Ch 17; Get Away From Him
Jangan lupa untuk tinggalkan jejak setelah baca!
.
.
.
Geo berhasil mendapatkan ruangan di rumah sakit tersebut hampir jam setengah 1 dini hari. Hal itu dikarenakan banyak ruangan yang penuh dan akhirnya menemukan satu ruang di kelas satu.
Baik keluarga Geo dan Ardan mengikuti tenaga medis yang mendorong brankar yang ditiduri Geo menuju ruangan yang dituju.
Kini Geo sudah memakai infus dan telah mendapat pemeriksaan dari sang dokter.
Dokter yang tadi memeriksa remaja 16 tahun itu mengatakan, tujuan Geo menginap di rumah sakit agar nantinya bisa dipantau bila menunjukkan suatu gejala tertentu pasca kecelakaan.
Berbeda dengan Ardan yang sadar dan hanya mengalami luka lecet dan memar pasca kecelakaan, sang dokter concern ke Geo karena remaja itu pingsan cukup lama dan belum diketahui penyebab pastinya.
Namun, untuk saat ini sang dokter menyimpulkan jika pingsannya Geo karena shock akibat kecelakaan.
Dokter juga menyarankan kepada Bu Hana dan juga William untuk memantau Geo selama di rumah sakit. Jika dalam 24 jam tidak menunjukkan gejala ganjil, remaja 16 tahun itu bisa pulang.
Rombongan tersebut telah sampai di ruang rawat inap yang dihuni Geo. Di sana terdapat 2 tempat tidur tapi baru ada Geo saja yang menempati.
"Nah, kita sudah sampai. Ini ruangan Geo di bangsal Rembulan nomor kamar 115, ya, bu." Jelas salah satu perawat berhijab dengan ramah pada Bu Hana.
Sementara itu, wanita dua anak tersebut hanya tersenyum dan mengangguk.
"Kalau ibu butuh bantuan kami, bisa pencet emergency button ini." Perawat tersebut menunjukkan tombol berwarna tosca yang menempel di tembok –tepat di atas kepala Geo.
"Baik, sus." William yang justru menjawab.
"Ada yang ingin ditanyakan?" Tanya sang perawat sambil matanya melihat satu per satu orang-orang di ruangan tersebut.
"Sus, biaya perawatan Geo, biar saya yang urus." Semua mata langsung tertuju pada ayah Ardan yang sedari tadi diam, justru kini bersuara.
"Oh, itu bisa Anda bicarakan dengan pihak administrasi di bawah, ya, Pak."
Pria awal 50 tahunan itu hanya mengangguk. Dan setelah itu sang perawat pamit untuk pergi setelah menjelaskan bahwa yang menjaga harus satu orang saja.
"Biar bunda di sini saja, Will. Kamu boleh pulang. Berani sendirian, kan?"
"Aku juga mau temenin Geo."
Ardan sambil berjalan pincang, mendekati Bu Hana dan menatap wanita itu dengan keyakinan besar.
"Dek..." Sang ibu menahan putera bungsunya. Bagaimana ia tega melihat anaknya di sini sementara kondisinya seperti sekarang?
"Nak Ardan..." Bu Hana menepuk bahu Ardan pelan, "kamu kan juga sakit. Dokter tadi juga sudah menyuruh nak Ardan buat pulang."
"Menurut saja, bisa, tidak?" Pak Indra dengan suara rendahnya, terdengar mengintimidasi pada anak bungsunya sendiri.
"Ya." Geo yang sedari tadi diam karena mengantuk –efek obat –mencoba bersuara yang terdengar serak, "kamu pulang aja, Dan."
"Tapi –" Ardan menghentikan ucapannya ketika sang ayah mencengkeram lengannya dan menariknya untuk keluar dari ruangan tersebut.
"Kalau begitu, kami pamit, bu." Bu Lina membungkukkan kepalanya ke arah tantenya Geo. Wanita akhir 40 tahunan itu juga memberikan lambaian tangan pada Geo serta mendoakan remaja itu cepat sembuh.
"Hati-hati di jalan, ya, bu."
Bu Lina hanya tersenyum untuk menanggapi, sementara suami dan anaknya sudah keluar dari ruangan tersebut.
"Sekali lagi, maaf atas tindakan anak saya hingga menyebabkan Geo seperti sekarang."
Bu Hana hanya tersenyum, sementara William justru mendecih keras –sengaja. Biar Bu Lina tahu bahwa dirinya sangat membenci anak bungsunya itu karena telah melukai kakaknya.
Dan setelah itu, ruangan langsung sepi. Ketika Bu Hana menoleh ke ranjang Geo, sang keponakan telah tertidur pulas. Dosis obatnya mungkin tinggi sehingga Geo tidak bisa menahan kantuknya.
"Polisi gak nyelidikin Ardan, bun? Siapa tahu dia sengaja jatuhin kak Geo."
"Ssstt!" Sang ibu langsung memukul bahu anaknya dengan pelan, "Polisi sudah menangani kasus kecelakaan ini, kan? Memang karena ada mobil yang ugal-ugalan dan Ardam berusaha menghindar."
"Harusnya Ardan yang terluka lebih parah jika seperti itu." William tetap kekeh menyalahkan sang atlet basket karena dirinya tidak puas dengan penyelidikan polisi.
Satlantas di daerah tersebut memang sudah menyelidikinya. Mobil yang tertuduh kabur, sulit diidentifikasi karena lokasi tersebut tidak ada CCTV.
Motor Ardan ditahan dulu di kantor Satlantas untuk penulisan laporan. Mungkin besok juga sudah bisa diambil.
Sang ibu membelai punggung anak sulungnya. Ia tahu, William memang sedang emosi, ia sebagai ibu sebenarnya senang karena anak sulungnya mau membela Geo –kakak sepupunya.
Itu berarti William memang benar-benar peduli kepada kakak sepupunya. Hanya sang suami yang hatinya masih keras dan enggan menemui Geo yang mengalami kecelakaan seperti sekarang.
"Kamu pulang, ya, nak?"
William memandang sang ibu. Ia ingin berada di sini terus, tapi peraturan rumah sakit, hanya satu orang yang menemani pasien.
Jika ibunya pulang jam segini, tentu akan sangat berbahaya. Mau tidak mau, William menyetujuinya.
"Besok aku ke sini lagi, bun."
Bu Hana tersenyum dan mengangguk. Ia mengantarkan anaknya sampai di depan pintu ruangan hingga anak sulungnya itu sudah tidak terlihat lagi di belokan.
*****
"Geo sudah bangun?"
Kedua mata remaja 16 tahun itu terbuka. Ia sedikit mengernyitkan dahinya karena retina matanya belum terbiasa untuk menangkap cahaya.
"Ahh –"
Bu Hana yang sedang membawa baskom kecil air hangat untuk menyeka sang keponakan, langsung meletakkan baskom kecil itu lagi dan berlari.
"Ada yang sakit? Mana yang sakit? Tangan?"
Geo masih mengernyit dan belum menjawab. Ia tidak tahu bahwa efek kecelakaan baru ia rasakan sekarang.
Kemarin ia rasa hanya pusing dan pegal-pegal di beberapa titik. Tapi setelah dirinya terbangun, seluruh tubuhnya pegal.
"Tidak apa, Tan. Sepertinya ini efek jatuh sampe pegal-pegal tubuh Geo."
Terlihat sekali jika wanita 40 tahunan itu terlihat khawatir melihat sang keponakan kesakitan. "Tapi tangan dan kaki masih bisa digerakkan? Tidak mati rasa, kan?"
Mendengar itu, Geo hanya tertawa kecil. "Tidak, kok. Ini Cuma pegal biasa."
"Ah, syukurlah. Nanti tante bilang ke dokter." Kedua mata ibu dua anak itu melihat ke arah jam dinding yang ada di atas pintu, "sudah mau jam 8 pagi. Dokter sebentar lagi akan ke sini katanya."
Bu Hana kembali mengambil baskom kecil berisi air hangat itu. "Tante seka dulu, ya, tubuh kamu, Ge? Mukanya diseka juga biar segeran."
Geo terdiam sebentar, "apa sebaiknya Geo ke kamar mandi saja, Tan?"
Bu Hanya yang sudah memeras handuk kecil langsung menghentikan kegiatannya dan berkata, "tidak." Ia membuka selimut Geo, "untuk saat ini, jangan dulu. Tunggu sampai badanmu sehatan."
Geo langsung mengerucutkan bibirnya karena kesal. Sementara tantenya tetap menyeka badannya dari mulai wajah, leher, serta kedua lengan dan kakinya.
"Habis ini kamu makan. Tadi perawat sudah mengantarkan makanan."
Geo melihat nampan makanan yang sudah tersedia di meja dekat TV. Ia menghela napas, karena enggan untuk menelan makanan untuk saat ini.
"Tan, kapan Geo pulang?"
"Kalau nanti sore tidak menunjukkan gejala apapun, kamu bisa pulang."
Syukurlah... batin Geo. Ia tidak ingin berlama-lama di rumah sakit. Sungguh melelahkan jika setiap hari mencium bau obat.
Ketika Tantenya telah selesai menyeka badan Geo, tiba-tiba pintu ruangan tersebut diketuk dan beberapa detik berikutnya, munculah seseorang dari balik pintu tersebut.
"Permisi..." Ucapnya.
"Eh? Siapa, ya?" Tanya Bu Hana sambil berjalan ke arah pintu.
"Kak Rayan?" Ucap Geo dengan suara pelan yang sudah pasti tidak terdengar oleh tante dan pemuda yang baru masuk itu.
"Selamat pagi, tante. Saya Rayan, temannya Geo."
Wajah kebingungan wanita 40 tahunan itu langsung berseri ketika mengetahui identitas dari pemuda berkacamata tersebut.
"Oh." Tanggapnya, "mari masuk...masuk... Geo baru saja tante nyeka dia."
Tapi Tante Hana langsung berpikir, bagaimana bisa pemuda itu masuk sementara ini masih pukul 8 pagi? Bukankah jam besuk masih nanti jam setengah 10?
Tapi wanita tersebut mengabaikan pikirannya. Ia ikut berjalan di belakang pemuda itu.
"Hai, Ge. Lo baik?"
Geo mencoba untuk duduk yang dengan sigap, tantenya ikut membantu dengan menaikkan ranjang agar sang keponakan bisa setengah duduk.
"Baik." Jawab Geo. "Kok kak Rayan tahu aku ada di sini?"
Rayan diam sebentar, lalu menjawab, "dari Ardan, Ge."
"Loh? Nak Rayan tahu Ardan?" Tiba-tiba Tante Hana ikut menimpali perbincangan dua anak muda itu.
"Rayan itu kakak kandungnya Ardan, Tan." Jelas Geo dan itu membuat Tante Hana langsung terkejut.
"Ya Tuhan...pantas saja kalian sedikit mirip. Bedanya, nak Rayan pakai kacamata." Merasa dirinya berada di situasi yang salah, pada akhirnya wanita tersebut berniat untuk keluar.
"Kalian bisa berbincang dulu. Tante mau mengembalikan baskom kecil ini dulu, ya."
Sebenarnya tidak perlu dikembalikannya, toh, nanti ada perawat yang mengambil barang tersebut satu per satu. Tapi Geo tidak memusingkannya. Mungkin tantenya enggan mengganggu obrolan mereka berdua.
"Sori, Ge. Gue baru tahu kalau lo dan Ardan kecelakaan tadi subuh."
Rayan memang sedang sibuk dengan kegiatan kampus karena ada acara Anniversary univesitasnya. Rayan terpilih menjadi salah satu panitia dan itu di seksi acara.
Tentu saja Rayan tidak bisa melewatkan setiap rapat yang diadakan dan itu membuatnya sering pulang larut malam.
Dia juga belum tidur sama sekali karena baru pulang pukul 4 pagi. Dirinya yang ingin segera tidur, langsung menghentikan langkahnya untuk ke kamarnya saat melihat kamar sang adik masih terang.
Saat masuk, ia terkejut karena Ardan sedang kesakitan dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Dari situlah Rayan tahu bahwa Geo sekarang di rumah sakit.
"Tidak apa, kak." Jawab Geo dengan senyum ramahnya, "nanti sore kayaknya aku udah pulang."
"Beneran?" Rayan sedikit ragu karena melihat kondisi Geo yang banyak memar di lengan dan dahi.
"Ya." Ucap Geo meyakinkan mahasiswa yang ada di hadapannya, "kalau tidak menunjukkan suatu gejala tertentu."
Wajah Rayan langsung terlihat khawatir, "emang kemarin dokter bilang apa?"
Geo menghela napas, "karena pingsanku lama, jadi dokter takut ada luka dalam yang belum terdeteksi. Tapi sementara ini, dokter mendiagnosis kalau pingsanku karena shock."
Geo terkejut ketika Rayan memegang lengannya yang tidak memakai infus dan sedikit memijatnya. "Sori, ya, Ge. Adikku memang cukup ceroboh."
"Udah kubilang, kak, ini Cuma kecelakaan. Siapa yang mau sengaja luka kayak gini?"
Rayan yang mendengarnya hanya menunduk dan masih terus memijat lengan Geo. Remaja 16 tahun itu membiarkan saja sang mahasiswa melakukan itu. Dirinya juga tidak enak jika harus menyingkirkannya.
"Kok kak Rayan bisa masuk sepagi ini? Bukannya pengunjung bisa masuk nanti siangan?"
Rayan melepaskan genggamannya pada lengan Geo dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Tadi subuh begitu tahu kamu di rumah sakit. Kakak langsung ke sini."
"Hah?"
Rayan tersenyum kaku, "Soalnya kakak khawatir." Ucapnya, "eh, ternyata sampai sini, gerbang ke rawat inap dikunci. Jadi kakak nunggu siangan dikit di bangku koridor luar. Eh...malah ketiduran."
"Kakak tidur di luar?"
Rayan langsung gelagapan, "Eh –gak apa-apa, kok. Kakak sering tidur di luar aula kampus bahkan kalau ada acara." Mahasiswa Hukum itu mencoba menjelaskan setelah terlihat Geo merasa tidak enak, "tidak apa-apa, Ge."
"Jangan ulangi lagi, kak. Nanti kak Rayan sakit."
Pria 21 tahun itu mengangguk dan tersenyum. Ia tidak akan cerita juga jika dia bisa masuk ke sini karena mengikuti salah satu keluarga pasien dan berpura-pura menjadi salah satu penunggu pasien di bangsal tersebut.
Rayan juga tidak percaya jika sang satpam percaya begitu saja, padahal dirinya tidak memakai kalung ID penunggu pasien.
Beberapa detik kemudian, wanita 40 tahunan itu kembali masuk ke ruangan dengan wajah yang khawati –itu membuat Geo sedikit panik.
"Ada apa, tan?" Tanya Geo ketika melihat tantenya yang terlihat tidak tenang.
"Anu..." Bu Hana seperti sulit menjelaskannya. Ia semakin mendekat ke ranjang Geo dan menundukkan wajahnya, "paman menyuruh tante pulang. Tadi Nathan nangis-nangis di rumah." Ucapnya pada sang keponakan menggunakan suara lirih.
"Kalau begitu tante pulang saja."
"Tapi nanti kamu sendirian, Nak? Kamu butuh dipantau kata dokter." Wanita dua anak itu melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 lebih. "Dokter juga belum ke sini untuk memeriksamu."
Geo mencoba menenangkan tantenya dengan menggenggam lengan wanita itu, "tante tenang. Geo tidak ada sendirian di sini."
"Uhm...maaf kalau saya menyela." Tiba-tiba Rayan datang mendekat dan memandang ke arah bu Hana, "tante, biar saya saja yang jaga Geo di sini."
"Nak Rayan sedang tidak sibuk?" Tanya bu Hana. Karena ini hari Senin, kemungkinan besar jika Rayan ada kesibukan.
"Ah, tidak, kok. Biar saya saja yang jaga Geo."
"Iya, tan. Pulanglah."
Bu Hana tersenyum memandang keponakannya. Sebelum pulang, wanita pertengahan 40 tahunan itu memberi beberapa pesan pada Rayan mengenai obat dan harus memaksa Geo untuk makan.
Setelah kepergian bu Hana, ruangan itu menjadi sepi dan Rayan mengambil nampan berisi makanan.
"Mau aku suapi?"
Geo langsung terdiam memandang kakak dari temannya itu.
*****
"Begitu...baiklah. Ya. Kakak bakal nganterin Geo, Yah." Rayan kini berada di halaman depan ruangan Geo. Dia sedang berbicara dengan ayahnya melalui sambungan telepon.
"Bagaimana dengan keadaan Ardan? Oh, baiklah. Jangan marahi dia, Yah. Kasihan. Oke. Baik-baik." Setelah selesai dengan urusannya, sang ayah memutuskan sambungan telepon itu.
Beberapa detik kemudian, Rayan mendapatkan pesan dari ayahnya jika uang untuk biaya rumah sakit Geo telah ditransfer ke rekening Rayan.
Tadi pukul 4 sore, dokter sudah memberikan ijin pulang pada Geo. Setelah administrasi selesai. Beruntung setelah itu, ayahnya menelponnya dantelah tahu bahwa Rayan ada di rumah sakit untuk menjengku Geo.
Ayahnya menitipkan sejumlah uang di rekeningnya untuk membayar tagihan rumah sakit atas perawatan Geo. Untunglah, sore ini Geo pulang dan tidak ada gejala buruk yang muncul.
Rayan berjalan menuju ke dalam ruang inap milik Geo dan langsung menyuruh tante Hana siap-siap untuk pulang sementara dirinya ke administrasi.
"Kak Rayan, makasih, ya udah anter kita semua."
Rayan tersenyum dan mengusap rambut bocah 13 tahun bernama Nathan yang duduk di kursi penumpang depan.
Bu Hana membantu Geo untuk turun dari mobil. Itu membuat Rayan berlari untuk turut ikut menuntun remaja 16 tahun itu berjalan.
"Aku bisa sendiri." Kata Geo. Meski begitu, tantenya masih terus memegangi lengan sang keponakan. Sementara Nathan dan Rayan membawa tas milik Geo.
"Siapa dia?" William yang sejak tadi di teras, menyipitkan kedua matanya saat melihat ada seorang pria asing berkacamata yang turun dari mobil dan membawakan tas kakak sepupunya.
"Heh, lo siapa?" William sudah sangat penasaran, jadi dia langsung bertanya pada orang tersebut.
Bu Hana yang mendengar itu, langsung menghentikan langkahnya dan menegur sang anak sulung, "kakak!"
"Aku hanya penasaran, bund. Katanya bunda mau naik taksi online pulangnya." Tukas William.
"Oh. Halo." Rayan menjulurkan tangannya untuk mengajak William bersalaman. Namun, remaja itu tidak menyambutnya. Rayan tentu saja memaklumi. Sifat William ini mengingatkannya pada sang adik.
"Aku Rayan. Temannya Geo."
"Teman?"
Rayan melihat bu Hana yang membawa masuk Geo ke dalam, sementara dirinya terjebak di teras bersama remaja yang memandangnya dengan tatapan menusuk, "Cuma kenalan sih."
"Ya berarti bukan teman, lah!" William berkata dengan nada tinggi, "kok bisa mengantar kak Geo? Kenal di mana?"
Rayan bingung mau berkata apalagi. Tapi ia teringat dengan status adiknya yang berkaitan langsung dengan Geo, "sebenarnya aku ini kakaknya Ardan. Tahu, kan? Tadi aku bantu membayarkan biaya administrasi Geo." Rayan mencoba menjelaskan, "gitu." Tambahnya.
"Ohhh...jadi kakaknya si brengsek itu?"
"Ap –apa? Kamu bilang apa, dek?"
William mengambil dua tas yang ada di tangan Rayan dengan kasar. Pandangannya juga terlihat tidak ramah sama sekali.
"Pergilah. Rumah ini tidak menerima keluarga yang membuat kakakku seperti itu."
Rayan tidak percaya dengan ucapan remaja yang ada di depannya ini. Ia bahkan tidak bisa menanggapi apa-apa karena saking bingungnya.
"Pergi." Ulang William. Kali ini ia lakukan dengan nada yang lebih kalem.
"Tapi –"
" –pergi. Bilang juga pada adikmu, si Ardan untuk tidak mendekati kakakku setelah ini. Kalian hanya menjadi penyebab kemalangan keluarga ini!"
Tanpa menunggu balasan dari Rayan, William langsung berbalik dan masuk ke dalam. Remaja itu menutup pintu dengan kasar sementara Rayan masih diam mematung di teras.
Hari sudah mulai petang dan dirinya baru saja diusir oleh adiknya Geo, di mana Geo telah diantar olehnya.
Rayan menghela napas dan dengan berat hati dirinya berbalik untuk keluar dari halaman rumah itu menuju ke mobilnya.
Sementara di dalam, ibunya sedang membuatkan teh hangat dan langsung dicegah oleh William.
"Rayan pulang. Katanya buru-buru, bund."
"Eh?" Bu Hana yang sedang mempersiapkan cangkir teh langsung menghentikan tindakannya dan memandang anak sulungnya dengan heran. "Padahal tadi dia bilang mau mampir, kok."
"Tiba-tiba tadi dia disuruh pulang."
Ibunya menghela napas pasrah dan kembali menempatkan cangkirnya ke tempat semula. "Ya sudah. Padahal bunda belum berterimakasih pada nak Rayan."
"Tadi sudah aku wakilkan."
William masuk ke kamarnya –di mana Geo sedang ttiduran di ranjang. Bundanya memang tidak mengizinkan Geo untuk tidur di atas karena bundanya ingin bisa dengan mudah menjaga Geo selama proses pemulihan.
Selain itu, cedera di kaki Geo juga menyulitkan remaha itu untuk naik ke atas meski tergolong cedera ringan.
William tidak masalah jika sementara ini ia tidur bersama adiknya –Nathan. Saat ini yang paling penting adalah kesembuhan kakak sepupunya itu.
"Hai, kak. Udah mendingan?"
Geo tersenyum kecil sambil memposisikan dirinya untuk duduk, "kamu gak apa-apa kalau kamarmu dipake kakak?"
"Ya gak apa-apa dong." kecuali ayahnya... Tentu William mengatakan itu di dalam hatinya saja.
Ayahnya langsung pergi begitu saja ketika tahu Geo akan pulang sore ini. Entah kemana ayahnya itu. Paling penting, tidak ada keributan untuk saat ini.
"Kak, boleh kak Geo kabulin satu permintaan William?"
Sebelah alis Geo terangkat, "apa itu?"
"Jauhi Ardan dan Rayan."
Geo semakin heran ketika adik sepupunya berkata demikian. Atas dasar apa William mengatakan hal itu?
"Sejak awal gue udah gak suka sama Ardan. Lihatlah, kak! Lo celaka gara-gara dia."
Geo menghela napas lelah. Sudah berulang kali ia katakan bahwa ini kecelakaan yang tidak disengaja, tapi tetap saja adiknya seperti itu.
"Gue tahu ini kecelakaan –pasti kak Geo mau ngomong gitu, kan?" William menukasnya dengan nada menyindir. Ia lalu berkata lagi, "Kak Geo tau, waktu kakak masih pingsan, Ardan gue pukulin sampai babak belur?"
Geo langsung terjingkat kaget mendengar penuturan adiknya. William memang lebih muda darinya, tapi badan anak itu lebih besar dan hampir menyamai Ardan. Apa yang dikatakan William kemungkinan besar adalah fakta.
"Kenapa lo mukul Ardam?" Geo mencoba bersabar karena William juga sedang menahan emosi.
"Ya karena dia, lo jadi gini, kak."
Geo tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan kepalanya dan terpaksa memandang tembok kamar William. Dirinya ingin marah pada adiknya itu. Tapi dirinya tahu kalau William sedang menunjukkan kepedulian padanya, hanya saja caranya salah.
"Kalau kak Geo pengin gue gak mukulin Ardan lagi, jauhi dia. Ardan hanya pembawa buruk untuk lo."
Setelah mengatakan itu, William langsung keluar kamar. Remaja 15 tahun itu tidak peduli jika kakak sepupunya itu memikirkan pembicaan mereka tadi hingga kepalanya sedikit merasa nyeri.
Tengah malam, bu Hana terbangun karena dirinya haus. Tapi niatan untuk ke dapur langsung terhenti ketika mendengar suara Geo yang sedang merintih.
Dengan langkah cepat, wanita tersebut berjalan ke kemar William yang sedang dihuni oleh Geo. Betapa terkejut dirinya setelah membuka pintu kamar dan mendapati Geo sedang memegangi kepalanya dan lantai kotor dengan muntahan remaja itu.
"GEO!"
****
Paman Abim mendecih keras ketika melihat keponakannya sedang diperiksa oleh dokter di ruang igd. Dirinya kesal karena harus bangun jam 3 pagi dan menyetir mobil pick up dagingnya hanya untuk mengantar Geo ke rumah sakit.
Pria paruh baya itu lebih memilih keluar dan menunggu di taman rumah sakit dari pada di dalam.
Sang dokter sedang memeriksa Geo dengan mengarahkan senter kecill pada kedua mata remaja tersebut.
Sementara bu Hana menunggunya dengan cemas. Berkali-kali ponselnya berdering karena William ingin tahu kabar selanjutnya. Tapi wanita tersebut mengabaikannya dan fokus pada Geo.
"Bagaimana, dok?" Tanya bu Hana setelah melihat sang dokter telah selesai memeriksa.
"Sepertinya keponakan ibu terkena gegar otak ringan –"
" –Gegar otak?" Tangan bu Hana bergetar mendengarnya.
"Ah, jangan khawatir, bu. Ini hanya gejala ringan. Sepertinya memang pingsannya yang kemarin akibat shock karena benturan. Tapi syukurlah ada helm yang melindungi kepala Geo."
"Jadi, apa tindakan pengobatannya, dok?"
"Sebenarnya di obat yang kemarin saya berikan sudah termasuk obat pereda nyerinya. Jadi, konsumsi saja obat yang telah saya resepkan kemarin. Masih ada di rumah, kan?"
"Masih, dok."
"Baguslah." Ucap sang dokter, "pastikan Geo istirahat total 3 sampai 4 hari dan jangan bersekolah dulu."
"Lalu, ada pantangan pada makanan?" Bu Hana ingin memasakkan sesuatu yang baik untuk Geo, jadi ia menanyakannya.
"Tidak ada. Tapi untuk sementara ini jangan makan makanan instan dan minum-minuman kemasan."
"Baik, dok."
"Setelah ini, boleh pulang. Nanti saya akan tambahkan obat dan surat keterangan dokter untuk mendapatkan izin dari sekolah."
Sang dokter pergi dari ruang IGD dan bu Hana berjalan menuju ke sang keponakan yang tertidur lemas.
"Aku gegar otak, ya, tan?"
Wanita tersebut mengangguk, "ringan." Ucapnya, "setelah ini kamu harus istirahat total. Jadi jangan sekolah dulu, ya, selama seminggu?"
"Tapi –"
" –tidak ada penolakan. Mau cepat sembuh, kan?"
Geo hanya mengangguk saja dan dia saat ini memikirkan Ardan yang sudah hampir dua hari tidak ada kabarnya.
Jika dirinya mengalami gegar otak ringan, apakah Ardan mengalami hal itu juga?
Semoga tidak...
Tapi Geo saat ini entah mengapa sangat ingin bertemu dengan Ardan. Dia sangat merindukannya.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top