Ch 23; Kita Damai

"Bi, makanannya udah siap?"

Wanita paruh baya itu kaget ketika anak dari majikannya sudah ada di dapur dan bertanya tanpa aba-aba.

"O-oh." Wanita tua itu terlihat gugup, tapi tangannya sudah merapikan tempat makan dan botol minuman di meja dapur. "Sudah, kok, mas. Mau dibawa sekarang?"

Ardan mengangguk antusias. Ia memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan kedua tangannya langsung mengambil tempat makan susun dan juga botol minum.

"Mas Ardan yang mau anter ini semua ke mas Geo?"

"Ya." Jawabnya.

"Bukannya mas Ardan disuruh belajar sama Bapak? Nanti Bapak marah, loh."

"Udah biarin aja, Bi. Dia katanya mau belajar di saung kebun." Tiba-tiba suara ayahnya mengintrupsi.

Selama Ardan libur, terkadang memang ayahnya pulang dari kantor entah untuk mengawasi Ardan atau memang di kantor tidak terlalu banyak kerjaan.

Pria paruh baya itu memang memiliki bisnis di bidang ekspedisi. Pak Indra tidak selalu di kantor pusat, terkadang ada di pelabuhan, di kantor cabang atau hanya memantau kinerja karyawannya dari rumah.

Seperti sekarang, ayah dua anak itu berada di rumah dengan tablet yang sedari tadi di pangkuannya.

Siang tadi, Ardan meminta izin padanya untuk bisa belajar di saung kebun –hitung-hitung menemani Geo sekaligus diajari oleh anak itu jika ada mata pelajaran yang tidak dimengerti.

Ardan berpamitan dengan keraguan, tapi siapa sangka jika sang ayah mengizinkannya.

"Oh, baik, pak." Jawab sang bibi. Ardan pun tersenyum mendengar ucapan ayahnya.

"Janji, ya, kamu." Kedua mata tajam pria paruh baya itu menatap anak bungsunya, "belajar. Jangan main-main. Jangan ganggu Geo kerja juga."

"Iya, Ardan tahu, kok, Yah."

Tangan pria paruh baya itu masuk ke dalam kantong dan memperhatikan Ardan yang sudah mengangkat tempat makan dan botol minum berukuran cukup besar.

"Tidak bawa gelas?" Tanya Pak Indra pada Ardan.

"Ada." Kedua mata Ardan mengerling ke tas punggungnya yang telah ia gending, "di dalam tas. Aku bawa gelas plastik."

"Jalan kaki?" Sang ayah kembali bertanya. Karena jarak dari rumah ke kebun memakan waktu 10-15 menit jika jalan kaki –Ardan sudah pasti enggan jalan kaki ke sana.

"Pinjam motor bebek pak Yono." Jawabnya.

Sang atlet basket langsung berlari keluar dan menghampiri pak Yono yang sedang menonton TV di emperan belakang rumah.

Sang sopir sebenarnya enggan meminjamkannya –takut anak majikannya kenapa-kenapa jika mengendarai motornya, nanti dia yang disalahin.

"Hati-hati ya mas Ardan."

"Iya beres." Jawabnya sambil menaiki motor bebek berwarna hitam milik sopir ayahnya. "Pak Yono pulang malam, kan?"

Pria dengan seragam sopir itu mengangguk. Ia memang akan pulang malam karena masih harus mengantar majikannya lagi ke kantor.

"Oke. Pinjem ya, pak?"

Tanpa menunggu respon sang sopir, Ardan langsung melajukan motor bebek itu dengan kecepatan tinggi. Itu membuat Pak Yono semakin khawatir.

*****

"Lo lagi yang dateng?" Geo menghela napas setelah melihat Ardan dengan tempat makan dan botol minum ada di kedua tangannya. Pemuda itu meringis lebar dan berdiri seperti orang bodoh.

"Gak boleh, emang?" Tanya Ardan. Ia berdiri 1 meter jaraknya dengan saung yang sedang diduduki oleh Geo. Dirinya belum berani mendekat, sebelum Geo mengizinkannya.

Kemarin, dirinya datang dan mengantarkan makanan. Harusnya ia langsung pulang begitu makanan sudah diterima Geo. Hanya saja, Ardan sengaja tetap berada di sana.

Meski canggung dan tidak ada pembicaraan diantara mereka, Geo sama sekali tidak mengusirnya.

Sampai akhirnya, Ardan membuka percakapan untuk memecah kesunyian di antara mereka berdua.

"Gue...minta maaf."

Geo yang saat itu sedang menikmati makanannya, langsung berhenti dan memandang Ardan yang duduk di ujung saung dengan ekspresi menyesal.

"Lo selama ini jauhin gue karena marah atas kejadian itu, bukan?" Lanjut Ardan, "gue minta maaf udah bikin lo celaka."

Geo tetap diam. Ia kembali memasukkan sesuap nasi dengan sendok dan menelannya. Geo seakan-akan tidak terlalu memusingkan ucapan Ardan tadi.

"Sekarang... gue bisa deket sama lo lagi? Kayak dulu."

Anak IPS itu meminum air putih yang ada di botol mineral besar itu. Setelah dirinya sudah tidak mengunyah, Geo bersuara, "sejak awal juga gue gak marah sama lo."

Kedua mata Ardan membulat. Secara refleks, posisi duduknya ia dekatkan ke Geo, "eh? Tapi lo –"

" –William ngelarang gue deket-deket sama lo. Pasti udah tahu, kan? Waktu lo diusir sama William saat jenguk gue, lo pasti udah tahu alasan gue jauhin lo."

Ardan tidak menutup mata. Ia memang sudah menduga bahwa Geo menjauhinya karena permintaan adik sepupunya, bukan kemauannya sendiri.

"Ya. Gue udah tahu. Tapi, Ge..." Jeda sejenak, Ardan menatap Geo, "lo lebih tua dari William, dan dia gak ada hak ngelarang lo deket-deket sama siapapun."

"Gue menghormati William. Dia keluarga gue. Dia melakukan itu juga buat melindungi gue –itu cara terbaik William."

Mendengar penjelasan itu, Ardan menghela napas. Kedua bola matanya menatap nanar ke langit-langit kebun tersebut, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Gue gak bermaksud jauhin lo, Dan." Ucap Geo lagi. Dan itu sukses membuat si atlet basket menoleh ke arahnya.

"Gue tahu." Ia mengulurkan tangan kanannya ke arah Geo, "boleh kita baikan sekarang? Jangan bersikap dingin lagi ke gue."

Geo belum juga meraih tangan Ardan. Pemuda itu masih terlihat ragu dan beberapa kali tangan kanannya hendak terangkat, tapi diturunkan lagi.

"Jika memang William belum menerima gue, gak apa-apa. Gue bakal jaga jarak sama lo. Tapi please, sekarang kita baikan, ya?" Ardan masih berusaha untuk bernegosiasi dengan Geo. Ia sudah sangat lelah melihat hubungan mereka yang dingin sejak bulan kemarin.

"Baiklah." Dengan senyum tipisnya, Geo akhirnya menyambut jabat tangannya. Ardan pun tersenyum dengan lebar ketika permintaan maafnya diterima.

Kembali ke masa sekarang, di mana Ardan masih berdiri di depan saung dan Geo yang memandangnya dengan dingin.

"Ya udah sini buruan. Gue laper." Bukan Ardan yang mendekati Geo, tapi anak IPS itu yang turun dari posisi duduknya di saung dan menghampiri Ardan untuk mengambil tempat makan dan botol minum di kedua tangannya.

"Nah, gitu, dong."

"Lo mau makan juga?" Tanya Geo sembari memisahkan tumpukan kotak makan itu. Ada nasi dengan porsi banyak, beragam lauk yang menurut Geo sangat enak.

Dia jadi penasaran, apa tidak masalah bila seorang pekerja seperti dirinya diberi makanan seenak ini?

Ardan mengeluarkan dua gelas di tas ranselnya dan menuangkan air ke dalam dua gelas tersebut, "ya. Gue ikut makan di sini." Jawabnya dengan lengkung senyum yang belum hilang dari wajahnya.

"Tidak ada wadah lagi." Geo mencoba mencari wadah lain yang kosong untuk menjadi tempat makan Ardan.

"Oh, tidak masalah." Ardan mengatakan itu sambil mengambil wadah makan yang ada di tangan Geo dan menambahkan nasi dan lauk lagi.

"Hey –"

" –kita makan barengan. Gue ada sendok lagi, kok."

Setelah menambahkan lauk, Ardan mengambil sendok yang sudah terbungkus dengan plastik di tasnya.

Geo hanya geleng-geleng kepala atas kelakuan Ardan. Ia sama sekali tidak protes dengan tindakan Ardan.

Lagi pula, jika ia memakan semua makanan tersebut, ia tidak akan bisa menghabiskannya. Lebih enak makan bersama, jauh lebih nikmat, bukan?

Selama mereka makan dengan satu wadah yang sama, tidak ada yang berbicara.

Sesekali Ardan yang menawari Geo untuk nambah nasi atau lauk lagi, tapi ternyata Geo menolak –katanya akan sulit melanjutkan kerjaan jika perut terlalu kenyang.

Waktu makan menghabiskan waktu 30 menit sambil beristirahat. Setelah itu, Geo beranjak dari duduknya dan kembali bekerja.

"Mau gue bantuin, Ge?" Tidak enak juga bila Ardan hanya duduk-duduk saja, sementara Geo malah sibuk kerja.

"Gak usah. Nanti gue makan gaji buta. Lagian juga tinggal motong-motongin bagian tanaman yang udah kering mati."

Lalu Geo melihat ke arah tas Ardan yang menampakkan buku-buku di dalamnya.

Ia lalu kembali berkata, "ada baiknya lo belajar. Pasti lo ke sini pamitnya mau sambil belajar, kan?"

Geo masih ingat ayahnya Ardan yang menceritakan anak bungsunya sedang senang belajar. Ayahnya terlihat bangga dan tidak ada aura negatif seperti awal ia bertemu dengannya waktu itu.

Pak Indra tidak mengizinkan anak bungsunya ke sini bila tidak sekalian belajar.

Terlihat sekali Ardan mengeluh kesal, "iya...iya..." Jawab sang atlet basket dengan ogah-ogahan sambil mengeluarkan buku-bukunya.

"Lo bisa ngajarin gue MTK, Ge?"

Geo yang sedang memeriksa pohon mangga di dekat saung, langsung menoleh ke arah Ardan, "gue 'kan IPS. Macem mana pula ngajarin MTK IPA?"

Pemuda jangkung itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal –sebenarnya ia hanya malu saja karena matematika IPA dan IPS memang berbeda.

"Bener juga."

"Tapi gue bisa ngajarin dasar-dasarnya kalau lo mau."

Lengkungan di bibir Ardan langsung terangkat ketika mendengar itu. Ia mengangguk dengan semangat.

"Tapi nanti, gue selesaiin ini dulu."

Dan Ardan kembali mengangguk. Dia tidak tahu, belajar akan semenyenangkan ini.

****

Hari berikutnya, Ardan juga kembali datang ke kebun sambil membawa makanan dan belajar dengan sedikit-sedikit diajari Geo.

"Kamu tahu passive voice, gak?" Tanya Geo yang saat itu sebenarnya sudah lelah, tapi Ardan meminta diajarin bahasa Inggris.

Ardan yang ditanya seperti itu, hanya menggeleng, "gak. Emang itu apaan?"

Geo menepuk dahinya dan ia menghela napas dengan keras, "padahal ini sudah pernah diajarin waktu SMP."

"Oh ya?" Ardan mengatakan itu dengan wajah super polos –atau bodoh? Entahlah. Pada akhirnya, Geo mengajarinya juga.

"Passive voice itu kata kerja yang pake di untuk awalannya..." Geo menuliskan rumus passive voice dan contoh yang mudah agar Ardan dapat memahaminya.

"Oh...iya...iya... gue inget."

Setelah Ardan kembali belajar, Geo mulai menyapu kebun tersebut karena dirinya habis memangkas daun-daun kering yang ada di tanaman sebelah utara.

"Gue mau pulang lebih awal, boleh?" Geo ingin membantu William untuk mendaftar sekolah secara online. Anak itu berniat ingin mendaftar ke sekolahnya, jadi Geo mau tidak mau membimbing pendaftarannya. Lagi pula, dia OSIS.

"Boleh." Ardan melihat jam di ponselnya, "pulang jam berapa?"

"Sekarang." Saat ini sudah jam 2 dan besok sudah memasuki hari Sabtu. Dirinya akan ada rapat OSIS dan tidak bisa datang.

"Baiklah. Mau gue anterin?"

Alis Geo naik, "lo lupa ya –"

" –ah iya...iya." Ardan langsung memotong ketika ia baru ingat bahwa di rumah Geo ada William.

"Ya udah. Gue balik ya. Bawain sekalian alat-alat ini ke rumah. Pamitin ke ayah lo."

Ardan yang masih memegang buku paket, hanya bisa terdiam melihat Geo yang cuci tangan di kran dekat saung dan membawa tas di punggungnya.

"Bayaran hari ini kagak lo ambil?"

"Gue udah minta ayah lo buat transfer aja daripada gue bolak balik ke rumah lo."

"Oh." Respon Ardan singkat, "hati-hati lo."

"Hm. Gue besok gak ke sini. Lo jangan ke sini." Siapa tahu Ardan tidak tahu, jadi Geo mengabarinya. Dan sang atlet basket hanya mengangguk.

Geo keluar dari area kebun tersebut dan menuju jalan besar. Ia mungkin bisa saja menggunakan ojek online untuk cepat sampai ke rumah, tapi dirinya sayang dengan uang.

"Kalau ada promo, sih, lumayan. Ini kan lagi gak ada promo."

Geo menyipitkan matanya karena matahari yang terik. Dirinya mencoba tahan dengan panas tersebut, sebab sebentar lagi ia berada di halte.

Beruntung, area perumahan mewah ini masih ada pohon-pohon di tepi jalan, jadi Geo tidak sepenuhnya kepanasan.

TIIIN –

Anak redaksi itu terjingkat kaget ketika mendengar suara klakson mobil, disusul dengan adanya mobil sedan dari arah belakang, berhenti di sampingnya.

"Geo?"

Remaja 16 tahun itu sedikit kaget melihat seorang pria yang sangat ia kenali, kini memanggilnya.

"Eh, kak Rayan."

Sang mahasiswa menurunkan kaca mobilnya lebih lebar lagi dan melihat ke kanan dan ke kiri, Rayan hanya memastikan, apakah Geo sendirian atau bersama orang lain.

"Ngapain kamu di sini? Panas loh ini."

"Habis kerja di kebun ayahnya kak Rayan." Jawabnya tanpa ragu. Lagipula, apa yang harus ditutupi?

Rayan tidak merespon dalam beberapa detik, tapi setelah itu kedua mata yang ada di balik lensa itu terbelalak, "oh...jadi kamu yang ngurus kebun untuk 2 minggu ini?"

Dengan malu-malu, Geo mengangguk. "Iya, kak." Lalu ia tersenyum kikuk.

"Sekarang mau pulang?"

Geo mengangguk untuk merespon pertanyaan dari pria berkacamata itu.

"Yuk ikut kakak aja."

Geo tidak langsung setuju. Ia tidak bisa menerima tawaran ini begitu saja karena William ada di rumah. Ia tidak ingin adik sepupunya tahu kalau dirinya masih berhubungan dengan keluarga Ardan.

"Ah, tidak usah, kak."

"Loh, kenapa? Kakak bisa ke kampus lewatin kompleks rumahmu."

Duh..

Geo bingung bagaimana menjelaskannya. Meski Rayan tahu alasannya dia menolak, tapi enggan juga jika mengutarakan hal itu berkali-kali sebagai alasan untuk menolak.

"Uh...aku mau mampir-mampir dulu setelah ini. Jadi, kak Rayan berangkat saja ke kampus."

Terlihat sekali jika mahasiswa itu tidak senang dengan penolakan Geo. "Yakin?"

Geo mengangguk dengan mantap. Ia saja menolak ajakan Ardan, masa dirinya harus menerima ajakan dari Rayan? Harus adil, dong!

"Ya udah. Hati-hati, ya.."

Berbeda dengan Ardan yang memiliki garis muka keras dan minim ekspresi, Rayan memiliki ekspresi yang sangat lembut dan ramah. Meski ia menolak ajakannya, Rayan tetap tersenyum dengan lembut.

"Hati-hati, kak." Ucap Geo ketika sang mahasiswa mulai menutup kaca mobilnya dan mulai menyalakan mesin. Mobil sedan itu pun akhirnya pergi dan hilang dari pandangannya.

Geo menghela napas, kini dia harus berjalan lagi untuk bisa sampai ke halte dan menunggu bus di sana.

****

Sabtu, Minggu hingga Senin, Geo tidak berangkat ke kebun milik pak Indra.

Anak IPS itu minta izin pada ayah dua anak itu, bahwa dirinya ada rapat OSIS untuk persiapan penerimaan siswa baru. Jika pun bisa berangkat, hari Selasa dan itu siang hari.

Ardan tidak tahu sama sekali mengenai ini, karena Geo tidak membalas pesannya.

"Katanya Cuma libur Sabtu. Kenapa sampai hari ini belum berangkat lagi?"

"Lagi ngomongin siapa? Kok ngoceh sendiri?"

Kepala Ardan terangkat dari layar ponselnya dan menemukan sang kakak yang sudah berdiri di dekat sofa ruang tengah –tempat dia sedang duduk.

"Enggak." Lalu Ardan berbalik memunggungi kakaknya. Ia tidak ingin kakaknya tahu kalau dirinya sedang mencari Geo.

"Nyari Geo?"

Mendengar itu, Ardan langsung kembali membalikkan badannya dan menatap kakaknya dengan pandangan penasaran.

"Dari mana lo tahu Geo kerja di sini?"

Rayan terkekeh dan duduk di samping sang adik. Ia mengacak-acak rambut remaja itu. "Jumat kemarin kakak liat dia keluar dari kebun kita."

Jumat...

Ah, hari di mana Geo meminta izin untuk pulang lebih awal. Tapi sekarang sudah Selasa, dan anak itu sama sekali tidak ada kabar.

"Gue juga pengin nemenin Geo kerja di kebun kalau dia berangkat."

Alis sebelah Ardan terangkat tinggi. Ia menjauhkan dirinya dari sang kakak dan mendengkus keras, "lo...masih ada niatan deketin Geo?"

"Kenapa? Takut kesaing?"

Hati Ardan mencelos. Kesaing? Memang ini lagi perlombaan, sampai-sampai ada persaingan?

"Kesaing apaan?!" Ardan terlihat sangat gugup, "ngaco lo kak."

Rayan memang tidak mendengar sendiri dari mulut Ardan bahwa sang adik tertarik dengan Geo. Tapi dari sifatnya yang ia lihat sejak kecelakaan, ia sudah menduga bahwa adiknya ini memiliki ketertarikan khusus pada Geo.

"Ya, sudah. Berarti kakak bebas, dong deketin Geo."

"Ya gak boleh, lah! Gila lo, kak!" Setelah mendengar ucapan yang diutarakannya sendiri, Ardan menyesali kebodohannya dan menutup mulut dengan tangannya.

Sementara itu, Rayan sudah terkekeh semakin kencang mengetahui adiknya ini sudah kepalang basah jika ada rasa cemburu padanya.

"Apa hak lo larang-larang kakak?"

"Geo masih di bawah umur. Hati-hati lo, kak!"

"Ya udah." Ucap sang kakak, lalu ia meneruskan ucapannya, "kakak tunggu Geo sampai umur 18 tahun. Dua tahun lagi, kan?"

"KAK –"

Ardan hendak memukul kakaknya. Tapi sang mahasiswa sudah berdiri lebih cepat dan naik ke lantai dua sambil tertawa mengejek sang adik.

"Awas aja lo, kak."

Awas aja... Memang Ardan mau ngapain jika sang kakak mendekati Geo secara terang-terangan?

Dengan frustasi, Ardan mengacak-acak rambutnya dan melemparkan tubuhnya untuk terlentang di sofa empuk itu.

"Mas Ardan."

Suara asisten rumah tangga menggema dari dapur hingga ruang tengah. Secara otomatis, Ardan beranjak dari sofa tersebut dan berjalan ke arah dapur.

"Ya, bi?"

"Mas, gak ke kebun?"

Ardan memasang wajah kurang suka dengan pertanyaan asisten rumah tangganya itu.

"Gak. Geo 'kan libur."

"Eh?" Terlihat jika wanita tua itu kebingungan, "tapi tadi Bapak udah bilang ke bibi kalau Geo berangkat, kok."

Ardan melihat jam di ponsel yang ia genggam sejak tadi. "Sudah pukul 2 siang. Biasanya dia berangkat 'kan jam 10 pagi."

Wanita dengan rambut penuh uban itu justru bertambah bingung, "bapak bilang Selasa ini Geo berangkat, kok. Memang sorean karena paginya ada rapat OSIS katanya."

Ah...

Ardan ingat. Fauzan juga hari ini ada rapat. Ia chat di grup semalam. Berarti benar kalau Geo berangkat hari ini.

"Bi, mana makanannya?"

"Tuh di meja dapur. Bibi gak bawa banyak, karena udah sore –MAS!"

Ardan tidak mendengar teriakan sang asisten rumah tangga. Ia berlari ke dapur untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan oleh wanita paruh baya itu.

"Bi, aku bawa makanannya!" Teriak Ardan dari arah dapur. Ia tidak berganti baju atau membawa buku seperti biasanya. Ardan hanya menggunakan kaos jersey dan celana basket.

"Mana kunci motor pak Yono?"

Ardan nyengir lebar ketika melihat kunci motor Pak Yono tergantung di tembok dekat TV belakang.

Segera saja ia mengeluarkan motor bebek tersebut dan melajukannya menuju kebun.

"Geo!"

Pemuda manis itu menoleh ke belakang dan melihat Ardan datang tergopoh-gopoh dengan kedua tangannya yang membawa tempat makan dan botol air mineral besar.

Geo menghela napas, karena dirinya sengaja tidak memberitahu Ardan, justru anak itu tetap ke sini.

"Lo lagi..." Keluhnya. Ia beristirahat sejenak, setelah memberikan pupuk ke beberapa pohon di sana.

"Kayak gak seneng banget gue ke sini." Ternyata Ardan merasa tersnggung karena sambutan dari Geo tidak ramah.

"Ya...bukan begitu, sih. Cuma kayak gak selesai-selesai gitu kalau lo dateng."

Mendengar penjelasan tersebut, Ardan berdecak sebal. Ia menaruh barang bawaannya ke saung dan duduk di sana.

"Lancar rapat OSISnya?"

Geo tidak langsung menjawab, ia sibuk membersihkan tangannya yang bau pupuk kandang.

"Fauzan yang kasih tahu gue kalau kalian semua ada rapat OSIS buat persiapan siswa baru." Sambung Ardan tanpa menunggu jawaban dari Geo.

"Ya, memang." Respon Geo singkat. Remaja manis itu mendudukkan dirinya ke saung, "sebenernya gak perlu bawa makanan. Tadi gue udah makan di rumah."

"Ya...bawa aja nanti makanan ini ke rumah lo." Jawab Ardan enteng.

"Mana mungkin..." Tangannya terulur ke tempat makan untuk membuka lauk yang dibawa oleh Ardan. Ia tersenyum senang ketika lauk yang tersaji ternyata sambal ati –makanan kesukaannya, "wah...sambal ati."

"Lo suka sambal ati?"

Geo mengangguk, "banget."

Melihat Geo yang tersenyum senang, Ardan jadi ikut menyunggingkan senyum. "Makan aja. Gak apa-apa kalau lo Cuma mau makan lauknya."

Tanpa disuruh pun, Geo sudah membuka kotak makanan tersebut dan mengambil kotak paling atas, di mana di situ ada sambal ati yang kelihatannya sangat menggiurkan.

Sebelum ia menyantapnya, tiba-tiba teringat sesuatu, "oiya, Dan."

"Apa?"

"Gue lupa kemarin bilang ini ke elo."

Ardan bertambah penasaran dengan apa yang akan Geo sampaikan padanya, "memang ada apa?"

"William bersekolah di Mulya Dharma." Geo menghela napas, "jadi meski kita udah baikan, lo tetep jaga jarak sama gue di sekolah."

Wajah Ardan tetap datar setelah mendengar pernyataan itu dari mulut Geo. Ia juga tidak tahu harus merespon apa tentang berita ini.

"Terus, gue pura-pura masih musuhan sama lo?" Tanya Ardan setelah berhasil bangun dari lamunannya.

Geo pun mengangguk untuk merespon pertanyaan dari Ardan.

Sang atlet basket tersenyum miris dengan kedua matanya yang menatap nanar, "mana bisa gitu..."

"Bisa."

Geo melihat ke arah Ardan dan ia berkata, "gue bakal berusaha bikin William mau maafin gue dan bisa deket lo lagi di sekolah."

Geo menatap Ardan tidak percaya. Pemuda yang ada di depannya memang selalu memegang janjinya. Tapi yang ditakutkan Geo, kemungkinan besar adik dan temannya ini akan sering ribut.

"Astaga..." Geo tidak tahu harus berbuat apa setelah nanti mereka berangkat sekolah.

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top