35. Hari Pernikahan
"Dia nggak akan datang. Trust me."
Leona, sebagai objek dimana kalimat itu ditujukan bergeming. Ia masih menatap pantulan diri di cermin rias besar di hadapannya, mengabaikan eyeliner yang sudah mulai luntur di sudut-sudut mata. Semua orang seharusnya akan berdecak kagum untuknya. Leona terlahir dengan rupa yang diberkati. Dengan wajah campuran Asia-Eropa yang membuat kulitnya cerah namun bersih tanpa bintik-bintik merah, rambutnya cokelat alami, sama seperti matanya yang berwarna karamel, hidung serta bentuk wajah yang dicemburui kebanyakan orang Asia, dan bibir yang terbilang seksi. Bangun tidur pun, ia akan terlihat cantik
Sekarang ia di sini, memakai gaun putih gading di atas lutut, dengan mahkota dan manik-manik di kepalanya, dengan sebuket mawar dan baby's breath di tangannya. Ia adalah seorang pengantin wanita yang membuat semua pria berlomba mendampinginya di altar. Kecuali ... mungkin satu orang.
Dalam pantulan cermin, tampak di belakangnya sosok yang lain, yang matanya teduh dan hampir sama sayunya. Aiden berdiri di situ, sejak bermenit-menit yang lalu, menonton gadisnya terluka dengan matanya yang juga terluka. Dan akhirnya berhasil mengatakan kalimat tadi, meski sampai sekarang belum ada respon dari Leona.
"Leona," bisiknya lagi. "Stop this. I beg you to stop this madness. Berhenti menunggunya dan melukai diri kamu sendiri. Pernikahan ini omong kosong! Please stop!" Emosi pria itu menanjak naik secara otomatis, terutama pada kalimat-kalimat terakhirnya. Ia mengepal tinjunya kuat-kuat sampai buku tangannya memutih. Dan ia bahkan masih belum merasa puas.
Leona akhirnya mulai bergerak, ia berdiri pelan dan berpaling menatap Aiden, masih dengan pandangan matanya yang nyaris kosong.
"If he loves me ... he will come," lirihnya. "Dia... mencintaiku, kan? Sedikit saja. Aku berharap dia mencintaiku meski sedikit saja."
Detik itu Aiden menyadari Leona Karlesha Bekker yang ini bukanlah Leona Karlesha Bekker yang ia kenal biasanya. Gadis yang berdiri di hadapannya sekarang adalah Leona, gadis yang lemah dan kesepian. Gadis yang mencintai seorang pria bernama Levant meski tahu pria itu tidak melakukan hal sama. Ini adalah Leona yang mempunyai hati, dan Aiden bisa membaca bahwa hati itu sedang sakit, seperti miliknya.
Gadis itu berjalan pelan meski terseok-seok, terus berjalan, hingga melewati Aiden, melewati ambang pintu, sehingga kemudian Aiden bisa membaca arah perginya. Leona berjalan semakin cepat. Dengan gaunnya yang tidak panjang di bagian depan, ia bahkan tidak perlu mengangkatnya agar bisa berlari. Gadis itu mempertahankan bunga yang ia pegang kuat-kuat ketika ia mulai setengah berlari melintasi ruang tengah, melintasi orang-orang yang menanyainya keheranan. Hingga melintasi gereja tempat sumpah akan dilakukan, melintasi tamu-tamu yang mulai duduk rapi untuk menyaksikan pemberkahan, yang kemudian dibuat terperangah. Melintasi karpet merahnya dan mengabaikan altarnya, tempat ia berada seharusnya. Melintasi halaman rumput dan berlari, tanpa arah. Dan Aiden mengikutinya, tanpa berusaha menghentikannya. Ia berlari ketika gadis itu berlari. Dan berlari dengan kepanikan setengah mati saat gadis itu terjatuh. Seolah... luka kecil pada gadis itu berarti sama dengan kematian untuknya.
Ia memegangi lengan gadis itu, erat namun hampir tanpa tekanan, seakan terlalu takut menambah kesakitan yang Leona rasakan.
"Lepas!" Leona menepisnya. Namun Aiden mempertahankannya sehingga gadis itu harus meronta-ronta.
"Kubilang lepas!"
"Kamu yang harus melepaskannya, Leona!" Ia mengguncang pundak gadis itu, memaksanya menatap kedua mata Aiden. "Bisakah? Bisakah kamu sedikit belajar merelakannya?"
"Dia," Leona tergugu, tersedak oleh tangisannya sendiri. "Dia akan datang, kan? Dia harus datang! Aku ingin bersamanya sebentar, sebentar saja lebih lama lagi. Jika dia ... jika waktu yang dia punya memang singkat, aku ingin mengisinya juga, aku ingin bersamanya Aiden..." Kepalanya jatuh, terkulai di pundak Aiden, lalu tangisannya mulai membasahi jas yang pria itu pakai. "Apa itu permintaan yang terlalu sulit?"
Aiden menangkup wajah Leona sekali lagi, merapikan rambut gadis itu yang berantakan di wajahnya, merapikan mahkotanya, menghapus make up yang luntur dengan ibu jarinya, lalu membantu gadis itu agar duduk dengan lebih nyaman.
"Levant ..., akan kucarikan. Kamu tenang aja. Aku pasti bakal bawa dia balik, segera."
Aiden bangkit. Ia serius dengan ucapannya, ia ingin berlari atau apa saja, mencari pria brengsek yang sudah membuat Leona menangis begitu parah. Ia akan mendapatkannya dan menghajarnya sebelum menyeretnya ke hadapan Leona. Ia sudah akan melakukannya, jika saja tangan Leona yang kini berganti mencengkeram lengannya, menahannya.
"Di saat kayak gini... Levant sudah ninggalin aku, apa kamu ninggalin aku juga? Kamu harusnya meminjamkan bahu, peluk aku, tenangin! Aiden bego!"
Jeda. Aiden tampak terperangah oleh ucapan itu. Ia tahu ia bodoh. Tapi benarkah... Leona barusan meminta pundaknya? Meminta peluknya?
"Jangan pergi..., Aiden. Kumohon jangan pergi.".
***
Levant melipat kedua tangannya di bawah kepala, menjadikannya bantal sambil matanya menatap pada gumpalan awan stratus berwarna abu-abu yang menggantung. Hari ini adalah hari pernikahannya, seharusnya. Semua orang pasti tengah ribut sekali. Levant telah menghilang sekian waktu dan tidak ada yang berhasil menemukannya. Ibunya mungkin tengah khawatir, dan mau tidak mau Levant merasa khawatir juga. Akan lebih bagus seandainya ibunya punya orang lain selain dirinya, untuk bersandar dan berbagi cerita, untuk memberikan kasih sayangnya, untuk sekedar ada saat ia merasa kesepian. Ibunya seharusnya bisa bertahan beberapa hari ditinggalkan olehnya, karena suatu saat—dan itu berarti kapan saja—ia akan pergi untuk selamanya.
Dan Leona... hari ini hari penting untuknya. Rasanya egois sekali jika Levant melarikan diri seperti ini. Tetapi untuk menikah, untuk mengikat dirinya dengan gadis itu, mengikat dirinya sampai akhir hidupnya yang singkat, ia tidak bisa. Ia punya dua alasan untuk itu. Pertama, dan entah ini mengada-ada atau terlalu drama, ia tidak ingin menyakiti gadis itu lebih lagi. Leona mungkin tampak terlalu tinggi meletakkan gengsinya, sulit baginya untuk mengakui perasaan, meskipun sesungguhnya ia hanyalah seorang gadis biasa yang berpura-pura kuat. Ia punya hati seperti manusia lainnya, bagaimana perasaannya nanti jika tahu ia menikahi seorang berpenyakit yang hidup untuk hitungan hari?
Alasan keduanya... ia tidak tahu pasti. Hanya merasa tidak ingin. Semuanya tiba-tiba saja terasa tidak pas. Bukan gadis itu, bukan seorang Leona Karlesha Bekker yang ia ingin gandeng tangannya ketika ia mengucap janji suci, bukan Leona Karlesha Bekker yang ia ingin memasangkan cincin pengikat di jari manisnya. Bukan gadis itu orang yang ia inginkan berada di sisinya selama sisa waktunya yang keterlaluan berharga. Untuk itu, ia harus minta maaf pada Leona.
"Pak Payung, kamu tidur?"
Levant otomatis membuka matanya, menoleh ke sisinya dan menemukan wajah dengan senyum secerah matahari pagi itu. Senyum itu mengembang, diikuti gurat-gurat penasaran di keningnya.
"Kalau saya tidur, kenapa? Kamu mau mandangin saya puas-puas?"
Hafa mendengkus, membuat Levant tergelak pelan. Ia menatap langit lagi, dan tercipta jeda panjang lagi. Ini bukan jenis jeda seperti yang pertama. Keheningan ini berbeda. Meski tanpa suara, mengetahui seseorang yang berarti ada di sisinya, dan berada dalam jarak jangkauannya, begitupun sudah cukup. Tidak perlu bicara lama-lama.
"Hafa?" Nama itu bergulir di bibirnya. Akhirnya, Peri Hujan menemukan nama. Nama yang jika Levant panggil, gadis itu akan menjawab.
"Hmm?"
"Misal ... misal kamu dikasih tahu kalau besok kamu akan mati, apa yang akan kamu lakukan?"
Ia sudah menyiapkan diri dan berbagai antisipasi jika gadis itu tertawa. Karena tawa gadis itu hanya akan menimbulkan dua hal. Pertama ia akan merasa malu, yang kedua... tawanya akan renyah, dan jantung Levant akan berdetak tidak normal karenanya. Sialnya, pertanyaannya tadi sekarang terasa konyol sekali. Sehingga mengejutkan, ketika ia menemukan gadis itu tidak menertawakannya.
"Kalau saya cuma punya waktu hari ini untuk hidup, saya ingin... menikah."
Oke. Hafa yang tidak menertawakannya sudah cukup membuat Levant kaget. Sekarang, jawaban gadis itu membuatnya hampir jantungan. "Apa?"
Tanpa menatap Levant, pipi gadis itu, yang sekarang entah bagaimana tampak begitu memerah, berusaha ia sembunyikan dengan membuang pandang. Kemana pun asal bukan Levant.
"Saya ingin menikah."
"Kenapa?"
Hafa mengendik. "Saya tahu kedengarannya aneh. Orang-orang suka bilang saya kampungan karena keinginan saya cuma menemukan orang yang tepat, lalu menikah, bukannya jadi pengusaha, polisi, direktur, atau apapun seperti mereka. Bagi saya, menikah itu ... sesuatu yang besar, yang sakral. Saya bisa melakukan pekerjaan apa saja, sembarang, selama masih halal dan saya mampu melakukannya. Tapi menikah ... tidak boleh sembarangan."
Levant menatapnya, memfokuskan pandang padanya. Dan sekarang, gadis itu turut menoleh, membiarkan pandang mereka bertemu.
"Bukankah pernikahan juga terdengar seperti dongeng? Saya pengen banget memakai gaun yang cantik, membawa buket bunga, disaksikan semua orang yang saya sayangi. Lalu, di penghujung hari, akan ada seseorang, tempat kamu akan menghabiskan hidup bersama."
Setelah jeda beberapa saat, kekeh Levant terdengar. Senyumnya mengembang, melebar.
"Kamu membuatnya terdengar ... less stressfull. Padahal untuk menikah adalah hal yang memusingkan."
"Pernikahan seharusnya adalah sesuatu yang ... sangat membahagiakan. Kenapa kamu harus pusing? Sebuah pernikahan sempurna bukan karena makanan yang lengkap atau gedung yang bagus, kan? Tetapi ... rasanya."
"Kamu benar," Levant terenyum. Lantas, ia tidak bia menghentikan diri untuk berpikir... bahwa di sini adalah tempatnya. Leona adalah api, selalu bersemangat, selalu menuntun kesempurnaan. Sementara Hafa, Rintik Hafa, seperti arti namanya yang pernah ia ceritakan tempo hari, adalah gerimis yang hangat. Gerimis yang menenangkan. Gerimis yang ... sempurna, bahkan tanpa berusaha melakukan apa-apa.
"Jadi itu, alasannya?"
Hafa menoleh. "Apa?"
"Alasan kamu ingin menikah. Saya pikir karena kamu mau menikmati malam pertamanya."
Segera, geplakan keras mendarat di lengan Levant, membuatnya meringis. "Itu kamu, ya! Dasar cabul!"
"Siapa yang cabul?" Levant tertawa. "Tapi ya..., harus diakui, sih. Saya memang penasaran sama bagian itu."
Hafa memutar bolamata. Dan setelah beberapa saat tidak terjadi pergeseran dari tatapan yang Levant alamatkan padanya, ia mulai memicingkan mata membalas cowok itu. Ada seringai mencurigakan di bibir Levant yang membuat Hafa curiga. Mendadak dia sadar bahwa pria di depannya ini memang ... cabul.
"K-kamu ngapain liatin saya kayak gitu?"
"Enggak. Cuma ... lagi membayangkan."
"APA?!"
Berikutnya, bukan hanya pukulan ringan di lengan seperti yang Levant duga yang muncul. Hafa meraih gantungan baju yang tertinggal di sudut dipan, mengangkatnya di udara. Sayangnya, Levant dengan sigap telah bangkit dari sana terburu-buru meraih sandal.
"Ampun! Saya becanda!"
***
Akhirnya ga jadi nikah 😌
Semoga suka part ini. Jangan lupa vote dan komen ya. Di part kemaren menurun, aku jadi sedih :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top