33. My Name
Sewaktu kecil, Levant permah bermimpi akan datang hari seperti hari ini. Mimpi yang kian terkikis seiring bertambahkan usia, bertambahnya kesadaran akan realita. Bahwa ... keinginan naifnya itu tidak lebih dari angan-angan, tidak akan pernah dapat ia wujudkan. Namun tiba-tiba saja, mimpi itu sekarang berada di depan mata.
"A! Awas A!"
Levant mengerjap, namun terlambat baginya untuk menghindar, bola yang ditendang Ayres telah terlempar tepat mengenai kepalanya yang tidak siap. Levant memegangi kepalanya yang berdenyut, lalu menggeleng mengibaskan rambutnya dari debu dan rumput yang menempel pada bola ke rambutnya.
Ternyata ini bukan mimpi.
Dan karenanya, ia terkekeh. Ayres segera berlari ke hadapannya. "Maap, A. Ayes nggak sengaja!"
Dengan senyum kecil yang tersungging di sudut bibirnya, Levant berjongkok di hadapan Ayres, menyejajarkan pandang. Tangannya kemudian terulur untuk mengacak rambut anak laki-laki itu. "Tadi itu keren! Kamu mau jadi pembalap atau jadi pemain bola, sebenarnya?"
"Pengen jadi dua-duanya!" sahut Ayres bersemangat. Kemudian, seolah punya pemikiran kedua, ia menggeleng. "Tapi Ayes pengen jadi presiden juga! Atau bos kayak A Levant!"
Levant berdecak. Ia merasa seakan bercermin pada dirinya dua puluh tahun silam. Terlalu banyak keinginan, harapan, sebelum ia tahu bahwa hidup bukanlah tentang bermain bola sampai petang, atau bersepeda sampai lupa makan. Jika semua bayi tahu bahwa hidup dan menjadi dewasa akan seberat ini, pasti tidak ada di antaranya yang setuju untuk dilahirkan.
"Hidup itu sebentar," ujarnya, menepuk kepala Ayres dengan pelan. "Dibandingkan jadi presiden, atau CEO, atau pemain bola, jadi orang baik yang menikmati hidupnya akan jauh lebih menyenangkan."
"Aa kayak gitu?"
"Menikmati hidup? Hari-hari sekarang..., ya."
"Yes~ Ayes! Sini bentar!"
Lima detik berlalu. Sepuluh. Lima belas. Hafa kemudian muncul di pintu dengan spatula di tangan. Langkahnya tergopoh dan matanya dipicingkan. Benar-benar pemandangan yang menyeramkan. "AYES! TETEH PANGGIL-PANGGIL. DENGER, NGGAK?!"
Keduanya menoleh pada Hafa, kemudian bertukar pandang. Dengan cepat, Ayres berusaha bersembunyi di balik punggung Levant sementara Levant sendiri berusaha sebaliknya. Sehingga, keduanya saling dorong.
"Ayes! Pak Payung!"
"Apa sih, Teh. Marah-marah terus." Akhirnya, Ayres yang maju.
Meletakkan satu tangan di pinggang, Hafa meneruskan omelan. "Kamu dari tadi dipanggil nggak nyahut. Main bola terus." Matanya kemudian beralih pada Levant, memelototinya, karena ... siapa lagi yang dapat disalahkan?
Ayres memang senang bermain bola, tapi ia tidak punya bola ataupun teman untuk diajak bermain selain Nasya. Tetapi Levant dengan sok pahlawannya membelikan bola tersebut, membuat Ayres mereka bermain hingga lupa diri.
"Apa?" Levant mengerjap tanpa rasa bersalah, membuat spatula di tangan Hafa gatal untuk segera melayang ke kepala pria itu.
Demi mencegah luapan emosi, Hafa mengalihkan pandang. Ia harus fokus pada tujuannya semula memanggil Ayres.
"Yes, ini, Mang Bagja kan pesan seblak kemaren buat dijual lagi. Ini teteh udah siapin bahan-bahan sama bumbu sama pancinya sekalian. Kamu bawain satu," ujarnya.
"Loh, bukannya Mang Bagja kerja di toko roti, Teh?"
"Udah lama berhenti. Kemaren sempat kerja di rumah orang kaya jadi tukang masak, tapi nggak lama, terus kerja ikut orang. Kemaren Mang Bagja udah beli gerobak, mau coba jualan, katanya." Penjelasan Hafa meluncur dengan mudah, ia menyerahkan pada Ayres satu buah panci yang terasa hangat karena diisi bakso, lalu menatap Levant.
"Bapak pengangguran banget ya, kayaknya?" Tegurnya, lalu menunjuk dua buah kotak tupperware besar berisi tahu kering, makaroni, kerupuk, sawi putih, telur, dan masih banyak lagi. Ia sendiri mendekap sebuah tupperware berisi bumbu halus. "Kalau bantu bawain, kira-kira tangan Bapak nggak bakal patah, kan?"
"Bawa kemana?"
"Ke Cirebon!"
Rumah Mang Bagja tidaklah jauh, hanya terhalang oleh dua buah rumah lainnya, atau rumah ke-tiga dari tempat tinggal Hafa jika ia mengambil ke arah kanan, arah yang berlawanan dari York. Rumah itu tidak besar, namun memiliki halaman yang lebih luas dibanding tetangga lainnya. Di depan rumah, tepat di antara sepasang pohon rambutan, terpasang sebuah ayunan dari ban bekas. Nasya tampak bermain di sana.
"Ayes!" Nasya langsung melambai senang begitu melihat Ayres bersama Levant memasuki halamannya. Ia melompat berdiri dari ayunan, mengernyit mendapati apa yang mereka bawa. "Kamu bawa apa?"
"Seblak! Mang Bagja mana?"
"Di dalam." Tatapannya kemudian berpindah ke Levant, dan menjadi semakin keheranan. "Kakak yang waktu itu, kok, ada di sini?"
Ayres menempatkan matanya mengikuti arah pandang Nasya, melihat Levant berdiri canggung di halaman dan Ayla menggamitnya dari belakang. Ayres mendekatnya bibirnya ke telinga Nasya, lantas berbisik penuh rahasia. "Dia pacarnya Teteh!"
Nasya terkesiap. "Beneran?"
"Lihat aja!"
"Kalian ngomongin apa?"
Hafa berdiri di belakang mereka. Kalau saja tangannya tidak sibuk memegangi kotak tupperware, niscaya kuping Ayres sudah tidak selamat, habis dijewer. Tapi Ayres kali ini beruntung dan Hafa hanya dapat menahan wajah merah, yang lebih diakibatkan pada keberhasilannya menguping pembicaraan dua anak kecil itu.
"Nggak usah ngomong sembarangan, ya! Masih kecil juga! Sekolah dulu yang pintar!"
Di sampingnya, Levant hanya terkekeh. Entah ia tidak mendengar apa yang digosipkan tentangnya atau ia hanya tidak ingin mengambil pusing. Pria itu berjalan ke teras, lalu meletakkan bawaannya di atas meja kayu, merasa kepenatan terus memeganginya. Hafa kemudian melakukan hal yang sama.
"Teteh pacaran! Teteh pacaran!"
Astaga!!! Anak itu emang kebal dipukul sekarang! Hafa menghela napas kasar, menahan dirinya untuk tidak memerah lebih dari ini, menahan matanya untuk tidak menatap Levant. Jadi yang ia lakukan adalah berbalik cepat, menghadap Ayres yang mengolok-oloknya sambil menjulurkan lidah. Kedua tangan Hafa letakkan di pinggang, ia siap mengomel.
Namun sebelum kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, seseorang telah menginterupsi.
"Ada apa rame-rame?"
Semua orang menoleh pada sumber suara, pada seorang pria tua bertubuh cenderung kurus dengan kumis dipenuhi uban. Mang Bagja muncul di pintu sambil membawa segelas air putih. Semua orang tersenyum padanya, semua orang, kecuali Levant.
Pria itu berdiri di tempatnya, sama mematungnya dengan pria tua di sana. Levant mengingatnya, entah bagaimana Levant masih bisa mengingat pria itu di antara banyak sekali orang yang pernah ia pecat. Tidak salah, ia adalah koki yang tidak sengaja memasukkan terlalu banyak keju ke dalam sarapan Levant. Ia masih bisa mengingat bagaimana pucatnya dan gemetarnya pria itu saat kehilangan pekerjaanm. Dan jelas, pria itu juga tidak akan bisa melupakannya, terlihat dari bagaimana wajahnya mengeras dan bibirnya merapat.
"Apa yang kamu lakukan di sini?!" tanyanya tanpa basa-basi.
Jeda. Sementara pria itu mengambil kesempatan memperhatikan Levant, dengan tatapan kebencian yang sepertinya sudah tersimpan dan sekarang kembali dibongkar, Levant hanya berdiri diam. Pria itu mungkin tidak salah, karena hampir semua orang juga akan meantap Levant dengan pandangan sama, dengan kebencian yang tidak bisa mereka lepaskan. Karena Levant memang brengsek, setidaknya dulu.
Mang Bagja mendengus. Ia terkenal di kalangan tetangga sebagai orang yang ramah, yang selalu menyapa dengan senyuman kepada siapapun. Namun rupanya, Levant adalah pengecualian.
"Wah, kehormatan apa yang saya dapat sampai Bapak menginjakkan kaki ke mari? Ke rumah saya yang kumuh ini?" Nadanya dingin, tidak bersahabat. "Benar-benar kejutan."
Levant melangkah maju. Ia telah menyusun kalimat permintaan maaf di kepala, yang sudah ia persiapkan untuk meluncur dari bibir, meski sulit.
"Saya minta─"
"Pergi."
Terdengar kesiap pelan dari Hafa, bahkan Ayres dan Nasya yang menyimak tanpa mengerti apa-apa.
Mang Bagja mengeratkan tinjunya di sisi tubuh. Perlu kontrol diri yang besar baginya agar tidak melayangkan tinju ke wajah Levant saat itu juga. Setidaknya, jangan sampai ia melakukannya di depan anak-anak.
"Apapun alasannya kamu kemari, saya senang. Karena akhirnya, saya juga diberi kesempatan," decih pria itu. "Akhirnya saya bisa membuat kamu merasakan apa yang saya rasakan dulu. PERGI DARI RUMAH SAYA!"
Pria itu memelototinya galak, dan Levant tercekat di tempat, ia masih tidak bisa beranjak hingga akhirnya seseorang meraih tangannya. Sebuah tangan yang lebih kecil dari miliknya, telapak tangan yang lembut, hangat. Levant hampir tersedak oleh sentuhan itu, ia tidak perlu menoleh untuk memastikan itu siapa, tidak ada waktu, gadis itu telah menariknya pergi, mengambil keputusan untuknya. Mau tidak mau, membuat Levant serta merta tersenyum ketika telah berada di luar halaman Mang Bagja, memperhatikan tautan di tangannya, memperhatikan gadis itu yang selangkah berada di depannya, dan merasakan semacam aliran listrik kecil, daya kejut yang meletup-letup di dadanya.
Ia bisa memegang tangannya lagi, jemari yang sama dengan yang dulu menyentuhnya. Peri hujan itu. Bedanya, sekarang ia bisa dengan leluasa memperhatikan pemiliknya. Tentang punggungnya, gelombang rambutnya, siluet wajahnya, dan segala yang bisa matanya jelajahi. Berharap sekali jarak rumah Mang Bagja dengan rumah yang mereka diami menjadi lebih panjang, agar ia bisa menikmatinya lebih lama. Atau, seandainya waktu bisa dirusak seperti halnya jam dinding.... ia hanya ingin terperangkap di detik ini tanpa pernah kembali.
Jika ia mati saat ini... ia pasti akan mati bahagia sekarang. Kan?
Hujan turun tiba-tiba. Tidak berawal dari gerimis seperti biasanya, melainkan butiran-butiran besar yang jatuh dari langit, keroyokan, menjadikannya hujan deras dalam rentang waktu singkat. Tanpa diminta Hafa mengeratkan genggamannya pada Levant sementara tangannya yang lain coba menudungi kepalanya. Gadis itu mempercepat langkahnya, menjadi setengah berlari.
Saya tidak ingin berlari. Saya tidak ingin waktu ini cepat habis, Peri Hujan.
Ia selama ini sudah terlalu laju berlari. Sehingga, ia sudah mendekati finishnya. Tapi tiba-tiba saja... ia tidak ingin itu terjadi, tidak ingin berakhir secepat itu. Tiba-tiba saja... ia melambatkan langkahnya, ia mencoba berhenti.
Dan Levant benar-benar berhenti. Di tengah jalan. Di tengah hujan. Sementara tangannya menggenggam lebih erat jemari gadis itu, mengajaknya untuk tidak kemana-mana, membuat Hafa tertahan dan menoleh, menatapnya kebingungan.
Sejak dongeng yang ia dengar lima belas tahun lalu, hujan menjadi hal favoritnya. Sekarang... ada hujan, ditambah gadis ini, gadis yang.... tidak tahu bagaimana caranya, ia rindukan setengah mati. Gadis yang ia inginkan untuk terus berada dalam jarak pandangnya, jarak jangkamuannya. Gadis kesukaannya. Hujan dan gadis ini. Seharusnya ia mati bahagia sekarang.
Ia menarik pinggang gadis itu, menyentaknya sehingga Hafa terjatuh dalam pelukannya. Dan ia tidak akan pernah menyia-nyiakannya. Levant memeluk Hafa dengan seluruh tubuhnya, seluruh hatinya, dengan apapun yang ia punya. Gadis itu terkesiap pelan.
"Pak Payung?"
"Pinjami saya sebuah pelukan. Semoga... suatu hari bisa saya kembalikan."
Rasa sakit itu kembali menyerangnya. Lagi-lagi. Semakin intens dengan bertambahnya hari. Semakin sakit. Tapi dalam pelukan gadis itu... rasa sakit tidak menjadi hal yang seberapa. Ia keterlaluan bahagia sampai-sampai tidak ada apapun yang bisa mengacaukannya. Dalam pelukan gadis itu, rasanya nyaman, hangat meski itu sedang hujan.
Levant tersenyum lagi. "Omong-omong, kamu nggak tahu nama saya, kan? Levant. Nama saya Levant."
***
Udah seminggu ya, nggak update. Kemaren ada proyek lain. Ditunggu ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top