaget hingga sulit bernapas dalam beberapa detik. Setelahnya, Esa berteriak dan menyuruh Ega dan satu temannya lagi untuk balas menyerang.

Kedua teman Esa berlari untuk menyerang Ardan dan Geo, tapi salah satu dari mereka melihat ada guru olahraga yang sedang lewat di dekat sana.

Ega, yang bertubuh tinggi itu terlihat khawatir dan menarik tangan temannya yang masih berjalan menuju ke arah Ardan dan Geo.

"Apa sih?"

"Ada Pak Samsul."

"Huh? Mana?" Ia menyibakkan rambutnya agar penglihatannya jelas, dan dirinya langsung berbalik untuk membawa Esa yang masih tiduran di tanah memegangi bagian selangkangannya.

"Bangun, Sa. Bangun. Ada pak Samsul." Ega berusaha menarik Esa untuk cepat-cepat bangun dan lari dari sana.

"Apa?"

Guru olahraga tersebut memang wali kelas dari Esa dan kawan-kawan. Jika ketahuan berkelahi, langsung mendapatkan poin. Sementara mereka yang sudah memasuki tahun terakhir di SMA, harus menorehkan catatan baik selama 2 semester agar bisa berkuliah.

"Bangun, Sa!"

"Bantuin, tolol."

Keduanya saling membantu untuk membangunkan Esa yang masih kesakitan. Sebelum berlari dan meninggalkan tempat tersebut, Esa sempat mengancam Geo.

"Sekali lagi lo deket-deket sama Laila, gue beneran habisin lo."

"Lo yang bakal gue habisin sebelum nyentuh Geo, tolol!"

Geo menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Ardan ketika mendengar balasan sang atlet basket terhadap Esa. Ia menatap Ardan beberapa saat sampai akhirnya kembali melihat ketiga anak 12 itu berjalan limpung dan tidak terlihat lagi dari pandangannya.

"Kenapa tadi gak lari? Gue udah suruh lo lari." Ardan batuk berkali-kali dan berusaha untuk berdiri. Perutnya terasa kebas karena ditindih Esa tadi dan beberapa bagian wajahnya terasa nyeri.

Tiba-tiba Ardan membuka pembicaraan diantara mereka berdua. Bel masuk sudah terdengar sejak beberapa menit yang lalu dan mereka masih berada di sana.

"Lo mau dikroyok mereka?"

"Ya biarin. Gue udah biasa." Ardan menghela napas dan pandangannya berubah khawatir ketika memandang wajah Geo. "Lo babak belur. Pipi, hidung, sama ujung bibir lo lebam."

Ardan mendekat ke arah Geo. Tangannya terulur dan hendak meraih wajah remaja di depannya. Tapi Geo segera menyingkirkan tangan Ardan dan menolehkan wajahnya agar tidak berhadapan dengan si pebasket itu.

"Bukan urusan lo." Jawabnya dingin.

"Sampai rumah, kompres sama es batu." Tiba-tiba Ardan teringat dengan paman Geo yang galak. Kemungkinan besar pria itu akan bertanya mengenai kondisi Geo. Ia jadi tidak tega membayangkan Geo dimarahi oleh sang paman.

Ardan berdecak keras, "harusnya gue tadi hajar Esa sama Ega sampai mampus!"

"Mau dipenjara? Kita kayak gini juga nanti bakal banyak pertanyaan dari temen-temen yang lain." Ucap Geo dengan kesal. Ia masih marah ketika Ardan terus-terusan ikut campur dengan urusannya.

"Lo jadian sama Laila?"

Lagi. Ardan terus memberi pertanyaan tidak penting pada Geo yang membuat anak IPS tersebut semakin ingin memukul sang atlet basket.

"Bukan urusan lo." Geo yang enggan tertinggal pelajaran, berjalan untuk meninggalkan Ardan di sana. Tapi lengan besar miliknya langsung menahan lengan kurus Geo.

"Gue belum selesai bicara." Ucap Ardan.

Geo menoleh ke sebelah kanan dan menatap Ardan dengan satu mata dipicingkan, "gue udah selesai."

"Lo beneran jadian sama Laila? Esa marah ke lo karena Laila, kan? Gue denger semuanya!" Nada bicara Ardan meninggi karena emosi yang sudah memuncak. Ia sungguh kesal ketika Geo terus-menerus bersikap dingin padanya.

Geo tidak menjawab sedikit pun dan hanya menatap Ardan dengan ekspresi tidak terbaca. Tapi ia kaget ketika Ardan menaikkan lengannya untuk melihat luka yang ada di siku Geo.

"Lo tadi diapain aja sama Esa sebelum ada gue?" Dengan hati-hati, Ardan melihat luka di siku Geo yang sedikit mengeluarkan darah kering.

Ah...dia baru sadar. Geo memang tadi didorong hingga terjatuh ke semak-semak ketika baru sampai di belakang gedung ini. Mungkin tadi ini terkena duri, Geo sama sekali tidak menyadarinya. Kini, ia langsung merasakan perih di siku.

Melihat lengannya masih dipegang oleh Ardan, Geo dengan tangannya yang bebas mendorong Ardan pelan.

"Berhenti urusin masalah gue, Dan." Geo mengatakannya dengan nada datar. Tapi Ardan menganggapnya sebagai peringatan.

"Trus liat lo babak belur? Lo aja tadi kewalahan, kan? Ada gue aja lo bonyok gitu, apalagi sendirian?" Ardan terpancing emosi. Ia sudah kehilangan akal pikirannya karena melihat Geo yang terluka seperti ini.

"Ya udah. Jangan urusin masalah gue lagi. Gak usah ikut campur." Ucap Geo, "gue mau jadian sama Laila pun, juga bukan urusan lo."

"Ge...lo ngomong gitu, beneran?"

Perhatian Geo teralihkan dengan memperhatikan wajah Ardan yang sudut bibirnya sedikit sobek dengan darah kering yang berada di dagunya.

"Luka lo lebih parah dari gue." Bukannya menjawab, Geo malah mengalihkan topik.

"Gue gak masalah, gue terima dipukul sampai pingsan sekalipun, asal bukan lo."

Hati Geo mencelos, ia langsung teringat perkataan William bahwa Ardan memiliki rasa padanya –yang lebih dari sekadar teman.

Geo mencoba mentralkan pikirannya dengan berdeham, dan ia menarap Ardan.

"Dan..." Geo sudah lebih tenang dan emosinya sudah mulai turun ketika melihat Ardan yang bonyok karena membantunya tadi. "Sebenarnya, lo gak perlu ikut campur sama urusan gue."

Sang atlet basket terdiam. Ia yang masih berdiri di samping Geo, tetap menatap anak IPS itu. "...dan biarin lo dihajar mereka habis-habisan?"

"Gue tahu bagaimana cara melawan mereka." Tukas Geo dengan tatapan yang penuh keraguan.

"Gak. Lo gak bisa." Ardan tahu bahwa ucapan Geo bohong. Meski tadi Ardan akui cara bertarung Geo cukup bagus, Geo tidak bisa melawan 3 anak kelas 12 itu sendirian.

Lihat saja, kedua mata Geo berkedip berulang kali, memandakan bahwa anak itu berbohong dan tidak sanggup bila harus melawan mereka bertiga. Ardan sangat paham dengan hal itu.

Geo menghela napas, kedua hendak melipat ke depan dada. Tapi karena sikunya luka, ia langsung merasakan perih dan pada akhirnya menurunkan lagi kedua tangannya.

"Jika pun gue takut, lo gak ada hak buat campurin masalah gue." Jawab Geo tegas, "udah cukup, Dan. Biarin gue selesaiin semua urusan gue sendiri."

Mereka berdua terdiam dan hanya berfokus pada pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Geo kembali bersuara.

"Sekarang lo luka kayak gitu. Gimana nanti pas guru tanya, hah?"

"Gue bisa nanganin ini sendiri." Ucap Ardan, "justru gue khawatir sama lo nanti dengan kondisi wajah dan lengan banyak lebam seperti itu."

Geo benar-benar frustasi untuk menghadapi Ardan yang begitu keras kepala. Anak itu sama sekali tidak menggubris segala ucapannya. "Kenapa lo mesti ngurusin masalah gue, sih?!"

Tanpa berpikir, Ardan berkata, "karena lo penting bagi gue. Makanya gue gak pengin lo kenapa-napa."

Mendengar itu, Geo terdiam membeku. Ia bahkan sulit untuk bernapas dan tiba-tiba tenggorokannya kering.

Bibirnya hendak terbuka untuk merespon ucapan Ardan tadi. Namun, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

Pada akhirnya, Geo yang mendadak seperti hilang arah dengan pikiran kalut, berlari pergi meninggalkan Ardan tanpa menoleh sedikit pun.

Sementara itu, Ardan yang baru sadar mengatakan kalimat tersebut, hanya menghela napas dan merutuki kebodohannya.

Ardan masih ingat tatapan Geo ketika ia mengatakan bahwa Geo penting baginya.

Ardan memukul samping kepalanya berulang kali karena tindakan bodohnya tadi. Geo terlihat diam membeku dan sulit menerima ucapannya.

Melihat hal itu.... Ardan menjadi patah semangat. Geo yang terlalu shock membuat dirinya menyimpulkan bahwa anak IPS itu sudah menolaknya.

"Tolol!" Umpatnya setelah memarkirkan motornya ke garasi rumah.

Pikirtannya sama sekali tidak fokus setelah mengingat pandangan Geo tadi siang. Fauzan dan Daren yang khawatir karena melihat wajahnya babak belur, tidak Ardan gubris sama sekali.

Ia merasa patah hati –patah hati secara tidak langsung. Meski dirinya belum mengungkapkan isi hatinya, tapi melihat ekspresi Geo, dia merasa tertolak.

"Kenapa gue kudu bilang itu, sih?!" Ia memukul mulutnya berkali-kali dan merutuki kebodohannya. Di benaknya, Ardan juga merutuki kakaknya yang menyulutkan perasaan cemburu hingga ia menjadi terburu-buru dalam mengambil hati Geo.

Mengambil hati apaan? Baru diberi kata-kata tadi saja, Geo sudah terlihat kaget dan kabur tanpa berkata sepatah kata pun –batinnya merana.

Ardan tiba-tiba berhenti ketika ia baru sadar, bahwa tadi telah melewati mobil ayahnya.

"Heh?" Ia melihat ke jam tangannya. Sudah pukul 6 sore. Biasanya sang ayah akan pulang pukul 7 bila weekday seperti ini.

Hati Ardan mencelos tidak tenang karena pria paruh baya itu masih penasaran mengenai penyebab dirinya memukul sang anak sulung.

"Sial...." Gumamnya dengan suara lirih. Ia mengambil arah masuk dari pintu belakang dekat garasi. Jika pun dia beruntung, kemungkinan besar ayahnya ada di kamar dan Ardan bisa masuk ke kamar dengan tenang.

Namun, semua ekspektasinya gagal total ketika ia memasuki area dapur, ayahnya sedang duduk di sana sembari menikmati hidangan sore yang biasa disantap beliau – kopi hangat, gorengan dan camilan ringan.

Tumben.

Padahal biasanya bibi akan menghidangkannya di ruang tengah dan ayahnya menyantap hidangan itu sambil menonton TV dan menunggu bunda pulang dari butik.

"Sore sekali pulangnya?"

Suara berat sang ayah, membuat Ardan bergidik ngeri. Seketika pikirannya tentang Geo langsung buyar karena berhadapan dengan kepala rumah tangga di sini.

Ayahnya tidak menoleh padanya. Ia tetap menatap lurus ke arah akuarium kecil yang ada di dapur. Meski begitu, auranya tetap menakutkan.

"Ada rapat klub, Yah, buat workshop minggu depan." Ardan sama sekali tidak bohong. Ia memang tadi rapat sebentar untuk membahas presentasi klubnya di acara minggu depan.

"Begitu?"

"Ya."

"Duduk."

Jantung Ardan langsung berdetak dua kali lebih cepat ketika ayahnya menunjuk satu kursi yang berseberangan dengan pria itu.

Ardan dengan perlahan, berjalan menuju ke arah kursi dan mendudukannya di sana.

Sang ayah yang sedari tadi tidak menatap putera bungsunya, kini menegakkan kepalanya. Tapi ia segera terkejut melihat wajah Ardan yang beberapa bagian lebam merah.

"Kenapa wajahmu itu?" Meski terdengar tegas, ada nada kekhawatiran dari sang ayah.

Ardan tidak langsung menjawab, ia menyentuh sudut bibirnya yang memiliki luka lebam paling jelas, "Ah, ini..." Jeda sejenak, akhirnya Ardan menjaawab, "tadi ada salah paham sama kakak kelas. Jadi –"

" –berantem lagi." Sambung ayahnya dengan langsung menyerang Ardan dengan tatapan dingin menusuk jiwa.

Hal tersebut, langsung membuat nyali Ardan menciut dan ia menunduk, "ya."

Terdengar helaan napas keras dari sang ayah. "Mau jadi apa kamu? Kemarin memukul kakak sendiri, sekarang berantem dengan kakak kelas. Mau jadi preman?!"

Ardan sama sekali tidak berani menjawab. Ia masih menunduk sambil memainkan ujung kemeja seragamnya.

"Ayah tanya, tempo lalu, kenapa kamu menghajar kakakmu membabi buta?!"

Nada bicara ayahnya bertambah keras, dan itu membuat Ardan sulit untuk bersuara. Meski ia sering menjadi preman di sekolah bahkan lapangan basket, ketika berhadapan dengan ayahnya sendiri, Ardan seperti tidak ada kekuatan.

"Tidak ada apa-apa."

"Kamu kira ayah bodoh?!" Pria bernama Indra itu menggebrak meja makan hingga toples berisi camilan di sana sedikit bergeser.

"Mau jujur atau besok kamu berangkat dan pulang sekolah jalan kaki tanpa uang saku sampai sebulan –"

" –ayah..." Mana mungkin Ardan berangkat dan pulang sekolah jalan kaki? Jarak rumah ke sekolah cukup jauh. Bukannya sampai sekolah tepat waktu, Ardan akan pingsan di tengah jalan. Meski kemungkinan ini hanya gertakan sang ayah, Ardan tetap takut juga jika itu benar-benar terjadi.

"Ceritakan akar permasalahannya." Kedua tangan sang ayah terlipat di depan dada dan tubuhnya ia senderkan ke senderan kursi makan. "Apa alasanmu memukul kakakmu."

Ardan diam. Beberapa detik ia belum juga menjawab dan terlihat sangat ragu untuk menjawabnya.

"Ayah bisa tanya ke kak Rayan –"

" –kamu yang memukul Rayan duluan. Jadi ayah harus bertanya padamu."

Sungguh, ia ingin sekali masuk ke suatu lubang dan mengubur dirinya sampai sang ayah lupa dengan permalasahan ini.

"Jawab, Ardan Firmansyah." Ketika sang ayah sudah menyebutkan nama panjangnya, itu berarti sudah level tertinggi dalam menahan amarahnya.

"Cemburu."

Sebelah alis pria paruh baya itu naik setelah mendengar satu kata dari

"Apa maksudnya itu?" Cemburu bisa dikaitkan dengan banyak situasi. Tapi apa yang dimaksud dengan cemburu yang dilontarkan anak bungsunya itu?

"Kak Rayan udah ngerebut orang yang Ardan suka, Yah." Pada akhirnya Ardan mengungkapkan kebenarannya. Alasan utama yang menjadi sebab pemukulan itu terjadi waktu itu.

"Apa?" Pria paruh baya itu tidak percaya dengan ucapan Ardan. Menurutnya, itu alasan yang sangat konyol sampai-sampai Ardan memukul kakaknya sendiri.

"Ya. Ardan tahu, ayah pasti menganggap ini konyol, kan? Tapi tidak bagi Ardan, Yah."

Saking terkejutnya, Pak Indra berdiri dari duduknya dan menatap nyalang pada putera bungsunya itu.

"Jadi hanya karena alasan itu kamu menghajar kakak kandungmu sendiri?"

"Dia duluan. Rayan duluan yang berani deketin orang yang Ardan sukai –"

" –konyol." Pak Indra mendecih keras karena kalimat yang Ardan lontarkan itu. Ia tidak terima jika perkalihan tempo lalu justru berlandaskan alasan murahan seperti ini.

"Itu tidak konyol sama sekali, Yah."

Pak Indra seperti tidak mendengarkan ucapan Ardan. Ia lebih memilih pergi dari sana dan mengabaikan masalah perkelahian antara kedua puteranya itu.

"Lebih baik kamu fokus belajar dari pada meributkan masalah percintaan tidak penting!" Tegas sang kepala keluarga tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

"Ayah emang tidak pernah muda? Bukankah wajar anak remaja saling suka?" Ardan yang sudah kepalang kesal dengan tingkah acuh ayahnya, akhirnya berjalan mendekat pada pria paruh baya itu.

"Ardan lebih dulu mengenalnya. Ardan juga lebih dulu suka sama dia. Tapi Rayan dengan congkaknya mendekati orang yang Ardan suka –"

" –Ardan!" Pria awal 50 tahunan itu memotong ucapan si bungsu. Tapi sepertinya Ardan tetap mengabaikannya dan terus berbicara.

" –tentu saja Ardan marah sama Rayan. Jika dipukul saja dia tidak sadar, apalagi jika Ardan diam saja?!"

"Kamu harus sopan menyebut kakakmu!" Pak Indra mulai naik pitam ketika anak sulungnya disebut-sebut tanpa panggilan kakak oleh Ardan. Di rumah ini, sopan santun sangat dijunjung.

"Untuk apa memanggil dia dengan sopan sementara dia saja lewatin batas dan berusaha merebut orang yang Ardan suka?" Sepertinya Ardan lupa sedang berhadapan dengan siapa hingga dirinya terus berbicara dengan tujuan membela diri.

"Alasan bodoh untuk membuat hubungan persaudaraan putus. Cinta?" Pak Indra mendecih, "sebaiknya kamu berkaca Ardan, betapa buruknya prestasi akademikmu untuk bisa hidup di masa depan nanti."

Kini, sang atlet basket terdiam dan memandang wajah ayahnya dengan tatapan tidak percaya.

"Nilaimu buruk di segala mata pelajaran, kerjaan berantem. Mengandalkan basket saja tidak bisa menyelamatkanmu untuk menjadi orang besar di masa depan nanti." Pak Indra melanjutkan ucapannya dan Ardan semakin emosi.

"Lihat kakakmu," Pria paruh baya itu meninggikan nada suaranya, "dia tidak pernah terlibat urusan asmara selama sekolah. Prestasi gemilang dan diterima di univestas unggulan. Sementara kamu? Ayah ragu ada universtas yang menerimamu."

Tiba-tiba kepala Ardan pusing karena menahan amarah. Ia akhirnya lebih mendekatkan dirinya ke sang ayah dan berkata, "Ya tentu. Rayan memang putera kebanggaan ayah. Sementara aku hanya sampah –"

Belum selesai berbicara, Ardan merasakan perih terbakar di pipi kirinya. Kedua matanya memerah dan menatap tidak percaya pada ayahnya.

Sang kepala keluarga telah menamparnya dengan keras. Tidak peduli bahwa Ardan masih ada luka di wajahnya, sang ayah tetap menorehkan luka di sana dan ini jauh lebih parah karena yang melakukannya adalah orang terdekatnya.

"Hentikan dramamu itu dan mulailah jadi manusia beradab, Ardan." Ucap sang ayah dengan suara lirih dan sedikit bergetar.

Tapi Ardan sudah terlanjur kesal dan kecewa karena ayahnya sama sekali tidak membela dirinya.

Padahal Rayan yang menjadi penyebab, tapi kenapa harus dirinya yang terus disalahkan?

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ardan mengambil tasnya di meja makan dan berlari meninggalkan ayahnya untuk masuk ke kamar.

Pak Indra mendengar dengan baik mengenai perkelahian antara kedua puteranya, masalah cinta, dan dendam yang Ardan simpan pada Rayan. Pria tersebut paham semua.

Dan ia menyimpulkan bahwa akar masalahnya ada pada orang satu ini –seseorang yang diperebutkan kedua puteranya.

"Aku harus mencari tahu orang itu." Gumam sang kepala rumah tangga. Ia tidak tahu orang itu siapa, tapi pasti dirinya akan menemukannya.

Tbc


A/N : Saya masih membuka Comission. Kamu bisa langsung hubungi nomor Author (085156494198)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top