Ch 14; Oh My Heart
Jangan lupa vote dan komen, ya!
Geo berhenti memakan jajanannya setelah sadar bahwa kondisi langit sudah sedikit lebih gelap dari beberapa menit yang lalu. Ia mendongak dan berkata,
"Sepertinya mau hujan, nih."
Ardan selesai meneguk sisa es jeruk yang ada di gelas plastiknya. Kemudian sang atlet ikut mendongak untuk menatap langit dengan kedua mata disipitkan, "lo bener."
"Pulang sekarang?" Tanya Geo. Karena dia enggan hujan-hujanan di tempat yang jauh dari rumah tantenya. Ia takut, nanti pulangnya terlalu sore bila harus menunggu hujan reda. Lebih baik pulang sekarang ketika masih mendung.
"Yah, baru bentar, Ge. Masa pulang."
"Nanti kalau hujan, kita kudu nunggu reda dulu, ntar ulangnya terlalu sore." Jeda sejenak, Geo kembali bersuara, "lagi pula, lo gak bawa mantel kan?"
rdan berdecak sebal. Ya benar. Dirinya tidak membawa mantal. Motor sport seperti itu, jika tidak dipasang bagasi tambahan, mau meletakkan mantel di mana?
Karena hal tersebut, Ardan akhirnya menyetujui, "okelah. Kita pulang." Lagi pula, ia tidak tega juka nanti Geo malah dimarahi pamannya karena pulang telat.
"Beresin ini dulu." Kata Geo. Ia tidak lupa membawa jajan untuk kedua adiknya yang ada di plastik hitam. Jajan miliknya serta Ardan juga belum habis. Jadi, ia ambil semua dan dimasukkan dalam satu tas plastik.
"Ayo." Ajak Geo setelah semua jajannya dimasukkan ke tas plastiknya.
"Oke."
Mereka pergi dari alun-alun dengan Geo yang bonceng di belakang Ardan. Ia akhirnya pegangan pada pinggang atlet basket itu karena tangan satunya memegang tas plastik berisi jajanan tadi.
Mengetahui hal tersebut, diam-diam Ardan menyeringai senang dan menambahkan kecepatan motornya. Ia langsung merasa kalau Geo memperkuat pegangan di pinggangnya, tapi tidak protes sama sekali.
Mungkin Geo ingin cepat sampai rumah, jadi ketika Ardan mempercepat motornya, ia diam saja agar bisa berada di rumah secepat mungkin.
Namun, usaha Ardan sepertinya sia-sia. Ternyata ketika sudah hampir dekat dengan wilayah perumahan Geo, hujan sudah turun dengan sangat deras.
Ardan sudah menawari Geo untuk menepi dulu dan meneduh. Tapi anak redaksi itu justru menolaknya dan menyuruh Ardan untuk terus melaju dan menerobos hujan.
Alhasil, seragam mereka benar-benar basah. Beruntung Ardan memiliki dua seragam OSIS, dirinya bisa menggunakan seragam satunya lagi
Lagipula, nanggung juga jika harus menepi karena ini sudah berada di lingkungan rumah tantenya Geo, tinggal 3-5 menit, sudah sampai ke lokasi. Untuk itulah Ardan menuruti kemauan Geo untuk menerobos hujan.
Akhirnya mereka sudah sampai depan rumah tantenya Geo. Hujan masih terus turun meski tidak sebesar tadi. Geo turun dari boncengan belakang dan mendekati Ardan yang sedang mencopot helmnya.
"Dan, mampir dulu aja." Tawar Geo pada sang aatlet basket. Geo langsung mundur ketika Ardan mengibas-ngibaskan rambutnya.. Air yang ada di rambut Ardan mengenai wajahnya, mau tidak mau Geo harus mundur.
Melihat itu, Geo berpikir, jika para siswi di sekolahnya melihat momen ini, sudah pasti mereka langsung berteriak histeris.
Ia memang akui kalau Ardan termasuk siswa yang cukup tampan di sekolahnya. Berulang kali dirinya juga menangkap gambarnya untuk keperluan Mading sekolah sebagai anak redaksi.
Tapi gak perlu juga dia sok ganteng seperti ini di depannya. Dirinya bukanlah seorang perempuan yang akan menjerit karena aksi Ardan itu.
"Gak dimarahi paman lo?" Tanya Ardan setelah merapikan rambutnya yang masih basah.
"Oh." Itu adalah reaaksi Geo. Tapi ia kembali bersuara lagi pada Ardan, "lo tunggu dulu di sini." Ia mendorong motor Ardan untuk majuan sedikit agar bisa menepi di bawah pohon, dengan begitu, Ardan tidak langsung terkena hujan.
"Gue pulang aja, deh GE."
"Gak papa. Lo tunggu dulu di sini. Rumah lo dari sini tuh jauh. Gak tega lo hujan-hujanan sampe rumah."
Mendengar itu, tiba-tiba dada Ardan terasa hangat sampai tulang pipinya terangkat hingga bibirnya melengkung untuk tersenyum. Ia yakin, kini wajahnya juga memerah.
"Hehehe....Ok deh, Ge."
Setelah Ardan setuju, Geo langsung membuka gerbang secara perlahan. Ia sedikit berlari agar Ardan tidak menunggu terlalu lama.
Meski di parkiran gak ada mobil milik pamannya, Geo masih saja tidak yakin. Karena terkadang sang paman meninggalkan mobilnya di pasar dan akan pulang dengan ojek online.
Salah satu cara untuk memastikan pamannya sudah pulang atau belum adalah dengan melihat sepatu-sandal yang ada di rak sepatu pintu belakang.
Geo langsung berlari ke pintu belakang yang jarang dikunci. Begitu membuka pintu, ia melihat ke samping –ke arah rak sepatu. Ia tersenyum lebar ketika tidak melihat sepatu-sendal milik sang paman. Segera saja ia berlari menuju ke luar gerbang untuk mengabari Ardan.
"Dan, masuk aja. Paman gue belum pulang."
"Oke."
Ardan memundurkan motornya. Ia turun dari atas motor. Rasa-rasanya tidak sopan jika ia harus masuk ke halaman rumah tantenya Geo dengan suara mesin motornya yang berisik.
"Ini ditaruh di mana?" Tanya Ardan sambil melihat ke sekitar halaman rumah tantenya Geo yang cukup luas.
"Taruh deket saung aja, Dan."
Dekat dengan carpot mobil memang ada saung kecil yang Ardan duga, itu biasanya dijadikan tempat duduk santai keluarga ini.
"Oke."
Setelah motor terparkir dengan baik, Ardan mengikuti Geo untuk masuk. Seragam keduanya basa kuyup, tentu saja tidak mungkin lewat pintu depan.
Geo mengajak Ardan masuk melalui pintu belakang. Tapi ketika Ardan hendak mencopot sepatunya, Geo meminta Ardan untuk menunggu dulu, sementara Geo naik ke tangga yang dekat dengan dapur.
Setelah menunggu beberapa saat, anak redaksi itu turun dengan membawa dua buah handuk yang cukup bersih.
"Nih. Keringin dulu rambut lo."
Ardan terdiam sesaat. Ia masih tidak menyangka bila sekarang Geo memberikannya handuk. Sebuah handuk yang sudah pernah digunakan oleh pemuda itu.
"Dan? Ini handuknya."
Ardan terperanjat kaget ketika mendengar suara Geo. Ia menerima handuk berwarna krim itu dengan canggung karena sempat berpikir ngaco seperti tadi.
"O-oh. Iya. Makasih."
Ardan mengeringkan rambutnya yang basah agar nanti tidak menetes ketika dirinya masuk. Geo juga melakukan hal yang sama. Setelah dirasa kering, ia menyerahkan handuk tersebut pada Geo.
"Ini taruh di mana?"
"Sini." Geo mengambil handuknya, "copot sepatu lo. Ganti baju aja di kamar gue."
Eh?
Ke kamar Geo?
Dirinya akan ke kamar Geo?! Berduaan?!
Ardan langsung mengedip-ngedipkan kedua matanya agar bisa menyadarkan diri. Pikirannya memang sudah sangat kacau hanya karena ucapan Geo.
Memang kenapa jika harus ke kamar Geo? Mereka berdua sama-sama laki. Emang apa yang diharapkan jika sudah ada di kamar pemuda itu?
Ada-ada saja? Pikir Ardan yang masih heran dengan jalan pikirannya saat ini.
Oh? Ternyata kamarnya Geo berada di belakang. Tapi bukankah ini biasanya tangga menuju tempat jemuran?
Ardan langsung kaget ketika sudah sampai di atas, tebakannya benar. Ini memang tangga yang biasanya menuju pada tempat menjemur.
Dan kamar Geo....
Wajah Ardan yang semula biasa saja, langsung terlihat mendung dan tidak berekspresi mana kala dirinya sadar bahwa kamar yang Geo tempati adalah kamar untuk asisten rumah tangga.
Bagaimana bisa tante dan pamannya tega menempatkan Geo di kamar seperti ini? Tempat lembab seperti ini pasti sering ada hewan-hewan menjijikan.
Belum lagi jika hujan besar, riskan sekali mengalami kebocoran.
Ia sering kurang bersyukur dengan pemberian orang tuanya. Tapi setelah melihat ini, hidupnya jauh lebih beruntung dibandingkan Geo.
"Maaf, kamar gue sempit dan gelap karena ketutup tembok." Geo mengakhirinya dengan senyuman canggung.
Untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa sendu, Ardan tersenyum lebar. "Ah, tak masalah. Sante aja, Ge."
Geo menutup pintu kamar, dan itu sukses membuat kedua mata Ardan membulat, "kok pintunya ditutup?" Tanyanya, "kan gak ada orang."
"Gue gak biasa ganti dalam keadaan pintu kebuka. Entah ada orang atau enggak, pintu kamar selalu gue tutup." Ucapnya, sambil menaruh tas kresek berisi jajanan di atas meja belajar di kamar itu.
"O-oh...begitu." Ardan merasa canggung. Bagaimana bisa ia berada di kamar berduaan dengan Geo dengan keadaan pintu tertutup.
Lhah?
Memang kenapa? Dirinya itu laki-laki. Ingatlah Ardan! Dirinya seorang laki-laki sehat, bagaimanaa bisa merasa canggung untuk ganti bersama di kamar temannya? Jangan konyol!
Ardan mencoba mewaraskan pikirannya sendiri karena dirinya sepertinya mendadak mendapat serangan gila.
Ya, mungkin dirinya sedang gila mendadak. Bagaimana bisa dirinya seorang lelaki, tapi gugup berduaan dengan lelaki?
Padahal dirinya juga sering menginap di kamar Daren atau bahkan berganti baju satu ruangan dengan teman-teman kelasnya yang lain.
Tapi... kenapa berbeda ketika dirinya bersama dengan Geo?
"Badan lo gede banget, apa muat pake baju gue, Dan?"
Geo yang masih memakai seragam basah, sedang mencari baju di dalam lemari dan mengatakan hal tadi padanya.
Ardan langsung bangun dari lamunannya dan menatap Geo yang masi di depan lemari.
"Cari baju yang paling gede aja, Ge. Lo punya kan?"
Gak mungkin juga dia menggunakan baju pamannya Geo, kan? Yang ada, dirinya malah melemparkan Geo ke dalam masalah.
"Ada sih. Tapi gak gede-gede banget. Semoga muat." Geo mengatakan hal itu sambil menarik sebuah kaos berwarna hitam.
Anak redaksi itu juga mengambil baju ganti untuknya berwarna merah.
"Nih, Dan. Ini celana cukup gede kayaknya karena celana basket."
"Lo main basket?"
Geo berdecak, "punya celana pendek basket, bukan berarti main basket, kan? Ini enak aja dipake di rumah."
Oh. Benar juga. Dirinya juga memiliki lusinan celana pendek basket dan semuanya ia pakai di rumah karena nyaman.
Ah, ngomong-ngomong, ia harus ganti di mana atau –ASTAGA!
Kedua mata Ardan langsung membuat sempurna ketika melihat Geo membuka seragamnya yang telah basah.
"Ge, lo ganti di sini."
Dengan wajah polosnya, Geo menjawab, "lah, emang mau ganti di mana?"
"Maksud gue –" Ardan meneguk air ludahnya karena tiba-tiba tenggorokannya sangat kering, "maksud gue, kan ada kamar mandi."
Geo masih tidak mendengarkan, anak redaksi itu masih terus mencopot kancing-kancing seragamnya hingga selesai dan menanggalkannya. Kini, tersisa kaos putih dalaman yang tipis melekat di tubuhnya.
"Mager, Dan." Setelah mengatakan itu, Ardan semakin sesak napas ketika melihat tubuh topless milik Geo.
Astaga!
Ini pertama kalinya ia merasa panas dingin melihat tubuh telanjang sesama lelaki. Ada apa ini?
"Gosh..." Gumam Ardan lirih, tapi sepertinya Geo mendengarnya hingga berbalik untuk menghadap ke arah Ardan.
"Ada apa, Dan?"
Ini sungguh membuatnya tersisa. Bagaimana bisa tubuh seorang laki-laki bisa semulus Geo?
Maksud Ardan –ia memang sudah sering bertelanjang dada bersama teman cowok lainnya. Tapi ia merasa biasa saja.
Namun kali ini....
Masa dia merasa gugup hanya karena kulit tubuh Geo bersih dan putih –ini tidak seperti tampilan tubuh wanita yang kadang membuatnya bergairah. Geo memang masih memiliki sedikit otot yang menonjol.
ARRGHH –
Ardan juga tidak bisa mendiskripsikannya dengan baik melihat ini. Bagaimana bisa ia merasa panas-dingin hanya karena melihat tubuh Geo?
Ayolah Sadar Ardan!
Ia baru sadar bahwa sedari tadi kedua matanya tidak berkedip dan menatap perut Geo yang langsing dengan pinggang yang kecil.
Kenapa ada lelaki dengan pinggang sekecil itu? Apakah jika tanganku pas melingkar di pinggang milik Geo? –Ardan sama sekali tidak sadar ketika pikirannya mengatakan hal demikian sementara tubuhnya menolak atas pikirannya itu.
"Ardan!"
Suara Geo yang sedikit dinaikkan menyadarkan lamunannya yang sudah kacau dengan pikiran liarnya itu.
" –eh? Ya?"
"Dari tadi lo liatin perut gue. Emang ada apa? Udel gue aneh?"
HAH?!
Ardan langsung shocked. Ini sunggh memalukan. Ia kira hanya ada pada lamunannya saja. Ternyata benar, sedari tadi dirinya menatap perut Geo?
Ardan ingin mengubur dirinya saat ini juga?
"Ah, gak, Ge. Sori...sori... gue lagi banyak pikiran jadi tiba-tiba suka ngelamun."
"Lo takut pulang terlalu sore dan dimarahi orang tua lo?"
Geo sudah selesai berganti kaos. Sementara celananya masih memakai seragam yang basah tadi.
"Lo mau ganti celana di sini juga?"
Bukannya menjawab pertanyaan dari Geo tadi, Ardan justru membalas pertanyaan lainnya.
"Ya."
Ardan kembali terkejut.
"Tapi sepertinya lo gak nyaman ganti di satu ruangan sama gue. Lo bisa pake kamar mandi bawah yang dekat dapur tadi."
"O-oh. Oke."
"Kamar mandi yang ada di atas sini sedikit kotor. Gue belum bersihin, lebih baik turun ke bawah aja. Gak apa-apa, kan?"
Ardan tersenyum dengan kaku. Tindakan dirinya ternyata membuat Geo menyalah artikan, "Ya. Gak apa-apa. Gue turun, dulu."
"Oke."
Ardan keluar dari kamar Geo. Sebenarnya ini membuatnya cukup lega karena di dalam tadi sangat sesak dan dirinya takut bisa hilang kendali.
Tadi saja, dirinya tidak bisa berpikir jernih. Jika terus berada di sana...
Ardan langsung menggelrng-gelengkan kepalanya karena merasa dirinya sudah mulai gila hanya karena melihat tubuh atas milik Geovany.
"Gue udah mulai gila."
Dirinya hendak melangkahkan kakinya, tapi sesuatu ia rasa ada yang aneh di bagian tengah di antara kakinya.
"Ada apa ini?"
Ia menundukkan kepalanya, dan di bagian tengah tersebut, sedikit muncul gundukan yang membuatnya langsung malu hingga wajahnya memerah.
Ia langsung menutup bagian tersebut menggunakan sebelah tangannya dan segera turun ke bawah. Sembari turun, Ardan berguman berulang kali,
"Ini pasti karena hujan...ya. Ini karena hujan dan dirinya kedinginan hingga si anu bangun." Ia menccoba meyakinkan diri sendiri, "ya. pasti itu."
.
.
.
.
.
Ketika Ardan keluar dari kamar mandi bawah, Geo sudah ada di dapur bersama seorang anak kecil yang ada di sampingnya sambil memakan jajajan dari alun-alun.
"Eh, udah selesai gantinya, Dan?"
Ardan mengangguk dan tersenyum canggung. Ia meminta tas plastik dari Geo untuk membungkus seragamnya yang basah, "bisa minta plastik buat seragam basah gue, Ge?"
"Oh. Bentar." Geo segera menuju ke laci lemari dapur dan mencari plastik yang dinilai muat untuk membungkus seragam basah milik Ardan.
"Nih." Geo menyerahkannya. Ardan menaruh bungkusan seragam basahnya itu di dekat rak sepatu agar nanti ia tidak lupa membawanya ketika pulang.
"Dan, kenalin, ini adek sepupuku gue. Namanya Nathan."
Ardan langsung menjulurkan tangannya untuk menyalami bocah yang lebih pendek darinya itu, "halo, dek. Kakak temennya kak Geo. Ardan."
"Halo, kak. Aku Nathan."
"Nath, ini jajannya dibeliin kak Ardan juga. Bilang makasih sama dia."
Nathan yang hendak duduk di meja makan, mengurungkan niatnya dan menatap Ardan, "makasih kak." Ucapnya dan diiringi dengan senyuman yang lebar khas anak-anak.
"Dia masih SD?"
"Aku udah SMP, kok, kak." Jawab Nathan.
Anak itu memang tubuhnya masih pendek. Maklum saja, masih 13 tahun dan sepertinya telat mengalami pubertas sehingga masih terlihat kecil.
"Oh...maaf, dek."
Geo yang mendengar itu hanya tertawa saja. Dan tiba-tiba William keluar dari kamarnya dengan wajah suntuknya. Kemungkinan William baru bangun tidur. Anak itu memang suka langsung ketiduran jika hujan datang.
"Will. Sini. Ada jajan dari temen kakak."
William menggaruk-garuk kepalanya sambil beberapa kali menguap.
"Jajan apa?"
Suaranya yang cukup besar, membuat Ardan menaikkan sebelah alisnya. Ia sedikit kaget bahwa adik sepupu Geo lainnya sebesar ini. Bahkan jauh lebih besar dari Geo.
"Eh, Dan, coba, deh lo berdiri sebelahan sama William. Pasti tu anak hampir setinggi lo."
"Apaan, sih, kak." Keluh William. Tapi Ardan tetap menuruti permintaan Geo dan dia berdiri sebelahan dengan William.
Melihat itu, Geo tepuk tangan, ternyata William sudah setinggi dahi Ardan. Anak redaksi itu tersenyum senang melihat sang adik sepupu tumbuh dengan baik.
"Kan bener! Will, mungkin kamu bisa lebih tinggi dari Ardan."
"Ih, nanti Nathan juga pasti bisa tinggi, iya, kan, kak?" Ucap Nathan pada Geo yang dibalas dengan belaian di kepalanya.
Ardan benar-benar mematung di sana –bersebelahan dengan William. Ia diam terpaku menatap Geo yang tersenyum –senyum yang jarang sekali ia lihat karena sangat tulus.
Belum lagi sifat lembutnya pada Nathan, adik sepupunya yang paling kecil, membuat Ardan semakin kagum. Ternyata, Geo bisa terlihat sangat mempesona ketika sikapnya lembut seperti itu.
Tunggu....
Mempesona?!
HEH?!
Sadar Ardan! Bagian mana yang mempesona ketika orang yang dirinya lihat itu adalah seorang lelaki, sama seperti dirinya!
"Ehem!" Ardan berdeham lirih, dan ia langsung menempatkan diri untuk duduk. "Ayo, Will, makan jajannya." –dan entah kenapa ia malah tiba-tiba menawari William jajan. Dalam hati, Ardan mengutuki dirinya sendiri.
"Ini kak –"
" –Ardan. Gue Ardan. Temennya kakak lo." Ardan mencoba ngenalin diri ke William karena sedari tadi belum sempat.
"Oh. Oke." Ucapnya singkat sambil menyambut jabat tangan dari Ardan. William langsung duduk dan memakan jajan yang ada di meja.
"Kak Will, ini yang beli semua kak Ardhan, lhoh."
William melirik ke Ardan yang malah mesam-mesem tidak jelas, "Oh. Thanks, kak."
"Ya. Sama-sama. Ayo dimakan." Suruh Ardan.
Tiba-tiba pintu belakang terbuka dan membuat Ardan sedikit terkejut. Ia takut jika orang yang datang adalah pamannya Geo.
Namun, ia merasa lega ketika yang membuka pintu adalah sosok wanita paruh baya yang mungkin umurnya tidak begitu jauh dari bundanya.
"Eh, ada tamu?"
Ardan langsung berdiri dan meminta salim kepada wanita itu. Ardan langsung menebak jika wanita ini adalah tantenya Geo.
"Halo tante. Saya Ardan, temennya Geo."
"Loh? Temennya Geo, ya? Wah..akhirnya Geo mau bawa temennya ke sini."
Ardan tersenyum ramah. Ia melihat tantenya Geo tampak senang. Kemungkinan besar, selama ini Geo belum pernah membawa temannya ke sini hingga membuat tantenya terkejut seperti sekarang.
"Kebetulan. Bunda bawa lauk banyak. Nak Ardan sekalian makan malam di sini, ya?" Tawarnya sambil mengangkat bungkusan tas plastik yang cukup besar dan berat.
Ardan belum menjawab, ia menoleh ke arah Geo untuk memberikan persetujuannya.
Mengetahui sang keponakan dan temannya saling pandang, wanita paruh baya itu seperti paham akan sesuatu.
"Ayah lagi belum bisa pulang. Ada urusan untuk kontrak kios di pasar. Jadi kita nanti makan dulu."
Setelah mengatakan itu, tante Hana melihat keponakan dan temannya tampak lega dan Ardan juga langsung mengangguk setuju atas tawaran makan malamnya.
"Baiklah. Tante bersih-bersih dulu. Nanti lauknya dipanasin. Habis itu, kita makan?"
Nathan bersorak senang mendengarnya. Anak itu memang paling semangat jika ada tamu yang datang dan tinggal di rumahnya lebih lama.
Nathan memang sadar, ketika ayahnya pulang, semuanya diam dan tidak ada yang berani berisik. Bahkan Nathan juga takut jika bermain bersama kakak sepupunya ketika ayahnya ada di rumah.
Terdengar memang tidak berbakti, tapi Nathan malam ini terlihat sangat senang. Ia terus berceloteh ini dan itu dan langsung berasa akrab dengan Ardan ketika makan malam.
Sampai akhirnya, tante Hana membuka pembicaraan ke Ardan, "Ardan anak mana? Rumahnya jauh dari sini?"
"Ah, saya anak Permata Harmoni, tante. Dekat Islamic boarding school sana. Sekitar 25 menit dari sini."
Tante Hana mengangguk-angguk paham, "Oh...iya ya tante paham tempat itu. Udah bilang ke orang tuamu kalau kamu di sini?"
Ardan menggaruk belakang kepalanya dengan canggung, "sebenarnya saya serign pulang malam, tante. Jadi jarang dicariin."
"Oh. Gitu. Tapi nanti pulang kalau ditanya, jawab jujur, ya, nak ke orang tuamu." Tante Hana tetep kekeh agar Ardan memberitahu keberadaannya saat ini pada orang tuanya. Mau bagaimana juga, Ardan masih remaja dan orang tuanya juga pasti khawatir.
"Baik tante."
"Berarti kak Ardan orang kaya, ya?"
"—SSTTT! Kak Will." Tegur bundanya pada sang anak sulung.
"Lah bener, Bund. Perumahan itu rata-rata yang tinggal orang kaya. Kan perumahan elit."
"Will." Geo mencoba menahan ucapan William yang terdengar kurang sopan pada Ardan dengan menyentuh pahanya. "udah, makan aja."
Sementara itu, Ardan hanya meringis kaku dan tidak menanggapi. Ia juga tidak tahu harus menanggapi apa.
"Nak Ardan, enak makanannya? Maaf ya tente itu jarang masak. Seringnya beli karena jarang ada orang di rumah."
Ardan mengangguk, "enak kok tante."
Tante Hana tersenyum senang, "makan dan habisin, ya. Biar nanti sampai rumah tinggal istirahat."
Ardan hanya mengangguk dan kembali menyantap makanannya.
.
.
.
Tidak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam dan Ardan sudah di rumah Geo hampir 4 jam lamanya.
Ardan pamit ke tante Hana, William, dan juga Nathan karena dirinya mau pulang.
Ia sempat tersenyum ketika William mengagumi motornya, dan Ardan berkata pada adik sepupu Geo itu, "kapan-kapan kalo gue main lagi ke sini, lo boleh coba motor gue, Will."
William memang tidak menjawab, tapi Ardan tahu jika anak itu memang berminat atas tawarannya.
"Ge, thanks, ya,"
"Uhm. Sama-sama."
Ardan sebenarnya ingin sekali memeluk Geo –entah kenapa, ia hanya ingin memeluk tubuh pemuda yang lebih kecil darinya itu karena malam ini ia merasa sangat senang.
Namun, melihat tatapan William, ia menahan keinginannya itu dan hanya menganggukkan kepalanya sekali pada Geo, kemudian menaiki motornya.
"Besok mau dijemput, gak?"
"Gak usah. Gue berangkat bareng William sama Nathan."
Ardan melirik ke arah William yang wajahnya bertambah keruh, sepertinya anak itu tidak suka dirinya dekat-dekat dengan kakaknya. Saat makan malam pun, William terus memandang sinis padanya.
"Oke." Ucap Ardan, "gue pulang."
"Hati-hati."
Ardan memakai helmnya dan menyalakan mesin motor sport tersebut. Sebelum menarik gas motornya, Ardan melambaikan tangan sebentar dan langsung melaju pergi dari area perumahan tersebut.
"Kak. Tu orang rada aneh." Tiba-tiba William bersuara.
"Ardan, maksudmu?"
"Ya." Jawabnya, "jangan mau diajak pergi-pergi sama dia. Aneh tu orang."
Setelah mengatakan hal itu, William masuk ke rumah dan meninggalkan Geo yang berdiri bingung di teras rumah.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top