36. Pada Kaca Jendela


            "Terus... kayuh yang kuat. Kamu kok lemes banget, ini nggak gerak-gerak?"

Hafa, sekali lagi menoleh pada Levant di belakangnya, memberikan tatap memperingatkan pada pria itu yang masih saja memasang wajah tidak berdosanya. Enteng sekali titisan dajal ini bicara.

"Pak? Bapak abis makan beton, ya? Apa kebanyakan dosa? Bapak berat banget, tahu!"

"Saya? Berat? Bukannya sepeda ini nggak gerak-gerak karena berat badan kamu sendiri?"

"... ngomong naon, sia? Belum pernah disambit, ya?!"

Sepeda yang tadinya terseok-seok, sekarang berhenti mendadak akibat direm kuat. Hafa segera turun dari sana, meninggalkan sepedanya bahkan tanpa menarik standar, membiarkan Levant menahannya dari kejatuhan dengan kedua kakinya yang panjang.

"Oh... ada yang lagi ngambek, ya?" kekeh pria itu, tidak tahu diri. "Sayang banget saya lupa bawa permen."

Tadinya, Hafa akan membiarkannya saja. Terserah lah apa yang pria cabul itu mau lakukan. Tetapi kalimatnya berhasil menahan gadis itu kembali, membuat Hafa menoleh lagi. Ia melipat kedua tangan di dada dengan wajah ditekuk kesal. "Sudahlah, Pak. Saya ini mau kerja. Bapak nggak usah deh gangguin saya sampai maksa-maksa ikut, sampai maksa-maksa dibonceng begitu!"

Sementara Levant, masih setia di sana, masih dengan wajah tidak berdosanya. Ia kemudian turun, menggiring sepeda Hafa hingga berada di sisi gadis itu. "Karena kamu kerja seharian. Saya jadi nggak bisa ketemu."

"Emang kenapa kalau nggak ketemu saya?!"

"Takut kangen."

Hafa tidak segera bicara, atau memberikan tanggapan apa-apa. Gadis masih berjalan menuju tempat kerjanya yang tidak jauh lagi, melakukan upaya keras untuk menahan diri agar tidak tersipu karena kata-kata aneh bin tidak jelas Levant. Hingga, kalimat Levant selanjutnya membuat rahangnya jatuh.

"Kangen ngeledekin, maksudnya."

".... Saya nggak bersedia ya, ketemu kamu!"

"Kenapa?"

"Masih nanya? Karena kamu titisan Dajal! Nyebelin! Teu eucreug!"

Seharusnya, semua itu hanya candaan, Leavnt tahu itu. Namun tak pelak, kalimat itu membuat Levant menatap sisi wajah Hafa lekat-lekat. "Kamu benar-benar mau saya pergi?"

Dan kata 'pergi' bagi Levant tidaklah sesederhana makna menghilang selama beberapa menit atau jam, lalu kembali. Pergi, untuknya berarti selamanya, tidak pernah bisa kembali. Karena itu, ia merasa sakit oleh kata sekecil itu.

Sementara 'pergi' yang Hafa ucapkan, ditentang sendiri oleh hati kecilnya. Ia merasa tersiksa setiap pria itu berjauhan darinya. Namun untuk selalu berada di sisi pria itu, ia perlu kekebalan ekstra. Jantungnya nyaris berdisfungsi hanya dengan menemukan tatapan pria itu, napasnya tidak pernah lagi benar, dan sistem bicaranya benar-benar memalukan, begitupun pikirannya. Ia merasa... perlu pria itu untuk menghilang sementara, hanya agar dia bisa mengatur napas. Jangan terlalu lama, karena ia pasti akan merindukan pria itu, dan perasaan rindu itu membunuhnya pelan-pelan.

Seraya meremas ujung dress-nya, Hafa tidak bersedia menjawab. Hanya memalingkan wajah dan memilih meneruskan langkahnya menuju York. Kali ini ia yang paling pagi sampai sehingga ia yang harus membuka kunci gembok pada pintu kaca dan membalik papan tulisan close menjadi open.

Levant hanya duduk di sepeda berkeranjang kuning milik gadis itu selama beberapa saat. Memperhatikan lewat kaca di kejauhan bagaimana gadis itu berjalan ke sana kemari, membersihkan meja dan menata segala sesuatunya. Sampai pegawai lain datang. Sampai pengunjung pertama dan pengunjung-pengunjung lainnya datang. Pria itu setia di sana, dan tidak merasa lelah mengawasi gadis itu. Ia tidak merasa penat, hanya takut. Takut gadis itu keberatan dengan kehadirannya. Takut kehabisan waktu untuk bersama gadis itu. Takut... memikirkan apa yang akan terjadi hari esok. Jika ia tetap di sisi Hafa, akankah ia meninggal di sampingnya? Lalu bagaimana reaksi gadis itu? Apa ia akan marah? Sedih? Menangis? Demi Tuhan Levant tidak bisa membayangkan satu kemungkinan pun. Ia tidak ingin itu terjadi. Melihat gadis itu menangis, ia tidak bisa.

"Pak... Levant?"

Levant tersentak dan menoleh. Hampir saja ia menjatuhkan sepeda yang ia duduki saat secara spontan mengambil langkah berdiri tegap. Segera, di hadapannya berdiri orang-orang yang tidak sulit untuk ia kenali. Orang-orang kepercayaan ayahnya.

Hafa, yang saat itu tengah mencatat pesanan, sekali lagi mencuri pandang pria itu. Kali ini ia harus menoleh lebih lama karena Levant sekarang tidak lagi tampak sendirian. Setidaknya dua orang bertubuh tinggi tegap dengan pakaian serba hitam sedang bicara dengan pria itu. Levant berdiri, tampak tenang, dan Hafa tidak tahu kenapa tiba-tiba justru kakinya yang terasa lemas.

"Pak Levant, sudah lama kami mencari anda."

"I can see that," Levant mengangguk. "Dan sekarang kalian menemukan saya."

"Pak Arun memerintahkan kami untuk menemukan anda secepatnya dan membawa anda pulang." Sebelum kalimat terakhir benar-benar habis, tangan mereka sudah bergerak, berusaha mengekang pergelangan Levant yang bebas di sisi tubuhnya. Yang segera berhasil pria itu cegah dengan mengangkat kedua tangan di depan dada.

"Tunggu. Kalian mau apa? Tidak perlu seperti itu."

Sambil tersenyum kepada mereka, Levant melenggang santai menuju mobil yang tadinya membawa orang-orang itu ke sini, sebuah Audi hitam metalik. Tanpa ragu, ia telah duduk di belakang kemudi, meninggalkan pria-pria itu yang tercengang atas sikap tak terduganya. Menemukan Levant telah demikian sulitnya, namun bagaimana mungkin dia menyerah begitu mudah?

"Nggak keberatan, kan, saya yang menyetir? Saya sudah agak lama nggak melakukan ini."

Jeda sesaat, kemudian salah seorang segera mengambil keputusan untuk menjawab meski penuh keraguan. "Tapi, Pak─"

Levant menatapnya, tajam. Dan inilah, yang selama ini mereka hindari. "Kamu keberatan? Mau cepat dapat pesangon, ya?"

"T-tidak. Tidak sama sekali, Pak. Bapak silakan menyetir."

"Yasudah, masuk."

Kedua orang itu segera menurut, meski dengan waspada. Levant yang tanpa perlawanan bukannya Levant seperti yang mereka bayangkan, dan itu justru membuat keduanya semakin was-was. Sulit menebak isi pikirannya melalui mata gelapnya yang berkabut itu. Mata gelap yang selama sepersekian detik mencuri waktu untuk menengok ke arah restoran, menumbukkan iris matanya tepat pada bayangan gadis itu, yang juga sedang menatap tanpa ragu ke arahnya. Sepersekian detik saja. Kemudian segera berakhir setelah Levant memutuskan kontak. Ia memilih berkonsentrasi pada setir di hadapannya.

Levant barusaja menghidupkan mesin mobil ketika seseorang berlari dan memblokir jalannya. Gadis itu. Rintik Hafa berdiri sambil merentangkan kedua tangan di depan Audi-nya, kelihatan berani, nekat, sekaligus bodoh. Namun Levant diam saja, tidak melakukan apapun dengan tangan berhenti di kemudi.

Menit-menit berlalu, dan gerimis mulai turun, lembut menyelimuti kaca-kaca mobil. Setiap orang sepertinya saling menunggu, namun saling diam. Hingga akhirnya, tahu bahwa Levant tidak akan menemuinya, Hafa melangkah cepat dan berdiri di sisi mobil untuk kemudian mengetuk jendela di sisi Levant. Pria itu tidak membukanya, tidak peduli seberapa keras gadis itu mengetuk. Pandangannya lurus ke depan, tidak bersedia menoleh ke arah gadis itu.

Masih disertai ketukan, Hafa berusaha bicara, namun ia tidak tahu apakah Levant bisa mendengarnya sejak kaca yang memisahkan mereka benar-benar menutup rapat hingga tidak ada potensi celah. Maka, setengah putus asa, ia merogoh saku, mengeluarkan kembali pulpen dan notes yang biasa ia gunakan untuk mencatat pesanan. Jari-jarinya bergerak cepat di atas kertas, ia merobeknya, dan menempelkannya di kaca mobil.

Jangan pergi.

Levant melihatnya melalui ekor mata, Masih tidak menunjukkan reaksi.

Hafa kembali menulis.

Saya minta maaf kalau saya salah, tapi jangan pergi dulu.

Tidak ada tanggapan.

Saya perlu mengatakan sesuatu.

...

Apa yang harus saya lakukan untuk menahan kamu? Sebentar saja.

Gerimis masih turun, sekarang kian deras, menjadi hujan tipis. Dan itu membuat Levant tersiksa antara ingin keluar dan memayungi gadis keras kepala di sisi mobilnya, atau menahan diri melakukan itu. Ia tidak punya alasan untuk tinggal. Karena... berasa di sisi gadis itu hanya membuat bebanya semakin berat, membuatnya paru-parunya semakin sesak. Sehingga ia kesulitan bernapas setiap gadis itu tersenyum bebas. Sebab ia tahu, waktunya tinggal sebentar untuk menikmati semua itu.

Sambil memejamkan mata dan menarik napas, Levant meraih setir mobil dan mulai menstarter kembali mobilnya. Telapak kakinya sudah siap di atas pedal gas ketika satu kertas lagi menempeli kaca mobilnya. Kalimat itu ditulis dengan cepat, dengan tinta yang sedikit luntur terkena hujan. Namun, Levant masih dapat membacanya dengan jelas. Dan kalimat sederhana itu menahannya sedemikian rupa hingga Levant tak lebih adalah patung batu. Ia membeku.

Saya sayang kamu.

Hujan menderas. Levant menggengam erat setir hingga buku-buku tangannya memutih, sebelum akhirnya kakinya menekan halus namun kuat pedal gas. Mobil itu melaju, tidak terlalu kencang, tapi cukup untuk membuat catatan yang ditempelkan Hafa melayang di udara, di antara hujan, terbawa angin dan basah, dan berakhir di genangan air di atas aspal.

Ia masih sempat melihat melalui kaca spion, bahwa gadis itu membeku seketika. Bahwa matanya tampak terluka. Bahwa ia tampak ratusan kali lebih rapuh dari yang bisa Levant bayangkan. Bahwa ia... terlihat putus asa. Dan seketika rasa sakit yang tidak berhubungan dengan otaknya menyerang Levant, menghimpit dadanya hingga demikian sesak.

Jika ia ingin egois, ia ingin melempar dirinya keluar dari mobil sekarang juga dan berlari menuju gadis itu. Tapi beberapa hal harus ia pertimbangkan, termasuk dua orang di sisinya yang terancam lebih dari sekedar kehilangan pekerjaan jika melepaskannya. Lagipula bertarung dengan dua bodyguard yang menguasai berbagai beladiri tentu tidak akan mudah. Namun alasan yang paling crucial, adalah untuk gadis itu sendiri. Jika ia terluka sekarang... ia akan sembuh nanti, tapi jika Levant terus berada di sisinya... pasti akan semakin sulit di hari berikutnya.

Levant memejamkan matanya, penglihatannya terasa berkunang-kunang dan otaknya terasa mati untuk berpikir. Ia memilih untuk menggunakan hati saat memutuskan menekan pedal gas dan membiarkan mobil melaju kencang selama sekian detik, sebelum akhirnya menabrak pagar besi pembatas jalan. Yah, mobil itu mengalami tabrakan keras hingga nyaris terjungkal. Dan mungkin... siapapun tidak akan percaya jika Levant melakukannya secara sengaja. Kenyataannya, ia memang sengaja.

Pria itu keluar dengan susah payah dari pintu yang ringsek. Sebelah lengannya terluka, ia juga harus berjalan terpincang saat pertama melangkah. Sementara, dua orang penumpangnya, tampak terguncang, namun tidak apa-apa. Levant sudah mempertimbangkannya, mereka tidak akan mati oleh kecelakaan kecil ini, kepala mereka seharusnya tidak apa-apa, dan mereka tidak perlu menanggung pendarahan otak dramatis yang mengancam nyawa beberapa minggu atau bulan kemudian. Levant berani menjamin itu.

Gadis itu tampak syok di sana. Untuk kedua kalinya, melihat kecelakaan Levant, melihat pria itu terluka, melihatnya berjalan timpang di tengah hujan yang nyaris seperti ingin mendorongnya jatuh. Levant berjalan cepat menghampiri gadis itu, dan Hafa hanya bisa semakin membeku saat pria itu memeluknya erat. Ia tidak tahu apakah pria itu meringis kesakitan di sana, sulit memastikan karena hujan mengacaukan pendengarannya, ditambah detak jantungnya yang berantakan. Ia bahkan tidak peduli dengan kecelakaan yang mungkin menarik perhatian orang sekitar.

"Levant?" panggilnya, merasa tercekik oleh pelukan itu, oleh perasaannya sendiri.

"Tolong... katakan lagi."

"A-apa?"

"Kalimat itu... Katakan sekali lagi, saya ingin mendengarnya." Ada nada sakit dan memaksa dalam suara Levant, seolah... ia tidak punya waktu lebih lama lagi untuk menunggu gadis itu mengucapkannya. Dapat dipastikan penyakit sialan tidak tahu diri itu merongrongnya lagi, dan Levant hampir kehabisan daya untuk menahannya, sehingga bersandar dalam dekapan Hafa seakan menjadi satu-satunya jalan agar ia dapat bertahan. Ia memeluk gadis itu erat seperti tidak ada habisnya. Dan Hafa memejamkan matanya, merasakan hujan telah membuat seluruh tubuhnya basah. Tidak masalah, karena ia memang menyukainya. Ia berjinjit sedikit, mendekatkan bibirnya pada telinga Levant, dan berbisik di antara bisingnya hujan.

"Saya menyayangi kamu."

***

ASTAGFIRULLAH, DRAMA *ngurut dada sambil dengerin Kumenangis Membayangkan*

Terus, saya ada part bonus di kit yang maju mundur mau dimasukin atau enggak. Akhirnya masukin aja, sebagai bonus.

Saya upload setelah 500 votes, ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top