Ch 26; Holiday
Geo sudah tidak memikirkan tentang perkataan William tempo lalu. Sungguh, dirinya sama sekali tidak memikirkan hal itu.
William juga sudah bertindak seperti biasa. Mereka berdua berangkat bersama, kadang pulang saling tunggu di depan gerbang jika Geo tidak ada rapat OSIS.
Tapi justru dirinya yang sekarang canggung jika berhadapan dengan Ardan.
Geo ingat pada hari itu, ia ada rapat OSIS dan Ardan ada urusan dengan klub basketnya yang mengharuskan sang atlet menetap di sekolah setelah bel pulang berbunyi.
Pada saat itu memang masing-masing perwakilan klub ekstrakulikuler diwajibkan kumpul di aula bersama dengan OSIS. Tujuannya untuk membahas workshop ekstrakulikuler karena anak kelas 10 sudah hampir satu bulan menempuh pendidikan di sekolah ini.
Masing-masing klub diharuskan mempromosikan diri ke hadapan kelas 10 ketika workshop nanti. Dengan begitu, para siswa baru bisa memutuskan mau ikut klub mana.
Geo sebenarnya tidak berperan penting dalam rapat tersebut. Ia hanya memotret saja untuk dokumentasi laporan ke pihak kesiswaan dan kurikulum.
Tapi saat rapat selesai, Ardan menarik lengannya dan membawa Geo ke salah satu sudut di aula sambil makan snack yang dibagikan tadi.
"Padahal kita sudah baikan, kenapa main sama lo saja begitu susah?"
Ardan mengeluh dan menghela napas keras sambil memakan kue bolunya.
Sementara Geo belum merespon dan diam-diam memundurkan kursi plastiknya ke belakang agar tidak terlalu dekat dengan Ardan.
"Ge, bilang, dong ke William kalau kita udah baikan." Kata Ardan lagi. Wajahnya terlihat lelah sekaligus kesal –Geo tidak tahu apa yang membuat anak itu kesal. Mungkin terlalu lelah setelah mengikuti rapat.
"Nanti juga dia tahu kalau kita udah baikan. Sabar saja."
Ardan kembali menggigit kue bolunya dengan kasar dan kepalanya menatap langit-langit. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Waktu William dibawa sama lo, lo nasehatin apa ke dia?"
Mampus...
Geo merasa terpjok dengan pertanyaan Ardan tersebut. Ia tidak mungkin mengatakan sejujurnya tentang apa yang dikatakan William waktu itu, bukan?
"Uhh..." Jeda sejenak untuk memikirkan kata-kata yang tepat, "ya gue Cuma bilangin William biar lebih sopan ke lo."
"Nah!" Di sini Geo kaget dengan suara Ardan yang meninggi, "harusnya memang dinasehati seperti itu. Adek lo sedikit... kurang ajar?" Lanjut Ardan. Ia melirik ke Geo, takut-takut anak IPS itu tersinggung dengan parkataannya.
"Ya. Gue gak nyalahin lo kalau bilang begitu." Justru Geo setuju dengan pendapat Ardan tentang William. Anak itu memang sedikit bandel, "mungkin setelah ini dia bakal biasa saja."
"Semoga." Harap Ardan. Ia hanya ingin berteman dengan Geo seperti dulu. Apa sesusah itu hanya karena William bersekolah di sini? "untung anak itu udah pulang."
Geo mengangguk dan mengambil air mineral gelas yang ada di kotak snacknya. Entah mengapa, setelah perkataan William tempo lalu, dirinya memiliki pandangan lain pada Ardan.
Bukan pandangan aneh. Hanya saja....Geo merasa canggung jika yang tebakan William benar.
"Lo mau gabung OSIS lagi setelah ini, Ge?"
"Eh –apa?" Geo tersadar dari lamunannya dan kembali menoleh ke Ardan, "ah, mungkin enggak. Gue mau fokus ke klub jurnalistik bareng anak-anak yang lain."
Klub jurnalistik sudah mendapat persetujuan dari kesiswaan. Anggotanya pun sudah terkumpul 6 orang untuk melakukan promosi di workshop nanti.
"Gak sayang dilepas gitu?" Menurut Ardan, Geo cocok di OSIS dalam bidang dokumentasi. Anak IPS itu juga terlihat menikmatinya.
"Uhm...entahlah." Geo kembali meminum airnya. Ia kini sudah mulai rileks karena dilihat dari gerak-gerik Ardan, tidak ada yang mencurigakan dan mengindikasi kalau sang atlet basket memiliki 'rasa' lain untuknya –seperti dugaan William.
"Tapi terserah lo aja, sih. Lagipula, keren juga lo bisa ciptain klub jurnalistik di sekolah ini."
Mendengar pujian dari Ardan, membuat wajahnya tiba-tiba memanas. Untuk menutupi kegugupannya, ia akhirnya batuk-batuk kecil dan menghabiskan gelas mineralnya.
"Bukan gue. Ada 5 orang lain yang juga turut andil."
Awalnya, Geo memang menepis mengenai dugaan William itu terhadap Ardan. Tapi tiba-tiba hatinya mencelos ketika Ardan tersenyum padanya dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.
Ardan...kenapa?
Dan Geo tidak mau memikirkannya lagi. Ini gara-gara William –sudah pasti. Gara-gara perkataan anak itu, membuat pikiran Geo menjadi kacau hanya dengan menatap Ardan.
****
"Bunda.... William gak ikut ya?"
"Ehhh! Gak bisa! Semua harus ikut!" Wanita 40 tahunan itu menoleh ke arah sang keponakan yang ternyata masih duduk bersantai di ruang tengah sambil memainkan ponselnya. "Geo!"
"Ya, tante?"
"Aduhh.... kamu malah duduk-duduk di sana. Ayok, bantu tante bawa ini semua." Tante Hana yang biasanya tenang dan kalem, tiba-tiba menjadi cerewet dan heboh di pagi ini.
Hal tersebut bukan tanpa alasan. Wanita dua anak itu mendapatkan hari libur dari tempat kerjanya.
Untuk mengisi waktu libur tersebut, wanita tersebut berniat mengajak satu keluarganya untuk piknik ke salah satu tempat wisata air terjun yang baru mendapat pemugaran besar-besaran.
Katanya, di dekat air terjun ada taman yang bisa digunakan untuk piknik keluarga. Fasilitasnya semakin lengkap dan jalur menuju ke spot air terjun telah dibuat bagus karena ditambah tangga yang mempermudah akses wisatawan menuju ke titik tersebut tanpa melewati jalur ekstrem seperti dulu.
Geo tidak tahu, apa yang merasuki tantenya hingga memaksa semuanya untuk ikut.
Tapi dipikir-ikir lagi, keluarga ini jarang sekali pergi liburan satu keluarga. Geo hanya menurut dan tidak menolak –ia sadar posisinya di rumah ini. Disuruh hanya jaga rumah pun mau. Tapi tantenya terlalu baik hingga membuatnya harus ikut liburan.
"Baik tante." Geo beranjak dari duduknya dan membawa beberapa barang yang ada di meja ruang tengah. Geo bisa menebak jika di dalamnya adalah bekal yang tantenya sudah siapkan dari jam 3 pagi tadi.
Geo tidak masalah hari Sabtu yang biasanya menjadi waktu istirahatnya, harus disibukkan dengan agenda liburan dadakan ini. Apalagi, tantenya terlihat sangat bahagia.
Bahkan paman Abim saja mau diajak ikut. Pria awal 50 tahunan itu sekarang sedang menunggu di teras sembari merokok dan menunggu semuanya siap.
Tapi berbeda dengan William, anak itu sudah suntuk. Padahal si bungsu –Nathan –terlihat sangat bersemangat karena momen ini sangat jarang ia alami.
"Will, bantuin kakak, kek." Geo yang melewati William, langsung menegurnya. Remaja
"Males." Jawabnya acuh. Remaja 15 tahun itu keluar dari rumah dan duduk di undakan teras, "nanti kita bertiga duduk di belakang mobil?" Tanya William sambil memadang mobil pick up ayahnya yang sedang dipanaskan mesinnya.
"Ya." Hana sudah selesai menyusun barang bawaannya di mobil dan mengikatnya dengan rapi agar saat di perjalanan tidak mencar ke mana-mana. "kan ayah sudah memasang terpal sebagai atap. Nanti kalian tidak kepanasan."
"Haduh..." Keluh William. Membayangkannya saja sudah membuatnya ingin sekali lari ke kamar dan menyalakan kipas angin untuk tidur. Ia sama sekali tidak ada tenaga untuk berlibur saat ini.
"Ayo, kak! Bantu kita." Nathan juga membawa gulungan tikar. Disusul Geo yang berjalan di belakang adiknya itu dengan membawa perbekalan untuk diletakkan di mobil.
"William absen aja, deh, bun!" William masih kekeh untuk tidak ikut. Tapi ia segera diam begitu melihat tatapan ayahnya yang begitu menyeramkan.
Meski William terhitung anak berani dan suka bertindak seenaknya, jika ayahnya sudah bertindak, nyali William akan menciut.
"Permisi."
Keluarga kecil tersebut tiba-tiba kaget dengan kedatangan seorang pemuda tampan nan tinggi dengan kacamata yang bertengger manis di hidung bangirnya.
Pak Abim hanya menaikkan sebelah alisnya heran, melihat pemuda yang berdandan rapi di depan teras mereka. Tapi tiba-tiba sebuah suara mengintrupsi suasana canggung tersebut.
"Ngapain lo ke sini, heh?"
"William!" Baik tante Hana dan Geo berteriak untuk menegur William yang tidak sopan sama sekali kepada pria muda tersebut. Namun, ternyata orang yang disinisin William, hanya tersenyum tipis.
"Kak Rayan." Setelah Geo memasukkan barang bawaannya tadi ke mobil, dirinya berjalan untuk menghampiri pria berpenampilan rapi itu. "Kak Rayan ada keperluan apa ke sini?"
Bukannya Geo tidak sopan, hanya saja ia tidak ada janji dengan mahasiswa tersebut. Apalagi ini masih terhitung pagi, pukul 8, mau apa dia ke sini?
"Ketemu kamu." Ucapnya tanpa basa-basi. Bibir tipisnya tetap menyunggingkan senyum dan mata yang ada di balik lensa, tetap menatap Geo.
Mendengar itu, Geo memiringkan kepalanya. Ia penasaran dengan apa yang dippikirkan Rayan saat ini.
"Ketemu Geo?" Ia mencoba memastikan.
"Ya. Ketemu kamu."
"Heh!" Baik Geo dan Rayan langsung menoleh ke sumber suara yang ternyata William. Remaja 15 tahun itu turun dari undakan teras dan berjalan menuju dua pemuda yang lebih tua darinya, "ngapain lo ke sini?"
"William!" Tegur Geo. Ia jadi tidak enak karena adiknya bertindak kasar pada Rayan. "Panggil yang sopan."
Bukannya menurut, William mengabaikannya dan menatap Rayan, "kenapa ke sini? Ada perlu apa ketemu kak Geo?"
"Emang aku ada alasan buat ketemu Geo?" Rayan mencoba merespon pertanyaan dari William yang membuat remaja itu bertambah marah karena ekspresi dingin dari Rayan.
"Lebih baik lo pergi. Gue sekeluarga mau pergi!" Kali ini, William mendapatkan pukulan di lengannya ooleh Geo karena masih bertindak kurang sopan.
"William..." Geo sudah tidak tahu lagi mau menasehati seperti apa pada adik sepupunya. Anak satu ini memang selalu sensitif dengan orang-orang yang berhubungan dengan Ardan –termasuk Rayan yang notabene kakak dari Ardan.
"Kamu kakaknya si bocah bengal itu?" Tiba-tiba suara berat pria paruh baya terdengar dan itu membuat Rayan membungkukkan tubuhnya untuk memberi salam.
"Pagi, om." Sapanya, "kalau yang om maksud si Ardan, ya, benar. Saya kakaknya Ardan, om."
"Kita semua mau pergi. Kamu ngapain ke sini?"
Paman Abim terlihat tenang dan tidak tersulut amarah. Namun, ekspresinya terlihat kurang suka dengan kehadiran Rayan di sini.
"Mau ketemu Geo, om." Jawabnya dengan penuh hati-hati.
"Tidak kuliah? Kerja mungkin kalau kamu udah kerja." Paman Abim memang tidak tahu apakah kakaknya Ardan sudah kerja atau masih kuliah karena dilihat dari penampilannya yang sangat rapi, bukan tidak mungkin jika pria muda ini sudah bekerja.
"Lagi tidak ada kuliah, om." Jawab Rayan. Ia memang tidak ada kuliah jika hari Sabtu. Mungkin ada beberapa kegiatan BEM, namun untuk minggu ini, BEM sedang tidak mengadakan rapat apapun hingga akhirnya dia menganggur di rumah.
Entah apa yang di pikirannya saat itu –mungkin karena kurang kerjaan, ia tiba-tiba ingin bertemu dengan Geo. Terakhir ia bertemu pada saat remaja itu masih bekerja di kebunnya.
Anggaplah Rayan gila atau memang sudah terlalu rindu dengan remaja manis seumuran dengan adiknya itu. Padahal ia tahu jika salah satu adik Geo belum bisa menerimanya, tapi ia sekarang nekat sudah datang ke rumah ini.
Benar saja, William langung menampakkan wajah kurang sukanya pada Rayan ketika ia menginjakkan kakinya di rumah keluarga Geo.
"Kami tidak akan ada di rumah. Jadi mending kamu pulang saja." Tegas Paman Abim pada Rayan. Pria paruh baya ini memang terlihat sudah risih dengan kedatangan mahasiswa itu.
"Eh...eh...eh tunggu."
Satu-satunya wanita di yang ada di sana tiba-tiba mengeluarkan suaranya setelah dirinya diam melihat perdebatan tersebut.
Tante Hana berlari kecil menuju ke arah Rayan dan menyunggingkan sebuah senyuman manis.
"Nak Rayan bawa mobil?"
Semua orang yang ada di sana menampakkan wajah heran dengan pertanyaan wanita pertengahan 40 tahunan itu.
Dengan canggung, pada akhirnya Rayan mengangguk, "bawa, tante."
"Muat untuk menampung 3 orang?"
Rayan kembali mengangguk meski dia sebenarnya dia juga bingung dengan semua pertanyaan tante Hana ajukan, "ya. Muat. Memang ada apa, tante?"
Tiba-tiba wanita pertengahan 40 tahunan itu menepuk kedua tangannya sekali dan tersenyum lebar. "Kebetulan, nak."
Rayan benar-benar bingung dan tidak tahu maksud dari wanita dewasa yang ada di depannya ini, "kebetulan apa, ya, tante?"
"Nak, kamu lagi gak sibuk, kan? Mau ikut liburan? Tapi kamu bawa Geo, William, dan Nathan di mobilmu, ya?"
"Bunda!"
"Tante!"
Baik William dan Geo berteriak protes atas keputusan wanita tersebut. Tapi sepertinya ibu dua anak itu tidak mengindahkan protes tersebut dan terus bernegosiasi dengan Rayan.
"Mereka bertiga kasian kalau duduk di belakang pick up dengan atap terpal. Jadi, bolehkah anak-anak tante ikut ke mobil nak Rayan? Tenang aja, nanti tante isiin bensin."
Oh...Ternyata ini tujuannya. Rayan, sih, sama sekali tidak keberatan. Terlebih lagi, dia sedang tidak ada kegiatan apapun hari ini.
Paling penting.... Rayan melirik ke arah Geo yang sedang menatap tante Hana dengan ekspresi sedikit kesal. Lucu banget –batinnya.
Akhirnya Rayan memiliki alasan untuk bisa bersama Geo karena tante Hana mengajaknya untuk bergabung di liburan keluarganya.
"Boleh, tante. Gak usah ganti uang bensin."
Mendengar itu, tante Hana tersenyum semakin lebar. Sementara Paman Abim sepertinya tidak begitu peduli.
Pria awal 50 tahunan itu sudah cukup lelah untuk menghadapi kelakuan istrinya hari ini. Dengan tidak berdebat, itu meringankan stresnya.
Lagipula, jika anak-anak duduk di belakang mobil pick-upnya, cukup berbahaya. Bila sedang sial, bisa kena tilang polisi. Jadi, cukup membantu juga mahasiswa itu datang dan membawa anak-anak dengan mobilnya itu.
"Jadi..." Rayan melirik ke arah Geo, "mau berangkat sekarang."
"Aku naik mobil pick up saja!" William tetap kekeh menolak. Namun, pelototan dari ibunya membuat remaja itu menurut dan berjalan mengikuti Rayan menuju mobilnya.
"Gue di depan." William dengan nada yang menyebalkan, langsung memutuskan tempat duduk begitu suara alarm kunci mobil Rayan berbunyi.
"Geo aja." Rayan mencoba menolak karena ia memang menginginkan Geo duduk di sebelahnya.
"Gak. Lo mencurigakan soalnya." William anaknya memang pekaan dan mencium sesuatu yang salah dengan tindakan Rayan sekarang ini.
Sementara Geo yang clueless dan terlihat masa bodo, sudah membuka pintu mobil penumpang yang ada di belakang dan menyuruh Nathan untuk masuk duluan.
"Udah cepet masuk semua. Tuh! Paman dan tante udah jalan." Seru Geo yang membuat William dan Rayan menoleh ke belakang.
Wajah Rayan sudah sangat keruh karena tingkah yang William lakukan padanya. Tapi ia merupakan laki-laki dewasa diantara anak-anak remaja itu. Untuk itulah, Rayan mencoba sabar dan masuk ke mobil.
"Masuk lo." Rayan tidak perlu lagi berkata manis pada bocah 15 tahun itu. Toh William juga tidak ada hormat-hormatnya dengan dia.
Meski ada perdebatan sedikit, mobil sedan berwarna putih akhirnya melaju dan berhasil menyusul mobil pick-up milik paman Abim yang sudah berjalan duluan.
2 jam perjalanan akhirnya bisa mereka lewati. Selama di mobil, 4 anak muda tersebut terdiam dan tidak banyak bicara.
Ah, Nathan yang sesekali bersuara untuk menanyakan ini dan itu pada Geo yang ada di sampingnya.
Sementara William dan Rayan yang ada di depan benar-benar diam tak berucap.
Sebenarnya Rayan ingin mengajak Geo berbicara, tapi ketika kepala sang mahasiswa hendak menoleh ke belakang, William langsung melemparkan tatapan tajam padanya.
"Terima kasih, kak atas tumpangannya." Geo masih tahu diri dan dirinya tidak akan diam saja setelah Rayan mau dengan sukarela mengantarkan mereka ke obyek wisata yang dituju.
"Sama-sama. Senang bisa membantu." –senang juga akhirnya Rayan bisa dekat dengan Geo lagi meski masih ada halangan. Tentu saja halangannya bocah 15 tahun yang sedang berdiri di tengah, berada tepat diantara Rayan dan Geo.
"Anak-anak, yuk, masuk. Bunda sudah beli tiket untuk kita semua." Tante Hana melihat ke arah Rayan dan tersenyum, "kamu juga udah tante Hana belikan tiketnya. Ikut kita, ya?"
"Bun! Dia disuruh pulang aja!" William kembali protes ketika ibunya malah membelikan tiket untuk Rayan dan bergabung dengan mereka.
"Ssst!" Pandangan wanita tersebut sangat tajam pada putera sulungnya karena bertindak tidak sopan, "berterimakasih lah dengan nak Rayan. Kalian jadi tidak kepanasan selama perjalanan."
"William gak minta untuk diantar –Aw! Bundaaa!" Remaja 15 tahun itu mendelik marah katika ibu kandungnya justru menjewer telinganya dengan cukup keras.
Sementara Rayan dan Geo yang kini berdiri sebelahan, hanya menatap William dengan helaan napas lelah.
"Maafin dia, ya, kak? Memang William suka seperti itu."
Rayan menoleh ke pemuda yang lebih pendek darinya itu, ia tersenyum tipis, "tidak masalah. Dia masih anak-anak, emosinya begitu labil. Sama aja kayak bocah yang ada di rumah kakak." –tentu saja maksud si Rayan adalah adiknya, Ardan. Bungsu di keluarganya itu memang terkadang sama seperti William dan Rayan sudah terbiasa menghadapi remaja tantrum seperti itu.
Geo yang mendengarnya hanya mendengkus tertawa. Ya. Dirinya baru sadar jika Ardan dan William memiliki sifat yang hampir sama.
Pantaslah jika keduanya digabungkan, justru akan menimbulkan keributan yang tiada habisnya.
"Masuk?" Tanya Rayan pada Geo setelah melihat wanita pertengahan 40 tahunan itu melambai-lambaikan tangannya untuk mengajak semua masuk ke pintu utama wisata.
"Okay."
Ketika mereka semua telah menemukan spot terbaik untuk membentangkan tikar, paman Abim langsung duduk dan terlihat kelelahan karena kakinya dijulurkan begitu saja.
Mereka berhasil menempati spot terbaik karena dekat dengan air terjun dan tanahnya diselimuti dengan rumput subur dan kering tanpa ada genangan.
Tante Hana langsung mengeluarkan bekal begitu mendudukkan dirinya di atas tikar.
Niat awal, wanita dua anak tersebut memang hanya piknik, menikmati makanan dan menyegarkan diri dengan pemandangan indah di curug tersebut.
"Benar kata Bu Tuti. Di sini sudah sangat bagus. Terakhir kali kita ke sini masih berbatu, ya, Yah?" Tante Hana melirik sang suami yang duduk diam sambil mengistirahatkan diri.
"Hm." Jawabnya singkat. Ia hendak mengeluarkan sebatang rokok dari kantungnya, tapi segera ditahan oleh sang istri.
"Tuh, dilarang rokok." Tante Hana Menunjuk sebuah papan kayu dengan gambar rokok yang disilang. Hal tersebut membuat sang suami sedikit kesal dan memilih memakan buah yang diangsurkan oleh istrinya.
"Bunda! Nathan boleh renang?"
Tiba-tiba sang anak bungsu datang dengan wajah yang sumringah. Ia melihat anak-anak lainnya, di mana Geo dan Rayan yang sedang berdiri di pinggir curug, sementara William sudah masuk ke dalam sungai.
"Boleh. Bunda juga udah bawa baju ganti kalian. Tapi harus deket-deket sama kak William ya. Jangan terlalu jauh."
"Okee!" Nathan segera melepas celana jeansnya dan melemparkannya ke atas tikar. Anak itu masih mengenakan kaos merahnya dan enggan untuk dilepas.
"Kak Rayan, mau renang juga?"
Rayan kaget ketika Nathan memegang tangannya dan mengajak berenang. Sebenarnya ia enggan untuk turun ke air. Tapi melihat wajah Nathan yang penuh harap, ia sungkan untuk menolaknya.
"Boleh."
"Nak Rayan bawa baju ganti juga?" Ternyata wanita dua anak itu menyusul si bungsu karena cukup khawatir.
"Bawa, tante. Ada di bagasi." Rayan memang suka membawa baju ganti di mobilnya karena ia terkadang harus menginap di kampus atau kos-kosan temannya jika sibuk dengan tetek-bengek BEM.
"Oh...baguslah. Titip anak-anak, ya?"
"Baik, tante." Jawab Rayan. Ia mulai menggulung celana jeansnya. Ia sedikit malu jika harus melepaskan celananya dan hanya memakai boxer di hadapan Geo.
"Geo gak ikutan? Tante bawa baju ganti juga buat kamu. Turun aja." Ucap wanita tersebut ketika melihat sang keponakan hanya berdiri di sana sembari memegang celana panjang milik William.
Geo menggeleng, "gak usah, tante. Geo mau duduk aja atau berdiri di sini liatin mereka."
Keadaan area curug memang cukup ramai dengan beberapa anak dan orang dewasa yang berenang. Geo tipe anak yang kurang suka berenang –apalagi ketika banyak orang seperti sekarang.
"Kakak turun dulu, ya, awasin tu dua bocah." Pamit Rayan setelah tante Hana berbalik dan kembali duduk di tikar pinggir sana.
"Ya. Hati-hati, kak. Titip mereka berdua ya."
"Oke."
Geo memutuskan untuk berjalan menuju ke arah tantenya untuk duduk dan menikmati pemandangan saja. Sesekali ia melihat Rayan yang berenang bersama Nathan.
"Emang gak sulit renang pake celana jeans?" Gumamnya.
"William itu..." Kini sang tante bersuara, "tadi pas berangkat kesal. Ternyata tu anak paling semangat berenang di sana."
Geo mendengar itu tertawa. Ia baru sadar kalau William yang langsung masuk ke dalam sungai ketika sampai ke lokasi ini. Anak itu terlihat sangat menikmati main air di sana.
"Padahal dia gak jago berenang." Celetuk Geo. Ia melihat William yang hanya terduduk di salah satu batu di sungai tapi sesekali mencelupkan seluruh tubuhnya ke dalam air tanpa berenang. "Malah jago Nathan."
"Nathan, kan, dulu sempat tante les-in renang, Ge."
Ah, benar. Dulu waktu TK sampai SD kelas 5, Nathan memang sempat les renang. Berbeda dengan William yang hanya gede badan, tapi belum pandai berenang.
Sementara itu, di sungai, Nathan mengajak Rayan berenang untuk mendekat ke air terjun. Tapi mahasiswa itu melarangnya.
"Jangan, ya. Itu berbahaya dan cukup dalam. Lebih baik di pinggiran saja." Nasehat Rayan dengan pelan agar Nathan tidak nekat.
Bocah berumur 13 tahun itu mengurucutkan bibirnya sebal dan kembali ke pinggiran untuk mendekati William.
"Kak, gak renang ke sana?" Tanya Nathan pada William yang justru dibalas dengan mendorong kepala adiknya pelan dengan jarinya.
"Lu gimana, sih? Gue kan gak bisa renang."
Nathan tertawa karena ia benar-benar lupa jika kakaknya ini memang belum bisa berenang.
"Ada apa, nih?" Rayan tidak lupa dengan tanggung jawabnya untuk mengawasi dua anak ini. Jadi, mahasiswa itu berenang dan mendekat pada William dan Nathan.
"Ini, kak. Kak Will belum bisa renang."
"Heh! Awas, ya lo!" Tunjuk William pada Nathan dengan kesal.
"Beneran? Mau kakak ajarin, Will?" Rayan mencoba untuk menawarkan bantuan, tapi sepertinya William menolaknya. Anak itu langsung menoleh ke arah lain.
"Gak!" Jawabnya dengan ketus. Lalu, William berjalan dan berniat untuk pergi ke pinggir sungai. Tapi sialnya, ia menapak pada batu yang licin sehingga tergelincir.
Alhasil, tubuh William yang tidak siap, langsung tenggelam. Hidungnya sudah kemasukan air dan kedua tangannya menggapai-gapai ke atas untuk mencari pegangan agar ia bisa kembali berdiri, namun dirinya justru semakin tenggelam.
William berpikir bahwa dirinya mungkin akan mati, tapi sebuah tangan yang panjang dan besar terasa di pinggungnya dan tubuh William seketika terangkat.
Ternyata itu adalah Rayan yang menolongnya. Kedua mata William membulat sempurna.
Anak itu terbatuk-batuk dan tangan kanannya memegang erat tangan besar milik Rayan.
"Lo meleng, Will. Udah gak apa-apa. Berdiri dan pijak yang bener. Seimbangin badan lo." Kata Rayan pada William. Mahasiswa itu membantu William berdiri lagi karena memang area kejadian tidak terlalu dalam dan hanya sedada William.
Remaja 15 tahun itu hanya terkejut hingga membuatnya tenggelam dan kehilangan keseimbangannya.
William masih terbatuk dan menenangkan diri karena jantungnya tiba-tiba berdetak dengan cepat.
"Kak, kamu gak apa-apa?" Nathan mencoba bertanya dan wajahnya terlihat khawatir.
William hanya menggeleng untuk merespon pertanyaan adiknya.
"Mau gue bantu ke pinggir sungai?" Tawar Rayan. Tapi William tidak menjawab sama sekali. Pada akhirnya, Rayan memaksa dan memapah William untuk ke pinggir pinggir. Mahasiswa itu juga mendudukan remaja tersebut di bebatuan.
"Udah, tenangin dulu di sini." Kata Rayan, "mau minum?"
William menggeleng. Ia masih terdiam dan menatap ke arah curug karena shock dengan kejadian tadi.
"Ya. Udah. Gue mau lanjut renang sama Nathan."
"Kakak istirahat dulu di sini, ya."
Sebelum keduanya pergi, William tiba-tiba bersuara, "Kak Rayan."
Rayan terkejut dan menghentikan langkahnya. Kepalanya ia tolehkan ke arah William dan menjawab panggilan tadi, "ya?"
"Makasih udah nolongin gue tadi."
Rayan tersenyum lebar mendengarnya, "sama-sama." Ia kembali lanjut berjalan untuk menyusul Nathan, tapi ia justru menoleh lagi pada William, "kalau lo udah mendingan, gabung lagi aja. Mau gue ajarin renang?"
William terdiam karena menimbang-nimbang tawaran pria yang lebih tua darinya itu. Dan pada akhirnya, William mengangguk dan berdiri untuk menyusul Rayan dan Nathan untuk gabung berenang.
Sekitar 1 jam mereka bertiga berenang dan kembali lagi dengan pakaian yang kering. Tante Hana sudah menyiapkan makanan, camilan hingga buah di atas tikar piknik.
Rayan, William dan Nathan duduk bersisihan dan semuanya bersemangat untuk makan.
Tante Hana, Paman Abim, dan Geo sama sekali tidak tahu perihal kejadian William tadi karena memang mereka semua merahasiakannya –takut bunda khawatir, kata William.
"Kak Rayan, mau sambal, gak?" William tiba-tiba menawarkan sambal pada mahasiswa itu dan hal tersebut membuat Geo yang melihatnya langsung menaikkan sebelah alisnya heran.
"Boleh. Tolong ambilin timun juga. Kakak pengin lalapannya."
"Oke." Dan seketika itu juga, William memberikan beberapa irisan timun ke piring Rayan.
Huh? Geo semakin bingung dengan situasi sekarang. Padahal tadi saat berangkat mereka tidak saling tegur sapa. William juga bertindak tidak sopan. Kenapa setelah berenang, mereka berdua jadi manis dan akur seperti ini?
Ingin sekali Geo menanyakan hal itu, tapi ia urungkan. Dirinya hanya bersyukur, karena pada akhirnya William tidak bertindak menyebalkan seperti sebelumnya ke Rayan.
Hari itu, mereka semua menikmati liburan dengan senang. Paman Abim yang sering marah-marah, seharian ini tenang dan menikmati waktu berduaan dengan sang istri dengan berjalan-jalan di taman dekat curug.
Sementara itu, Rayan, Geo, William dan Nathan sibuk dengan kegiatannya sendiri dengan bermain kartu, makan, dan saling bercerita.
Untuk pertama kalinya, Geo merasakan hangatnya kebersamaan seperti ini. Meski dirinya tidak lagi memiliki orang tua, tapi dirinya masih dikelilingi oleh orang-orang yang sayang dengannya.
Tbc
A/N : Saya masih buka comission seperti ini. Jadi, jika ada yang berminat, silakan hubungi author (085156494198).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top