Ch 22; Forgive and Made Up

"Pengambilan raport hari ini, siapa yang datang, Ge?"

Damar yang sedang memakan pilus, melirik ke arah Geo dengan penuh rasa penasaran. Saat ini, mereka berdua ada di lapangan basket dan duduk di pinggiran.

Kelas sudah ditata untuk kedatangan wali murid yang nanti akan mengambil raport, jadi bagi para siswa tidak boleh masuk. Alhasil, kedua sahabat ini terdampar di lapangan basket.

"Tante Hana."

"Oh." Respon pemuda tinggi itu. Lalu ia kembali berkata, "emang Tante Hana tidak ambil raport dua adek lo?"

"Ya mereka berdua kan satu sekolahan. Mudah saja ambil secara langsung. Habis itu, tante baru ke sini."

"Berarti siangan?"

Geo melihat jam yang ada di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah banyak wali murid yang datang mengambil raport, tapi tante Hana belum kelihatan sama sekali.

"Ya." Jawab Geo lemas, "lagi pula, batas waktunya sampai nanti jam 2 siang. Santai saja."

"Benar." Damar melempar bungkusan pilus itu ke dalam tong sampah yang ada di dekat mereka, "punya gue nanti diambil sama bokap."

"Ibu lo gak ambilin?"

Damar menggeleng, "bagi tugas. Dia ambil raport adek gue di SD."

"Oh.." Benar juga. Damar memiliki seorang adik yang masih duduk di sekolah Dasar. Biasanya pengambilan raport di SD akan memakan waktu lama karena ada sesi bimbingan dulu dengan wali kelas.

Andai saja pamannya bisa kerjasama, mungkin tante Hana tidak akan capek-capek datang ke sini untuk mengambil raport Geo.

Bahkan Geo mungkin akan mengambil raportnya sendiri jika memang diperbolehkan. Sayangnya, sekolah ini tidak mengizinkan siswanya mengambil raport tanpa seorang wali.

"Lo mau ke mana?" Damar bertanya pada Geo yang tiba-tiba berdiri dan menepuk-nepuk celananya dari debu.

"Ruang osis."

"Ngapain? Di sana kosong pula."

Geo memutar bola matanya bosan, "ya...mau ngapain juga terserah aku, lah."

"Kurang kerjaan."

"Ya, emang!"

Damar berdecih kesal, tapi membiarkan Geo pergi dari lapangan basket. Tapi sedetik kemudian, mulut Damar menganga begitu di pintu keluar, Geo berpas-pasan dengan seseorang yang saat ini sedang memiliki hubungan kurang baik dengannya. Siapa lagi kalau bukan Ardan.

"Wah...bisa kebetulan." Damar menggumam lirih. Ia tidak beranjak dari duduknya dan mencoba melihat reaksi temannya itu yang tidak sengaja bertemu Ardan.

"Eh, Geo." Panggil Ardan dengan suara yang sangat canggung.

Sementara itu, Geo tetap diam dan memasang wajah tanpa ekspresi. Dia memandang Ardan sebentar –dan sempat terkejut pula. Tapi pada akhirnya, Geo menundukkan kepalanya.

"Lo habis main basket?" Tanya Ardan padanya. Ia sebenarnya ragu untuk menanyakan ini, karena pasti Geo tidak akan menjawab.

"Gak. Gue duduk-duduk aja sama Damar."

Tapi tidak disangka, Geo menjawab, meski kedua matanya dialihkan ke arah lain, tapi Ardan sudah cukup lega karena jawaban tersebut.

Ardan lalu menoleh ke belakang, di mana Damar sedang duduk bengong di undakan tribun semen di sana. Begitu melihat Ardan menatapnya, Damar melambai-lambaikan tangannya.

"Permisi, gue mau pergi."

Pintu keluar lapangan basket outdoor memang cukup kecil dan hanya muat satu orang saja. Jika ada orang yang berdiri di depan pintu, tentu orang lain tidak akan bisa lewat.

"Ke mana?"

Ardan tahu, dia terlalu berani hingga menanyakan hal ini pada Geo yang masih belum bisa menatapnya.

"Bisa minggir?" Ulang Geo.

Ah, ternyata masih belum bisa baikan, ya? Ardan membatin dengan perasaan yang miris. Ia hanya menghela napas dan mencoba menggeser tubuhnya.

"Silakan."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Geo melewati pintu tersebut dan tidak menoleh sekalipun pada Ardan yang masih memandangi punggungnya.

*****

"Bagaimana, Yah, nilai Ardan?"

Kedua telapak tangan Ardan berkeringat, kakinya tidak bisa diam, dan napasnya sangat berat ketika menunggu komentar dari ayahnya.

Rayan yang melihat adiknya gelisah seperti itu, memberikan pandangan menenangkan padanya. Sang mahasiswa menyenggol kaki sang adik agar tidak gerak-gerak terus dan mencoba rileks.

Mereka sekeluarga sedang berada di ruang tengah –bersantai, makan camilan dan menonton film di saluran TV berlangganan.

Tapi bukannya menikmati kebersamamaan tersebut, Ardan justru was-was karena sang ayah ingin melihat raport anak bungsunya setelah siang tadi baru diambil bundanya.

Kini, ayahnya itu sedang memeriksa buku raport. Beliau tidak berkomentar apa-apa. Kedua matanya terus bergerak untuk menjelajahi tiap nilai yang tercatat di buku tersebut.

Remaja 16 tahun itu menggigit bibirnya karena gugup. Ayahnya sama sekali tidak bersuara dan itu membuatnya takut.

"Bagus. Ada perkembangan."

"Eh?" Ardan tidak sengaja mengeluarkan suara. Dia kaget dengan komentar ayahnya.

"Bagus, kan?" Ucap sang istri pada suaminya. Wanita itu mencoba membela si bungsu di hadapan pria yang sudah 25 tahun ia nikahi.

"Belum begitu bagus. Tapi cukup ada perkembangan."

Buku raport pun ditutup dan oa letakkan di atas meja ruang tengah. Pria paruh baya itu langsung menatap ke arah anak bungsunya yang duduk berseberangan bersama Rayan.

"Ardan."

"Ya?" Tubuh Ardan sudah mulai tegang ketika suara berat ayahnya terdengar.

"Belajar lagi. Kurangi bermain basket."

Ardan tidak langsung menjawab, "tapi masih boleh kan main basket –" Ucapannya terhenti ketika Rayan menendang kaki Ardan.

"Apa, sih?!" Malah Ardan mendecih tidak suka dengan tindakan kakaknya itu. Ia lalu menoleh ke arah ayahnya, "Ardan janji, kok, Yah. Liburan ini Ardan mau belajar."

"Belajar apa? Emang tahu pelajaran anak IPA kelas 11?"

Ardan kembali mendengkus jengkel ketika kakaknya mulai bersuara, "ya ngulang pelajaran kelas 10 lah. Dasar-dasarnya diperkuat lagi biar lancar ngikutin pelajaran kelas 11."

Mendengar itu, Rayan terdiam sejenak, lalu kedua matanya menatap sang adik dengan penuh rasa bangga.

"Adikku sudah besar." Tangannya terulur untuk memegang kedua pipi Ardan, tapi segera ditepis si pemilik.

"Ck. Apaan sih? Lebay amat."

"Ardan... Rayan..." Ibunya mencoba memperingati kedua anaknya yang justru bercanda di tengah-tengah pembicaraan penting seperti ini.

"Kamu yakin bakal belajar selama liburan?" Ayahnya kembali bersuara dan menatap sang bungsu dengan kedua matanya yang tegas.

"Yakin." Jawabnya tanpa ragu.

"Butuh guru privat lagi kayak waktu itu?" Ayahnya mencoba menawarkan alternatif lainnya. Sebab, guru privat waktu itu cukup kompeten saat mengajar.

"Ah, tidak perlu, Yah. Guru privat buat nanti aja, kalau Ardan sudah di semester 2 di kelas 11."

Pria paruh baya itu menatap anak bungsunya dengan seksama untuk menemukan keganjalan di ekspresinya. Tapi Ardan terlihat sangat yakin dan serius hingga membuat dirinya sulit sekali untuk menolak permintaan anaknya itu.

"Baiklah." Ucap ayahnya kepada Ardan, "Ayah dan bunda akan memantaumu selama liburan."

"Benar, Ardan." Sang ibu ikut menimpali dengan senyumannya yang begitu hangat, "kau boleh sesekali bermain –karena ini liburan –tapi jangan lupa pula dengan janjimu untuk belajar."

"Aku akan bantu membuatkan Ardan jadwal, bun, Yah. Tenang saja." Rayan merangkul sang adik dengan cukup kencang. Ia sangat bangga karena Ardan semakin dewasa setelah insiden waktu itu.

Ia sebagai kakak, berjanji untuk membantu adiknya berprogres ke arah yang lebih baik. Dan tidak membiarkan pula ayahnya memperlakukan adiknya secara kasar seperti waktu itu.

*****

"Gue pengin kerja sambilan selama liburan, Dam." Geo melirik Damar yang sedang main mobile game dengan serius. Remaja itu berdecak keras ketika tahu bahwa temannya tidak mendengarkan dirinya sama sekali.

"Lo gak denger gue ngomong dari tadi, Dam?" Tanya Geo sembari memukul lengan sahabatnya dengan cukup keras.

"Aw –" Damar menghentikan sejenak aktivitasnya hanya untuk memelototi Geo, "denger ege. Gak usah pukul-pukul. Tangan lo keras kayak gebuk maling."

"Sialan."

"Emang lo mau kerja apa?"

Geo yang ditanya seperti itu, berpikir sejenak dan ia bingung mau bekerja apa.

"Gak tahu."

"Lah, malah gak tahu."

Mengabaikan peringatan Damar yang tadi, Geo kembali memukul Damar, "makanya gue cerita ke elo biar bantu nyariin!"

"Ya makanya!" Damar ikutan marah, "lo penginnya kerja apa?"

"Ya...apa kek." Keluhnya. Ia memandang ke sekitaran parkiran minimarket, "kerja paruh waktu di cafe, warung makan, atau kantor –jadi cleaning service, misalnya."

Hari pertama liburan, Geo memang merasa bosan jika di rumah saja. Ia meminta Damar untuk keluar sebentar ke minimarket yang dekat dari rumah mereka berdua agar bertemu di satu titik itu.

Dan sekarang mereka berada. Beli minuman dan snack, duduk di depan minimarket dan mengeluhkan unek-unek mereka –uhm, lebih tepatnya itu Geo.

Damar yang sedari tadi duduk dengan menaikkan kedua kakinya, kini menurunkannya dan mulai duduk dengan benar. Ia melihat wajah Geo yang terlihat bingung dan merasa iba.

"Bentar. Gue cariin di Facebook." Kata Damar sambil scrolling layar ponselnya.

"Jadul amat nyarinya di Facebook."

Damar yang mendengar itu, langsung menaikkan sebelah alisnya –tersinggung. "Jangan sepelekan. Banyak orang-orang pasang loker di Facebook tahu!"

"Masa?" Geo tidak tahu sama sekali. Akun Facebooknya saja sudah ia hilangkan. Menurutnya, media sosial tersebut cukup alay untuknya.

"Iya." Jawab Damar singkat, sementara kedua matanya masih fokus pada layar ponselnya, "ah, nemu satu nih."

"Mana? Mana?" Geo begitu bersemangat hingga kursi besi minimarket ikut bergeser agar mendekat pada Damar.

Remaja jangkung itu mendekatkan ponselnya ke arah Geo, "Ini...ini.." Tunjuknya pada layar ponsel.

Geo membacanya dengan seksama, tapi senyumannya langsung pudar begitu tahu pekerjaan apa yang harus dilakukan pada deskripsinya, "masa tukang kebun. Gue kan gak ada bakat berkebun."

"Ehh –coba dulu." Damar mencoba meyakinkan Geo. "Lumayan, loh ini. Sehari bisa dapet 250ribu."

"Tapi 'kan berkebun."

Damar tidak merespon ucapan Geo. Entah apa yang dilakukan anak itu, tiba-tiba mengirimkan pesan ke kontak Geo.

"Tuh, gue kasih nomor orang yang buka lowongan tadi."

"Dam –" Geo terlihat bingung, "gue 'kan gak mau."

"Apa susahnya tanya-tanya dulu? Kalau gak cocok ya udah."

Sejenak, Geo berpikir bahwa apa yang Damar ucapkan ada benarnya. Memang di deskripsi tidak dijelaskan secara detail tentang kegiatan berkebun yang dimaksud.

Mungkin saja lebih ringan dari yang Geo bayangkan, itu bisa cocok untuknya.

"Gue kirim pesan aja dulu, kali, ya?"

Damar kembali memainkan game mobilenya, tapi anak itu masih mendengarkan ucapan Geo.

"Terserah lo."

*****

Geo akhirnya menerima pekerjaan itu. Ya. Ia jadi menghubungi orang yang membuka lowongan pekerjaan itu.

Bagaimana bisa?

Setelah Geo menghubungi nomor tersebut dan melakukan pembicaraan sebentar, ternyata pekerjaan yang dilakukan tidak seberat bayangan Geo sebelum-sebelumnya.

Memang di deskripsi disebutkan sebagai tukang kebun. Tapi pekerjaan yang dilakukan hanya sekedar membersihkan kebun, mencabut rumput-rumput liar, hingga merapikan tanaman dari parasit. Ya...sekedar itu saja.

Menurut Geo, itu pekerjaan cukup ringan dan dia bisa melakukannya.

Sebenarnya, sang pemilik kebun meminta Geo mengajak teman –kalau ada. Tapi gajinya dibagi menjadi 150ribu per hari.

Tentu saja Geo tidak mau. Dia mau melakukannya sendirian, asalkan 250ribu per hari ada di tangannya.

Setelah setuju dengan bapak-bapak pemilik kebun, Geo diberikan alamatnya. Awalnya, alamat tersebut tidak begitu asing, tapi Geo tidak peduli.

Jadi, di sinilah dia sekarang. Berada di rumah super besar dan berada di daerah perumahan elit. Ia baru pertama kali ke kawasan ini.

Cukup jauh memang. Geo harus naik bus dan angkot untuk mencapai ke alamat ini.

"Hanya dua minggu, Geo. Semangat. Demi uang juga." Gumamnya pada diri sendiri. Ia mulai memencet bel yang ada di gerbang besi berwarna hitam itu.

Hanya menunggu beberapa menit, ada ibu-ibu paruh baya memakai daster membuka pintu gerbang tersebut. Kemungkinan besar, dia adalah asisten rumah tangga di sini.

"Cari siapa, mas?"

Geo terlihat gugup untuk menjawabnya, "Pak Indra." –Nama orang tersebut memang tidak begitu asing. Tapi nnama tersebut sangat banyak di Indonesia, tidak hanya ayahnya Ardan, kan?

"Oh...yang mau beresin kebun, ya, mas?"

Geo mengangguk, "benar, bu."

Wanita itu tersenyum dan membuka gerbang lebih lebar. "Mari masuk, mas. Udah ditunggu sama bapak."

"Oh...ya, bu."

Geo langsung kagum begitu melihat halaman yang begitu rapi. Tapi jelas ini bukan kebun yang akan dia kerjakan. Karena sang pemilik berkata, jika kebunnya beda kompleks dari rumahnya.

Geo datang ke rumah ini hanya untuk bertemu dengan sang pemilik serta diberi tahu tugas-tugas apa saja yang akan dia lakukan nanti.

"Maaf, ya, mas. Lewat belakang saja."

"Oh, iya, bu. Tidak apa." Dirinya tahu diri, ia bukanlah tamu jadi tidak perlu lewat dari depan.

Sampai di dalam, Geo disuruh duduk di ruangan belakang –entah ruang apa, Geo juga tidak tahu. Tapi di sana ada banyak helm dan perlengkapan tukang. Mungkin gudang atau tempat istirahat asisten rumah tangga.

"Mari, mas. Bapak suruh ke ruang tengah."

"Oh. Baik." Geo berdiri dan mengikuti sang asisten rumah tangga untuk menuju ke ruang tengah.

Sang pemilik rumah terlihat duduk sambil memainkan ponselnya dengan posisi duduk membelakangi, jadi Geo belum tahu wajahnya.

"Permisi, pak –"

Betapa kagetnya Geo, ketika ia duduk berhadapan dan pria yang sedari tadi ia cari adalah ayahnya Ardan.

Harusnya ia tahu dari alamat dan juga nama dari orang yang pasang iklan. Kalau sudah begini, Geo mau bagaimana?

Tapi...

Kenapa pria paruh baya itu terlihat tidak terkejut dengan kedatangan Geo?

"Ah, benar. Ternyata itu kamu."

Geo ingin membalas perkataan ayahnya Ardan, tapi dirinya sulit untuk mengeluarkan suaranya. Jadi dia hanya diam dan duduk sesopan mungkin.

"Ketika nomormu masuk untuk melamar pekerjaan ini, sebenarnya saya sudah tahu kalau itu kamu, Geo."

"Bagaimana bisa –" Geo langsung menghentikan kalimatnya ketika nada bicaranya dirasa kurang sopan, "maksud saya, bagaimana bapak tahu itu nomor saya?"

"Saya menyimpan nomormu setelah kecelakaan itu."

Oh... pantas saja ayahnya Ardan terlihat tidak terkejut ketika melihatnya tadi.

Tapi tunggu. Itu berarti dirinya diperbolehkan untuk bekerja di sini dan mengabaikan kejadian waktu itu?

"Jadi...saya boleh bekerja di sini, pak?" Geo bertanya dengan hati-hati agar tidak menyingging.

"Lah, kamu disuruh datang ke sini memang untuk apa?"

Di dalam hatinya, Geo mengutuk dirinya sendiri. Dirinya sungguh bodoh. Tentu saja alasan dia di sini karena sudah diterima bekerja, dasar bego!

"Ah, iya, pak. Maaf."

Geo mengira, ayahnya Ardan akan mengungkit kejadian yang telah lalu. Tapi sepertinya tidak.

"Kerjaanmu nanti hanya membersihkan kebun saja. Seperti mencabut ruput, menyingkirkan parasit dari tanaman atau menggunting bagian tanaman yang telah mati."

Pak Indra menjelaskan pekerjaannya dengan detail tentang apa-apa saja yang akan dilakukan Geo nanti.

"...kamu tidak perlu menggunakan cangkul. Itu terlalu berat untukmu. Cukup bawa gunting kebun, pisau, clurit dan lainnya. Ambil saja di belakang." Jelas pak Indra pada Geo.

"Baik, pak."

"Jam kerjamu antara pukul..." Pak Indra melihat jam dinding yang ada di atas TV, "jam 10 pagi sampai maksimal jam 4. Jangan terlalu sore. Jika jam 3 sudah lelah, pulang saja."

Mendengar itu, Geo merasa lega karena jam kerjanya tidak terlalu lama dengan beban pekerjaan yang tidak terlalu berat.

"Baik, pak." Geo tentu saja setuju. Kapan lagi, kan, dia dapat pekerjaan yang tidak terlalu berat tapi gaji per hari cukup besar.

"Ini langsung ke kebun, pak?"

Pak Indra belum menjawab, pria paruh baya itu kembali sibuk dengan ponselnya setelah ada notifikasi masuk. Jadi, Geo menunggu saja.

"Oh, ya." Jawabnya setelah menyimpan ponsel ke kantung, "nanti supir saya yang akan mengantar. Dekat, kok. Hanya 10 menit jalan kaki dari sini."

"Baik."

Geo hendak berdiri, tapi tiba-tiba ayahnya Ardan memanggilnya dan membuat remaja 16 tahun itu kembali duduk.

"Geo, sebelumnya om minta maaf, ya atas kejadian waktu itu. Sudah sembuh sakitnya?"

Oh...

Geo kira, Pak Indra tidak akan membahas hal ini, mengingat ayahnya Ardan terlihat kaku, sama seperti pamannya di rumah.

Dengan senyum ramah, Geo menjawab, "sudah, pak. Sudah gak ada yang sakit lagi."

"Syukurlah." Ucap pria tersebut. Meski wajahnya kaku, tapi ada kelegaan yang terlihat di ekspresinya, "nanti menjelang makan siang, akan ada yang mengantar makanan. Jadi, kamu jangan jajan, ya."

Kedua mata Geo membulat. Ia seperti mendapat lotere dengan perlakuan baik dari ayahnya Ardan.

"Terima kasih, pak –eh, om." Geo mengoreksi panggilannya karena tadi pak Indra pun menyebut dirinya ke Geo dengan panggilan 'om'.

Tapi ngomong-ngomong, kenapa rumah ini sepi sekali? Ke mana Ardan dan kak Rayan?

Bukan.

Ini bukan karena ia ingin bertemu dengan Ardan. Hanya saja, anak itu tidak terlihat sama sekali padahal saat ini sekolah sedang libur.

Kalau kak Rayan kemungkinan kuliah, karena jadwal universitas tidak mungkin sama dengan anak sekolahan.

"Kamu mencari Ardan?" Suara Pak Indra menghempaskan lamunan Geo. "Ardan sedang belajar di Workspace dekat sini. Dia lagi senang belajar."

Ucapan dari pak Indra terlihat sangat bangga ketika menceritakan tentang anak bungsunya. Hal itu entah mengapa membuat hati Geo merasa lebih hangat.

Ardan memang tidak pernah menceritakan tentang keluarganya. Tapi ia pernah dengar jika sang ayah begitu tegas.

Namun, setelah melihat ini, Geo tidak yakin ayahnya Ardan galak. Lihatlah! Bahkan pria kaku itu terlihat menyunggingkan senyum ketika menceritakan si bungsu yang sedang rajin belajar.

Geo juga bersyukur. Akhirnya Ardan tidak selalu bermain basket dan mau memperhatikan nilai akademiknya di sekolah.

"Kamu kalau bisa, belajar bareng saja sama Ardan."

"Eh?" Geo terlihat kaget mendengar ucapan dari ayahnya Ardan, "saya IPS, om. Beda jurusan dengan Ardan."

"Oh, begitu." Responnya sedikit kecewa, "om kira sama."

Geo menanggapinya dengan senyum-senyum tipis. Ia lalu berpamitan untuk segera pergi ke kebun dengan membawa beberapa peralatan di belakang.

"Sebentar." Geo yang sudah akan berangkat menuju kebun, tiba-tiba dihentikan sejenak oleh ayahnya Ardan. Mau tidak mau, ia berbalik, "Di kebun panas, pakai ini."

Ternyata pria paruh baya itu membawakan sebuah sarunng tangan yang menutup sampai lengan. Geo mengambil sarung tangan itu dan tersenyum untuk mengucapkan terima kasih.

Ketika Geo berada di kebun, keadaan yang ada di sana sebenarnya tidak terlalu parah. Hanya saja, rumput-rumput liarnya sangat tebal.

Beberapa bagian bahkan sudah membentuk semak belukar. Beruntung Geo tadi membawa mesin pemotong rumput. Jadi, ia tidak terlalu lelah nantinya.

Mesin tersebut dibawa langsung oleh sang supir menggunakan motor. Geo juga diajari bagaimana cara menggunakannya agar bisa tetap aman.

"Sudah paham, dek?" Tanya pria yang berstatus sebagai supir keluarganya Ardan.

"Paham, pak."

"Baiklah. Bapak tinggal dulu, ya? Nanti kalau butuh apa-apa, tinggal WA bapak. Sudah disimpan, kan, nomornya?"

Geo mengangguk, "sudah."

Setelah itu, sang supir pergi dari area kebun dan Geo mulai bekerja.

Ia mengawali kerjaannya dengan menotong rumput-rumput liar dan memangkas semak belukar di sana.

Sesekali, Geo juga beristirahat di saung yang ada di sana. Saungnya sungguh nyaman dan bersih. Pasti ayahnya Ardan sering ke sini ketika panen buah dan sayuran di sini.

Tidak ada tugas untuk memberikan pupuk hari ini, jadi Geo bersantai. Kemungkinan pemberian pupuk bisa nanti setelah kebun ini bersih.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Matahari sudah sangat terik seperti ada di atas kepalanya langsung.

Beruntung tadi ia membawa topi dari rumah, sehingga kepalanya terjaga dari terik matahari yang begitu menyengat.

Napasnya sudah cukup berat setelah melakukan banyak pekerjaan dalam beberapa jam yang lalu.

Meski sewaktu-waktu ia beristirahat, dengan cuaca sepanas ini, memang cepat sekali lelah.

"Istirahat dulu mungkin bisa balikin tenaga."

Ah, Geo ingat. Kata Om Indra, menjelang makan siang, akan ada orang yang mengantarkan makanan ke sini.

"Apakah nanti Pak Yono yang ke sini?" Yono adalah supir Pak Indra yang tadi membantunya membawakan perlengkapan perkebunan.

Geo meminum air yang ia bawa sendiri menggunakan tumbler stainless steel. Beruntung bahwa tumblernya bisa menjaga suhu dengan baik, sehingga airnya masih dingin.

"Ahhh...panasnyaaaa" Keluh Geo dengan sesekali mengipasi tubuhnya dengan topi yang ia bawa.

"Geo?!"

Tubuh remaja 16 tahun itu kaku begitu mendengar sebuah suara yang sangat ia kenali.

Secara perlahan, Geo memutar tubuhnya untuk lihat ke sumber suara. Dirinya memang duduk membelakangi akses masuk kebun –karena saungnya dibuat seperti itu. Jadilah Geo tidak tahu ada orang tiba-tiba yang datang.

Begitu ia memutar tubuhnya, kedua mata bulat Geo membulat ketika melihat Ardan yang sedang berdiri, menggunakan kaos tanpa lengan dan celana sebatas lutut.

Tangan kanannya membawa tempat makan susun dan air mineral 1,5 liter yang terlihat dingin. Sementara tangan kirinya sedang memegang es cekek.

Sebenarnya Geo hendak tertawa melihat penampilan Ardan saat ini. Bagaimana bisa seorang atlet basket yang selalu nampak keren, sekarang tampilannya seperti bocah kompleks biasa.

Tentu saja Geo tidak akan tertawa. Dirinya masih bersikap dingin pada Ardan! Untuk itulah, anak IPS itu hanya terdiam sambil terus memandang sang atlet basket.

"Jadi lo yang kerja ngurus kebun bokap gue?"

Geo tidak langsung menjawab, tapi beberapa detik kemudian, ia mengangguk, "Ya. Aku orangnya."

Ardan tidak tahu harus senang atau tidak dengan keberadaan Geo yang sekarang berada di dekatnya. Tapi ini benar-benar plot twist yang tidak ia duga sama sekali.

Tbc


A/N : Saya masih membuka comission ya. Kalau masih ada yang mau request comission, bisa hubungi nomor autor di 085156494198.


Arigaatchu~ :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top