Ch 25; New Semester


"Ciee yang udah jadi siswa SMA."

Geo menggoda William yang baru saja keluar kamarnya dan telah menggunakan seragam OSIS SMA lengkap. Masa MPLS telah selesai Minggu lalu dan kini, kegiatan belajar biasa sudah mulai berjalan.

Hari Senin memang Geo sudah harus datang lebih pagi. Meski dia bukanlah petugas upacara, namun OSIS biasanya harus kumpul dulu untuk rapat.

Terlebih lagi, sebentar lagi ada pemilihan anggota OSIS yang baru dari kelas 10 yang baru. Sementara anggota OSIS yang naik ke kelas 12 sudah harus pensiun dan fokus mempersiapkan ujian dan masuk ke perguruan tinggi.

"Apaan, sih?" William yang terkenal kaku dan sulit diajak bercanda langsung berdecak keras. Ia berjalan ke arah dapur dan mendapati nasi goreng yang telah siap di meja.

"Tante Hana berangkat pagi, karena harus mengecek stok barang yang baru datang di toko." Geo memberi penjelasan kepada adik sepupunya tentang keberadaan ibunya.

"Tumben buru-buru banget. Sampe-sampe anak lagi siap-siap malah gak dipamitin." Gumam William. Anak itu duduk di kursi makan dan mencoba menyantap sarapannya.

"Kak, bisa pasangin dasi Nathan, gak?" Nathan sedari tadi memang diam di kamar dan Geo belum melihatnya. Mengetahui adik bungsunya kesulitan, Geo yang sudah rapi, langsung beranjak dari duduknya dan membantu Nathan memasangkan dasi.

"Udah rapi?" Tanya Geo pada Nathan setelah memasangkan dasi SMPnya.

"Udah."

Geo tersenyum, "ya udah. Sana sarapan bareng William. Kakak udah sarapan tadi."

Tanpa disuruh pun, Nathan sudah langsung berlari menuju ruang makan. Ia memang sudah lapar karena semalam melewatkan makan malamya.

"Kamu, nih, udah kelas 8, harusnya udah bisa pasang dasi." Baru saja Nathan duduk dan akan menyendok nasi gorengnya, William sudah memarahinya.

"Ya udah, sih. Nathan 'kan gak minta bantuan kak William, tapi kak Geo." Semakin bertambah umur, Nathan memang tidak lagi sepolos yang dulu. Anak itu sudah sering membantah sejak liburan kemarin.

Geo juga terkejut mengetahui perubahan Nathan yang begitu cepat. Masa pubertas remaja SMP memang mengerikan.

"Kak Geo, jangan manjain ini anak lagi! Kebiasaan!" William meninggikan suaranya agar Geo yang ada di ruang tengah mendengar suaranya.

Tapi Geo hanya mendengkus tertawa dan tidak mempermasalahkan itu. Ada masanya nanti Nathan tumbuh dewasa dan mandiri.

Selagi sekarang dirinya bisa membantu, Geo tidak masalah untuk direpotkan.

Selesai sarapan dan semuanya sudah siap, ketiganya berangkat dengan menggunakan taksi online.

Itu permintaan Tante Hana. Karena hari Senin biasanya ada upacara dan pasti harus datang lebih awal, wanita awal 40 tahunan itu memberikan sejumlah uang untuk memesan taksi online.

"Itu mobilnya sudah datang." Ucap Nathan. Mereka bertiga pun keluar dari gerbang halaman setelah semua rumah dikunci.

Beruntung jalan menuju sekolah Nathan, searah dengan Mulya Dharma. Jadi, nanti setelah menurunkan Nathan, mereka berdua meneruskan perjalanannya hingga ke sekolah.

Geo dan William sampai di sekolah tepat waktu dan masih tersisa beberapa menit lagi untuk upacara.

Keduanya berpisah di gerbang karena William yang ada di kelas IPA 1, ada di gedung sebelah timur. Sementara Geo harus ke selatan, di mana ia berada di kelas IPS 2.

"Kakak ke kelas, ya?"

Sebagai jawaban, William mengangguk dan mengangkat tangan kanannya sebagai salam perpisahan.

.

.

.

Geo beberapa kali melihat ke ujung koridor yang menghubungkan kelas 11 dengan gedung kelas 10. Seseorang yang sedang ia tunggu tidak kunjung kelihatan batang hidungnya.

Geo bersumpah, jika 5 menit lagi anak itu tidak datang juga, ia akan langsung pergi ke kanting.

"Kantin?"

Tiba-tiba Damar mencolek bahu Geo dari belakang. Anak itu tentu saja satu kelas lagi dengannya karena mengikuti kurikulm yang berlaku, di mana teman dari kelas 10 akan tetap sama sampai tamat nanti.

"Bentar. Gue lagi nunggu adek gue."

Damar paham yang dimaksud dengan adik tersebut. Pemuda jangkung itu sudah tahu jika William –adik sepupu sahabatnya itu bersekolah di sini.

"Harus jagain dia juga di sekolah?" Damar berdecak, "merepotkan sekali."

Geo menatap Damar dengan tatapan marah. "Mana ada?!" Ucapnya kesal, "William Cuma pengin makan siang bareng."

Ah, benar, sih...

Ini istirahat kedua, di mana para siswa sudah seperti zombie dan berbondong-bondong ke kantin untuk mencari makanan enak untuk mengisi perutnya yang kosong setelah belajar berjam-jam lamanya.

"Ya udah. Gue ke kantin dulu bareng Anton." Damar memang melihat Anton yang kebetulan lewat di sekitarnya. Ia langsung merangkul teman kelasnya itu, "gue ikut ke kantin."

"Ikut, mah, ikut aja, Dam."

Disindir seperti itu, bukannya tersinggung, bocah jangkung tersebut justru tertawa dan tetap merangkul teman sekelasnya itu.

Sepeninggal dua teman kelasnya, Geo masih menjulurkan lehernya untuk mengetahui, apakah adiknya sudah terlihat atau belum.

Tapi bukannya William, Geo justru melihat Ardan yang berjalan kearahnya sambil senyum-senyum tidak jelas.

Sedetik kemudian, Geo langsung panik karena ia sudah melakukan perjanjian pada Ardan agar tidak saling sapa di sekolah.

"Jangan sok akrab pas kita udah berangkat nanti."

Geo ingat pada saat itu, di siang hari setelah dirinya selesai memberikan pembekalan MPLS, dia bertemu Ardan di ruang multimedia.

Ardan berada di sana karena sedang mengetik pengumuman perekrutan tim basket yang baru. Mereka tidak janjian –murni bertemu di sana karena Geo pada saat itu berniat mengeprint surat izin MPLS untuk orang tua siswa baru.

Ardan tidak langsung merespon, ia masih mengetik dengan melihat contekan kertas lain yang ada di meja komputer.

"Karena William?" Tanya Ardan.

"Ya." Geo melihat printer sudah mulai bekerja untuk mencetak suratnya. Setelah ini, dirinya akan ke ruang guru untuk memfotocopy surat tersebut. "William masih belum memaafkanmu."

"Hadeh..." Ardan menghela napas gusar, rambutnya sudah acak-acakan karena sedari tadi tugasnya tidak selesai-selesai, ketambahan dengan ucapan Geo tadi. "Merepotkan sekali."

Geo sedikit tersinggung dengan perkataan Ardan terakhir, "maksud lo adek gue repotin?"

Ardan menoleh dan menatap Geo dengan sebelah alis yang dipicingkan –kedua matanya terkejut setelah sadar tentang apa yang ia katakan tadi.

"Eh –" Ardan mulai gugup karena merasa salah bicara, "maksudku, ini tugas gue yang repotin."

Ardan tidak bohong. Dirinya memang kerepotan dengan tugas yang sedang ia lakukan. Dirinya diangkat menjadi ketua tim basket secara sepihak oleh ketua basket terdahulu yang membuatnya mengemban tugas seperti sekarang.

Meski Ardan sudah menjelaskannya, wajah Geo tetap keruh dan merasa tersinggung.

"Pokoknya, selama William masih belum bisa maafin lo, di sekolah pura-pura aja kita masih gak deket."

Ardan mendorong anak rambutnya ke belakang agar tidak menutupi matanya. Ia menghela napas sembari masih memandang Geo.

"Gak janji." Jawabnya dengan enteng.

"Dan –"

" –Iya....iyaa..." akhirnya Ardan menyerah, "tapi tidak janji." Tambahnya dengan suara lirih hingga Geo tidak mendengarnya.

Mengingat kejadian Minggu lalu, Geo berharap Ardan tidak menyapanya sekarang ini. Ternyata, sang ketua ekskul basket memegang janjinya.

Cengiran itu langsung hilang dan berganti dengan ekspresi datarnya seperti biasa.

Remaja jangkung itu berjalan dengan tenang. Kedua tangannya masuk ke saku seragamnya dan pandangannya lurus ke depan tanpa melirik pada Geo ketika melewatinya.

Di samping Ardan, ada sahabat gempalnya –Daren yang berjalan sambil mengunyah snack di genggaman tangannya.

Geo langsung lega karena Ardan tetap berpegang pada janjinya. Ia tidak bisa membayangkan bila bocah jangkung itu menghampirinya. Terlebih lagi, selang beberapa detik, sang adik sudah kelihatan batang hidungnya.

"Lama amat." Geo protes pada William yang terlalu lama keluar dari kelas karena jam istirahat kedua sudah habis 10 menit hanya untuk menunggu adik sepupunya itu.

"Sorry. Tadi gue harus selesaiin tugas fisika sebelum dikumpulin."

Geo tidak memarahi adiknya lagi karena dilihat-lihat, remaja yang lebih tinggi darinya itu sedang mengatur napas –seperti habis berlari.

"Ya udah. Ayo, makan." Geo dengan susah payah merangkul pundak adiknya.

Meski ia tidak bebas bergaul dengan Ardan karena ada sang adik sepupu, Geo senang bahwa William satu sekolah dengannya. Jadi, setiap berangkat dan pulang ia tidak sendiri lagi.

"Lo mau makan apa?" Mereka berdua sudah berada di depan kantin yang cukup ramai.

Di siang hari, kantin sekolah justru lebih banyak makanan karena para penjual akan buka sampai sore agar para siswa-siswi yang mengikuti ekskul, masih bisa membeli makanan dari mereka.

"Boleh, gak, sih beli mie ayam?" Tanya William. Ia sedikit culture shock karena di sekolahnya sekarang beragam makanan ada. Dulu saat SMP, di kantin hanya ada gorengan, lontong, dan jajanan snack biasa.

"Ya boleh, lah. Kalo lo makan tapi gak bayar, baru itu gak boleh."

William mencibir ledekan kakaknya dan ia akhirnya memasuki area kantin untuk menuju ke gerobak mie ayam yang ada di ujung sana.

Kantin di sekolah Mulya Dharma itu seperti Pujasera, di mana beragam makanan ada semua dan berjejer rapi melingkar. Sementara bagian tengah adalah kursi dan meja untuk makan para siswa.

"Kak!" William memanggil Geo dengan suara cukup keras. "Makan apa?"

"Opor sama ketupat aja, deh. Biar kenyang sampai nanti sore." Geo memang ada rapat nanti sepulang sekolah, jadi ia harus mengisi perutnya siang ini agar bisa fokus.

Mereka berdua duduk di kursi yang dekat dengan gerobak mie ayam. Geo sudah mendapatkan opornya karena memang tidak antre.

"Kelihatannya enak, kak."William melirik opor Geo yang kelihatannya memang sangat menggiurkan, membuatnya ingin mencicipinya.

"Mau?" Geo mendorong pelan piringnya ke hadapan sang adik, "nih coba aja."

William menggelang. Ia tahu kalau kakaknya sedang lapar. Terlebih lagi kegiatan Geo jauh lebih banyak dibandingkan dirinya. "Dimakan lo aja."

William tiba-tiba terjingkat kaget ketika bahunya dirangkul oleh seseorang dari belakang. Remaja 15 tahun itu hendak memukul sang pelaku, tapi ternyata yang melakukan itu adalah orang yang ia kenal.

"Kak Damar!" Kedua mata William melebar dan menatap tajam ke arah sahabat kakaknya itu, tapi Damar hanya cengengesan tanpa ada rasa bersalah.

"Udah makan lo?" Geo tanya pada teman sekelasnya tersebut. Tepat saat itu, mie ayam pesanan William datang.

"Belum. Dari tadi bingung mau makan apa. Keliatannya enak." Damar melirik mie ayam milik William, "pak. satu lagi ya gak pake kecap."

"Baik, mas."

"Aneh banget, mie ayam, kok, gak pake kecap." William berseru. Ia sibuk mengaduk hidangannya agar semua bumbu tercampur.

"Ya suka-suka gue lah. Mending lu diem aja, cil."

Damar memang sudah dua kali datang ke rumah pada saat dirinya sedang masa penyembuhan pasca diagnosis gegar otak ringan. Meski hanya sebentar, Damar mampu akrab dengan William yang dingin seperti es.

"Gue bukan bocil, ya!" Lalu William menoleh ke kakak sepupunya, "kak, mending lo jangan duduk bareng Damar lagi. Dia pembawa pengaruh buruk."

Mendengar itu, Damar tersinggung dan menggumamkan sesuatu yang Geo tidak terlalu peduli.

"Ya...memang gue udah gak sebangku sama dia, kok."

Damar memang sudah meminta agar Geo sebangku lagi dengannya. Namun, Geo menolak, karena dia ingin beda teman bangku. Jadi, ia memilih duduk dengan Riki, salah satu anak mading.

Tujuan Geo sebangku dengan Riki juga untuk membahas penggabungan ekstrakulikuler mading dan jurnalistik agar saling terkait nantinya ketika membuat buletin sekolah.

"Iya, nih, Geo. Tidak setia kawan. Tega banget ninggalin gue."

William yang mendengar itu pura-pura melakukan gerakan seperti ingin mutah karena ucapan pemuda yang lebih tua darinya itu terlalu cheesy.

Akhirnya mie ayam pesanan Damar datang dan mereka bertiga bisa makan bersama-sama.

Di saat sedang tenang makan, sudut mata Geo menangkap sesosok orang yang sangat ia kenali. Ia berhenti makan sejenak dan napasnya tertahan manakala melihat Ardan yang datang mendekatinya.

Pemuda itu membawa sebuah mangkok bakso dan mencari tempat duduk yang kosong –sialnya yang tersisa hanya ada di meja dekat dengan dirinya.

Geo kira, Ardan sudah melihat dirinya, tapi ternyata pemuda itu sibuk berbicara dengan Daren dan Fauzan hingga tidak melihat Geo yang ada di sana.

Bahkan sampai Ardan dan teman-temannya duduk, belum sadar jika Geo berada di meja sebelah.

Ia melirik ke arah William, sedikit lega karena anak itu belum juga tersadar bahwa di dekatnya ada orang yang sangat dibencinya.

Ia berharap, William segera menyelesaikan makan siangnya, sehingga ia bisa menyeret remaja tersebut keluar dari kantin.

Tapi semua itu terlambat ketika Damar dengan bodohnya malah memanggil Fauzan.

Damar memang sudah sok kenal dengan Fauzan karena pada saat itu ia ikut OSIS ketika menjenguknya. Setelah itu, entah bagaimana ceritanya, Damar menjadi cukup dekat dengan sahabat Ardan itu.

Mengetahui nama Fauzan terpanggil, tidak hanya pemilik nama yang menoleh ke sumber suara, tapi ketiganya melihat ke arahnya.

Dalam hati, Geo mengutuk keras atas tindakan Damar yang tidak tahu kondisi.

Tentu saja, William melihatnya dan sudah ia duga, adik sepupunya langsung memasang wajah dingin.

"Ngapain, sih, tu orang ada di sana?" Meski gumaman lirih, Geo sangat mendengar jelas ucapan dari adiknya. Namun, ia mengabaikannya.

Fauzan hanya tersenyum dan mengangkat satu tangan ketika namanya dipanggil oleh Damar. Fauzan pun menyapa dirinya dengan mengangkat tangannya dan dibalas oleh Geo.

"Will, habisin makanan lo. Setelah ini kakak ada urusan di kelas." Geo berbohong, ia hanya ingin membawa adiknya keluar dari kantin agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

William sama sekali tidak menjawab. Anak kelas 10 itu menyeruputi mienya tapi ujung mata William terarah pada Ardan yang kini justru memandang ke arah lain –bukan makanannya.

Risih dengan hal itu, akhirnya William mengecek arah pandang sang atlet basket dan ternyata tertuju pada kakak sepupunya.

Geo tidak sadar ketika dirinya sedang dipandang dari seberang oleh Ardan dan itu membuat William menjadi kesal.

Dengan cepat, ia habiskan 2 suapan terakhir mienya dan berdiri cepat hingga kursinya tergeser dengan suara cukup keras.

Damar dan Geo berhenti makan dan memandang William yang berdiri dengan napas yang cukup berat seperti menahan emosi.

Beberapa siswa yang masih makan juga sedikit terusik dengan suara gesekan kursi kayu dengan keramik, tapi sedetik kemudian mereka mengabaikannya.

"Will, lo ngapain, dah?" Pertanyaan dari Geo ia tidak pedulikan sama sekali. Kepala William diarahkan ke arah Ardan yang masih memandang ke mejanya.

Remaja 15 tahun itu merapikan seragam OSISnya yang tertekuk dan mulai berjalan ke arah Ardan.

Kejadiannya memang begitu cepat sampai-sampai Geo tidak bisa mencegah adiknya yang berjalan ke arah meja.

"Will! Will!" Panggil Geo dengan suara lirih. Tidak mungkin dia teriak-teriak di kantin, kan? Beberapa kali Geo mengucapkan umpatan dengan suara sangat rendah karena melihat ulah nekat dari adiknya itu.

"Heh!" Willam menendang sisi kaki meja yang ditempati oleh Ardan hingga mangkok dan gelas yang ada di atas meja ikut bergetar.

Ardan menanggapinya dengan santai sambil masih terus menyeruput kuah baksonya. Pandangan mata remaja yang lebih tua setahun itu masih menghadap depan dan mengabaikan William.

"Dek, sopan, dong! Ini meja kakak kelas, tahu?!" Justru Daren yang terpancing emosi. Remaja gempal itu memang belum tahu William dan permasalahannya dengan Ardan, jadi wajar saja memberi respon seperti itu.

"Heh! Lo denger, gak?!" William menendang kembali karena Ardan seperti tidak meresponnya dan lebih menikmati makanannya.

Ardan masih tetap tenang, ia meminum estehnya dan barulah ia menatap balik remaja yang lebih muda darinya itu. "Ada apa?"

"Ngapain lo curi-curi pandang ke kakak gue?!" William mengatakan itu dengan nada yang cukup tinggi hingga siswa yang masih ada di dekat meja Ardan, mulai terganggu. "Emang lo lupa peringatan gue waktu itu?"

Bukannya menjawab, Ardan mendengkus tertawa. Jika ia ladeni pun, tidak lucu sama sekali karena William masih kecil dan ini di tempat cukup ramai. Diantara mereka, harus ada yang bertindak lebih tenang.

"Jangan ketawa-ketawa gitu! Ada yang lucu?"

Beberapa siswa dan siswi yang melihat kejadian tersebut mulai berbisik dan sisanya lagi mencela tindakan William.

Bagaimana tidak? William adalah siswa kelas 10 yang baru 2 minggu lalu bersekolah di sini. Dengan beraninya, melabrak kakak kelasnya yang merupakan kapten basket. Itu sudah tidak masuk akal sama sekali.

"Tidak ada yang lucu, Will. Tapi kau terlalu tegang. Santai saja." Tangan besar Ardan hendak memegang lengan adik kelasnya itu, tapi segera ditepis dengan keras, "sini. Duduk dulu. Mau nambah makanan, hm?"

Melihat Ardan yang begitu santai terhadapnya, justru membuat William semakin geram. Ia tidak ingin respon seperti ini. Ardan terlalu menganggap remeh padanya.

Iya, William tahu jika Ardan jauh lebih tinggi dari pada dirinya, tapi ia sama sekali tidak takut. Jika mau adu duel juga William berani.

"Najis!" Umpat William dengan suara lirih. Ia mulai sadar bahwa siswa-siswi di kantin sudah menatapnya tidak suka, "Jauhi kak Geo. Jangan curi-curi pandang atau apapun!"

Sekali lagi, Ardan mendengkus tertawa dengan lirih. Ia kembali menyeruput estehnya untuk melegakan tenggorokannya, "apa mata gue sudah diklaim hak milik William? Kenapa ngatur?"

" LO –"

Belum juga William melontarkan caci makinya, Fauzan yang sedari tadi diam, langsung berdiri dan menahan tubuh remaja yang lebih muda itu.

"Kak –"

" –jangan buat keributan di sini." Potong Fauzan. Matanya ia fokuskan pada William agar anak itu mau mengalah dan tidak berbuat ulah, "gue masih OSIS di sini, jadi sudah kewajiban untuk membuat lingkungan sekolah menjadi tenang."

"Lo ngomong kayak gitu karena mau bela Ardan, kan, kak?" Ternyata William sama sekali tidak menyerah. Meski sudah banyak siswa dan siswi berbisik menatapnya, anak kelas 10 itu masih memendam emosi pada Ardan.

"Enggak. Gue netral aja." Jawab Fauzan santai dengan masih memegang kedua bahu William –takut-takut anak itu beneran menyerang Ardan. "Ardan sedari tadi diam, tidak membuat masalah."

"Dia natap kak Geo mulu!"

"Memang Geo luka karena ditatap Ardan?"

Sekarang William terdiam. Kepalanya tertunduk dan bola matanya bergerak-gerak gelisah. Ia memang sudah terpancing emosi. Padahal bisa saja dia mengabaikan Ardan begitu saja meski menatap kakaknya.

"Jan...Jan..." Tiba-tiba Geo datang dan mencoba melepaskan genggaman Fauzan yang ada di kedua bahu sang adiuk, "biar gue yang urus William."

Kedatangan Geo yang tiba-tiba memang membuat Ardan, Fauzan, dan William terkejut –terutama bocah kelas 10 tersebut.

William yang marah karena kakaknya ditatap, tentu tidak ingin jika dia datang mendekat ke meja Ardan. William sama sekali tidak terima.

"Ayo, Will, ikut kakak." Geo membisikkan kata-kata itu tepat di telinga adik sepupunya, "jangan bikin onar atau lo yang akan malu sendiri."

Setelah membisikkan hal tersebut, Geo menarik tangan William dengan sedikit kasar. Bersyukur, adik sepupunya ini tidak menolak dan justru mengikuti langkah Geo.

Beberapa siswa memang menatap kedua kakak-adik sepupu itu. Namun, Geo mengabaikannya. Ia akan lebih malu jika William benar-benar melemparkan bogem mentah ke wajah Ardan jika tidak segera dibawa pergi.

"Kak, gue mau dibawa ke mana?"

Pertanyaan William sama sekali tidak Geo respon. Sampai akhirnya, mereka berdua berada di depan ruang OSIS, Geo berhenti dan membuka ruangan tersebut yang ternyata tidak terkunci.

"Berdiri di situ." Perintah Geo pada William. Ia menunjuk space kosong dekat meja rapat agar William mau berdiri di sana. Anak tersebut tidak menolak dan mau berdiri di titik yang ditunjuk Geo.

"Kak –"

"Kakak gak suka, ya, Will, lo kayak gitu."

"Ardan tuh –"

" –kak." Potong Geo. Ia mencoba mengoreksi panggilan William terhadap Ardan yang kurang sopan, "dia lebih tua dari lo, kakak kelas lo, senior lo. Jadi panggil dengan sebutan lebih sopan."

William melipat kedua tangannya dan berdecak tidak suka. Pandangannya ia lempar ke arah jendela dan melihat beberapa siswa yang sedang bermain sepak bola di lapangan, karena ruang ini berada tepat di belakang lapangan sekolah.

"Kakak akan malu kalo lo beneran berantem sama Ardan dengan alasan sepele."

Mendengar itu, telinga William panas. "Sepele?" Ia menatap kakaknya tidak percaya, "kak, itu gak sepele."

"Sepele." Ulang Geo. Kini Geo menatap tajam adiknya. Ia terlalu memanjakan William selama ini hingga anak itu bertindak kurang ajar. "Dia natap kakak, biarin aja. Kan aturannya dia gak boleh deket dan ngomong sama kakak. Inget, gak?"

William diam dan tidak menjawab.

"Urusan dia berada di meja seberang kita....itu karena tidak ada meja kosong lagi, Will." Geo melanjutkan perkataannya, berharap adiknya mengerti dan tidak kekanak-kanakan.

"Minta maaf sama Ardan nanti sepulang sekolah." Itu putusan final dari Geo yang membuat William menatap horor pada kakak sepupunya.

"Lo gila, kak?"

"Gak." Jawabnya mantap, "emang udah seharusnya lo minta maaf sama dia."

"Kak –" William tidak bisa berucap lagi. Ia tidak percaya bahwa kakaknya lebih membela bocah sialan itu, "lo beneran gak nyadar, ya?"

Sebelah alis Geo naik, ia menatap adik sepupunya dengan bingung. Badannya ia lebih dekatkan lagi pada remaja yang lebih muda darinya itu.

"Nyadar? Nyadar apaan?"

Kini William mendengkus tertawa karena baru sadar bahwa kakak sepupunya sepolos ini.

"Kak, lo sadar gak, sih? Gak ada cowok normal yang natap sesaama cowok se-intens Ardan ke lo."

Kedua tangan Geo yang tadi di kedua pinggangnya, langsung terkulai lemas lurus ke samping tubuhnya. Kedua matanya membulat dan mulutnya sedikit terbuka.

Senyuman William bertambah lebar setelah melihat kakak sepupunya yang tampak kaget.

"Baru sadar, kan, lo?" William tertawa lirih, "gue udah sadar dari kakak kecelakaan dan dia mohon-mohon buat jenguk lo."

Geo tidak menemukan suaranya. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu.

"Gue tadi udah risih liat tingkah Ardan, kak. Makanya gue samperin dia –"

" –lo pasti salah duga, Will." Akhirnya Geo menemukan suaranya lagi dan berani memotong ucapan adik sepupunya.

"Gak, kak. Gak ada cowok yang se-effort dia ngajak lo jalan, sering ngasih makanan ke bunda, dan terakhir tadi..." William menjeda kalimatnya, "dia natap lo intens seperti orang yang lagi kasmaran –"

" –stop, Will. Pemikiran lo udah ke mana-mana!" Geo sebenarnya, Geo sudah mulai tersadar akan sesuatu, tapi ia mencoba denial dan meyakinkan diri bahwa yang dikatakan William itu salah.

"Terserah lo mau percaya omongan gue atau gak, kak." William mulai mendekatkan tubuhnya pada Geo dan menatapnya langsung, "yang jelas, Ardan udah naruh rasa ke lo. Bukan sebatas sahabat, tapi dalam bentuk ketertarikan romansa."

"Will!" Kedua mata Geo membulat dan menatap tajam remaja yang lebih tinggi darinya itu. Namun, bola mata Geo terlihat gemetar –pertanda bahwa keyakinannya mulai goyah. "Buang persepsi bodoh lo itu!"

William terdiam dan menatap kakaknya dengan sebal, "bodo ah!" Setelah mengatakan itu, William keluar dari ruang OSIS dan menutup pintu dengan cukup kasar. Sementara Geo hanya geleng-geleng kepala melihat tingkat adik sepupunya itu.

Sementara Geo diam berdiri menatap tembok sembari mencerna setiap kalimat yang tadi William katakan padanya.

"Tidak mungkin..." Napasnya mulai memburu, ada rasa khawatir dan bingung yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih, "William pasti salah."

Ya. Sudah pasti salah.

Ardan adalah sosok teman yang baik dan peduli. Tidak lebih. Buktinya, Fauzan dan Daren awet temenan sama dia.

Benar, kan? Tapi kenapa di hati Geo ada keraguan dalam atas persepsinya ini?

Tbc



A/N : Saya masih buka Comission ya, kawan. Jika ingin merealisasikan ceritamu seperti ini, bisa hubungi author (085156494198)

Beberapa pdf juga masih dijual. Untuk Room 212 = 50k dan Feel So Fine = 60k. 

Arigatchu~ :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top