32. Tetangga Baru

            Jika boleh, ia ingin memeluknya. Erat sekali sampai sesak napas. Melihat gadis itu di hadapannya, kelereng cokelat madu itu menatapnya lugu, diiringi fakta bahwa gadis itulah orang yang selama ini ia cari, membuatnya harus mati-matian menahan diri untuk tetap bersikap normal. Dan adalah hal yang sulit untuk mencoba tersenyum meski sebenarnya ia ingin sekali menangis.

Rasanya ... rindu sekali. Tahukah ia bahwa sekarang Levant sekarat hanya karena menahan diri agar tidak memeluknya seperti orang gila? Dan tidak pernah melepaskan.

"Pak Payung?"

Gadis itu tidak bertanya apa yang sedang Levant lakukan di sana, meski caranya menatap sudah jelas mengatakan semua itu. Mungkin tidak sempat, karena saat bersamaan, Ayres sudah berlari memeluk kakinya, membuatnya tidak mungkin mengabaikan anak itu. Ia berjongkok dan menatap Ayres lurus-lurus.

"Halo, saya tetangga baru kalian. Semoga teteh kamu nggak keberatan ya, bantu tetangga barunya beres-beres?"

"... Apa?!"

Levant mengendik pada tumpukan barangnya. "Banyak yang perlu dipindahin. Dan lantai di dalam masih kotor. Tolong, ya."

***

"Saya lapar."

Hafa mendelik sementara Levant memasang tampang polos yang sebenarnya minta dipukul. Demi Tuhan, Hafa baru saja berhasil menyeka keringat di keningnya setelah membantu mengepel dan menyusun peralatan di kediaman baru Levant. Asal tahu saja, pria itu tidak banyak bekerja, hanya memerintah ini itu tanpa belas kasih. Lalu, dengan seenaknya Levant duduk di sofa yang baru ia dengan susah payah seret, dan meletakkan kaki di atas meja yang taplaknya Hafa pinjami, menatap Hafa seolah gadis itu adalah pembantu rumah tangganya.

"Kamu congek, ya? Saya lapar."

Tahan! Tahan! Jangan mengumpat. Hafa mengelus dada. Namun, setelah beberapa detik, ia sadar bahwa emosinya telah meluap, menekan rasa sabarnya dalam-dalam. Ia melepaskan kain lap dan semprotan pembersih yang ia gunakan untuk membersihkan kaca jendela Levant, lalu bersedekap.

"Terus? Bapak mau lapar, kek, mau konser, kek, atau mau naik haji, terserah. Bukan urusan saya."

"Maksud saya, kamu 'kan bisa masak sesuatu. Kalau saya mati kelaparan di sini, itu tanggung jawab kamu."

Ia tahu gadis itu akan marah. Melihat caranya menghembuskan napas dan mulai membanting semprotan pembersih kaca, ia tahu hal itu mungkin terjadi dalam hitungan detik. Dan Levant harus menahan senyum tetap terkulum di bibirnya, menahan dirinya agar tidak tergelak. Kemarahan gadis itu, baginya merupakan hiburan tersendiri yang pasti akan menyenangkan. Levant sudah mempersiapkan diri untuk itu. Kupingnya akan digempur teriakan dalam ... Tiga ... dua ...

"Teu eucreug sia, teh! Saya pelintir, nyaho sia!"

Subtitle tidak ditemukan. Levant hanya dapat tersenyum ketika gadis itu keluar dengan menghentak-hentakkan kaki. Tidak lama, ia kembali, nyaris menghempaskan semangkuk mi instan kuah ditambah nasi dan telur mata sapi di dalamnya.

"Makan, tuh! Awas kalo nggak abis!"

Levant mengernyit. Terheran-heran kenapa ada jenis manusia yang makan mi instan dengan tambahan nasi? Karbohidrat ditambah karbohidrat, dengan secuil kalori dari telur. Tidak ada buah. Tidak ada sayur. Yang benar saja?

"Apa masih liat-liat!" Hafa kembali membentaknya.

Namun, Levant sama sekali tidak menciut. "Mana buahnya?"

Tahan! Tahan! Jangan baku hantam sekarang. Hafa membuang napas kasar kemudian menunjukkan genggam tinjunya. "Buah tangan, mau?"

Levant memilih untuk tidak bertanya lagi, setelahnya. Ia mulai menyuapkan nasi berkuah mi instan ke dalam mulut. Tidak buruk. Suapan kedua, ketiga, dan seterusnya menyusul tidak lama kemudian.

"Pelan-pelan, Pak, makannya. Sudah tiga hari, ya, belum makan?"

Tidak ada sanggahan yang keluar dari bibir Levant. Ia hanya terus makan, menghabiskan yang disajikan padanya hingga kuah-kuahnya. Terburu-buru, seolah takut seseorang akan merebutnya darinya. Masalahnya hanya... ini masakan gadis itu, peri hujannya. Jadi ia tidak akan membaginya dengan siapapun, meskipun ia harus mati untuk mempertahankan semangkuk penuh mi dan nasi itu.

Ia... akhirnya bisa merasakan masakan gadis itu. Untuk itu, ia bersyukur.

***

Di halaman rumah baru Levant, yang juga merupakan halaman belakang rumah Hafa dan Ayla, terdapat sebuah dipan kayu di sana untuk duduk-duduk, tepat di bawah pohon mangga. Dengan siku menopang dagu, dan camilan di sisi, pria itu berbaring menyamping dengan kelewat santai di sana, selonjoran menikmati matahari pagi yang hangat. Dan tentu saja, sambil menonton Hafa yang sedang mencuci baju.

Gadis itu tidak menggunakan mesin cuci seperti yang awalnya Levant sangka. Ia mencuci manual, menggunakan sebuah baskom besar untuk mengucek dan baskom lainnya untuk membilas. Air mengalir langsung dari keran di sisinya, yang untuk menggunakannya harus dipompa lebih dahulu.

Dan di sela-sela kegiatannya mengucek segunung pakaian tersebut, Hafa menoleh, menemukan pria itu masih menatapnya. Ini sudah lima kali semenjak ia mulai dimana ia menangkap basah pria itu menadanginya. Dan sialnya, Levant bahkan tidak repot-repot mengalihkan wajah atau apa, masih menatap Hafa dengan terbuka, membuatnya risih dan nyaris melakukan kesalahan terus-menerus pada semua pekerjaannya. Ia hampir lupa mencampur rendamannya dengan deterjen tadi, lupa menambahkan air, lupa memisahkan pakaian putih, dan segalanya.

"Sebenarnya kamu ngapain, sih, ke sini?" Pada akhirnya, ia kesulitan mengatasi rasa penasaran. Ia telah menanyakan hal yang sama, namun tidak mendapat jawaban yang diinginkan.

Levant mengunyah kembali keripik kentangnya, lalu mengangkat bahunya sedikit. "Seperti yang kamu lihat, makan."

"Saya bahkan nggak nanya itu!" Hafa memeras kaus lengan pendek milik Ayres dengan sekuat tenaga, "Tapi berhubung kamu sudah di sini, nggak bisa gitu berhenti ngeliatin saya? Kenapa kamu nggak turun dan bantuin saya aja?"

"Saya nggak biasa nyuci kayak gitu. Tangan saya bisa melepuh."

Oke, sabar, Hafa. Sabar. Hafa memutar bolamata. Perlu kontrol diri yang besar darinya untuk tidak melemparkan air cucian di depannya ini tepat ke wajah Levant.

Ketika dengan sudut mata ia menangkap pergerakan Levant yang bangkit dari rebahannya, Hafa tidak ingin berharap banyak. Ia tidak ingin berharap, namun mau tidak mau, sedikit berharap. Biasanya, jika tidak sibuk, Daru akan menawarkan diri membantunya, yang tentu saja Hafa tolak mati-matian. Tetapi ini Levant, dan jika hati pria itu luluh, mungkin mereka akan impas. Ia telah berjasa banyak membersihkan rumahnya, omong-omong.

Hafa menggeleng, lalu mengembalikan fokusnya pada pekerjaannya saat ini; mencuci. Ia masih sibuk berkonsentrasi pada mengucek, lalu memindahkan pakaian yang sudah diperas ke baskom bilasan. Levant rupanya telah menghilang, entah kabur kemana. Ia berusaha tidak peduli. Namun, sejenak kemudian, perasaannya menyuruhnya untuk menoleh, dan hal tersebut segera membuatnya nyaris jantungan. Kali ini hidungnya hampir saja menabrak hidung Levant. Tidak tahu bagaimana caranya, tiba-tiba saja pria itu sudah berjongkok di sisinya, memandang tepat ke arahnya dengan tatapan yang intens.

Seperti biasanya.

Lalu, dengan wajah tidak berdosa, Levant menumpuk seluruh pakaian yang dibawanya dalam pelukan ke dalam baskom tempat cucian Hafa.

"Kebetulan kamu lagi nyuci. Tolong, ya, sekalian."

***

Pagi telah mendekati siang dan matahari yang hangat mulai menyengat. Levant berusaha tidak mempedulikannya. Ia masih berbaring di bangku kayu di bawah pohon mangga. Merasakan angin, merasakan pagi, merasakan temperatur udara naik dan memanas, merasakan benar-benar bahwa ia masih hidup untuk hari ini. Dan tidak ada jaminan untuk esok. Mungkin ini adalah kali terakhir ia bernapas? Karena itu... hari ini saja, ia harus bernapas dengan baik.

Ia memejam dan meletakkan lengan di atas kening ketika merasakan rasa kantuk mulai menggelayuti kelopak matanya. Ia ingin tidur sebentar, dan bangun lagi nanti. Atau biarlah, tidur sebentar, lalu tidur untuk selamanya, dalam perasaan damai. Sebenarnya, terik yang menembus celah kelopak matanya sedikit mengganggu, ia hanya berusaha mengabaikannya, karena terlalu malas untuk melangkah ke tempat lebih baik dan memulai tidur di sana. Pasti ia tidak akan bisa tidur lagi.

Ia merindukan ibunya sekarang. Bagaimana cara ibunya membenarkan rambut dan anak rambutnya. Merindukan ayahnya yang... meski menyebalkan, dia adalah sosok yang berwibawa. Merindukan seluruh asisten rumah tangga yang bahkan hampir tidak ada yang bisa ia kenali. Merindukan Leona yang hobi berteriak padanya. Tetapi ia tahu, ia sekarang sedang berada dekat sekali dengan sumber kebahagiaannya yang lain. Peri Hujannya. Sebab itu, ia tidak ingin berpindah. Tidak bisa. Ia merasa ini adalah tempatnya seharusnya, tempat ia ingin terakhir kali berada; di sisi Peri Hujan. Bayangannya tentang semua hal melebar kemana-mana, diantar kegelapan yang semakin lama semakin pekat. Melenakan. Mengaburkan.

Tiba-tiba Levant tersentak. Ia mencoba membuka mata, menemukan tidak ada lagi terik yang mengganggu. Rasanya ia tidur cukup lama tadi. Dan benar saja, ketika ia melihat arlojinya, jarum pendek menunjukkan bahwa sudah hampir dua jam ia tertidur di situ. Levant buru-buru bangkit duduk setelah menyingkirkan payung yang melingkupinya. Ia memperhatikan payung itu lagi, berwarna biru. Payung yang dulu sekali ia lemparkan untuk gadis itu saat hujan. Ia mendongak menatap langit dan menatap payung itu bergantian. Kemudian memperhatikan deretan jemuran di depannya. Ada pakaiannya di sana, diantara pakaian milik gadis itu dan pakaian-pakaian berukuran lebih kecil milik Ayres. Lagi-lagi, Levant tidak tahan untuk tidak tersenyum.

Gadis itu... kenapa begitu baik? Kenapa meski Levant sudah dalam taraf menyebalkan paling atas, gadis itu masih bisa baik padanya? Kenapa saat Levant telah melukainya, ia masih sanggup menolong? Ah, ya. Karena dia bukan manusia. Dia peri. Peri Hujan pribadi Levant.

***

Part kesukaan aku, nih. Apakah kalian juga?

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk vote dan komen. Rasanya terhibur membaca komentar-komentar kalian, apalagi kalau sudah mulai diskusi, hehe.

 Semoga suka part ini. Sampai jumpa di part berikutnya~ 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top