Ch 10; Happy Birthday, Geo!
Ini agak panjang, ya... Jadi harap dibaca pelan-pelan saja dan enjoy the story!
.
.
.
"Dam."
Damar yang sedang fokus menyalin catatan yang ada di papan tulis hanya berbisik menjawab 'ya' untuk merespon panggilan teman sebangkunya itu –Geovany.
Ia masih fokus mencatat karena dirinya tidak ingin ketinggalan catatan penting yang sebentar lagi pasti menuju ke pembahasan selanjutnya.
"Ardan kenapa ya? Tadi gue panggil kok gak nengok?"
Damar mengehela napas, sejenak ia hentikan kegiatannya tadi dan menoleh ke samping untuk menatap teman sebangkunya itu.
"Ya mana gue tau, Geo. Tanyain aja sama orangnya."
Mendengar respon Damar yang tidak sesuai harapan, Geo justru terasa sebal dan berdecak kesal. Ia kembali menatap papan tulis untuk melanjutkan kegiatannya tadi.
Meski jarinya terus bergerak untuk menulis, pikirannya masih terus bertanya-tanya alasan Ardan yang acuh padanya tadi.
"Sial." umpatnya dengan suara lirih.
Bukannya ia takut dimusuhi Ardan –buat apa?
Dia hanya penasaran, kenapa Ardan begitu cuek padanya setelah tempo hari peduli dengannya hingga mau mengantarkan Geo sampai rumah.
Ada yang salah dengan anak itu –pikir Geo.
Padahal dirinya tadi pagi hanya ingin mentraktir Ardan makan siang bersama di kantin –hitung-hitung rasa terimakasih karena kemarin mengantarnya dan juga bagi-bagi kebahagiaan karena kemarin dirinya baru menginjak usia 16 tahun.
Tapi melihat Ardan seperti itu, mungkin ia akan menahan rencananya. Mungkin dirinya hanya akan mengajak Damar saja nanti. Bila Laila terlihat, anak itu juga mungkin akan ia ajak.
Sedikit kecewa karena sikap Ardan padanya, dan juga bingung kenapa dirinya diacuhkan seperti itu padahal tidak ada kesalahan yang ia perbuat pada Ardan.
*****
"Ge, dipanggil anak-anak redaksi tuh."
Jam istirahat telah berbunyi. Damar yang tadi keluar sangat cepat dari kelas, tiba-tiba kembali hanya untuk menyampaikan pesan tersebut.
Harusnya sekarang ia mengajak Damar ke kantin. Ia bahkan belum mengatakan niatnya pada bocah jangkung itu. Tapi Damar menyampaikan pesan tersebut.
Tumben sekali menyuruhnya untuk ke sekre dengan titip pesan sama anak kelas. Biasanya anak-anak redaksi jika mau kumpul, pastinya mengabarinya melalui chat grup di WhatsApp.
Ya sudahlah...
Mungkin kak Desi –sang ketua lupa tidak mengabarinya lewat grup, jadi menyampaikannya satu per satu ke kelas masing-masing anggota. Tapi justru bukankah ini jauh merepotkan?
"Siapa yang nyuruh?"
"Ketua redaksi lah." Damar berhenti sejenak untuk berpikir, "siapa itu namanya? Lupa aku."
"Kak Desi?"
"Nah. Itu."
Aneh banget si damar –Geo menatap teman sebangkunya dengan penuh curiga.
Bukan apa-apa. Damar memang suka melakukan prank padanya. Gimana kalau dia bohong dan membuatnya malu saat sudah di ruang sekre dan tidak ada seorang pun di sana?
"Lo gak bohong, kan, Dam?"
Senyum di wajah Damar langsung turun seketika, "ck. Bohong dari mana, sih?"
"Biasanya kak Desi nyuruh anak-anak redaksi kumpul lewat grup WA. Bukan dipanggil per anak kayak gini."
Damar terdiam sejenak, lalu ia mengedikkan kedua bahunya dengan acuh, "yaa...gue kagak tahu. Tadi ketemu di depan dan tu cewek ngasih tahu."
Kedua alis Geo menukik turun, tanda bahwa dia masih merasa curiga dengan teman sebangkunya itu. Tapi Damar hanya cengar-cengir seperti orang bodoh.
Mau tidak mau, Geo akhirnya memasukkan semua buku dan peralatan tulisnya ke laci meja dan berdiri. Ia menatap tajam pada Damar sebelum pergi dari kelas.
"Awas lo kalau bohong."
"Ck." Damar berdecak gemas pada Geo, "astaga. Enggak, bro, kagak!"
Setelah itu, Geo akhirnya keluar dari kelas untuk menuju ruang sekre –tempat di mana anak-anak redaksi OSIS berkumpul.
Sebenarnya kak Desi sudah mengajukan proposal untuk menggunakan ruang kosong yang ada di dekat UKS sebagai basecamp anak redaksi.
Tapi guru pihak kurikulum dan kedisiplinan masih belum mengizinkannya. Mereka beralasan jika ruang sekre saja cukup karena sub-bagian OSIS, selain redaksi memang jarang kumpul. Kalau kumpul pun tidak sesering anak redaksi yang suka bikin berita bulanan.
Pada akhirnya, Geo berjalan dengan lesu menuju ruang sekre.
Ia sengaja lewat kelas IPA karena jaraknya jauh lebih dekat dari pada harus melewati koridor depan.
Ia masih berharap bisa bertemu dengan Ardan, siapa tahu ia melihatnya sekaligus ingin bertanya tentang kejadian tadi pagi.
Namun, sampai ia berada di ujung kelas IPA, anak itu tidak terlihat. Bahkan teman-temannya seperti Fauzan dan juga Daren tidak nampak batang hidungnya.
Geo hanya menghela napas.
Kembali lagi ia membatin –ya sudah lah...
Mungkin hari ini Ardan sedang tidak mood berbicara dengan dirinya. Jika besok Ardan seperti itu lagi, mungkin ia akan menghubunginya.
Geo bukanlah tipe anak yang suka cari musuh. Jadi jika ada orang yang kenal dengannya dan tiba-tiba mendiaminya seperti itu, sering kepikiran hingga ia tidur.
Tidak terasa setelah ia bergelut dengan pemikirannya, tahu-tahu telah sampai di ruang sekre.
Tapi ia langsung berhenti saat pintunya tertutup rapat dan tidak satu anak pun yang berada di depan ruangan tersebut.
Nah kan! pasti Damar bohong! Awas lo Damar! Ia sudah mengutuk Damar di dalam benaknya karena telah membohonginya.
Dikira tidak capek apa jalan dari kelas ke ruang sekre? Lebih baik Ia gunakan untuk beristirahat di kelas sambil minum es kalau kayak gini –pikir Geo.
Ini udah jauh-jauh datang ke ruang sekre, malah dibohongi.
Tapi...
Geo tidak mungkin langsung berbalik begitu saja. Mungkin saja ada salah satu siswa yang ada di dalam.
Ya. Mungkin saja.
Memang anak-anak redaksi biasanya akan menutup pintu ketika sedang bekerja di ruang sekre agar berita bulan ini tidak tersebar ke anak-anak lain.
Apa dirinya yang telat.
"Ah, bego lah. Jangan-jangan gue yang telat."
Akhirnya Geo langsung menuju ke arah pintu sekre dengan langkah lebar untuk segera sampai ke sana.
Ia dengan cepat memutar gagang pintu untuk bisa segera masuk, tapi yang ia dapatkan justru ruangan yang gelap.
"Eh? Gelap?"
Ruangan sekre memang terhimpit beberapa gedung sehingga gelap meski siang hari. Lampu harus dinyalakan jika harus menggunakan ruangan tersebut.
"Halo?" Ucap Geo. Ia akhirnya menyalakan lampunya dan ia langsung terjingkat kaget mana kala beberapa anak yang sembunyi di balik lemari arsip keluar sambil membawa kue.
"SELAMAT ULANG TAHUN GEOVANY" Ucap semua anak yang ada di sana.
Geo tidak bereaksi. Ia masih memproses dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
Baru pertama kalinya dia mendapatkan kejutan ulang tahu semeriah ini dari orang-orang terdekatnya. Tahun lalu, ia hanya makan bersama tante dan kedua adik sepupunya. Itu saja sudah terbilang sangat cukup.
Tapi tahun ini...
Oh tidak... Rasanya Geo ingin menangis saja.
Ia merasa sangat dihargai oleh orang-orang terdekatnya karena ingat ulang tahunnya meski sudah telat satu hari.
"Ini –"
"Happy birthday temen sebangku."
Geo kaget karena tiba-tiba dari belakang ada yang merangkulnya dan tersenyum lebar. Siapa lagi kalau bukan si jangkung Damar.
"Geo! Happy birthday! Kok gak bilang sih kalau kemarin ulang tahun?"
"Laila?"
Ternyata Laila juga datang bersama dengan Damar. Anak kelas IPA 2 itu membawa roti kecil yang mungkin beli di kantin dan membawa korek sebagai lilin.
Geo tertawa melihatnya karena dalam keadaan mendadak pun, ada saja ide teman-temannya itu.
"Geo sini masuk-masuk. Mari kita tiup lilin."
Ah, anak redaksi sepertinya udah siapin ini semua. Terlihat rotinya lebih prepare dengan nama Geo di atasnya dan beberapa lilin mini yang biasa ada di toko kue.
Ah, ia sangat terharu sampai-sampai sulit mengatakan sesuatu dari mulutnya.
Geo duduk di sebuah kursi yang telah disiapkan oleh teman-temannya. Kue yang disiapkan anak-anak redaksi dan juga kue kecil dari Lailah di taruh di atas meja depan Geo.
Semua kue sudah ada lilinnya dan siap untuk ditiup oleh Geo.
Tapi sebelum itu, Geo ingin sekali mengucapkan terimakasih kepada semuanya.
"Thankyou guys. Benar-benar ini birthday suprise pertama yang pernah gue dapetin."
"Sama-sama, Ge. Maaf juga kita telat. Kemarin kita sibuk, sih." Ucap Desi sang ketua Koordinator mewakili kelima anak redaksi lain di sana.
Damar yang masih ada di sana, langsung merangkul bahu temannya itu, "sori Ge gue bohong. Itu si Rian yang nyuruh, sih."
"Enak aja nyalahin gue." Rian menendang tulang kering Damar karena menuduhnya seenak jidat, "nah, elo sendiri juga lupa ultah geo, kan?"
"SSTTT!" Desi langsung mengintrupsi mereka berdua karena sudah bikin kekacauan. "Lebih baik, sekarang Geo make a wish dan tiup lilin."
Setelah itu, semua anak yang ada di ruangan sekre heboh untuk menyuruh Geo segera berdoa dan meniup lilin.
Geo jadi bertambah heran. Padahal yang ulang tahun dirinya, tapi malah semua teman-temannya yang terlihat bersemangat. Tapi ia senang, itu berarti dirinya berarti bagi mereka.
Sejauh ini, Geo belum pernah mendapat kebahagiaan setelah kedua orang tuanya pergi. Meski sering dicemooh oleh pamannya, kehadiran tante Hana dan kedua adik sepupunya cukup berarti di hidupnya.
Kini, ia memiliki teman yang begitu peduli. Di saat ia mengabaikan hari kelahirannya, ada orang-orang terdekat yang mengingatnya dan bahkan merayakannya.
Sebelum meniup lilin ulang tahunnya, Geo berdoa, ia berharap kebahagiaan ini terus ada untuknya. Ia berharap semua orang terdekatnya semuanya sehat dan terus ada bersamanya.
Sesederhana itu harapannya. Tapi sungguh, itu permintaan dari dalam lubuk hati seorang Geovany.
Ia bahkan tidak merasa air mata turun ke pipinya setelah semua lilin ia tiup.
Ia sadar dirinya menangis, ketika Laila menghapus air matanya menggunakan tissue.
"Haduh...jangan nangis, dong, Ge. Kita kan rayain ini buat elo seneng."
Geo hanya tertawa kaku dan mengambil tissue yang ada di tangan Laila agar ia bisa mengusap sisa air matanya.
"Sekali lagi, makasih semuanya."
Semuanya menjawab 'sama-sama' dengan penuh suka cita.
Setelah itu, Rian dan juga Desi berbisik-bisik entah mengatakan apa. Tapi sehabis itu, Nafa –salah satu anggota redaksi mengambil sesuatu di belakang lemari arsip.
Sebuah kotak besar yang telah dibungkus dengan kertas kado berwarna biru dengan pita di atasnya dibawa oleh Nafa.
Anak kelas 10 IPS 3 itu dengan wajah penuh senyum, menyerahkan kado tersebut pada Geo.
"Nih, Ge. Kita berenam, anak redaksi, patungan. Maaf ya kalau kadonya gak begitu bagus."
Geo menerimanya dengan senang hati. Ia menggeleng cepat saat Nafa mengatakan demikian.
"Eh, ini aja aku udah bersyukur dan berterimakasih sama kalian. Kalian udah sempetin beli kue dan kado. Juga luangin waktu bikin kejutan semua ini."
Masing-masing dari mereka yang ada di sana tersenyum senang. Lalu Desi menyuruh Geo untuk membuka kadonya.
"Buka, Ge. Nanti kalau kurang, bilang sama Rian ya."
"Heh?!" Rian langsung mendelik tajam pada sang ketua, sementara semuanya ketawa.
"Oke deh gue buka, ya?"
Dengan bantuan Damar yang ada di dekatnya, Geo bisa membuka kado itu dengan cepat. Ia tersenyum senang ketika di dalam kotak itu ada tas, headphone, dan juga tumbler stainless steel.
"Heh, banyak banget?!" Komentar Geo setelah melihat isi kadonya, "makasih loh, guys. Serius, dah. Kapan kalian nyiapin ini?"
Geo bertanya seperti itu karena memang sebelum, dan setelah acara pekan olahraga, mereka bareng-bareng terus. Terlebih lagi semuanya sibuk. Kok bisa nyiapin itu semua?
"Udah jangan dipikirin. Kita bersyukur kalau lo suka sama hadiahnya."
Geo tersenyum lebar. Senyum yang jarang sekali ia tunjukkan kepada orang lain. "Seneng, kok. Seneng banget."
"Oke. Karena gue dan Laila belum ngasih kado, kita bakal ngajak lo ke time zone nanti sepulang sekolah. Mau?"
Damar yang sejak tadi diam, langsung merangkul Geo lagi dan mengatakan hal tersebut dilanjut dengan anggukan Laila yang ada di sebelah Damar.
"Heh? Gak usah –"
"Oke, Le, ntar kita ke mall. Lo bawa motor, kan?"
"Bawa." Jawab Laila.
"Okesip. Ntar kita bawa nih birthday boy buat seneng-seneng."
Mereka semua tertawa mendengar ucapan Damar. SAmpai pada akhirnya bel masuk berbunyi dan Desi menyuruh semua anak yang ada di ruangan itu untuk langsung pergi ke kelas masing-masing.
"Ge, hadiah lo bisa ditaruh di sini dulu gak papa." Ucap Desi yang melihat Geo terlalu kesulitan membawa kadonya.
"Boleh, kak?"
"Boleh. Kan gue yang megang kuncinya. Ntar pas pulang, lo ke kelas gue aja buat ambil."
Geo tersenyum dan mengangguk, "baik kak."
"Ayo Ge ke kelas." Ajak Damar.
"Guys, gue belok ya ke kelas." Pamit Laila pada keduanya karena memang arah kelas IPA dan IPS berbeda.
"Oke, Le." Sahut Damar.
Laila segera berlari cepat menuju kelasnya karena kali ini pelajaran kimia, di mana gurunya cukup galak dengan siswa yang telat masuk.
Tapi memang dirinya kurang fokus, sehingga ada orang di depan, justru ia tabrak.
"Eh, sori...sori, bro." Ucap Laila yang memegang bahunya karena bertabrakan dengan salah seorang siswa. Ia mendongak dan langsung kaget karena yang ia tabrak adalah salah satu siswa yang cukup terkenal.
"Dilarang lari-lari di koridor kelas." Ucapnya dengan nada dingin.
"Sori, Dan. Sumpah gua kagak sengaja nabrak lo."
"Ck." Ardan berdecak sebal. Ia mengabaikan Laila dan hendak melanjutkan perjalanannya. Tapi tiba-tiba gadis itu memanggilnya lagi.
"Oh iya. Lo belum tahu, ya, Dan?"
Alis Ardan menukik naik, pertanda bahwa dirinya memang enggan sekali diganggu oleh siapapun untuk saat ini.
Tapi karena ia juga penasaran dengan perkataan Laila selanjutnya, akhirnya Ardan membalikkan badannya dan menatap gadis itu, "Apa?"
Sebelum menjawab, Laila sempat mengerucutkan bibirnya kesal karena Ardan terlihat sangat cuek, "judes amat." Komentarnya, "Geo kemarin ulang tahun, loh. Nanti gue sama Damar mau ajak Geo jalan-jalan buat rayain ultahnya. Lo mau ikut?"
Sejenak, Ardan terdiam mematung dan tdak merespon pertanyaan dari Laila.
Geo ulang tahun?
Ardan saat ini merasa sangat kejam karena ia bertindak acuh pada anak itu sejak pagi. Padahal kemarin ia mengantarkan Geo sampai rumah dan dirinya tidak tahu kalau pemuda itu ulang tahun?
Damn.
Ardan merasa sangat bodoh karena hari ini justru dirinya bertindak acuh dan menjauh dari Geo hanya karena dirinya yang sedang bingung dengan perasaannya.
"Halo, Dan. Lo denger gue kan?"
Ardan terjingkat saat Laila sudah berada di depannya dalam jarak dekat dan melambai-lambaikan sebelah tangannya.
"Mau ikut kagak?" Tawarnya lagi.
Ardan terlihat bingung dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "Hmm..." Ia masih mencoba berpikir, "kagak deh Le. Gue masih ada urusan nanti."
"Oh." Respon Laila dingin, "baiklah."
Setelah mengatakan itu, Lailah berbalik pergi tanpa berpamitan pada Ardan yang masih diam mematung di sana.
Ardan sebenarnya sangat bingung saat ini. Bagaimana tidak bingung?
Dirinya sudah menghindari Geo, tidak merespon panggilannya tadi pagi, dan sekarang ia baru tahu bahwa anak itu kemarin ulang tahun.
Sebenarnya tidak ada salahnya jika dia mengabaikan hal ini. Lagian dirinya baru mengenal Geo belum lama, kenapa dirinya harus peduli dengan ulang tahun orang itu?
Ulang tahun Fauzan sama Daren aja dia cuek. Yaa...paling kasih kado kecil-kecilan.
Eh, tunggu...
Ya, benar. Kado.
Tidak masalah jika memberikannya telat, bukan? Paling penting ia tidak melupakan ulang tahun Geo.
"Tunggu." Ardan kaget sendiri dengan pikirannya saat ini. Kenapa dia begitu takut jika mengabaikan ulang tahu Geo, coba? Padahal bukan tindakan dosa bila mengabaikannya, tapi kenapa Ardan jadi merasa begitu salah jika ia tidak memberi perhatian pada Geo?
"Ada yang salah sama otak gue." Beberapa kali ia memukul samping kepalanya, ke kanan dan ke kiri sambil berjalan menuju kelas.
Sampai ia masuk ke kelas dan duduk di samping Daren yang masih memakan gorengan sisa istrirahat tadi.
"Ren."
"Hm?" Jawabnya dengan masih memakan gorengan yang masih tersisa.
"Enaknya ngado ke cowok tuh apaan ya?"
Daren belum juga menjawab. Bocah gempal itu masih fokus mengunyah makanannya. Sampai akhirnya ia menelannya dan menjawab pertanyaan temannya tadi.
"Hmm... tergantung orangnya, sih. Emang siapa yang mau lo kado?"
Ardan berdecak karena pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan lainnya. Ini sama sekali tidak membantu.
"Ya umumnya gitu lah. Apa misalnya?"
"Lah, elo kan cowok, Dan. Ya lo harusnya bisa cari tahu sendiri, dong."
"Lah, taik ini bocah."
"Lah, marah?"
Ardan tidak menanggapi dan membuka ponselnya. Ia lebih baik bertanya pada mesin pencari dari pada bertanya pada temannya yang gak berguna.
Ia beberapa kali mencari referensi menarik, sampai akhirnya Ardan menemukan ide kado yang cocok untuk diberikan pada Ardan.
Ia mengambil dompetnya dan membuka isinya. Ah, tinggal dikit ternyata. Mungkin nanti ia akan mengambil uang dari debitnya saja. Mumpung saldo di rekeningya masih banyak, boleh lah beli kado yang cukup bagus buat Geo nanti.
Beli online, kemungkinan akan lama sampainya. Lebih baik nanti ia mampir ke toko sebentar untuk membelinya.
"Dan, lo mau kasih kado ke siapa?"
Ardan terkaget dan menoleh ke belakang, di mana Daren sedang mengintip layar ponselnya.
"Ck. Minggir lo. Bukan urusan lo ya."
"Halah. Belagu banget." Cibirnya, lalu Daren kembali berkata, "kalau mau kasih kado ke gue, masih lama, sih, Dan."
Ardan mendengkus tertawa, "pede banget lo." Ia memukul main-main lengan berlemak milik Daren, "siapa juga yang mau kasih kado ke lo."
"Kejem lu!"
"Biarin."
*****
Sudah pukul setengah 9 malam, tapi Ardan nekat untuk datang ke rumah Geo –ah, lebih tepatnya rumah pamannya Geo.
Ardan memang belum begitu tahu latar belakang Geo, ia juga tidak berani bertanya. Tapi sejak melihat Geo dimarahi seperti itu oleh pamannya, ia jadi kepikiran, apa Geo hidup layak di dalam sana.
Jarak gerbang dan pintu depan rumah memang cukup jauh, Ardan kurang berani jika mengetuk-ngetuk besi gerbang hanya untuk memanggil Geo.
Jadi, dia inisiatif mengirim pesan pada Geo.
Memang lama menunggu balasannya, ia pun sudah menunggu hampir 20 menit di depan rumah ini.
Meski lama, Geo membalasnya dan ia berkata akan langsung keluar dari rumah itu.
Senyuman Ardan semakin lebar ketika orang yang telah ia tunggu keluar dari rumahnya.
Anak itu terlihat khawatir dan beberapa kali menoleh ke kanan dan kiri. Ah, Ardan jadi merasa bersalah datang ke sini.
"Ardan. Udah lama?"
Sepertinya baru ada teman sekolahnya yang datang ke rumah ini, terlihat Geo begitu kaku, khawatir, dan wajahnya terlihat takut ketika membuka pintu gerbang dengan pelan.
"Ya...gak terlalu."
Geo yang sekarang menggunakan celana pendek dan hoodie berwarna hitam jadi terlihat berbeda dari yang Ardan lihat di sekolah.
Ternyata Geo lebih kurus dari apa yang ia lihat selama ini. Ah, apa anak itu makan dengan baik? –Ardan bertanya dalam hati.
"Ada apa ya, Dan?" Tanya Geo dengan suara rendah.
"Oh, iya." Ardan berbalik untuk menuju ke motor sportnya yang terparkir di dekat ia berdiri. Ia lalu mengambil totebag berwarna cokelat yang tergantung di stang motor.
"Nih." Ia menyerahkan bungkusan itu pada Geo.
"Apa ini?"
"Begini," Ardan terlihat canggung hingga ia menggaruk belakang telinganya, "katanya kemarin lo ulang tahun?"
"...ya?" Jawab Geo dengan jeda.
"Jadi, ini hadiah ulang tahun lo dari gue."
"Eh?" Geo terlihat gugup, "duh. Gak perlu lah, Dan. Repotin lo aja."
"Enggak kok. Terima, ya. Maaf kalau lo kurang suka. Kalau gak suka, bisa dikasih aja ke orang lain." Ardan sudah pesimis duluan karena melihat Geo seperti tidak menerima kadonya.
Anak redaksi itu melihat isi dari totebag yang tadi Ardan berikan, sebuah sweatshirt berwarna biru muda. Ia lalu menahan napasnya saat membaca merk brand dari totebagnya. Itu adalah distro yang cukup berkelas di dekat mall.
Ah...
Geo semakin merasa tidak enak karena kemungkinan harga sweatshirt ini cukup mahal. Bahkan harga 300rb, menurutnya mahal. Ini mungkin lebih dari itu.
"Ah, gue suka, kok. Tapi..." Ia menjeda ucapannya, "bener gak repotin lo, Dan?"
Ardan tertawa, "kagak."
Ardan menghela napas dan memikirkan sesuatu yang ingin sekali ia sampaikan. "Untuk masalah tadi pagi..."
Geo mendongak dan menatap Ardan karena ia juga penasaran mengenai alasan yang membuat atlet basket itu mendiaminya.
"Ya?"
"...pagi tadi, sori gue bersikap dingin ke lo. Gue lagi banyak pikiran."
"Oh." Responnya. Geo tidak tahu harus merespon apa. "Jadi gak marah ke gue, kan?"
"Gak kok."
Lalu Geo menghela napas lega dan tersenyum lebar di hadapan Ardan.
DEG
Ardan langsung kaku karena baru pertama kali melihat Geo tersenyum lebar seperti itu.
Kenapa?
Kenapa perasaan membingungkan ini datang lagi?
Masa karena senyuman Geo?
Tapi... lesung pipi yang mini di ujung bibirnya begitu manis.
HEH!
Ardan segera menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tiba-tiba meminta salaman dengan Geo yang membuat anak redaksi itu bingung.
"Sekali lagi, selamat ulang tahun, ya, Ge. Gue pamit pulang dulu."
Tidak berkata apa-apa lagi, Ardan langsung naik ke motor merahnya dan segera mengaktifkan mesinnya untuk pergi dari sana.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top