Ch 15; Tragedy

Jangan lupa, setelah baca, ninggaling jejak berupa like dan komentar ya ^^

.

.

.

"Ngapain sih tu orang datang lagi –"

" –sst!" Geo menyubit siku William main-main ketika adik sepupunya memasang wajah risih dan terlihat tidak suka dengan kedatangan Ardan.

"Lo mau minum apa, Dan?" Tanya Geo.

"Ah, nanti aja, Ge."

Geo mengangguk-anggukkan kepalanya, dan dirinya berjalan menuju ke dalam untuk mengganti pakaiannya tanpa pamit dengan Ardan.

Sementara itu, Ardan ditinggal sendiri di ruang tengah bersama adik sepupu Geo yang bernama William.

Bocah SMP jangkung itu menatap sinis teman kakaknya tanpa ditutup-tutupi. Hal tersebut tentu membuat Ardan menaikkan sebelah alisnya.

"Ada apa, Will?"

"Gak ada." William melipat kedua tangannya di depan dada dan duduk di sofa berseberangan dengan Ardan.

"Kuperhatikan, kak Ardan sering amat main ke sini."

Ardan tersenyum kaku sebelum merespon ucapan dari William, "emang gak boleh?"

"Pas banget lagi saat ayahku lagi gak di rumah."

Ardan berdeham dan mendekatkan dirinya ke William. Dengan suara rendah, ia berkata, "sebenarnya gue takut sama ayahmu. Makanya sebelum main gue tanya Geo dulu, ada ayahmu atau gak."

"Ya ada baiknya kak Ardan main pas ada ayah, sih. Jadi, kan, kenal seluruh keluarga kak Geo."

Mendengar ucapan tersebut, tubuh sang atlet basket langsung kaku dan tidak tahu harus berkata apa. Dirinya tidak menyangka jika William bisa mengatakan hal demikian.

"Eh –oh. Harus, ya?"

"Ya harus." Jawab William dengan nada dingin, "masa badan gede kayak kak Ardan takut sama ayah."

Ardan langsung nyengir kaku dikatai seperti itu oleh anak SMP. "O-oke. Net gue bakal main lagi pas ada bokap lo di rumah."

William tidak berkata apapun kecuali hanya mengangguk. Ardan kira, bocah remaja itu akan pergi dari ruang tengah menuju ke kamarnya. Tapi dugaannya salah karena William masih duduk di situ sambil memandanginya.

"Orang tua kak Ardan kenal sama Geo?"

"Baru bunda gue, sih, yang kenal Geo."

"Oh."

Entah kenapa Ardan seperti sedang diwawancarai adik calon istrinya yang tidak rela kalau kakaknya berpacaran dengannya.

Eh, ya...Bener, sih.

Apa nanti William akan marah jika dirinya mengencani Geo? Atas dasar apa anak itu marah jika nantinya Geo menyukainya?

Eh?

HEEEH!

Astaga Ardan! Sadar lah! Tanpa Ardan sadari, dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan memukul-mukulnya agar dirinya sadar dari pikirannya yang sedang kacau.

"Lo kenapa, kak?"

Ardan baru berhenti melakukan tindakan anehnya itu saat ia mendengar suara William yang sedang menatapnya aneh.

"Eh? Gak!" Ia menurunkan kedua tangannya yang tadi ia gunakan untuk memukul-pukul kepalanya, "Kuping gue tadi ada bunyi ngiiing, gitu. Tahu, kan?"

William tidak mengangguk atau merespon apapun, tapi ekspresi wajahnya masih tetap sama seperti tadi –yaitu menatap Ardan dengan aneh.

"Hei, lagi ngobrolin apa?"

Entah kenapa Ardan jadi lega setelah ada Geo yang turun dari kamarnya dan bergabung dengan mereke berdua.

"Aneh ni orang, kak." Sebelum Ardan menjawab, William sudah terlebih dulu berbicara dan pergi meninggalkan Geo dan juga Ardan di sana.

Geo memicingkan sebelah alisnya heran dan menatap ke Ardan, "kenapa dia?" Tanyanya.

Ardan yang benar-benar tidak tahu dengan tingkat adik sepupu Geo, hanya mengedikkan kedua bahunya –tanda dirinya juga tidak tahu.

Sebenarnya Ardan ke rumah Geo juga tidak ada alasan, tapi ia mohon-mohon pada Geo ingin ke rumahnya karena suasana di rumah tersebut sejuk dan ramai tidak seperti rumahnya.

Jadi Geo yang mengingat Ardan adalah anak bungsu yang sering ditinggal pergi orang tuanya, merasa kasihan. Mungkin di rumah tantenya, Ardan jadi tidak kesepian.

Beruntunglah pamannya ini memang ada pekerjaan tambahan di tempat penjagalan setelah berjualan. Hampir setiap hari, sang paman pulang malam.

Entah kenapa itu membuat Geo menjadi lebih lega. Ia seperti bebas mengakses rumah ini tanpa harus sedikit-sedikit kena marah hanya karena hal kecil yang membuat pamannya marah.

.

.

,

Dua hari berikutnya, Ardan kembali main ke rumahnya. Ini hari Jumat dan sekolah pulang lebih awal. Jadi, Ardan meminta lagi untuk main ke rumah Geo.

Seperti biasa, William yang baru pulang sekolah langsung memandang sinis pada Ardan. Sementara Nathan cukup senang. Terlebih lagi, Ardan sering membawa anak itu ke minimarket untuk membelikannya jajan.

"Seharusnya lo jangan jajanin Nathan kebanyakan, Dan. Nanti dia minta jajan terus sama lo." Ucap Geo setelah Nathan turun dari motor Ardan dan berlari masuk ke dalam.

Ardan mematikan mesin dan menurunkan standar motornya. "Tidak apa. Nathan juga seneng tuh. Gue beliin juga buat William biar anak itu gak cemberut mulu."

Ah, benar...

Geo selalu penasaran, kenapa William selalu terlihat bete ketika Ardan main ke sini.

"Dia emang seperti itu." Kata Geo. Ia tidak enak juga kalau mengutarakan pikirannya. Karena kemungkinan besar, William tidak menyukai Ardan.

Mengingat omongannya tempo lalu, bisa ditebak, sih, kalau bocah 15 tahun itu terlihat kurang suka pada Ardan. Sampai sekarang, Geo juga tidak tahu apa alasannya.

"Ya udah, ayo masuk. Tadi gue goreng tempe mendhoan." Selagi Ardan membawa Nathan ke Minimarket, Geo memang tadi menggoreng mendhoan sebagai pendamping makan adik-adiknya.

"Lo bisa masak, Ge?" Tanya Ardan. Ini fakta dari Geo yang baru Ardan ketahui.

"Ya...dikit-dikit sih. Kalau goreng-goreng kayak gitu, mah, gampang."

Ardan berjalan beriringan dengan Geo menuju pintu belakang untuk masuk ke dalam rumah tersebut.

"Itu menurutku hebat, sih. Daripada gue. Goreng telur aja gosong."

Tiba-tiba Geo tertawa setelah Ardan mengatakan hal tersebut dan itu membuat Ardan terpaku sejenak.

Geo adalah pemuda pendiam dan jarang sekali tersenyum selama dia mengenalnya. Meski beberapa kali melihat remaja itu tersenyum atau bahkan tertawa terbahak, Ardan selalu terpukau.

Entah kenapa, saat Geo tersenyum, aura kebahagiaan langsung terpancar pada orang-orang di sekitarnya.

"Ya mungkin lo karena jarang masak, sih, Dan."

Ardan tertawa kaku, "Iya, lo bener." Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, Ardan berjalan ke arah meja makan dan melihat ada tempe mendhoan yang baru digoreng dan sambal kecap pada mangkok kecil di sebelahnya.

"Kelihatannya enak."

"Awas panas, hati-hati."

Ardan mendengar itu langsung terdiam. Bagaimana bisa ada orang yang begitu perhatian padanya? Ibunya saja tidak seperti Geo.

Eh...

Sungguh berlebihan pemikirannya ini. Tentu saja Geo mengatakan demikian karena pada dasarnya, mendhoan tersebut memang panas.

Meski masih panas, Ardan mencoba untuk menggigit gorengan tersebut dengan cukup kesusahan. Namun, sang atlet basket bisa mengunyahnya.

"Enak!" Ardan mencoba menggigitnya lagi, "beneran enak, Ge." Komentarnya dengan mulut yang masih mengunyah.

"Syukurlah. Nanti dimakan sama sayur dan nasi. Lo belum makan siang, kan? Nanti bareng William sama Nathan."

"Lo juga."

Geo tersenyum tipis, "ya iyalah."

Wajah Ardan tiba-tiba memerah karena pikirannya yang tiba-tiba terlintas. Dirinya memikirkan betapa lengkap dirinya jika makan dengan seseorang yang disayang.

Disayang?

Iya! Benar, kan? Ardan sayang Geo, kok. Tapi sebagai teman. Bukan begitu?

Ardan bahkan bergelut dengan pemikirannya sendiri. Dirinya masih bingung, kenapa pikirannya tidak pernah waras saat bersama dengan Geo?

.

.

.

Sore harinya, tante Hana pulang. Tapi wanita 40 tahunan itu hendak kembali lagi ke toko bosnya karena lupa tidak membawa barang belanjaannya yang tadi sudah dibeli.

Seperti biasa, Ardan yang merasa tidak enak, langsung menawari tante Hana untuk mengantarkan beliau ke toko yang dimaksud.

"Eh! Tidak usah, Ardan. Tante saja gak bisa naik motormu."

"Bisa, pasti tante." Ucap Ardan, ia berdiri dan mengambil jaketnya yang tergeletak di punggung sofa. "Daripada tante ngegojek atau naik angkot."

"Beneran nih, nak Ardan?"

"Iya, tante. Yuk."

"Udah tante. Ikut aja." Ujar Geo pada tantenya yang masih kurang yakin ketika ditawari sang atlet basket.

"Baiklah."

Beruntug, tante Hana sudah memakai celana karena masih menggunakan seragam tokonya.

Jadi, tante Hana langsung mengikuti Ardan menuju ke halaman dan mencoba menunggangi motor sport tersebut meski sedkit kesulitan.

Geo yang tadinya melihat dari depan pintu teras, langsung berlari untuk membantu tantenya naik. Tapi ketika sudah berada di sana, tanr Hana berhasil menunggangi motor tersebut.

"Gue sama tante Hana ke toko dulu, ya, Ge."

"Oke."

Mereka berdua pergi dari rumah itu dan kembali 45 menit kemudian. Ternyata tante Hana meminta Ardan mampir ke pasar sebentar. Ibu dua anak itu katanya ingin masa sesuatu untuk makan malam nanti.

Geo berulang kali meminta maaf kepada Ardan, karena takut sang atlet basket merasa risih karena disuruh-suruh seperti tadi.

Tapi nyatanya Ardan terlihat biasa saja dan tidak keberatan karena harus mengikuti perintah tantenya.

*****

William sudah cukup senang karena hampir Seminggu, Ardan tidak main lagi. Kakak sepupunya juga terlihat biasa saja dan masih sibuk dengan kegiatannya sepulang sekolah.

Nathan yang penasaran kenapa Ardan tidak datang lagi, bertanya pada Geo. Dan kakak sepupunya itu menjawab jika Ardan sibuk latihan untuk turnament basket semester depan.

Oh beneran atlet basket –batin William. Setelah mendengar itu, remaja tersebut berjalan ke dalam kamarnya.

Tapi William kembali memasang wajah suramnya ketika Ardan pada sore hari tiba-tiba datang dengan membawa banyak buah-buahan di dalam tas plastik.

"Loh repot-repot sekali, nak Ardan."

Ardan tersenyum, "gak apa-apa, tante. Kebetulan ini hasil kebun sendiri."

"Oh keluargamu rawat kebun di rumah?"

"Bukan, sih. Tapi pekarangan yang beda kompleks. Kebetulan masih tanah ayah, daripada kosong, ayah inisiatif nanam buah-buahan."

"Nathan mau!" Bocah 13 tahun itu merebut bungkusan buah yang ada di tangan bundanya dan segera berjalan menuju dapur."

"Makasih, ya, nak Ardan. Ini orang tuamu tahu, kan?"

"Tahu, kok, tante. Ini juga bundaku yang nyuruh."

Tante Hana menyuruh Ardan masuk, sementara kepala bu Hana menghadap ke arah belakang, "Ah, mungkin Geo lagi cuci baju di atas."

"Siapa?"

Jantung Ardan berdegup cepat ketika ada pria yang sudah ia kenali wajahnya, tiba-tiba muncul dari kamar dan memasang wajah dingin.

"Eh, ini, Yah. Si Ardan. Temennya Geo."

Tante Hana segera mendekati suaminya dan memegang lengannya. Wanita dua anak itu membisikkan sesuatu ke telinga sang suami yang Ardan juga sedikit mendengarnya.

Ardan mendengar, tante Hana menyuruh Pak Abim untuk bersikap ramah.

"Om." Ardan berdiri dari duduknya dan bersalaman dengan pria itu. "Saya temannya Geo, om."

Pak Abim terlihat menyipitkan kedua matanya ketika menatap Ardan. "sepertinya aku pernah ketemu kamu."

Ah, Ardan tahu...

"Itu mungkin kakak saya, om. Waktu itu dia cerita ketemu Geo."

Pria paruh baya itu terdiam sambil memandang ke arah Ardan, "bukan Geo yang cerita?"

"Bukan, kok, om." Jika Ardan mengatakan kalau Geo bercerita, bisa kacau nanti.

Pria tersebut tidak berbicara lagi dan memilih pergi ke teras samping untuk merokok dan melihat burung yang tergantung di sana.

"Nak Ardan bisa naik ke kamar Geo kalau mau."

"Baik, tante."

Kebetulan, sih. Dari pada di bawah dan dipelototin pamannya Geo, lebih baik menuju ke kamar Geo.

Ardan sudah ada di atas dan mendengar suara mesin cuci yang sedang berputar dengan gemericik air dari kran yang menyala.

"Geo."

Remaja itu memakai baju tanpa lengan dan celana setengah paha. Ardan yang melihatnya menahan napas beberapa detik dan memundurkan tubuhnya.

Ini pemandangan langka.

Biasanya ia melihat Geo menggunakan pakaian serba panjang dan kulit putihnya tidak terlihat. Tapi sekarang –

"Ardan?"

Ardan tersadar dan mengedip-ngedipkan kedua matanya, "Eh, ya?"

Geo mematikan kran airnya. Ia mengelap tangannya pada bajunya itu dan berjalan ke arah Ardan. "Kok gak kabar-kabar kalau ke sini."

"Tadi aku coba calling lo tapi gak diangkat-angkat."

Geo tersenyum, senyum yang membuat Ardan langsung terlihat bengong hingga mulutnya sedikit menganga.

"Gue lagi nyuci. Hp gue ada di dalem kamar." Dia tiba-tiba berhenti berbicara, lalu mulai berkata dengan suara lirih, "di bawah ada paman..."

"Iya. Tadi gue ketemu, kok. Salaman juga."

"Gak dimarahi?"

"Gak. Dia kayak cuek aja. Terus gue disuruh ke atas sama tante Hana."

"Oh..." Geo menganggguk-anggukkan kepalanya. "Jadi, lo ke sini mau apa?"

"Main?" Itu bukan jawaban, tapi pertanyaan yang ragu. "Gue gabut aja sih. Apalagi besok libur panjang."

Besok dari hari Kamis hingga Minggu memang libur karena tanggal merah.

"Hoalah. Ya udah lo tiduran di kamar dulu gak apa-apa. Gue selesaiin cucian dulu."

"Gak lah. Gue di sini aja. Liatin lo nyuci."

Geo terdiam sebentar dengan alisnya terangkat menatap Ardan tidak percaya, "ya udah." Ucapnya sambil membalikkan badannya dan kembali berdiri di depan mesin cuci.

"Ge,"

"Hm?" Jawabnya tanpa menoleh pada Ardan.

"Besok liburan ke pantai, yuk?"

Geo memang tidak menjawabnya secara langsung. Remaja itu masih memandangi gilingan baju di dalam mesin cuci sampai akhirnya dia berbalik memandang Ardan dan menjawab, "Emang gue boleh pergi?"

"Boleh, kan?" Ardan malah balik bertanya, "tante Hana pasti ngijinin kok."

"Naik motormu?"

"Ya."

Kepala Geo didongakkan ke atas, seakan-akan dia sedang memikirkan sesuatu sebelum merespon ucapan Ardan, "lo bantu gue ijin kalau mau."

Senyum Ardan langsung mengembang cerah. Sang atlet basket itu mengangguk semangat, pasti. Gue bantu lo ijin sama tante Hana. Bila perlu sama paman lo sekalian."

Melihat itu, Geo menunduk dan tertawa lirih. Ia baru melihat Ardan sesemangat itu hingga mulutnya menganga lebar.

Sementara Ardan yang ada di seberangnya, terpaku diam seperti orang bodoh karena melihat Geo tertawa lirih, kepala tertunduk dan kedua pipinya yang terlihat kemerahan.

Kenapa Geo begitu manis kalau tertawa seperti itu? Kali ini Ardan memikirkan hal itu dalam keadaan sadar.

*****

"Nathan Ikuuutt!"

"Heeh!" William langsung menarik kerah belakang adiknya yang hendak naik ke atas motor Ardan. Nathan langsung cemberut karena William menghalanginya.

"Nathan di rumah dulu, ya. Besok-besok kak Geo ajak kamu main. Mau?" Ucap Geo dengan suara halus agar Nathan mau melepaskannya pergi.

"Janji?"

"Janji, dong." Ucap Geo sambil membelai kepala bocah 13 tahun itu. Ia lalu menatap William, "jaga rumah." Nasihatnya pada adik sepupu yang paling besar.

Tante Hana dan Paman Abim memang bekerja dan Geo sudah mengantongi izin dari tantenya. Karena itu, jika ia pergi, hanya ada William dan Nathan di rumah.

Ardan menaikkan kaca helmnya lalu memandang Nathan, "ntar kakak beliin oleh-oleh dari pantai, deh. Nathan mau apa?"

Bocah 13 tahun itu memasang wajah kesal dan berkali-kali mengehela napas karena menahan emosinya. "Nathan mau ikut!"

Mendengar itu, sukses membuat Geo memandang Ardan dengan tatapan tidak enak. Nathan memang sering sekali seperti ini. Meski anak laki-laki, bocah 13 tahun ini sangat manja dengan Geo.

"Gimana, nih, Dan?" Tanya Geo sambil menepuk-nepuk jok belakang motor Ardan. Ia juga semakin tidak tega jika harus meninggalkan Nathan.

"Udah kalian pergi aja. Nathan kan emang selalu kayak gini."

"Will –"

" –heh, kak." William memotong panggilan Geo dan remaja 15 tahun itu justru menatap Ardan dengan kedua matanya yang menyipit, "lo kalau bawa motornya ugal-ugalan, awas aja."

Ardan tertawa, ia membentuk tangannya seperti tanda 'OK' pada William yang masih memegang lengan Nathan agar tidak loncat ke motor sang atlet basket.

"Tenang aja, Will. Aman terkendali." Jawab Ardan.

"Kalau kakak gue kenapa-napa, gue hajar lu –"

"Ehhh....Will! Hussh...hushhh jangan gitu!" Geo menepuk-nepuk punggung adik sepupunya itu. Ia tidak enak jika Ardan diancam-ancam seperti itu oleh adiknya.

"Ya udah sana kalian pergi."

"Trus Nathan sama siapa?" Tiba-tiba Nathan kembali berseru.

"Ya sama aku, lah." Ujar William sambil terus menahan Nathan untuk tidak ikut naik ke atas motor. "Udah kak sana naik. Nathan sama gue di sini."

"Nanti kalian janji bawa oleh-oleh! Jangan lupa!" Ternyata Nathan masih tidak terima jika dirinya tidak diajak.

"Iya." Jawab Geo sembari naik ke atas motor sport milik Ardan.

Sang atlet basket mulai menyalakan mesinnya dan menengok ke belakang untuk mengecek Geo yang sudah memakai helmnya atau belum.

Ardan hanya membawa helm bogo karena itu yang dia miliki di rumah selain helmnya. Itu memang helm lama yang dibelikan ibunya dulu saat dia masih SMP, tapi masih bagus dan terlihat manis dipakai Geo.

Ketika semuanya siap, Ardan dan Geo melambaikan sebelah tangannya ke arah William dan Nathan.

Mereka berdua melaju dan meninggalkan pekarangan rumah tersebut. Dalam waktu beberapa menit saja, sudah sampai ke jalan raya dan menuju ke pantai.

*****

"Aku gak mau lagi ke pantai naik motor. Capek banget."

Geo mengeluhkan punggungnya yang sakit karena perjalanan menuju ke pantai tadi berlangsung selama dua setengah jam.

Kini, waktu sudah menjelang malam dan mereka berniat untuk pulang. Namun, Geo membayangkan dua setengah jam di atas motor lagi, dirinya merasa sudah lelah duluan.

"Ya udah. Nanti kalau kita udah naik kelas 11, gue bawa mobil deh buat ke pantai."

Geo yang masih kesal, tetap naik ke motor Ardan dan memasangkan helm ke kepalanya, "emang lo udah ada SIM?"

"Ya bikin aja sekalian. Kan tahun depan sudah 17 tahun."

"Lancar dulu, lah naik mobilnya."

"Udah lancar elah. Nggak percayaan amat." Ardan menoleh ke belakang dan mengecek Geo. "Udah? Kita jalan."

"Oke."

Karena langsit sudah hampir gelap, Ardan menyalakan lampu utama pada motornya agar jalanan terlihat.

Beruntung, jalanannya sudah semua diaspal, meski beberapa area yang dekat pantai masih belum keseluruhan mulus.

Ardan juga cukup pandai mengendarai motor, padahal jalanannya sungguh berliku. Mungkin Geo tidak akan bisa melalui jalan berliku seperti ini meski menggunakan sepeda.

"Pegangan, Ge. Ini udah hampir gelap."

Geo mendengar ucapan Ardan yang sedikit berteriak, ia langsung menuruti dan memeluk pinggang sang atlet basket. "Oke."

"Jaket lo kencengin. Dingin banget ini."

"Iyaa...iyaaa...udah bawel."

Geo tidak tahu sama sekali kalau Ardan saat ini tertawa lebar di depan. Sang atlet basket merasa hari ini sangat senang.

Apalagi...

Ah, mungkin dirinya akan mencetak beberapa foto yang tadi dia ambil di ponselnya. Ada banyak foto Geo yang ia ambil diam-diam saat cowok tadi sedang fokus membuat istana pasir.

sungguh menggemaskan –pikir Ardan.

Pemuda jangkung itu menoleh ke atas langit sebentar karena ini sudah sangat gelap. Dirinya mempercepat lajunya agar nanti sudah ada di rumah Geo sebelum paman Abim pulang.

Ardan mulai mempercepat laju motornya, hingga Geo meneriakinya untuk berhati-hati.

"Santai, Ge." Jawabnya.

Ardan membelokkan stang motornya pada jalan menikung hingga kecepatannya sedikit diturunkan.

Dirinya kaget ketika di depannya ada sebuah mobil yang tiba-tiba menyalip mobil di depannya. Padahal ini jalan menikung, bisa-bisanya ada mobil yang menyalip.

Ardan dengan cepat memipirkan motornya ke samping kiri. Namun sialnya, stang motornya mengenai spion mobil yang tadi menyalip hingga motor Ardan sedikit terpental ke samping kiri jalan.

"ARDAN –"

Ardan mencoba menyeimbangkan motornya agar tidak jatuh, tapi nasib beruntung tidak berpihak pada Ardan dan Geo. Motornya menabrak pembatas semen yang ada di kiri jalan hingga mereke berdua jatuh ke aspal.

Ardan berhasil menahan tubuh dengan kedua tangannya sendiri. Tapi Geo yang ada di belakang tidak siap dengan jatuhnya motor hingga tubuhnya jatuh dan sedikit terlempar ke jalan.

Begitu sadar Geo sudah tidak ada lagi di belakangnya, Ardan langsung menoleh ke arah jalanan. Ia segera menyingkirkan motornya itu dari kaki kirinya dan berlari tertatih untuk menarik tubuh Geo ke pinggir jalan.

"Geo!"

Ardan mengabaikan rasa sakit yang ada di tangan dan kakinya. Kedua matanya menatap tubuh Geo yang terkapar tidak sadarkan diri di pinggir jalan dengan khawatir.

Segera saja ia melepaskan helm yang masih terpasang di kepala Geo. Beruntung sekali helmnya tidak lepas, kepala pemuda itu masih terlindungi

Tidak ada darah yang mengucur dari tubuh Geo. Tapi pemuda itu mengalami beberapa luka gesekan di lengan dan dagunya.

Meski sudah terlindung helm, ternyata ada luka lebam yang berwarna merah gelap di dahi Geo. Dia khawatir, jika ada luka dalam yang terjadi pada Geo mengingat pemuda tersebut pingsan.

Ia menatap nyalang ke jalanan yang sekarang sepi. Mobil yang tadi ugal-ugalan malah kabur entah ke mana dan tidak bertanggung jawab.

"Ge-Geo." Iya menepuk-nepuk pipi Geo dengan pelan. Ardan lalu berpindah memegang kedua bahu pemuda itu dan mengguncangkannya.

"GEO!" Ardan sudah sangat panik. Ia tidak ingin hal buruk terjadi pada Geo. Tadi mereka bersenang-senang dan menikmati keindahan pantai. Kenapa jadi seperti ini.

"Geo, bangun, Ge. Jangan seperti ini!!!"

Tiba-tiba Ardan teringat ucapan William yang menyuruh dirinya menjaga Geo. Tapi melihat Geo yang kini terkapar tak sadarkan diri, tanpa disadari Ardan menangis.

Dia bingung harus berbuat apa sementara tidak ada kendaraan lain yang melintas.

"Geo...Geo...tolong jangan seperti ini." Ardan menepuk-nepuk pipi Geo lagi, "Ge, tolong buka mata lo. Maafin gue, Ge, maafin."

Dia tidak bisa menghadapi hal lebih buruk lagi yang terjadi pada Geo, pada akhirnya, ia berteriak untuk minta tolong.

"TOLONG!!!!"

Ardan menangis sambil terus berteriak meminyta pertolongan. Tubuh Geo yang terkulai lemas, ia peluk erat agar tidak kedinginan.

"TOLONG!!!"

Ardan bersyukur ketika melihat sebuah mobil melintas di jalan tersebut dan mau berhenti.

Dua laki-laki dewasa keluar dari dalam mobil itu dengan raut wajah khawatir.

"Tolong, pak. Saya dan teman saya kecelakaan, pak."

"Ditabrak, dek?"

Ardan tidak bisa menjawab, ia hanya menggeleng dan menunduk memeluk Geo, "tolong, pak."

"Iya...iya bapak tolongin."

"Woy, telepon ambulans!" Ucap salah satu pria paruh baya pada pria lain yang kelihatannya jauh lebih muda.

"Tenang aja, dek. Sebentar lagi ambulans datang."

Ardan masih juga menangis karena Geo masih belum sadar. Sembari tubuh Geo dipeluk, Ardan mengamati tiap inci tubuh yang lebih kecil darinya itu.

Terlihat hanya luka kecil saja, dan bahkan lebih parah darinya. Tapi mengapa Geo bisa pingsan?

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top