37. Honey Day

Honeymoon terlalu lama. Untuk Levant, meskipun hanya pura-pura, setelah menikah ia hanya punya satu hari untuk bersenang-senang. Dan satu hari itu, ia ingin mengabadikannya.

Ia tidak membawa mobil saat kabur dari rumah, kenyataannya, ia nyaris tidak membawa apapun selain sejumlah uang tabungan. Sehari-hari, Levant suka meminjam motor matik milik Ayla. Maka, dengan benda itu pula lah mereka bepergian sekarang, menempuh jarak yang menurut maps, dapat menghabiskan waktu empat jam lebih perjalanan, menuju Garut.

"Saya jarang kemana-mana, selain nggak punya uang, saya suka mabuk perjalanan," Hafa memperingatkan sebelum dirinya naik ke atas motor, sweter merah melapisi pakaiannya dan sebuah tas sedang ia taruh di pangkuan.

Levant hanya mengangguk, tidak mengatakan apa-apa. Namun beberapa jam kemudian, tidak lama setelah mereka beristirahat sebentar di daerah Cikajang, pernyataan Hafa terbukti salah.

Levant meminggirkan motornya, membuat Hafa harus mengernyitkan dahi, terutama ketika Levant turun dan mulai memuntahkan isi perutnya ke pinggir jalan. Hafa mengusap punggungnya, lalu sambil memberikan air mineral kemasan sambil tertawa.

"Harusnya kamu yang minum Antimo tadi bukannya saya. Lagian kamu yang bawa motor kenapa kamu yang mabuk? Nggak biasa jalan jauh, ya? Biasa naik pesawat?"

Levant menatapnya setelah membasuh mulut dengan air. Wajahnya pucat, namun, senyum gadis itu menular. Ia ikut tersenyum. "Saya malu-maluin banget, ya. Muntah karena naik motor."

Gadis itu tertawa lagi, menutupi mulutnya dengan telapak tangan

"Nggak apa-apa. Justru, saya senang mendapati fakta bahwa Pak Payung juga manusia, ternyata, bukannya titisan dajal, atau titisan patung!"

Mereka terkekeh bersama, lantas terdistraksi oleh pemandangan hamparan bukit dan petak sawah di sekitar, juga udara yang sejuk. Dan sementara Hafa terpesona dengan pemandangan hijau itu, Levant menyibukkan diri menatap profil sampingnya.

Ada fakta yang gadis itu lewatkan. Namun atasnya, Levant tahu ia harus bersyukur.

Kumohon teruslah tertawa, seperti itu, bagaimanapun sakit yang sedang saya rasakan. Jangan pernah tahu tentang saya, jangan pernah ... menangis karena saya.

***

Levant seolah ditarik dari alam mimpi, sehingga tubuhnya terperanjat dan ia membuka mata dengan cepat. Selama beberapa detik pertama, ia merasakan disorientasi. Dimana dia sekarang?

Angin yang berhembus kuat dan membawa aroma garam ke indera penciumannya, berpadu dengan berisiknya deburan ombak keras beberapa meter di depan Levant, akhirnya memberi tahu. Agin itu pula yang kemudian menyibak helai rambutnya secara brutal, sehingga bagaimanapun ia menatanya kembali, rambut itu tidak akan pernah menjadi benar sebelum ia menjauh dari pantai. Mengganggu sekali.

Kemudian, dengan matanya yang harus menyipit disebabkan kepada terik sore itu yang masih belum bisa retinanya tolerir, ia memperhatikan daerah sekitarnya. Hamparan pasir putih, pepohonan di sisi jalan, dan lautan biru yang luas, yang seakan tidak akan pernah ada tepinya. Levant kemudian memperhatikan arah ombak datang dan melihat sosok itu. Gadis itu telah meninggalkan sweter merah hatinya di dekat kaki Levant, menyangkut pada ujung batang kayu mati yang tadi Levant jadikan sebagai alas tidurnya dibawah kenaungan pohon besar lainnya, yang berdiri kokoh tepat di bidang pantai yang menaik serupa tebing, memisahkan pantai dengan bidang jalan raya. Kini gadis itu hanya mengenakan dress yang ia berikan, dress selutut berwarna putih tulang.

Tampak gadis itu melepas ikatan rambutnya, membiarkan rambutnya yang panjang sepunggung berkibaran ditiup angin. Ia juga merentangkan tangannya lebar-lebar, sambil—hampir bisa dipastikan—menghirup aroma laut yang dalam pikiran gadis itu menyenangkan. Hafa bisa bermain dalam sinetron drama setelah ini, Levant berdecak. Adegan yang terlalu klise, namun entah bagaimana itu tidak membuatnya bosan menatap gadis itu. Hingga Hafa bermain dengan ombak, duduk di bibir pantai, berlari ke tengah menyongsong ombak besar lalu berlari ke pantai lagi selayaknya anak kecil... ia bahkan merasa tidak akan cukup waktu hanya untuk memperhatikannya. Sepanjang gadis itu berlari, sepanjang itu pula ia tersenyum.

Entah menyadari tatapan intens Levant sedari tadi, atau hanya karena ia ingin, Hafa menoleh, menemukan pria itu tidak berpindah dari tempatnya semula. Ia kemudian melambai, mengajak Levant ke tempatnya berdiri sekarang di antara ombak. Dan ketika Levant tidak juga beranjak, dalam rengutan, gadis itu tampak berjalan ke arahnya.

"Kamu ke sini, jauh-jauh sampai muntah, Cuma buat tidur aja?"

"Saya sedang menikmati pemandangan," Levant membela diri.

Jawaban itu tidak memuaskan Hafa. Ia melipat tangannya di dada. "Kita udah jauh-jauh ke sini loh. Masa' kamu mau duduk aja? Nggak mau main air?"

"Main?" Levant berdecap, tampangnya lebih datar dari garis permukaan laut. "Enggak, makasih. Kotor."

Hafa mencibir. "Yakin, kamu mau jadi patung aja di sini?"

Levant mengangguk pelan, lalu tangannya membuat gestur. "Sana, kembali ke kegiatan kamu, lari-lari nggak berguna di pantai itu."

"DAJAL! Denger, ya. Yang maunya ke pantai emangnya sia─"

"Atau kamu bisa lakukan sesuatu yang berguna."

Hafa menyipitkan mata. Wajahnya mengikuti arah pandang Levant, yang berakhir pada motor pinjaman mereka yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka sekarang.

"Belajar naik motor, misalnya? Kamu 'kan selalu takut jatuh terus luka-luka. Di sana," dagu Levant menunjuk hamparan pasir pantai lagi, "seenggaknya jatuhnya empuk."

***

"Saya nyerah aja."

Hafa mendelik pada Levant yang sekarang menolak bekerja sama dengannya. Matanya melotot. "Tadi kamu yang ngusulin saya harusnya belajar naik motor!"

"Ya, sebelum saya sadar kamu bebal banget."

Sekali lagi, Hafa memutar bola mata. Dalam hati ia mulai mengomel, menyumpah dan mengutuk Levant sebagai guru paling buruk dan orang paling tidak sabaran di dunia. Tetapi bibirnya tidak meloloskan kalimat itu. Jika Levant meninggalkannya sendirian di Sayang Heulang ini, bagaiaman cara dia kembali ke Bandung?

"Nggak mau tahu. Kamu udah janji mau ngajarin saya sampai bisa. Pokoknya, saya mau lancar naik motor. Naik sepeda itu capek!"

Pada akhirnya tidak ada yang berhasil memenangi argumen seorang wanita, bahkan Levant sekalipun harus tetap mengalah. Ia kembali mendekat ke sisi motornya, dan dengan wajah setengah ikhlas, memberikan petunjuk pada wajah penasaran gadis itu. "Pertama, putar kuncinya dulu, terus ini tombol starternya. Kamu tarik rem dulu sebelum menekan ini, paham?"

"Iya, iya. Gampang itu."

Pada percobaannya yang ke sekian, lagi-lagi Hafa lupa menarik rem, ia menekan tombol starter terlalu dalam sehingga lagi-lagi, motor itu terlompat maju, membuat gadis itu oleh seketika. Untunglah, Levant selalu ada di sana, menahannya, menyelamatkannya dari luka-luka.

"Astaga! Apa saya bilang!"

Hafa kira ia akan benar-benar marah kali ini, lalu benar-benar berhenti mengajari. Namun yang Levant lakukan di luar dugaannya. Pria itu naik di belakangnya, merentangkan tangan hingga memegang kendali, kemudian mulai menyalakan motor. Dan Hafa terjebak di antara lengannya.

"Gini, nyalainnya. Pelan-pelan. Untung kamu cuma belajar bawa motor bukan nyetir mobil. Bahaya."

Ada rona merah yang tidak bisa ia kendalikan. Ia bahkan tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan arahan pria itu. Yang ia pedulikan, bagaimana napas Levant terasa begitu dekat dengan wajahnya, dan bagaimana hal tersebut memengaruhi kecepatan detak jantungnya.

"U-udah paham. Saya aja yang bawa."

Ia menjauhkan tangan Levant, kemudian menarik gas dengan tangannya yang gugup. Terlalu kencang, sulit dikendalikan. Motor itu melaju di speanjang pesisir panjang, nyaris menuju ke laut, sebelum Hafa semakin panik dan oleng. Mereka akhirnya terjatuh tanpa dapat dicegah. Hafa melompat sepersekian detik sebelum motor mengenai tubuhnya, terguling di atas pasir, lalu tertawa.

"Hei! Apa yang lucu?!" Levant membantu gadis itu bangkit duduk dengan sigap, mengibaskan pasir yang menempel di rambut Hafa.

"Enggak. saya cuma ... malu," ia tertawa lagi. Seolah, motor yang baru dijauhkan Levant dari kakinya bukanlah apa-apa. Padahal Levant hampir mencopot jantungnya sendiri tadi.

Namun seperti yang pernah ia katakan sebelumnya, tawa Hafa menular. Ia ikut tersenyum.

"Kamu sendiri kenapa senyum-senyum?"

Levant menggeleng. Saya hanya bahagia. Bahkan jika saya harus pergi saat ini pun, tidak masalah, saya tetap bahagia.

***

Tidak membutuhkan waktu lama, Hafa turun dari motor. Bukan karena ia tipe pelajar ajaib yang dapat menguasainya dengan cepat. Ia hanya ... menyerah. Ia pamit membeli minuman setelah kelelahan belajar mengendarai motor selama ... setengah jam.

Sementara Levant berdiri menghadap lautan lepas, memperhatikan gelombangnya, memperhatikan ombak yang mengempas di hadapannya, terseret lalu pecah di sekitar kakinya menjadi buih-buih., Lalu, kakinya sudah mengambil langkah mendekati mereka. Menjejak pasir yang semakin basah, hingga membiarkan ombak mulai menyapu ujung celana panjangnya. Ia berjalan terus, menenggelamkan betisnya, terus hingga air menggenang sepinggangnya, dan terus, bahkan ketika ombak menampari perut hingga dadanya.

Rasanya ingin mati sekarang. Jika saya mati sekarang, saya tidak perlu lagi merasa sakit, tidak perlu terlalu banyak berpikir tentang bagaimana saya mati, tidak perlu mengkhawatirkan tentang apa yang saya tinggalkan, dan... tidak perlu merasa semakin berat untuk pergi. Rasanya sial sekali, setiap menatap matanya, gadis itu, dan saya merasa ingin sekali hidup lebih lama. Saya ingin sekali hidup seribu tahun bersamanya. Perasaan seperti itu menyakitkan ketika kamu tahu kamu tidak bisa mendapatkannya. Ketika kamu tahu, kematian dekat sekali denganmu. Dengan mendatangi kematian sialan itu, seharusnya saya tidak perlu lebih banyak cemas... Seharusnya.

Air mencapai dadanya, ketika suara itu memanggilnya, memaksanya menoleh dan mengacaukan semuanya. Suara gadis itu yang memanggil namanya. Suara favoritnya, suara yang sejernih lonceng gereja, dan sekarang mengucapkan namanya keras-keras. Ia tahu ia tidak akan bisa menolak ini.

Hafa berlari ke arah Levant dalam ketergesaan, dan secara hampir bersamaan, Levant juga tidak berhasil menahan kakinya untuk tidak bergerak kepada gadis itu. Seperti magnet.

"Kamu ngapain?" tanya gadis itu dalam napas tersengal.

"Berenang?"

"Oh," Hafa membuang napas lega dan mengusap dadanya. "Saya kira kamu mau bunuh diri atau apa."

"Kamu panik. Nggak mau kehilangan saya?" Pura-pura, pria itu masih dapat menyeringai menggoda, mengakibatkan rona kemerahan di pipi Hafa yang ia alihkan dengan membuang pandang.

"Habis... kenapa mau renang aja pakai pakaian lengkap?" Dagunya menunjuk kepada kaus hitam Levant, yang sekarang menempel di tubuhnya karena basah.

"Emangnya mau lihat saya telanjang?"

Sebuah botol minuman terdampar di dada Levant, keras. "Bodo ah!" teriak Hafa, yang hanya mendapatkan tawa sebagai balasan. Ia berbalik, bersiap pergi. Kecuali, dia mendengar suara Levant memanggilnya.

"Apa?" Hafa berniat marah, awalnya, namun urung begitu menoleh dan menangkap ekspresi Levant. Ia menatap mata pria itu, rasanya... sepasang mata gelap itu mendadak teduh, mendadak seolah menyimpan kesakitan.

"Bagaimana..." Jeda. "Bagaimana jika tadi saya benar-benar ingin mengakhiri hidup? Bagaimana jika saya tiba-tiba menghilang? Bagaimana jika saya pergi? Bagaimana jika... saya sekarat dan tidak bisa menahannya lebih lama? Bagaimana jika, saya ingin tinggal, tapi sesuatu menghambatnya. Sesuatu yang kuat dan tidak bisa dilawan?"

Cukup lama, tidak ada suara yang mengisi kecuali debur ombak dan desau angin. Levant merasa gamang dengan dirinya. Menunggu jawaban Hafa adalah hal menyiksa. Dan ia punya keyakinan lebih dari tujuh puluh persen bahwa pertanyaan itu terlalu aneh untuk ditanyakan. Hafa pasti menganggap itu lucu. Namun kenyataannya, ketika gadis itu membuka mulut, wajahnya tampak sama seriusnya.

"Kalau gitu... jangan pergi. Jangan pergi dengan gampangnya kalau kamu nggak mau pergi."

Levant tidak menjawab, hanya menatap sepasang kelereng cokelat gadis itu, yang sedang menatapnya lurus-lurus. Membuatnya benar-benar goyah. Ia bersumpah ia tidak ingin meninggalkan gadis ini.

"Jika sesuatu menghalangi kamu... kamu harus coba lawan, kan? Karena jika kamu hanya diam menunggu, kamu tidak akan punya tenaga untuk melawan ketika dia datang."

Debur ombak lagi, lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Dan... untuk waktu yang lama, tidak ada lagi suara setelah itu.

***

Jadi, bau-bau apa yang kalian cium? Sad ending atau happy ending?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top