42. Harapan
Akhirnya. Sementara koas bedah sibuk menjahit bagian tulang dan kulit kepala Levant, Daru akhirnya memiliki waktu untuk bernapas. Operasi kraniotomi telah selesai.
Sesuai prosedur, mereka memberikan Levant anestesi total, membuatnya tidak sadar selama operasi berlangsung sebelum mulai memberikan sayatan di kepalanya. Perforator digunakan untuk membuat lubang-lubang kecil di tengkorak, kemudian dengan craniotome, mereka memotong tengkorak kepala dari satu lubang ke lubang lain sehingga membentuk bone flap. Bone flap selanjutnya diangkat bersama membran pembungkus otak. Mereka menyedot dan mengeringkan darah di luar pembuluh darah otak Levant sebelum kemudian memasangkan bone flap kembali ke tempatnya. Dan lebih dari dua jam dihabiskan di ruang operasi, tanpa terasa.
Baru setelah Levant dipindahkan ke ICU dan mereka keluar dari ruangan itu, Daru mulai merasakan efeknya, kelelahan yang menyita banyak energi, juga perut yang minta diisi. Dan ia hampir tidak terkejut ketika Hafa masih duduk di ruang tunggu. Kepalanya terkulai ke depan, tertidur. Rambutnya kusut, jelas ia memakai pakaian rumahnya dan tanpa mengenakan alas kaki apapun. Ia membawa tas tangan kecil yang ia letakkan di atas pangkuannya bersama sebuah pemutar audia tergenggam di tangan. Itu bukan posisi yang menyenangkan untuk tidur. Alasan kenapa Daru duduk di sisinya dan mulai membenahi posisi tidur gadis itu. Ia baru saja akan menyelipkan rambut yang menutupi wajah ke belakang telinga Hafa ketika gadis itu terbangun oleh sentuhan ringannya.
"Pak Dokdok!" Seru Hafa begitu melihatnya. "Gimana keadaan Levant?!"
Pertanyaan pertama yang gadis itu lontarkan, bahkan ketika ia barusaja membuka mata, Daru menyadari. Seharusnya ia tidak heran.
Daru menghela napas lelahnya, namun tidak berhasil mengatakan apa-apa.
"Bagaimana... keadaannya?" tanya gadis itu lagi, lebih mendesak, ia menggamit lengan Daru dengan kedua tangannya dan memberikan tatapan memohon.
"Hafa, kamu nggak lagi berharap kita ada di sinetron atau bagaimana, kan? Dia masih belum sadarkan diri."
Hafa diam, menunggu Daru meneruskan. Namun tatapan cemas gadis itu hanya membuat Daru tidak yakin dengan apa yang harus ia katakan. "Operasinya... bisa dikatakan lancar. Bukan berhasil, tapi lancar. Karena..., kita belum dapat mengetahui hasilnya."
"M-maksudnya?"
"Seperti yang saya katakan, dia masih belum sadarkan diri. Kita harus menunggunya bangun untuk mengetahui operasinya berhasil atau tidak. Dengar," Daru memutar derajat posisinya sehingga persis menghadap gadis itu, ia memegangi kedua pucuk pundak Hafa. "Kemungkinannya ada dua, Hafa; operasinya berhasil dan ia akan segera sadar, atau... operasi itu ternyata gagal, tubuhnya ternyata menolak, dan dia ... bisa mengalami koma atau lebih buruk dari itu."
Daru merasa ia sudah menurunkan suaranya hingga titik terendah ketika mngucapkan kalimat terakhir, kalimat yang ia yakini tidak ingin didengar oleh Hafa. Ia tidak dapat mencegahnya, Hafa sudah mencerna semua ucapannya, ia yakin. Terlihat dari wajah gadis itu yang berubah mendung.
"Tapi saya yakin... ia akan bangun. Ia pasti akan bangun, Hafa. Yang harus kamu lakukan hanya ... terus mendoakannya."
***
Katanya, waktu itu relatif. Ketika kita dalam keadaan bahagia dan tidak ingin momen itu berakhir, waktu berjalan terlalu cepat, dan semuanya pun berakhir. Namun di saat kita menunggu, waktu seakan menggoda dengan merayap begitu lambat. Dalam kasus Hafa, waktu berjalan bukan lagi menggoda, tetapi terasa membunuh. Ia kelelahan setiap harinya karena menunggu dan berdoa.
Hafa mengalihkan tatapannya dari jendela, dari derai yang mengetuk-ngetuk kacanya, kembali kepada pria di sampingnya. Jari jemarinya tidak pernah lepas dari tautan dengan jemari pria itu, seakan tangan gadis itu adalah tambahan oksigen bagi Levant. Kata Daru, pasien biasanya akan sadar setelah satu atau dua hari pasca operasi. Sekarang telah hari kelima, dan ... Levant masih belum bangun juga.
Ia cemas. Ia setengah mati cemas.
"Hei... saya... peri hujan," bisiknya pelan, suaranya teredam oleh bising hujan di luar. "Saat ini hujan, dan saya... akan terus berdoa untuk kamu. Kamu harus bangun. Apapun caranya, kamu harus sembuh dan bangun."
Puluhan kali setiap harinya, gadis itu mengajaknya bicara, hanya berhenti sesekali ketika ia merasa lelah. Namun ia tidak berniat meninggalkan ruangan itu, dengan keras kepala ia menolak siapapun yang memaksanya pulang dan beristirahat. Ayres datang sesekali bersama Daru, dan pulang bersama Daru juga, tidak pernah ada yang berhasil menyeret Hafa pulang ke rumahnya, tidak sebelum Levant sadar dan ia tahu pria itu selamat.
Seluruh fokusnya seluruhnya tertuju pada harapan itu. Dan ia tahu, semakin hari, semakin jauh berjalannya waktu, harapan itu sedikit-demi sedikit meninggalkannya. Seharusnya, Levant telah sadar sejak tiga hari yang lalu. Seharusnya, kondisinya semakin stabil. Namun yang terjadi ... adalah sebaliknya. Kondisi pria itu terus menurun. Kondisinya semakin kritis.
Bagaimana jika operasinya gagal? Bagaimana jika Levant ternyata tidak pernah bisa membuka matanya lagi? Bagaimana jika kali terakhir ia menatap mata kuyu pria itu saat memasuki ruang operasi adalah kesempatan terakhir Hafa bisa melihatnya? Bagaimana jika...
Ia tidak bisa meneruskannya. Tidak ingin. Tidak bisa membayangkan. Daru mengatakan pilihannya adalah dua, teapi bagi Hafa, pilihan itu hanya satu; Levant harus bangun. Ia tidak menginginkan ada opsi lainnya. Ia menggenggam tangan pria itu semakin erat, menyatukan gelang dan arlojinya di antara mereka, dan merasa seakan dadanya ingin meledak. Sesak. Matanya panas namun ia tidak bisa menangis. Semua rasa sesak bahkan tidak memberinya celah agar bisa meloloskan air mata dari semua beban yang menghimpit. Ia takut. Takut sekali kehilangan.
"Kepala mumi... kumohon bangun. Kumohon...," sedaknya.
***
Mungkin ia sudah tidak waras saat memikirkan ini. Tetapi melihat gadis itu terluka setiap harinya membuatnya seakan disayat dalam-dalam, dicabik hingga berkeping-keping. Gadis itu tidak menangis, tetapi hal itulah yang justru membuatnya makin tampak buruk. Daru memegang handle pintu erat-erat dan menggagalkan rencananya sendiri untuk masuk memeriksa Levant, untuk ke sekian kalinya. Ia merasa tidak sanggup terus terjebak dalam situasi seperti ini. Dimana dia harus merasa sekarat menyaksikan wanita yang ia cintai setengah mati merasa sekarat pada pria lainnya. Ia bahkan tidak bisa menyimpulkan mana yang lebih menyakitkan, berada dalam posisinya, atau posisi Hafa.
Ia hanya tidak ingin melihat gadis itu seperti itu terus. Ia harus bagaimana? Sebagai dokter, ia sudah mengupayakan yang terbaik demi kelancaran operasi dan kesembuhan Levant. Tetapi penyakit itu sudah menyerang terlalu parah. Dan seperti yang ia katakan pada Hafa, hanya ada dua kemungkinan sekarang; Levant akan sadar, atau... tubuhnya menolak, kondisinya terus menurun seperti yang sedang terjadi dan ... ia akan pergi selamanya.
Bagaimana jika pilihan kedua terjadi? Hanya, bagaimana... dengan gadis itu?
Levant... sekarang Daru berani bersumpah bahwa ia tidak keberatan jika dapat menukar posisinya. Tidak apa jika ia yang terbaring koma di sana dan Levant berdiri sehat di sini tanpa luka apapun. Bukan lagi karena ia ingin Hafa mencintainya dan menangis untuknya. Tetapi karena ia tidak bisa melihat gadis itu menangis. Seharusnya Levant di sini, hidup untuk dan demi gadis itu.
***
Maaf bukan anak kedokteran 🤧 jadi kalo salah, mohon maklum, koreksi aja ya.
Terima kasih ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top