44. Akhir Sebuah Dongeng (END)

Glossary:

- Cardiac Arrest = kondisi ketika jantung berhenti berdetak secara tiba-tiba
- Defib (Defibrillator) = stimulator detak jantung yang menggunakan listrik dengan tegangan tinggi untuk memulihkan korban serangan jantung
- Ambu Bag = alat medis yang digunakan untuk alat bantu pernafasan

PS: Ini yang bikin lama update :( Happy reading~

***

Semuanya terjadi dengan cepat. Seperti kilatan-kilatan peristiwa, yang anehnya, terekam amat baik dalam kepala Hafa. Beberapa menit lalu ia masih duduk di sisi Levant, setengah mengantuk, dengan tangannya yang menggenggam tangan Levant dan pria itu yang masih tertidur tenang. Ia masih punya harapan, saat itu. Bahwa Levant akan melewati masa kritisnya segera. Bahwa ia akan bangun, pulih, lalu mereka dapat bersepeda bersama, seperti sedia kala.

Namun tiba-tiba saja, titik balik itu datang.

Hafa mengiringi Daru yang berlari di sepanjang koridor, dapat mengingat dengan pasti setiap langkahnya. Ia berlarian tanpa mengingat apapun lagi, tanpa mempedulikan orang-orang yang berlarian bersamanya. Daru menggebrak pintu ruangan hingga terbuka, menghambur ke sisi Levant dalam sekejap. Ruangan itu kacau, itu kesan pertama yang dapat Hafa, atau siapapun tangkap. Patient monitor yang terpasang di sisi tempat tidur, terhubung dengan elektroda ke tubuh Levant mengeluarkan bunyi alarm yang memenuhi ruangan, layarnya terus berkedip menunjukkan bahwa ... pasien yang ada di sana, Levant, sedang tidak baik-baik saja. Hal yang gawat sedang terjadi padanya.

Seorang perawat yang tengah memberikan pertolongan pertama segera memberikan ruang untuk Daru. Dokter muda itu menempelkan dua jari menekan leher Levant, memeriksa denyut jantungnya sementara matanya menelusuri hasil pembacaan patient monitor. Pada layarnya, data-data EKG, respirasi, saturasi darah, tensi, semuanya ... berada pada angka menghawatirkan. Lalu, tiba-tiba, semuanya ... hampir berada pada garis lurus.

"Cardiac arrest*! CPR!" Daru berteriak. Dia meletakkan tangan kiri dan menutup rapat jemarinya di atas yang kanan, kemudian menekan kuat pangkal telapak tangannya di bagian tengah dada Levant. Ia melakukannya dengan cepat, berulang. Seorang perawat dengan cekatan membantu membuka jalur pernafasan dengan menekankan ambu bag* ke mulut Levant.

"Defib unit*! Panggil defib unit!"

Kepanikan mengental di udara. Sementara Daru sibuk memberikan pertolongan pertama dengan seorang perawat membantunya, yang lain berlarian ke luar ruangan. Hafa memundurkan langkah hingga punggungnya menabrak tembok. Dia tidak pintar, dia tidak dapat memahami istilah medis, dia tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Namun dia dapat membacanya, merasakannya. Keseriusan Daru, alarm dari monitor yang meraung, sesak di dadanya, udara yang gagal ia hirup. Levant sedang berada di ... penghujung tebing. Dia bisa hilang, kapan saja.

Dan Hafa di sini, menyaksikannya dijemput kematian. Dan ... dan ... berharap hal itu tidak terjadi. Berharap masih ada harapan.

Kepala Mumi.... kumohon bangunlah... kumohon...

Setiap tiga puluh kali kompresi yang diberikan Daru, ventilasi udara diberikan sebanyak dua kali, dagu Levant diangkat dan ambu bag yang dipasang di hidung hingga dagunya dialirkan oksigen. Kemudian, kembali pada kompresi. Keringat bermunculan di kening Daru, yang tidak bisa ia pedulikan, pangkal tangannya terus menekan pada pertemuan rusuk dengan cepat. Lalu, pada putaran ketiga, Daru mendengar bunyi rusuk yang patah, dan Levant masih belum menunjukkan tanda-tanda merespons tindakannya. Maka ia tetap melanjutkan hingga hitungan ke-30, hingga oksigen kembali memasuki mulut Levant. Tidak berhasil. Alat monitor tetap menunjukkan keadaan gawat darurat.

Kumohon...

"Bagaimana..." Levant bertanya padanya waktu itu. Di bibir pantai. "Bagaimana jika tadi saya benar-benar ingin mengakhiri hidup? Bagaimana jika saya tiba-tiba menghilang? Bagaimana jika saya pergi? Bagaimana jika... saya sekarat dan tidak bisa menahannya lebih lama? Bagaimana jika, saya ingin tinggal, tapi sesuatu menghambatnya. Sesuatu yang kuat dan tidak bisa dilawan?"

"Jika sesuatu menghalangi kamu... kamu harus coba lawan, kan? Karena jika kamu hanya diam menunggu, kamu tidak akan punya tenaga untuk melawan ketika dia datang."

Hafa menekan kedua tangannya, menggigiti kuku, menggigiti bibir hingga mengeluarkan darah. Kumohon... lawanlah.

"Defib! Cardiac arrest!"

Hal yang sama diteriakkan berulang kali. Roda troli yang didorong cepat di atas ubin terdengar di sepanjang lorong sebelum dua orang perawat masuk dengannya, dengan sebuah alat yang segera disambar Daru. Defibrillator. Daru meraih paddles dari sisi samping alat, memberi krim pada permukaannya, kemudian memosisikan salah satunya di bagian atas dada kiri dan yang lain di dada kanan agak ke bawah. Asimetris. Jantung Levant seharusnya berada di antaranya.

Terdengar bunyi beep, lalu, semua orang memberi jarak. Tanpa aba-aba, Daru menekan benda itu ke dada Levant, membuat dadanya terangkat karena kejut yang diberikan.

Patient monitor mengeluarkan bunyi berbeda selama beberapa saat, menunjukkan jantung yang merespon lemah, kemudian ... kembali hilang.

"Sekali lagi."

Proses diulangi. Dalam hiruk pikuk itu, semua orang berusaha mengabaikan bayang-bayang kematian yang menggantung di udara. Daru kembali mengisi daya, mengolesi krim, memosisikan paddles ke dada Levant, bersiap untuk mencoba dari harapan-harapan yang kian terkikis.

Namun waktu terasa telah berhenti untuk Hafa. Suara-suara dikedapkan, visinya mengabur, napasnya .... ia telah lupa cara menarik napas. Yang ia tahu, ia tidak sanggup. Ia sudah tidak sanggup. Ia ingin menyerah sekarang.

Ia tidak ingin mendengarnya, tidak ingin menyaksikannya. Seolah... jika ia tidak sana, ia tidak akan kehilangan. Levant tidak akan pergi.

Jadi, dengan gamang, ia memilih berlari ke pintu, kemudian berlari lagi di sepanjang koridor. Berlari terus. Secepatnya yang ia bisa. Seolah dengan terus membawa kakinya sejauh mungkin dari keberadaan Levant, itu dapat membebaskannya dari sesak yang mengimpit dada, atau dari airmata yang mengancam keluar, yang mengaburkan pandangan. Ia tidak tahu ada dimana, akan kemana, apa yang ia inginkan.

Ketika ia mendongak ke arah langit, Hafa menyadari bahwa ia telah berada di luar rumah sakit, dan hujan memasuki kelopak matanya, menampari pipinya, memerangkap seluruh tubuhnya. Ia tidak beranjak. Ia diam di sana, bahkan hingga dingin menusuk tulang dan tubuhnya mulai menggigil. Aneh. Cara tubuhnya masih dapat merespons semua itu meski ia sendiri tidak dapat merasakannya.

Yang ia rasa hanya sesak yang tak terdefiniskan. Hanya ... lubang yang menganga.

Karenanya, ia terus berlari. Ia tidak ingin mengenali rasa sakit itu. Ia ingin menggantikannya dengan apa saja, termasuk sakit di kakinya yang terus berlarian tanpa alas, atau dinginnya hujan, atau napas yang sudah tidak mampu memompa udara.

Sementara, bayangan pria itu memenuhi otaknya, semakin menjadi-jadi, tidak bisa dihentikan. Berbagai kenangan berhamburan seperti album foto yang dikeluarkan paksa semua isinya. Membuatnya kesulitan bernapas. Seolah kenangan itu adalah kerikil yang menyumbat napasnya. Semuanya berkisah tentang pria itu. Semuanya. Tentang kisah mereka di masa lalu, lima belas tahun lalu, ketika hujan, ketika ia menemukan seorang anak laki-laki dengan perban menutupi kepalanya, anak laki-laki yang ia kunjungi setiap hari, berdoa setiap hari agar anak itu sembuh, namun belum pernah ia temui secara langsung. Tentang lima belas tahun kemudian, ketika ia bertemu pria dingin menyebalkan itu, masih ketika hujan. Pria yang melemparkan payung padanya dengan tatapan dingin, yang tidak pernah bisa ia bayangkan akan menjadi bagian penting dalam potongan hidupnya. Namun takdir punya rencana berbeda dan mereka lebih sering dipertemukan; saat mobil pria itu rusak, saat ia bekerja di restoran, saat akan naik bus... dan perlahan-lahan... perlahan-lahan ia mulai terbiasa dengan intensitas pertemuannya dengan pria patung itu. Ia mulai terbiasa dengan kehadiran dan gangguan-gangguan dari Levant. Lebih dari itu, ia mulai tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya tanpa pria itu.

Pria itu, orang yang entah dengan alasan apa, adalah objek dimana ia jatuh padanya. Orang yang sama dengan orang yang ia sukai di masa lalu. Kepala Muminya.

Terlalu lama... ia telah menunggu terlalu lama untuk pertemuan ini. Dan haruskah ia kehilangan ... secepat ini?

Ia tidak siap.

Sama sekali tidak siap.

Kaki, adalah hal pertama yang menyerah dari Hafa. Begitu saja, ia terjatuh. Entah sudah seberapa jauh ia berlari. Hujan mengepungnya lebih deras, bercampur dengan airmata yang tidak bisa ditahan-tahan.

Hujan masih deras di sekitar, mengerubunginya seperti kelambu tipis yang bergerak tertiup angin. Gigil tubuhnya semakin menjadi-jadi. Kebisingan memenuhi indera dengarnya dan airmata di indera penglihat. Dan dadanya ... serasa ingin meledak.

Saat itulah ia melihatnya.

Sebuah payung berwarna biru dilemparkan kepadanya. Hafa mendongak, dan .., menemukan Levant. Pria itu punya mata yang dingin, seingatnya, yang menghakiminya hanya lewat sebuah pandangan saat pertama kali mereka bertemu. Kali ini, Levant tersenyum, mengulurkan tangan.

Jika cerita ini adalah sebuah dongeng, kenapa mereka tidak bisa berakhir bahagia? Apakah setiap dongeng itu selalu punya akhir bahagia? Apakah... happy ending itu benar-benar ada?

Dan jika tidak, jika kita tidak bisa bersama di sini, bisakah kita bersama ... di tempat berbeda? Dunia berbeda?

Tanpa ragu, Hafa menyambut tangannya. Dan itu adalah hal terakhir yang ia ingat sebelum kegelapan merenggut seluruh kesadarannya.

***

"Apakah kamu masih ingat dongeng tentang hujan?"

Suara laki-laki. Familiar.

"... Dia berdoa kepada Peri Hujan itu agar dia bisa pulang, kembali ke rumahnya yang hangat. Dan ... Peri Hujan mengabulkan doanya. Ya, dan aku adalah peri hujan itu."

Sangat familiar. Termasuk rasa hangat yang menggenggam tangannya. Termasuk rasa hangat akan kehadiran seseorang, yang terasa dekat. Amat dekat. Berbisik di telinganya.

"Sekarang bangunlah, Hafa... Aku merindukanmu."

Kelopak mata melayang Hafa terbuka secara perlahan. Ia mengerjap dua kali, menyesuaikan retinanya dengan cahaya ruangan. Ini ... bukan bangsal rumah sakit, melainkan kamarnya, ia segera menyadari. Dan ia ... tidak mengerti kenapa ia ada di sana.

"Teteh udah bangun?"

Ayres. Ayres di sisinya. Hafa membuka mulut, namun bibirnya masih belum dapat diajak bekerja sama untuk mengucapkan sepatah kata. Dan sebelum ia dapat melakukannya, anak itu telah menghilang ke luar ruangan seraya berteriak. "Pak Dok! Teteh udah bangun!"

Dalam sekejap, ada banyak orang di sekitar Hafa, membuat kepalanya sedikit berputar dan terasa hangat. Daru, Ayla, Nasya, Ayres, bahkan Tari dan Yui, semua mengelilinginya.

"Ada ... apa?" tanya Hafa begitu ia didudukkan di atas tempat tidur dan meminum beberapa teguk air putih.

Mereka berpandangan selama sesaat, seolah berdiskusi siapa yang harus bicara. Sebelum akhirnya Daru melangkah mendekat dan duduk di ranjang Hafa. Tangannya terulur, memeriksa kening gadis itu. "Kamu demam dua hari ini, mengigau. Syukurlah sekarang demamnya sudah turun."

Demam? Ini menjelaskan tentang suhu tubuhnya yang tidak terasa nyaman. Atau tentang mimpi-mimpi anehnya. Tentang Peri Hujan yang mendatanginya dalam mimpi. Iya, Peri Hujan. Dia seorang anak laki-laki, kadang, dia laki-laki, tanpa wajah.

Lalu, ingatannya membawa kembali alasan-alasan kenapa ia berada di sini, dalam keadaan sekacau ini. Terakhir yang ia ingat, ia berada di rumah sakit, lalu seperti orang gila kabur di tengah hujan. Semuanya karena ...

"Levant..." Hafa menutup mulutnya lagi, cepat.

Ia tidak seharusnya menanyakannya. Ia tidak siap untuk jawabannya. Kata Daru, ini sudah dua hari. Banyak, banyak hal yang dapat terjadi pada Levant selama dua hari itu. Apakah dia ... apakah Hafa bahkan tidak dapat mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir?

Gadis itu menggeleng keras seketika. Ia tidak ingin mendengar kabar buruk. Apa pun itu. Namun, Daru sudah terlanjur mendengar pertanyaannya dan pria itu kemudian meraih tangan Hafa.

Jawaban yang diberikan Daru, mau tidak mau, memberikan kejutan lain yang tidak terduga.

"Dia di luar."

"... Apa?"

***

Bayangan yang membujur panjang ke timur dan sinar matahari yang tidak lagi terik, hanya hangat di kulit memberikan lebih dari cukup tanda bahwa sore telah lama datang. Jalanan di depan gang rumah sepi dan angin berembus pelan, menyejukkan, menggugurkan daun-daun layu pohon angsana yang telah setia bercokol di antara halaman rumah Hafa dan Ayla selama puluhan tahun.

Pohon yang pernah menjadi saksi pernikahan pura-puranya.

Dengan ragu, Hafa membujuk langkahnya pelan-pelan. Ke sana. Ke pohon itu.

Karena ...., pria itu ada di sana.

Punggung yang familiar itu, yang Hafa ingat rasa hangatnya, tersembunyi di balik punggung kursi roda. Pria itu sedang menatap pohon, membiarkan dedaunan jauh ke rambutnya, atau pangkuannya.

"Levant!"

Levant, kata pertama yang ia ucapkan hari ini. Kata yang terus ia ulang-ulang dalam hati. Ia tidak percaya bahwa ... pria itu benar Levant?

Langkah Hafa terseok, kakinya goyah ketika pria itu menoleh dan memutar kursi rodanya. Lalu, tatapan mereka bertemu. Jawabannya ya, pria itu benar Levant.

Levant yang duduk di atas kursi roda sana tidak seperti Levant saat pertama kali mereka bertemu. Levant yang melemparkan payung dengan tatapan dingin. Levant yang sekarang hanya mengenakan baju hangat yang tebal, bukan jas. Kepalanya ditutupi topi rajut abu-abu. Wajahnya masih pucat, tirus, seperti yang terakhir kali Hafa ingat di rumah sakit. Namun ada rona yang terasa seperti harapan. Ada senyum yang ... memberi tahu Hafa bahwa tidak apa-apa. Semua baik-baik saja sekarang.

Badai telah usai.

Hafa mempercepat langkah. Sekarang ia berlari, nyaris tersandung kaki sendiri, kemudian bersimpuh di hadapan pria itu. Menjatuhkan diri dalam pelukan Levant.

Aku merindukanmu. Aku merindukanmu. Aku merindukanmu.

Di dalam hatinya, kalimat itu terus menggema seperti mantra. Karena benar, ia merindukannya, setengah mati. Namun sekarang ia dapat melihat pria itu, hidup, berusaha hidup untuknya, semua kata menghilang. Semua tertelan isak tangis yang tidak dapat ia tahan-tahan. Semuanya tumpah di baju Levant.

"Aku ... kamu ... hidup. Kamu ..."

"Sshh... it's okay now," Levant terkekeh. Telapak tangannya menyusuri punggung Hafa dengan pelan. Bibirnya kemudian mengecup puncak kepala Hafa dan membiarkannya tinggal selama beberapa saat. Ia kemudian berbisik. "Aku juga merindukan kamu."

T A M A T

Alhamdulillah akhirnya tamaaaatttt!!! Yay!!!

Pertama-tama, aku mau mohon maaf sekiranya dalam cerita ini atau saya selaku author pernah menyinggung kalian atau berkata suatu perkataan yang nggak pantas. Mohon maaf juga untuk segala kekurangan yang kalian dapat temukan di sepanjang cerita.

Lalu, terima kasih yang luar biasa banyaknya kepada para pembaca yang udah setia nungguin cerita ini sampai tamat. Kepada yang rajin meninggalkan vote dan komen. Percayalah, dukungan kayak gitu itu simpel banget tapi sangat membantu. Terutama untuk penulis kayak aku yang emang lapaknya gak rame-rame amat, hehe. Keep it on guys! Komen dan vote kalian adalah penyemangatku <3

Terakhir, ada yang mau disampaikan? Mungkin review keseluruhan cerita? Yang silent reader, mungkin berkenan hadir sekarang?

Dan ... jangan hapus dulu dari library. Untuk Epilog atau Extra part, enaknya mau dikasih apa, nih?

PS: Follow me on Instagram @specialnay dan Twitter @nayaaahasan

Gambut, 28 September, 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top