41. Bertemu, Akhirnya
Rumah sakit swasta yang dipilih Levant adalah tempat yang sama dengan ketika ia pertama kali mendengar bahwa sesuatu terjadi pada bagian hematoma otaknya, dan bahwa hidupnya tidak akan bertahan lama jika tidak segera melakukan operasi. Seseorang memberitahunya demikian. Hari ini, seseorang itu kembali duduk tenang di hadapannya, memberitahunya bahwa masih ada kesempatan, meskipun seiring waktu, kesempatan itu sudah sangat mengecil.
"Kamu puasa?"
"Ya, sejak tadi malam."
"Baik," Daru mengangguk, memeriksa beberapa berkas di mejanya. Begitu ia menemukannya, ia menatap Levant. "Kamu siap?"
Ada jeda yang mengisi. Karena... pertanyaan itu bahkan tidak berhak memiliki jawaban. Tidak ketika Levant bahkan tidak punya pilihan lain. Mendadak, kalimat Daru kembali membayang di benaknya. Soal kemungkinan keberhasilan operasinya.
"Pendarahan itu telah menyebar, saya tidak dapat memastikan berapa persen kemungkinan berhasilnya. Tetapi saya akui, memang akan sulit. Dan masih ada kemungkinan komplikasi lainnya; infeksi, pendarahan lebih parah, herniasi otak yang dapat menyebabkan koma, bahkan ... kematian."
Levant nyaris terkekeh. Operasi atau tidak, kematian itu selalu membayanginya. Begitu dekat seperti urat nadi.
"Saya siap."
Hening lagi. Baik Levant maupun Daru tidak menemukan pembahasan lanjutan. Semuanya sudah dibahas, semuanya sudah jelas. Dan Ayudya hanya bisa terdiam syok. Ia bahkan sempat pingsan pertama kali Levant mengaku soal sakitnya. Ia sudah mengungkapkan semuanya tanpa ragu.
Sekarang bahkan wajah itu masih sama tenangnya, meski beberapa jam ke depan, ia tidak tahu ia masih dapat bernapas atau tidak. Ia hanya... tidak akan bisa hanya diam menunggu kematian. Ia harus menghadapinya. Operasi adalah satu-satunya jalan memerangi sakit itu, meski tidak ada jaminan sama sekali soal keberhasilan.
"Kalau begitu baiklah." Daru menyodorkan sebuah dokumen. "Kamu dan wali kamu, tanda tangani ini. Kami akan menyiapkan ruang operasi."
Daru beranjak, berjalan lurus ke luar ruangan sebelum akhirnya Levant memanggilnya lagi.
"Dokter?"
"Ya?" Ia menoleh.
"Kamu akan menepati janjimu, kan?"
Daru tertegun, dan selama beberapa saat ia tidak mengatakan apa-apa, tidak yakin untuk mengatakan kata apapun, bahkan tidak yakin apakah ia mau melakukannya atau tidak. Sementara Levant menunggu.
"Gadis itu," kata Levant lagi. "Hafa. Jangan beri tahu dia. Bahkan jika operasinya gagal, jangan beri tahu dia."
Daru menghela napas. "Ya. Saya janji."
Kemudian ia meneruskan langkah, meninggalkan Levant dan Ayudya di dalam sana, mempersiapkan diri. Levant telah datang kemarin, dan mengetahui keadaan pria itu, Daru menjadwalkan operasi kraniotominya sesegera mungkin, siap atau tidak siap, tidak ada waktu yang dapat dibuang. Dengan tergesa, ia menghubungi dokter anestesi untuk persiapan. Lalu langkahnya tertegun sebentar. Satu perasaan menghantamnya.
Jadi..., Hafa, alasannya? Pria itu memutuskan di saat-saat terakhirnya untuk melakukan operasi, apakah karena gadis itu? Ia mulai tidak bisa mengukur seberapa dalam hubungan mereka. Hanya saja, Daru tahu dia tidak memiliki tempat di antara keduanya. Dia tahu itu, bahkan lama sebelum mereka bertemu kembali. Karena, setiap ia bersama Hafa, dan setiap ia mencuri kesempatan menatap gadis itu, ia tidak bisa menemukan bayangannya sendiri di kedalaman mata cokelat madu itu.
Padahal ia rela menukar sisa hidupnya dengan hanya waktu dua bulan seperti yang dimiliki Levant hanya agar gadis itu menatapnya, hanya agar... gadis itu membalas perasaannya.
Seharusnya... dunia itu... adil, kan?
Daru mengambil ponselnya, segera menemukan nama Hafa dalam daftar kontak teratasnya. Dia terpaku menatap nama itu.
Haruskah ia memberitahu gadis itu? Dia sudah berjanji. Gadis itu tidak boleh tahu. Hafa tidak akan tahu soal ini jika ia tidak memberitahunya. Ia tidak harus memberitahunya atau ia akan sakit sendiri. Yah, ini bukan masalah Levant, ini masalah ego Daru sendiri. Ia tidak akan memberitahu Hafa. Sudah diputuskan.
***
Hafa menjatuhkan ponselnya begitu saja. Seperti orang linglung, ia memutari rumah hanya untuk menemukan pintunya. Tanpa berganti pakaian, bahkan tanpa sepatu, ia berlari menuju jalan besar dan menyetop sebuah taksi. Tidak ada yang bisa ia pikirkan untuk dibawa, selain rekaman itu.
Rekaman itu, dan telpon dari Daru barusan rasanya cukup jelas sekali. Terngiang-ngiang di kepalanya seperti roll film.
"Datang ke sini sekarang juga. Kamu harus datang! Secepatnya! Kamu akan tahu tentang pemilik arloji yang kamu simpan itu. Orang yang kamu bilang sebagai Kepala Mumi, dan cinta pertamamu itu."
Kakinya terlalu lemas untuk sekedar menopang tubuh, tetapi ia memaksanya untuk berlari. Ia meremas ujung dressnya dengan resah sambil menatapi jalanan di luar jendela. Meskipun tahu taksi sedang melaju dapat kecepatan penuh, waktu tetap terasa berjalan amat lambat. Ia harus berada di sana. Saat ini juga.
Semua uang yang ia punya ia serahkan ketika tiba di rumah sakit, kemudian tanpa menunggu, kembali berlarian di koridornya, teburu seolah jika ia terlambat satu detik saja, semuanya akan berakhir. Ia hanya... tidak ingin kehilangan kesempatan itu lagi. Kepala Muminya. Pria pertama yang membuat jantungnya berdebar hanya dengan melihatnya.
Rekaman suara itu... sekarang ia mengerti maksudnya.
Hafa, pertama-tama ..., kamu cantik. Lebih cantik dari yang saya bayangkan.
Dan ... hei, saya pergi. Kamu berjanjilah untuk baik-baik saja jika saya tidak ada. Jangan sering-sering terjatuh, kamu harus mengontrol langkah kamu. Saya sudah membelikanmu sepatu baru, jadi jangan melukai kaki kamu lagi. Baju kamu juga, saya membelikan beberapa pasang yang baru, semoga kamu suka. Pakai baju yang tebal kalau kamu pergi jauh, saya belikan kamu jaket. Ja weker kamu yang tua itu jangan dibanting sengantuk apa pun kamu. Banyak-banyak minum air putih biar kamu nggak sepelupa sekarang. Sering-sering bersihin tas kamu, jangan menumpuk banyak sampah di dalam sana. Juga, terimakasih untuk mencucikan bajuku dan membuatkanku makanan. Jangan sampai keasinan lagi, hm? Terakhir kali, saya nyaris keracunan makanan.
Kamu sudah bekerja keras untuk Ayres, saya juga meninggalkan tabungan untuknya. Kalau besar, dia ingin jadi presiden. Dan kamu nggak harus bekerja sekeras sekarang. Perhatikan dirimu juga, ya?
Saya pergi dulu. Saya tidak tahu saya akan pulang atau tidak. Jangan terlalu kangen? (terdengar kekehan darinya, yang terasa pahit) Dan... jika boleh mengatakannya, saya ingin memberitahu kamu bahwa saya mencintai kamu. Sejak lima belas tahun yang lalu.
Kamu dengar? Saya mencintai kamu...
Ia berlari terus, nyaris tersandung kaki sendiri dan terjatuh. Ruang rumah sakit tempat Daru berada, ia sudah hafal di luar kepala. Namun dalam kasus ini, ruangan itu terasa jauh sekali, ia bahkan kesulitan mengingat dimana letaknya.
Sampai akhirnya, dengan sisa-sisa napasnya, dengan kakinya yang masih telanjang dan belum ia sadari pedihnya, ia menemukan ruangan itu. Ia juga... menemukan pria itu.
Dia adalah pria yang ia kenal, Levant, Pak Payung. Saat itu pria itu berbeda, ia sudah menanggalkan jas dan kemejanya, dan menggantinya dengan pasien rumah sakit. Levant telah kehilangan rambutnya, semuanya habis dicukur. Wajahnya selalu tampak pucat, namun sekarang ia kelihatan pucat sekali, lebih pucat daripada biasanya. Bibirnya tampak kering. Tubuhnya mengurus-hal yang baru Hafa benar-benar sadari. Dan ketika tatapannya bertubrukan dengan kegelapan manik mata pria itu, ia tahu darimana datangnya rasa rindu familiar yang kerap ia rasakan.
Ia berjalan pelan dan terseok mendekati pria itu, tanpa berusaha memutuskan kontak mata. Sehingga di sinilah dia sekarang, berdiri berhadapan dengan pria yang paling ingin ia temui lima belas tahun kebelakang. Menghadapi kenyataan pria yang sedang ia sukai, adalah pria yang sama dengan yang ia rindukan setengah mati.
"H-Hai..., Kepala Mumi." Suaranya serak, patah, dan airmata mulai mengumpul di pelupuk matanya.
Levant tersenyum kecil. Ini bukan saat yang pernah ia bayangkan, atau ia pikirkan untuk terjadi. Saat ketika gadis itu mengetahui tentang identitasnya, ia belum mengantisipasinya. Dan jika saja ia adalah seorang Levant yang sehat tanpa pendarahan brengsek di otak, ia pasti sudah menangis bahagia saat ini. Ia akhirnya menemukannya.
Mereka akhirnya bertemu, dengan cara paling tak terduga.
"Hai, Peri Hujan. Senang bertemu lagi."
Pernahkah kamu mengalami, ketika kamu menyukai seseorang selama belasan tahun, dan kamu masih tidak tahu bahkan apakah ia mengenalmu atau tidak. Lalu tiba-tiba... ia memanggilmu? Ia mengenalmu lebih baik dari yang kaubayangkan. Dengan matanya yang sendu, yang memberitahumu betapa ia merindukanmu. Bagaimana rasanya?
Hafa tersenyum. Berkebalikan dengan senyumnya, matanya sebisa mungkin menahan tangis, sebuah tangisan haru. Ia menurut pasrah ketika akhirnya Levant menarik pinggangnya dan membawanya ke dalam pelukan hangat. Ia menenggelamkan tangisannya di dada pria itu, membuat pakaian rumah sakit Levant basah. Ia merindukan orang ini . Ia merindukannya habis-habisan. Ssangat.
"Levant?"
"Hm?"
"Kamu.., baik-baik aja?"
Levant tersenyum. "Enggak. Saya nggak baik-baik aja."
Gila jika ia mengatakan ia baik-baik saja. Semenit lalu mungkin ia bisa mengatakannya. Tidak lagi setelah kedatangan gadis ini yang menghancurkan segala pertahanannya. Mendadak ia merasa ketakutannya menjadi berlipat. Ia tidak ingin ada risiko gagal. Ia ingin hidup, demi gadis ini.
"Tapi kamu akan berjuang agar baik-baik aja, kan? Kamu akan operasi, kan? Kalau gitu kamu harus keluar dari ruangan itu dalam keadaan baik-baik aja. Harus!"
Pelukan itu kian erat. Tidak ada dari keduanya yang ingin melepaskan. Namun waktu terus berjalan, dan mereka tidak punya waktu untuk dibuang. Maka Hafa melepaskan diri, kemudian menatap pria di depannya dengan pertahanan terkuat yang bisa ia upayakan.
"Apapun hasilnya... operasinya lancar atau tidak, apa kamu akan selamat atau tidak... Berusahalah. Semuanya ditentukan oleh keinginan kamu sendiri. Kumohon, berusahalah untuk kuat, untuk selamat. Dan jika kamu tidak bisa bertahan, saya... saya akan baik-baik saja. Hanya... kamu harus tahu, saya...," Tidak bisa. Pertahanannya tidak sekuat itu. Ada air mata yang harus ia sibak agar tidak bertambah banyak. Ia menatap Levant, sesaat sebelum berjinjit dan mengecup singkat pipi pucat itu. "Saya juga mencintai kamu."
Levant tersenyum, namun kali ini, ia harus menghindari tatapan Hafa. "Kamu tahu saya akan melakukannya."
Dan ia berpaling, berusaha sekuat tenaga untuk tidak berbalik lagi. Ia tahu, jika ia berbalik, maka ia tidak akan pernah memasuki ruang operasi. Dan, gadis itu tidak berusaha menahannya. Ia tahu jika ia memanggil nama Levant atau berlari memeluknya, mencoba menahannya barang sebentar, Hafa tahu, ia tidak akan pernah bisa melepaskan pria itu lagi.
Jadi ia hanya diam, sebisa mungkin tidak bersuara, meski itu hanya isakannya. Hafa menangis diam-diam, membekap mulutnya kuat-kuat dengan kedua tangan, berharap itu berhasil.
Ia hanya tidak lagi bisa mempertahankan diri ketika pintu tertutup, memisahkan mereka. Hafa tidak bisa menemukan pria itu lagi, untuk itu ia merasa goyah. Kakinya akhirnya menyerah dan ia menjatuhkan diri.
Semuanya akan baik-baik saja. Ia harap, semuanya akan baik-baik saja.
***
Doa bersama untuk Pak Payung, yuk!
On the bright side, mereka ketemu juga, akhirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top