Ch 18; I Miss You. I Really Do
Happy Reading!!!!
.
.
.
Ardan sungguh sangat penasaran dengan keadaan Geo saat ini. Dirinya sama sekali tidak mengetahui kabar Geo setelah ia mengantarkannya ke ruang perawatan malam itu.
Baik bunda dan ayahnya sama sekali tidak mau memberitahunya. Apalagi sang ayah. Dia tanya, langsung dimarahi dan mengungkit-ungkit kesalahannya yang membuat anak orang lain celaka.
Tidak ada yang bisa dimintai bantuan untuk mengetahui kabar terbaru dari Geo.
Ia masih belum bisa ke rumah anak redaksi itu. William sangat marah padanya karena sudah mencelakai kakak sesepunya.
Sementara jika ia nekat datang ke sana pun kondisi fisiknya masih belum begitu sehat. Kaki dan tangannya masih sakit dan dirinya sudah dilarang naik motor oleh ayahnya.
Dirinya juga tidak tahu nantinya ke sekolah mau naik apa, karena belum bisa bawa motor. Alternatif paling tepat, menggunakan kendaraan umum atau pesan ojek online.
Tapi jangan sampai dirinya diantar oleh kakaknya seperti pada saat SMP.
No Way!
Ini hari ketiga setelah kecelakaan. Ardan sudah sangat rindu dengan Geo.
Sebelum ini juga dia sering sekali ke kelas anak itu –dengan niat ingin melihat wajah anggota OSIS tersebut.
Entah apa yang ada di pikiran Ardan, memang ketika melihat wajah Geo, dirinya menjadi tenang dan ingin selalu bersamanya.
Ia menghela napas gusar dan mencoba duduk dengan bersandar pada kepala ranjang.
"Gue pengin banget ketemu Geo." Gumamnya. Tapi dirinya masih sakit seperti ini. Sangat sulit jika ke sana dengan kondisi seperti ini.
"Dek."
Ardan tersentak kaget ketika ibunya tiba-tiba membuka pintu kamar tanpa mengetuk dulu.
"Ya?"
"Fauzan sama Daren datang menjenguk, nih."
Sebelah alis remaja 16 tahun itu terangkat heran. Ia melihat ke arah jam dinding yang tepat terpajang di hadapannya.
Sekarang masih pukul 11 siang. Bagaimana bisa Fauzan dan Daren datang mengunjunginya?
Ah...pasti bolos. Batinnya.
"Disuruh masuk aja, bund."
"Oke."
Beberapa detik kemudian, dua orang yang sangat Ardan kenali, menerobos masuk ke kamarnya dan langsung menutup pintu.
"Si brengsek enak betul kagak masuk sekolah. Ongkang-ongkang di kamar gini."
Tentu saja itu ucapan dari Daren yang asal ceplos. Bocah gempal itu langsung menempatkan dirinya di ranjang king size milik Ardan dan rebahan di samping sang pemilik.
"Ini babi satu ngapain diajak, sih, Jan?!"
"Lepas dari peternaknya dia." Fauzan menimpali dan membuat Daren langsung menunjukkan wajah kesalnya.
"Eh, kalian bolos, ya? Gimana bisa jam segini bisa pulang sekolah?"
Daren terbatuk saat mencoba mengambil kue yang ada di meja nakas kamar Ardan. "Jelasin, Jan."
"Ada rapat guru. Bahas tryout kelas 12 nanti. Kan bentar lagi mau UN."
Ah....benar juga. Ini sebentar lagi sudah memasuki ujian akhir semester dua dan kenaikan kelas. Dirinya harus segera sembuh untuk mengejar ketertinggalan.
Tapi...
Ardan ada sesuatu yang ingin ia tanyakan kepada kedua temannya ini.
"Heh." Ardan menepuk paha besar Daren, tapi tatapan matanya justru mengarah ke Fauzan.
"Geo udah berangkat sekolah?"
"Oiya benar." Daren bangun dari pembaringannya dan menatap temannya itu, "lo macem mana bisa kecelakaan bareng Geo? Lo diWA diem mulu dah. Kita butuh penjelasan."
Kedua mata Geo memandang Fauzan dan Daren secara bergantian. Ia bingung mau bercerita dari mana dulu.
"Waktu libur panjang kemarin, gue emang ngajak Geo ke pantai. Pake motor gue."
" –wah....tega banget gak ngajak kita-kita." Celetuk Daren. Sementara Fauzan yang tidak banyak omong memang masih menunggu Ardan bercerita.
"Bisa diem dulu, gak?" Daren langsung diam, Ardan kembali bercerita, "pas kita berangkat sebenarnya tidak ada masalah. Tapi waktu pulang, ada mobil yang ugal-ugalan sampe gue kehilangan keseimbangan karena pengin hindarin tu mobil."
"Lalu lo sama Geo jatuh?" Fauzan mencoba menyambungkan cerita. Dan Ardan mengangguk menyetujuinya.
"Gue baru tahu kalau lo sama Geo sudah seakrab ini sampe-sampe liburan berdua." Ucapan Fauzan yang terdengar mengintimidasi membuat Ardan langsung menunduk dan tidak berani memandangnya balik.
"Itu..."
"Ada hubungan apa kalian berdua?"
"Temen, kok." Tukas Ardan. Ia tidak ingin kedua temannya berpikir yang tidak-tidak.
"Jika lo belum tahu, Geo belum berangkat. Ia terkena gegar otak ringan dan dokter menyarankannya untuk istirahat seminggu penuh." Fauzan menjelaskannya dengan menatap Ardan yang langsung kaget.
"Dia...gegar otak?"
"Ringan." Koreksi Fauzan. Dirinya masih bagian dari OSIS –sama seperti Geo, jadi informasi seperti ini jelas sekali dia tahu karena informasi tersebar cepat melalui grup percakapan OSIS.
Tapi... tapi –" Ardan terlihat kebingungan dan sulit berbicara. Ia mencoba menenangkan diri, "tapi dia gak papa, kan?"
"Gak. Dia Cuma istirahat di rumah."
"Wow. Berarti benturannya keras, ya? Geo bisa gegar otak gitu. Tapi lo sehat-sehat aja, Dan."
Ardan tidak menanggapi celotehan Daren. Pikirannya sekarang hanya berfokus pada Geo dan rasa bersalah yang semakin tinggi karena membuat remaja itu mengalami kondisi tersebut.
"Emang Geo gak kasih tahu lo lewat WA atau telepon gitu?"
Ardan hanya menggeleng pelan untuk merespon pertanyaan Fauzan. Ia langsung berpikir bahwa William pasti juga melarang Geo untuk berhubungan dengannya.
****
"Ini lagi..." William melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara tubuhnya ia senderkan pada tiang yang ada di teras.
"Ayolah, Will. Gue Cuma pengin liat Geo, kok. Gak lebih."
"Gak!" Itu ucapan singkat yang membuat Rayan menghela napas pasrah. Dia sudah rela meninggalkan rapat kepanitiaan hanya untuk menjenguk Geo, tapi malah hasilnya seperti ini.
"Tante Hana di rumah?"
"Ngapain lu nyari-nyari bunda gue? Mau nyari pembela? Gak usah, ya!"
Lagian...kenapa dirinya harus datang di jam-jam sore? Tentu saja ketika sore hari, William sudah pulang sekolah.
"Geo lagi apa?"
"Eh, orang ini ngeyel, ya? Masa anak SMP harus mengeja kata kerja P-E-R-G-I pada mahasiswa seperti lo."
Sebenarnya Rayan sudah sangat kesal dengan bocah tengil yang ada di depannya ini. Dirinya ingin sekali memukul kepala remaja itu. Tapi tidak mungkin dirinya lakukan atau Geo akan memusuhinya.
"Ya udah." Rayan mengangkat bungkusan di dalam paper bag yang sejak tadi dia bawa. "Ini untuk Geo. Kali ini, please kasih, ya?"
William menaikkan sebelah alisnya dan belum menerima bungkusan yang diberikan mahasiswa tersebut, "apa itu?"
"Kue. Geo suka manis-manis. Ini bisa menaikkan sedikit moodnya ketika sakit."
"Ah, gak higienis!" Ucap William dengan nada mengejek.
Rayan mencoba bersabar dengan menghela napas keras, "gue beli ini di toko kue paling terkenal se-kota. Tidak mungkin menggunakan bahan asal, adik William."
Dengan ogah-ogahan, William akhirnya menerima bingkisan dari Rayan. "Ya udah. Sana lo pergi."
Kurang ajar...
Dirinya bukan Ardan yang kesabarannya akan langsung habis menghadapi hal seperti ini. Untuk itu, sebelum emosinya meledak, dirinya berbalik dan kembali menuju mobilnya.
Dirinya masuk ke dalam mobil dan membuka ponselnya yang ia atur dengan mode silent.
Kedua matanya langsung terbuka lebar ketika ada pesan dari satu nama yang tidak ia sangka.
Geo...
Ia segera membuka pesan tersebut dan membacanya.
Maaf, ya, kak Rayan. William sedang sensitif. Tadi Geo dengar suara kak Rayan di luar, kok. Kedengeran dari kamar.
Sekali lagi, maaf ya jika William bertindak seperti itu. Dia mungkin trauma melihat aku seperti ini.
Jika ada kesempatan, setelah sembuh nanti akan kuajak kak Rayan makan siang.
Terimakasih bingkisannya. William benar-benar menyerahkannya ke aku kok ^^
Setelah membaca pesan dari Geo, bibir Rayan langsung melengkung dan tersenyum lebar. Ia segera mengetikkan balasan untuk pemuda manis itu.
Aku tunggu ya... ini hutang, loh
Ah, Rayan jadi tidak sabar menunggu Geo segera sehat dan bisa ia ajak makan siang.
Rayan masih tidak tahu, kenapa Geo bisa lama sekali sembuhnya. Ardan saja –si begundal itu sudah masuk ke sekolah hari ini.
Eh, Geo tidak kenapa-kenapa, kan?
Dia ingin sekali mencari tahu tentang kondisi asli dari Geo, tapi mana bisa ia lakukan? William saja galak begitu. Bukan. Rayan bukannya takut pada William. Dirinya hanya mencoba mengalah pada remaja yang jauh lebih muda darinya.
"Geo...tidak kenapa-kenapa, kan?"
*****
"Makasih, ya, Jan."
Fauzan menerima helm yang barusan Ardan gunakan. Anak serampangan kayak Ardan, baru pertama kali ini tidak bawa motor dan nebeng motor matic milik Fauzan.
Biasanya, mana mau anak itu numpang naik motor maticnya. Tipe kayak Ardan, lebih baik naik taksi online daripada nebeng di motor temannya.
Tapi sekarang Ardan seperti kehilangan jati dirinya. Motornya memang sudah diperbaiki, tapi kedua orang tuanya tidak mengizinkan Ardan menaikinya.
Kini, Ardan hanya bisa berangkat ke sekolah diantar kakak atau ibunya. Jika tidak mau, terpaksa menggunakan jasa ojek online.
Hari ini, sepulang sekolah, Ardan memohon padanya untuk mengantarkan sang atlet basket ke sebuah tempat.
Fauzan baru sadar di jalan kalau tempat yang dituju adalah rumah Geo –Ardan mengaku pada saat itu.
Fauzan sebenarnya tidak masalah, ia juga sudah pernah sekali lewat di depan rumah Geo pada saat menemani salah satu anggota OSIS yang mengantarkan Geo setelah rapat sampai malam.
Tapi Fauzan mendengar, pamannya Geo itu sangat galak dan tidak menolerir kedatangan dari teman-temannya Geo.
"Lo yakin, gue gak usah ikut turun dan masuk nemenin lo?"
Ardan menggeleng, "gak usah, Jan."
"Gue di sini aja deh nungguin lo. Ntar gue anter pulang. " Fauzan masih tidak tega jika harus meninggalkan sahabatnya sendirian.
Meski nanti Ardan bisa masuk ke rumah Geo, tapi kaki sahabatnya belum begitu sembuh. Kasihan dia sendirian naik angkutan umum.
"Ada ojek dan taksi online, Jan. Gue bisa pesen sendiri." Ucap Ardan.
Oh... iya, ya. Batin Fauzan. Tapi tetap saja hatinya tidak tega meninggalkan Ardan.
"Udah sana lo pergi."
"Gue liatin lo masuk."
"Gak usah!" Ardan mulai melotot marah. Remaja jangkung itu mendorong tubuh Fauzan hingga motornya pun ikut terdorong juga. "Udah sana pergi."
Dengan terpaksa, Fauzan menyalakan mesin motor maticnya itu. Pandangan terakhir pada sang sahabat, dan setelah itu Fauzan pergi dari sana.
Setelah Fauzan sudah tidak terlihat lagi, Ardan mulai masuk ke gerbang halaman rumah tantenya Geo.
Ah, ternyata tidak terkunci.
Sudah beberapa hari dirinya tidak melihat Geo. Ia sungguh merindukannya. Ketika ia sudah 2 hari kembali ke sekolah, si anak IPS masih belum juga berangkat.
Apa separah itu gegar otaknya? Meski ringan, namanya gegar otak itu memang bisa membuat fisik sang penderita lemah –begitu pernyataan di Google saat Ardan mencarinya.
Sekarang sudah pukul 3 sore. Rumah tantenya Geo memang selalu sepi. Tapi pasti di dalam rumah ada seseorang.
Ia berharap jika William belum pulang sekolah. Mengingat anak itu sudah kelas 9, bukankah biasanya ada les tambahan di sekolah atau lembaga bimbel?
"Ngapain lo di sini? Berani-beraninya dateng setelah gue pukul tempo kemarin!"
Ardan terjingkat kaget ketika mendengar suara seseorang dari belakang. Ia langsung berbalik dan menemukan William yang membawa tas plastik dengan baju rumahan biasa.
Mungkin anak itu baru keluar dari warung yang ada di sekitar sini.
"Eh, Will. Apa kabar?" Ardan mencoba basa-basi, tapi tanggapan remaja 15 tahun itu sangat negatif.
"Pergi lo!"
"Wil...Wil. Tolong kali ini saja biarkan gue nemuin Geo." Ardan mencoba mengikuti William yang tetap berjalan menuju rumah.
"Gak." Begitu jawabnya tanpa menoleh pada Ardan.
"Please, Wil. Gue pengin tahu kondisi Geo."
"Kondisi kakak gue bakal tetap sehat seandainya enggak ketemu sama lo." William akan membuka pintu depan, tapi segera ditahan lengannya oleh Ardan.
"Plis, Will. Gue mau lo lakuin apa biar bisa dimaafin?" Kedua mata Ardan sudah menunjukkan harapan yang besar pada William.
Remaja 15 tahun itu terdiam sebentar dan ini membuat Ardan memiliki harapan lebih besar bila William mau menyetujui dirinya untuk bertemu Geo.
"Enggak."
Runtuh sudah dinding harapan yang telah Ardan bangun pada William. Bibirnya langsung melengkung ke bawah –pertanda dirinya sangat kecewa.
Ardan sedikit kaget ketika William mulai mendorongnya. Meski remaja itu lebih pendek darinya, William memiliki massa otot yang cukup besar. Hal tersebut tentu saja membuat dirinya terhuyung jatuh ke belakang. Terlebih lagi, kakinya belum begitu kuat karena masih masa pemulihan.
"Udah gue bilangin enggak ya enggak. Apa lo budeg?"
Setelah mengatakan hal itu, William menutup pintunya dengan keras dan mengabaikan Ardan yang masih terduduk di lantai teras dengan pandangan mengawang.
Secara perlahan, Ardan mulai berdiri. Ia meringis kesakitan karena masih ada luka di kakinya.
"Gue bakal nunggu di sini sampai bisa ketemu Geo! Lo denger gak, Will?!" Ardan mencoba berkata dengan suara keras dan matanya ia arahkan pada jendela depan.
Dari jendela kaca yang ada di samping pintu depan, ia melihat William yang menatapnya dengan penuh amarah.
Ardan terjingkat kaget ketika dari kamar depan –kamar William yang sekarang sedang dihuni Geo sementara –terlihat remaja 16 tahun itu yang mengintip dari balik gorden pintu.
"GEO!" Meski terhalang pintu dan kaca, Ardan yakin jika Geo mendengar suaranya. Pemuda itu juga telah melihatnya dengan tatapan terkejut.
"Ardan..."
Sang atlet basket melihat bibir Geo bergerak dan menyebut namanya. Dirinya akan memanggil anak redaksi itu, tapi William mendorong Geo untuk masuk kembali ke kamarnya.
"Geo..." Ia kembali kecewa. Dirinya memundurkan tubuhnya dan duduk di salah satu kursi yang ada di teras itu.
Kedua sikunya ia letakkan di atas pahanya yang tertekuk karena duduk. Jari jemarinya mendorong anakan rambut ke belakang. Wajahnya sudah memerah menahan emosi, kecewa, dan rasa sesal yang mendalam.
Andai ia menuruti permintaan William untuk tidak mengajak Geo ke pantai, pasti situasi ini tidak akan terjadi.
Dirinya duduk dengan kepala tertunduduk selama beberapa menit, sampai akhirnya ada seorang pria paruh baya yang datang dengan membawa mobil pick up.
Suara berisik tersebut, tentu membuat Ardan menegakkan tubuhnya dan melihat mobil itu terparkir ke samping rumah.
Keluarlah sosok pria paruh baya yang Ardan sudah pernah bertemu sekali waktu itu.
Meski pada saat itu pamannya Geo hanya menyapanya sebentar, tapi Ardan masih ingat wajah galaknya. Bahkan itu bukan seperti sapaan seorang tuan rumah ke tamu karena pria paruh baya itu lebih memilih keluar rumah.
Ia tersadar dari lamunannya. Secara otomatis, Ardan langsung berdiri dan menunggu pria tersebut datang menghampirinya.
Wajahnya memang terlihat sangat tegas. Bahkan ketika pria itu berjalan ke arahnya, aura pria itu sangat kuat hingga membuat Ardan ingin lari dari sana saja. Tapi entah kenapa kakinya seperti membeku.
"Siapa kamu?"
Suara pamannya Geo terdengar sangat dalam dan tegas, membuat Ardan sulit mengeluarkan suaranya.
"A –Ardan, Om. Temannya Geo." Ardan sedikit heran, padahal waktu itu dirinya sudah memperkenalkan diri, kenapa masih menanyakan namanya? Batin sang atlet basket itu.
"Nama?" Tanyanya lagi
"Huh?" Ardan tidak mendengar dengan ucapan pria paruh baya itu.
"Nama kamu siapa?!" Ulangnya
Remaja 16 tahun itu menutup kedua matanya karena kaget dengan suara pria di hadapannya yang meninggi.
Apa beliau ini lupa sama gue? Padahal sebelumnya sudah beberapa kali ke sini – batin Ardan. Tapi ia segera tepis pemikiran tersebut.
Wajar saja lupa. paman Geo ini kan tidak peduli pada segala hal tentang keponakannya. Meski sudah tahu dirinya siapa, pasti langsung melupakannya begitu saja.
"Ardan, Om. Temannya Geo yang waktu itu kecelakaan bareng." Akhirnya Ardan mengalah, dan kembali memperkenalkan dirinya lagi.
"Oh." Tanggapnya, "bocah ngesok yang celakain Geo?" Lanjutnya, dan itu sukses membuat Ardan memundurkan tubuhnya.
"Ti –tidak, om! Saya sudah benar ngendarain motornya. Tapi –"
" –Orang kaya memang sama saja. Selalu membela diri dan enggan disalahkan." Potong pria paruh baya itu. Tangan berototnya langsung menarik bahu Ardan hingga membua remaja itu kaget bukan main.
"Pergi kamu!"
Untung tarikan pria itu tidak terlalu keras seperti William tadi. Ardan masih bisa mengimbangi tubuhnya dan berpegangan pada tiang besar yang ada di teras tersebut.
"Nah, siapa itu di belakang?"
Mendengar pria paruh baya itu berbicara, Ardan yakin bahwa itu bukan ditujukkan padanya. Sang atlet basket ikut menoleh ke belakang –di mana pak Abim mengarahkan pandangannya ke sana.
"Kak Rayan..." Ucap Ardan dengan suara rendah. Kakaknya berjalan dengan pelan dan penuh rasa ragu setelah melihat adiknya didorong oleh pamannya Geo.
"Ada apa ini, pak?" Rayan mencoba membantu adiknya untuk berdiri tegak karena dirinya tahu, kaki adiknya itu masih dalam tahap penyembuhan.
"Siapa kamu?" Bukannya menjawab, pria paruh baya itu kembali melontarkan pertanyaan.
"Saya Rayan. Kakaknya Ardan. Temannya Geo juga." Jelas pria 21 tahun itu. Ia membenarkan paperbag yang tadi sempat kusut karena membantu Ardan berdiri.
"Oh. Jadi...kalian kakak-beradik, ya?!" Ucapnya dengan jari yang menunjuk pada keduanya.
Rayan mengangguk dengan ragu, "ya, pak." Rayan menoleh ke arah adiknya yang kini memandang pria paruh baya itu dengan tajam. Untuk menyadarkan sang adik, Rayan menyenggol bahunya.
"Bagus, ya? Kakak adik..." Gumam Pak Abim sambil memandang kedua pemuda di hadapannya. "Heh, kamu, Rayan?"
"Ya, pak?"
"Kamu tahu kalau adikmu ini bikin si Geo ini kena gegar otak?!"
Rayan terlihat sangat kaget, pak Abim duga jika pemuda itu belum tahu. Sementara Ardan justru terdiam yang menandakan sudah mengetahui hal tersebut.
"Gegar otak? Geo kena gegar otak?" Tanya Rayan.
"Baru tahu? Adikmu sepertinya tahu." Ucap pak Abim sambil melirik Ardan yang menunduk dengan menunjukkan rasa bersalah.
Rayan yang baru mengetahui hal ini, merasa sangat kaget dan ingin marah pada adiknya karena tidak memberi tahu masalah ini. Namun melihat Ardan yang begitu terpuruk, Rayan justru kasihan padanya.
****
Kemarin, Ardan tidak bisa menengok Geo sama sekali dan berakhir pulang dengan menumpang mobil kakaknya.
Dirinya pun heran, kenapa Rayan bisa menengok Geo. Hanya sekali lihat saja, kenapa harus sok dekat seperti itu? Ardan kesal dengan kakaknya sampai-sampai apa yang Rayan tanyakan padanya, ia abaikan.
Hari Jumat, sekolah pulang lebih awal dan dia meminta Daren mengantarkannya ke rumah Geo. Tapi rumah itu terlihat ramai, ternyata perwakilan teman kelas Geo sedang menjenguknya.
Dirinya bertambah kesal karena teman lainnya bisa menemui pemuda itu, sementara dirinya tidak.
Kemarahannya bertambah, ketika pada Sabtu malam, Fauzan mengirimkannya sebuah foto yang menampilkan wajah Geo yang sedang tersenyum.
Di bawahnya ia memberikan keterangan bahwa dirinya menjadi perwakilan OSIS untuk menjenguk Geo bersama 4 anggota lainnya.
Fauzan juga memberi alasan, kenapa dirinya tidak memberitahu Ardan tentang ini, karena Geo yang memintanya secara langsung melalui pesan pribadi.
Namun, Fauzan merasa sangat jahat jika merahasiakan ini. Sehingga ia memfoto Geo diam-diam dan mengirimkannya pada Ardan.
Di kamar, Ardan sudah berteriak kesal dan membanting ponselnya ke ranjang.
Napasnya tersengal dengan keras. Dirinya frustasi tidak bisa menemui anak redaksi itu. Apalagi, semua pesannya tidak dibalas oleh pemuda itu.
Selama 16 tahun hidupnya, baru pertama kali ini Ardan begitu gelisah dan uring-uringan tidak jelas hanya karena tidak bisa bertemu dengan seseorang. Dirinya juga heran, kenapa bisa begitu?
"Sialan!" Untuk menyalurkan kekesalannya, Ardan meninju tembok kamarnya hingga suara berdebum terdengar dan jarinya langsung memerah.
*****
Ge, hubungi Ardan jika lo belum bisa ketemu sama dia.
Geo masih mengingat ucapan Fauzan tadi sore saat mengunjunginya bersama teman-teman OSIS lainnya.
Fauzan mengatakan itu tepat saat keempat teman lainnya sudah keluar dan Fauzan sengaja menunggu momen tepat untuk mengatakan itu.
Ia melihat ke arah ponselnya dan melihat jumlah pesan yang Ardan kirimkan padanya dan tidak pernah ia buka dari awal dirinya dirawat di rumah sakit.
Dirinya sungguh merasa bersalah pada pemuda itu, tapi jika ia menghubungi Ardan, William yang akan marah.
"Kak Geo boleh saja berkomunikasi sama Ardan atau bahkan ketemu dengannya. Tapi nanti kak Geo juga akan lihat Ardan, gue, atau kita berdua babak belur."
Ucapan William tempo itu kembali terdengar di telinganya. Dirinya hanya keluar kamar karena mendengar suara Ardan, tapi William justru mengancamnya dengan ucapan seperti itu.
"Ya Tuhan, hamba harus bagaimana?" Gumamnya sendiri dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top