Ch 16; This Is My Fault

Jangan lupa ninggalin jejak setelah baca...




"Sus, tolong teman saya."

Ardan dengan kedua matanya yang sudah sembab, jalan pincang ketika Geo telah ditidurkan pada brankar rumah sakit.

Ia hendak mengikuti Geo dengan jalannya yang tidak lancar, namun ada salah seorang tenaga medis pria menuntunnya untuk menuju ke salah satu tempat tidur di IGD.

"Maaf, saya mau ke tempat Geo."

"Tidak, mas. Kamu juga perlu perawatan. Luka kamu, tuh, di mana-mana, apa kamu gak liat?"

Perawat pria itu memaksa Ardan untuk duduk di atas tempat tidur brankar. Sementara kedua mata Ardan mengikuti ke mana Geo pergi.

Ah... ternyata dibawa ke sana.

Nyatanya Geo masih ditaruh di IGD untuk mendapatkan penanganan pertama.

"Tadi gimana kecelakaannya, mas?"

Perawat itu mulai membuka suara dan ingin tahu kronologi lebih jauh pada Ardan –salah satu korban yang sadar dan mengalami luka ringan.

Tapi ternyata Ardan sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang dokter. Justru remaja itu melihat ada dokter paruh baya yang berlari menuju ke ranjang Geo.

Sang atlet basket ingin turun dari ranjang brankarnya, namun segera ditahan oleh perawat yang sedang mengurus luka-luka di kakinya.

"Nanti dulu. Ceritain dulu kronologi kecelakaannya."

Kedua mata Ardan masih melihat ke arah tempat di mana Geo terbaring yang kini malah ditutup rapat menggunakan gorden IGD. Itu justru membuat Ardan bertambah khawatir.

Kenapa harus ditututp? Apa Geo mengalami luka dalam parah? Dirinya tidak melihat ada darah yang keluar kecuali pada luka lecet di tangan dan kaki pemuda itu.

Ardan terus memikirkan hal negatif tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada anak redaksi itu.

Aku akan mati setelah ini –pikir Ardan, karena dia mengingat perkataan William yang sejak tadi terus berputar di otaknya.

"Mas?"

"Ya?" Ardan tersadar ketika suara perawat laki-laki tersebut kembali terdengar.

"Itu temanmu yang satu motor?"

Ardan mengangguk. "Dia tidak kenapa-kenapa, kan, mas?"

"Tunggu aja. Dokter kan lagi periksa. Ntar juga ada tindakan lebih lanjut jika memang diperlukan."

Tangan Ardan bergetar dan tanpa ia rasakan, air matanya kembali keluar meski tadi sempat kering.

"Kamu kelas berapa, mas?"

Perawat laki-laki itu tidak mengomentari Ardan yang kembali menangis, tapi kembali memberi pertanyaan.

"Kelas 10." Jawab Ardan singkat. Ia lalu menunduk dan baru sadar bahwa tangan dan kakinya sudah diobati dan beberapa bagian telah tertutup kain kasa, kapas, dan plester berwarna coklat.

"Mas, saya boleh lihat Geo di sana?" Izin Ardan pada sang perawat. Meski perawat itu tidak tahu siapa 'Geo', pria itu langsung tahu bbahwa itu adalah teman dari pasiennya ini.

"Silakan." Jawabnya, "tunggu sampai dokter menyelesaikan pemeriksaannya."

TEpat saat sang perawat mengatakan hal tersebut, sang dokter paruh baya itu sudah membuka gorden dan berbicara entah apa pada perawat berhijab di sampingnya.

Ardan yang masih tertatih, berjalan secara perlahan menuju ke arah sang dokter.

"Dok...dok..." Perawat yang tadi mengurus luka-luka Ardan berlari dan memegang lengan pemuda itu karena tadi hampir terjerembab jatuh ke depan.

"Ah, kamu temannya?"

Ardan mengangguk untuk merespon pertanyaan dokter tersebut, "bagaimana kondisi teman saya, dok?"

"Kamu sudah telepon walinya?"

Ardan kembali menggeleng. Ia lalu merogoh sakunya dan menemukan ponselnya. Dengan tangan yang bergetar, sang atlit basket mencoba menghubungi keluarga Geo.

Tapi dia lupa, dirinya tidak menyimpan satu pun nomor dari keluarga Geo. Kedua matanya menjelajah ke sekitar tempat tidur Geo dan menemukan tasnya yang tergeletak di lemari kecil yang dekat dengan brankar.

"Tas Geo." Ardan berjalan perlahan menuju tas Geo untuk mengambil ponsel pemuda itu.

Dan tepat saat ia memegang benda elektronik tersebut, Ardan membaca sebuah kontak yang menelpon ke ponsel Geo.

Terpampang nama William beserta foto dari pemuda itu. Ardan meneguk ludahnya. Membayangkan William yang marah padanya, sudah membuat tenggorokannya kering.

Mana pula Geo belum juga sadar. Bagaimana ia menceritakan ini kepada keluarga pemuda tersebut?

"Ha-halo?" Sapa Ardan setelah memberanikan diri menerima telepon dari William.

'Kak, lo di mana sih? udah malam juga. Bunda nanyain –"

" –Will, ini gue, Ardan." Ia mencoba memotong racauan di telepon dari bocah SMP tersebut.

"Kak Ardan? Mana Kak Geo?"

"Anu..." Ardan masih mempersiapkan diri untuk mengatakan hal selanjutnya, "kita kecelakaan, Will. Sekarang Geo masih pingsan. Belum sadar."

"Apa?!"

Ardan mendengar napas William yang sangat jelas dari telepon. Itu pertanda bahwa bocah remaja itu sedang menahan marah.

"Emang lo brengsek, ya, Dan! Gue udah wanti-wanti biar bawa motor bener malah lo celakain kakak gue!"

"Sori, Will." Ardan benar-benar tidak bisa membela diri ketika William memakinya dari telepon. Ia sadar bahwa kejadian ini, dirinya yang menjadi penyebab utamanya.

"Kalian di rumah sakit mana?!"

"Harapan Keluarga. Kita masih di IGD."

"Brengsek, lo, Dan. Awas nanti pas gue ketemu, lo bakal habis!" Setelah mengatakan ancaman tersebut, sambungan telepon langsung putus dan Ardan hanya menghela napas.

Ia melihat ke arah jam yang terpampang di layar ponsel Geo. Sudah malam ternyata, hampir jam 10 malam.

Ia mengangkat tangannya yang satu lagi, di mana kini ponselnya sendiri tergenggam di tangannya.

Ia membuka kunci ponsel tersebut dan langsung menghubungi nomor ibunya sendiri. Dirinya tidak mungkin menghubungi nomor ayahnya.

"Bund..."

"Ya, nak." Terdengar suara ibunya yang sangat lembut. Ibunya memang jarang sekali marah. Meski dirinya sering pulang larut malam, pasti hanya dinasehati dengan nada yang lembut.

"Bund, Ardan kecelakaan –"

" –Kecelakaan? Di mana? Sekarang adek di mana? Rumah sakit? Adek gak apa-apa, kan?"

Kecuali ini. Ibunya sama sekali tidak lembut dan terdengar suaranya bergetar menahan takut, khawatir, dan menahan emosinya.

"Ardan hanya luka-luka aja, bund. Sekarang lagi di IGD rumah sakit Harapan Keluarga."

"Kamu kecelakaan tunggal?"

"Ya." Ia melirik ke arah Geo yang masih terbaring di atas brankar dan belum ada tanda-tanda untuk bangun, "tapi Ardan membawa teman. Kita boncengan dan kecelakaan karena menghindari sebuah mobil."

"Dek..adek. Tenang ya. Bunda sama ayah mau ke sana. Kamu tunggu dulu, ya?"

Bundanya tidak menanyakan apa-apa lagi pada anak bungsunya itu. Ia hanya meminta Ardan untuk bersabar dan tenang menunggu di rumah sakit. Setelah itu, sambungan telepon dimatikan.

"Bagaimana, dek? Keluarga kalian mau datang?"

Ardan menatap dokter paruh baya yang masih menunggu konfirmasi darinya.

"Ya. Mereka mau ke sini."

"Baiklah." Dokter tersebut kembali berbicara pada perawat wanita berhijab itu tentang kondisi Geo yang tidak begitu Ardan dengar.

"Jadi...teman saya gimana dok?"

Dokter itu berbalik memandang Geo dengan menghela napas, kemudian kembali berhadapan dengan Ardan, "saya belum bisa memastikan."

"Maksudnya?" Ardan butuh penjelasan lebih detail.

"Teman kamu ini hanya mengalami luka fisik yang ringan, tapi belum juga sadar. Kemungkinan besar temanmu itu shock hingga tidak sadarkan diri atau ada luka dalam yang dialaminya."

"Luka dalam?" Ardan mulai panik setelah mendengar itu. Tangannya sedikit gemetar dan matanya sudah memerah, "apa lebih baik di CT SCAN saja, dok sekarang?"

"Kita tunggu keluarga pasien dan reaksi tubuhnya setelah sadar."

"Geo..." Panggil Ardan dengan suara lirih sambil memandang Geo yang masih belum sadarkan diri.

"Kalau begitu, tunggu temanmu sadar dulu. Kalau tidak menunjukkan gejala yang buruk, kalian boleh pulang."

Setelah menepuk bahu Ardan, dokter paruh baya itu pergi dari ruang IGD dan menuju ke tempat lain.

Sang atlet basket berjalan menuju tempat Geo terbaring. Ia mengambil kursi yang ada di samping ranjang dan mendudukinya.

"Ge, gak bosen lu pingsan terus?" Ucap Ardan pada Geo yang tidak mungkin dibalas. "jangan bikin gue khawatir, Ge."

Ardan mengusap wajahnya dengan kasar. Dirinya sudah sangat lelah, stres dan juga badannya sakit. Tapi dirinya diharuskan untuk tetap lebih kuat untuk Geo dan menjelaskan semua pada keluarga pemuda itu.

Perawat pria yang tadi mengobati Ardan sebenarnya menawarkan remaja itu untuk tiduran saja di samping ranjang Geo yang kini sudah kosong. Tapi Ardan menolak dan memilih duduk saja.

Sang perawat tidak memaksa dan memberikan teh manis hangat untuk bisa menenangkan Ardan yang terlihat sangat gelisah.

Sampai akhirnya, ia mendengar suara langkah kaki orang yang terburu-buru dan memanggil namanya dengan halus.

"Ardan, nak."

Itu suara bundanya. Ardan berdiri dan mengalihkan gorden dari kasur seberang yang menutupi pandangannya.

Sang ibu yang melihatnya langsung mempercepat langkahnya dan segera memeluk Ardan dengan erat dan suara bergetar ketika memanggilnya.

"Kamu tidak apa-apa, kan?"

Ardan menggeleng, "tapi Geo –"

"Loh? Ini anak yang waktu itu ikut jualan daging di pasar. Ibu pernah ketemu dia."

"Ya benar, bu. Geo yang ibu ketemu di pasar bareng kakak sama Geo temen Ardan itu sama."

Wanita paruh baya itu masih terkejut mengetahui fakta baru. Ia langsung mendekat ke brankar yang ditempati Geo untuk melihat kondisi remaja itu lebih jelas.

"Apa kata dokter?"

Ardan menggeleng, "masih menunggu nanti kalau Geo sadar." Ardan tidak melihat orang lain bersama ibunya.

"Bunda ke sini sendirian?"

"Tidak. Bunda sama ayah." Ibunya menengok ke belakang dan dia tersenyum ketika pria paruh baya itu muncul dari pintu masuk IGD dengan wajah dinginnya. "Nah, itu ayah."

Ardan langsung menunduk ketika ayahnya mendekat ke arah mereka. Ia benar-benar takur dengan reaksi ayahnya nanti.

Dirinya sudah membayangkan skenario yang mungkin terjadi ketika pria paruh baya itu bertemu dengannya. Ardan sudah siap dengan perlakuan pria tersebut karena dirina memang sudah salah.

"Bagaimana, bund?"

Suara ayahnya yang rendah, membuat bulu kuduk Ardan meremang. Padahal pertanyaan tersebut ditujukan kepada ibunya.

"Seperti yang ayah lihat, Ardan tidak terluka parah. Tapi..." Ibu dua anak itu menoleh ke arah Geo yang masih belum juga sadarkan diri, "temannya belum sadar."

"Sini, dek." Ayahnya memberikan aba-aba menggunakan tangannya agar sang anak bungsu mendekatinya.

Dengan ragu, Ardan mulai mendekat meski kakinya sudah sangat lemas.

"Cepat ke sini." Dengan tidak sabaran, pria paruh baya itu menarik lengan Ardan hingga remaja 16 tahun itu hendak terjerembab ke lantai IGD.

"Ayah..." Ardan mencoba memanggil ayahnya dengan suara lirih. Tapi pria tersebut masih mencengkeram lengannya dengan cukup keras.

"Bisa tidak kamu sehari saja gak bikin ulah?!" Meski dengan suara rendah, Ardan tahu kalau ayahnya sedang menahan emosi yang memuncak. Jika ini bukan di IGD, mungkin pria berstatus ayahnya ini akan berteriak di telinganya.

"Maaf, Yah, itu kecelakaan."

"Makanya jangan main jauh-jauh! Ayah sudah peringatkan sejak kamu memiliki motor itu."

Ardan hanya terdiam dan tidak menanggapi ucapan ayahnya. Ia tidak bisa menampik seluruh ucapan sang ayah karena dirinya memang bersalah.

"Sudahlah, ayah....ini di tempat umum." Wanita dua anak tersebut mencoba menenangkan suaminya untuk tidak membuat keributan.

Ini adalah IGD dan sangat tidak etis rasanya bila ada keributan di tengah banyak orang sakit yang membutuhkan pertolongan.

"Anakmu ini..." Pria 52 tahun itu menggertakan giginya untuk menahan emosi yang sudah membuncah, "ini akibat kalau kamu terus memanjakannya, Lina."

Mau semarah apa sang ayah pada dirinya, Ardan tidak akan membantah. Tapi ketika nama ibunya dibawa-bawa, ia merasa tersinggung.

"Jangan salahkan bunda, Yah. Ini murni kesalahan Ardan. Ardan akan bertanggung jawab."

Pak Indra yang masih emosi, menarik telinga anaknya untuk semakin mendekat. Pria paruh baya itu kembali berkata dengan suara rendah –tepat di telinga anak bungsunya,

"Tanggung jawab apa? Membiayai pengobatan anak itu? Kamu punya uang? Kalau anak itu kenapa-kenapa? Kamu bisa bertanggung jawab seumur hidupnya?"

Setelah mengatakan itu, Pak Indra mendorong kepala Ardan dengan cukup keras hingga benar-benar terjatuh ke lantai. Bahkan bahunya sudah terantuk kaki brankar yang terbuat dari besi.

Beberapa pasien, keluarga pasien dan tenaga medis yang ada di IGD langsung menoleh ke arah Ardan yang terjerembab jatuh.

Sang ibu, dengan cekatan langsung menolong anaknya untuk berdiri. Wanita itu tidak mempedulikan sang suami yang masih memelototi anak bungsunya.

"Ayo bangun, nak." Ucap sang ibu dengan lembut. Ia langsung memeriksa tubuh anaknya –takut ada balutan luka yang terbuka akibat jatuhnya tadi. Namun, semuanya masih terpasang dengan rapi.

Bu Lina menatap sang suami tanpa ekspresi. Ia tidak berbicara apapun dan hanya menuntun anak bungsunya untuk duduk di dekat ranjang Geo.

Sementara pak Indra, masih berdiri di sana dengan tatapan menusuk dan mengabaikan perhatian orang di ruangan tersebut atas tindakannya tadi.

Selang beberapa waktu, dua orang datang tergopoh-gopoh. Dua orang tersebut adalah seorang wanita dewasa dan satunya laki adalah remaja laki-laki dengan tubuh yang tinggi.

"Sus, ada pasien namanya Geovany Mahendra?"

Suster yang menjaga ruang IGD mengecek nama tersebut di komputer, tapi wajahnya mengernyit, "Maaf. Tidak ada pasien bernama Geovany Mahendra, bu."

"Bund, dia di sana." William tiba-tiba berseru dan menunjuk salah satu sudut yang ternyata ada Ardan yang sedang duduk bersama seorang wanita paruh baya. Di sana, bu Hana melihat sang keponakan terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

"Makasih, sus, itu keponakan saya." Setelah mengatakan hal itu, bu Hana menyusul putera sulungnya untuk menuju ke tempat sang keponakan.

"Kak Geo!" Seru William. Ia segera menghambur ke ranjang rumah sakit dan menyentuh wajah kakak sepupunya. Remaja itu mengecek tubuh Geo yang penuh dengan lecet.

"Kurang ajar." Desis William. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ardan yang lengannya masih digenggam wanita paruh baya di sampingnya.

Tanpa pikir panjang, William langsung mencengkeram kerah kaos yang dipake Ardan dan menyeretnya menjauh dari ranjang yang ditempati Geo.

Baik ibunya dan wanita paruh baya yang bersama Ardan, mencoba menghentikan aksi remaja 15 tahun itu. Tapi William seperti tuli dan tidak mendengarkan.

Karena tubuhnya yang hampir sebesar Ardan, William bisa saja menyeret pemuda yang lebih tua darinya itu dan langsung mendaratkan bogem keras ke wajah Ardan.

Sang atlet basket yang tidak bisa melawan, langsung tersungkur kembali ke lantai.

"Will!" Bu Hana mencoba mencegah anaknya untuk bertindak lebih jauh. Namun, William sudah menindih perut Ardan dan mendaratkan tinjuan keduanya.

"Brengsek!" William mencengkeram kerah Ardan dengan erat hingga remaja 16 tahun itu terasa tercekik.

"William! Berhenti!" Bu Hana mencoba menarik anaknya untuk turun dari tubuh Ardan. Tapi tubuhnya yang kecil, membuat ibu dari dua anak tersebut tidak kuat.

Bu Hana menoleh ke arah pria yang ada di belakang dan mirip Ardan –sudah pasti itu ayah dari remaja itu. Namun, pria paruh baya tersebut hanya diam berdiri dan tidak ada niatan menyelamatkan anaknya.

"Bu, tolong, bu." Kini harapan bu Hana hanya ibunya Ardan yang sedari tadi berada di dekat teman keponakannya itu. Tapi percuma saja, rtenaga William masih terlalu kuat bila dibandingkan dengan dua wanita dewasa yang menariknya.

William masih terus memukul Ardan hingga kini anak tersebut sudah mengeluarkan darah segar dari hidungnya.

Bu Lina menjerit ketakutan melihat anaknya yang sudah babak belur dan Bu Hana yang masih berusaha menenangkan putra sulungnya.

Suasana di IGD semakin mencekam. Salah satu keluarga pasien ada yang ikut turut serta mencegah tindakan William. Tapi percuma karena orang tersebut hanya pria tua yang tenaganya tidak begitu besar.

Akhirnya, ada dua perawat laki-laki yang tiba-tiba berlari dan langsung mengangkat tubuh William dengan mudah.

Bu Hana Langsung memeluk anaknya agar emosi William bisa terkontrol. Tangan remaja itu masih terkepal dan gemetar. Napasnya juga cukup berat.

Bu Hana memang baru pertama kali melihat anaknya seemosi ini. Jadi, ia paham jika William pun sebenarnya takut melakukan kekerasan pada Ardan. Tapi karena emosi yang tak terkontrol, ia melakukan hal itu.

"Harusnya bunda jangan halangin William. Bocah brengsek itu udah celakain kak Geo, Bund!"

"Ssttt..." Bu Hana masih terus membelai punggung anaknya agar tenang, "ini kecelakaan. Ardan tidak bermaksud mencelakai kakakmu."

"Halah! Bohong! Dia pasti sengaja!"

William masih melihat ke arah Ardan yang sekarang sedang dibantu untuk duduk ke salah satu ranjang rumah sakit oleh ibunya dan satu perawat laki-laki.

Remaja 16 tahun itu kembali mendapatkan perawatan dari petugas medis yang tadi mengurus luka-lukanya.

Kedua mata Ardan sudah banjir dengan air mata. Tapi dirinya tidak bisa membela dirinya saat ia tahu, bahwa ini yang pantas ia dapatkan karena telah mencelakai Geo.

"Mohon maaf, ini di rumah sakit. Ada baiknya, jangan melakukan keributan di sini." Salah satu perawat wanita mencoba berbicara dengan nada yang halus.

Kedua mata sang perawat memang memandang ke semua orang di IGD, tapi fokusnya sudah jelas pada William dan juga bu Hana.

"Will. Tenanglah." Ucap sang ibu, "kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah."

Setelah mengatakan itu, William sedikit demi sedikit sudah mulai tenang dan petugas medis yang sedari tadi memeganginya, telah melepas kedua bahu remaja 15 tahun itu.

Dan hal mengejutkan terjadi. Salah satu perawat yang sedang mengurusi luka Ardan, melihat Geo yang membuka matanya.

"Ah, sepertinya pasien yang pingsan sudah sadar."

Semuanya menoleh ke ranjang Geo. Baik Bu Hana dan William berlari menuju ke tempat Geo yang baru bangun dan terlihat kebingungan.

"Panggil dokter." Seru salah satu perawat yang bertugas di dekat ranjang kepada teman perawat lainnya.

"Geo, ini tante, nak. Kamu gak apa-apa?"

Geo masih diam dan kedua matanya masih melihat ke sekeliling ruangan asing itu.

"Geo di mana?" Suaranya terdengar lirih dan serak. Itu mungkin karena lamanya Geo pingsan dan tidak ada cairan yang masuk ke tenggorokannya.

"Rumah sakit, nak." Jawab Bu Hana.

"Kak Geo gak apa-apa, kan? Ada yang sakit? Di mana yang sakit?" William langsung menanyakan banyak hal pada kakak sepupunya yang membuat bu Hana harus mencubit lengan anak sulungnya itu agar berhenti bertanya.

Geo tidak langsung menjawab, ia justru tersenyum tipis dan memandang William, "gak apa-apa." Jawabnya.

Namun, pada detik berikutnya, kedua mata Geo terbelalak seperti ingat akan sesuatu.

"Mana Ardan?" Tanyanya dengan nada khawatir, "dia tadi kecelakaan bareng, Geo, kan? Mana dia, Tante?"

"Ssst..." Wanita dua anak itu langsung menenangkan keponakannya, "Ardan baik-baik saja. Tuh dia." Bu Hana langsung memiringkan tubuhnya untuk menampilkan Ardan yang duduk di ranjang seberang dengan masih mendapat perawatan dari salah satu perawat.

Ardan yang melihat Geo menatapnya, langsung tersenyum dan melambaikan tangannya pelan.

"Aku baik-baik aja, Ge."

Semua orang di sana tidak akan menceritakan masalah keributan tadi pada Geo karena anak itu baru saja bangun.

Namun, wajah jengkel dari William memang tidak bisa dihilangkan ketika menatap Ardan. Hal itu juga membuat Geo tersadar bahwa adik sepupunya sedang marah.

"Will," Geo menyentuh tangan William yang lebih besar darinya, "ini bukan salah Ardan kok. Dia mengendarai motornya dengan baik. Tapi siapa yang tahu, sih, Will, kita bakal kecelakaan?"

Napas remaja 15 tahun itu kembali berat dan kedua matanya memerah hingga ekspresi mukanya bertambah keruh. Tapi William mencoba diam untuk menetralkan amarahnya.

"Maaf, permisi."

Semua orang yang mengerubungi Geo langsung melihat ke arah pria dengan jas putih.

"Saya dokter Nugroho, mau memeriksa pasien bernama..."

"Govany Mahendra, dok." Ucap Bu Hana ketika ia sadar, bahwa kemungkinan besar keponakannya belum terdaftar di administrasi rumah sakit.

"Ya, Geovany." Ulang sang dokter, "saya akan memeriksa Geovany dulu untuk mengetahui, apakah ada luka atau cedera parah akibat kecelakaan yang dialami Geovany."

"Oh, ya, silakan, dok." Bu Hana mempersilakan sang dokter untuk mendekati keponakannya. Ia juga menyeret William agar menjauh dan menutup gorden hijau agar pemeriksaan segera dilakukan.

"Maaf, ibu, silakan menuju ke meja administrasi untuk mencatatkan identitas pasien dan keperluan lainnya." Perawat laki-laki yang sudah selesai merawat luka Ardan, memberikan petunjuk untuk keluarga pasien.

"Oh...baik, mas." Bu Hana menyolek lengan anaknya, "Will, ambil tas kakakmu. Mungkin ada kartu pelajarnya."

William langsung bertindak dan membawa tas kakaknya. Sementara itu, bu Hana terkejut ketika ibunya Ardan mendekatinya dan berkata,

"Bu, biar saya yang menanggung biaya perawatan nak Geo, ya?"

"Eh –tapi bu...apa tidak apa-apa?"

"Ini bentuk tanggung jawab kami, karena anak kamilah yang menyebabkan keponakan ibu terlibat kecelakaan." Kali ini, suara pria paruh baya yang mengintrupsi mereka bardua.

Pria tersebut terlihat sangat berwibawa, hingga bu Hana sulit untuk menolaknya. Jadi, ia hanya mengangguk dan memberikan kartu pelajar Geo yang ia ambil dari tas sang keponakan.

Dirinya hanya datang bersama William karena Nathan sudah tertidur dan suaminya tidak peduli sama sekali. Awalnya, ia juga bingung untuk biaya berobat sang keponakan.

Tapi melihat keluarga Ardan yang bertanggung jawab, bu Hana langsung merasa lega.

"Saya juga minta maaf atas nama William, anak saya," Bu Hana menarik lengan William, "sebab, William tadi telah memukul Ardan. Saya dan William meminta maaf."

Reaksi ibunya Ardan memang datar, tapi sang ayah langsung membalas, "tidak masalah. Itu pantas Ardan dapatkan karena bertindak sembrono."

Kedua keluarga itu terlihat kaku setelahnya. Tapi kekakuan tersebut pecah, saat dokter mendekati mereka semua dan pemeriksaan telah selesai.

"Geovany terlihat baik-baik saja. Mungkin dia pingsan karena shock." Sang dokter melihat ke arah Ardan yang masih terduduk lemas di ranjang sebelah.

"Kamu yang tadi bersama Geovany?" Tanya sang dokter yang dijawab anggukan oleh Ardan, "apa tadi dia kena benturan di kepala saat jatuh?"

"Kurang tahu, dok karena saya juga tidak sadar bagaimana jatuhnya Geo. Tapi helmnya masih terpasang ketika jatuh."

Sang dokter mengangguk-anggukkan kepalanya, "baiklah. Untuk mengetahui kondisi Geovany lebih dalam, sebaiknya dia menginap di rumah sakit malam ini sampai besok sore."

"Jadi, Geo harus rawat inap, dok?" Tanya bu Hana dengan khawatir.

"Ya." Sang dokter menyuruh perawat yang tadi bersamanya untuk mendekat, "tolong siapkan ruangan untuk pasien Geovany."

"Baik, dok."

"Selama Geovany di sini, kita akan kontrol. Jika ada reaksi negatif dari tubuhnya pasca kecelakaan, bisa kita tangani dengan cepat."

Baik bu Hana dan William hanya mengangguk dan melihat sang dokter pergi setelah berpamitan.

"Mari, keluarga pasien. Silakan untuk menuju ke meja administrasi." Kata sang perawat lain.

"Biar kami saja, bu." Ibunya Ardan berkata dengan senyum lembut yang menenangkan, "seluruh biaya perawatan nak Geo, biar kami tanggung."

"Terimakasih, bu, pak."

"Sudah jadi kewajiban kita." Kata bu Lina. Wanita itu lalu mengambil kartu pelajar Geo dan menggandeng suaminya untuk menuju meja administrasi.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top