29. Hujan Peri
"Gimana?"
Pria itu menggeleng, untuk ke sekian kalinya. Dan untuk ke sekian kalinya pula, Leona mendengkus keras. Ia mengangkat gaun putihnya tinggi-tinggi dan berjalan buru-buru menghampiri Aiden sembari mempertimbangkan untuk menendang kepala pria itu atau berbelas kasih.
"Aiden, please. Aku sudah sakit kepala milih gaun! Kamu mau bikin otakku meledak, ya? Tahu gini, aku ngajak Besta aja. Meski bawel, seenggaknya seleranya lumayan."
Aiden meringis mendengar omelan menggelegar itu. Ia menoleh dan tersenyum meminta maaf pada Britanny, wanita dengan tunik biru dan rambut yang digelung ke atas membentuk punuk yang satu jam lalu mengenalkan diri sebagai pemilik bridal sekaligus perancang busana pengantin Leona nantinya.
"That's okay." Wanita di penghujung umur tiga puluh itu tersenyum. "I can see that, gaun itu just not your style. Terlalu banyak manik, dan terlalu panjang ke lantai, kayaknya. Terlalu gemerlap untuk kamu yang sudah bersinar," kekeh Britanny.
Britanny bersedekap selama ia mengamati Leona. Ia memiringkan kepala, coba membayangkan gaun yang akan melekat pas di tubuh Leona. Leona tidak buruk, tentu saja. Bahkan terlalu cantik sehingga gaun apapun yang akan ia kenakan tetap saja akan terlihat mewah. Namun ini pesta pernikahan, dan sebagai perancang busana yang malang melintang di dunia fesyen selama lebih dari lima belas tahun hingga rancangannya bahkan telah dipakai artis internasional, ia tahu Leona memerlukan gaun yang mewakili dirinya, membebaskan jiwanya.
"I think ..., I have that one gown that you will love! Saya merancangnya lama sekali dulu, one of my favorite masterpiece. Sayangnya, nggak banyak gadis yang berminat menjadikannya gaun pernikahan. Atau saya yang nggak mau memberikannya pada mereka. For you, though, I think the gown is just made for you. Wait, I'll get it here!"
Dengan segera wanita itu melangkah gegas lalu menghilang di balik deret pajangan gaun-gaun elegan pada deret manekin. Untuk beberapa saat, tidak ada Britanny Putri yang sibuk mengajak Aiden mengobrol, hanya Leona yang memasang ekspresi angker di wajahnya dan duduk di sofa dengan tangan masih menyilang di depan dada. Aiden memperhatikannya diam-diam. Ia harus mengakui Leona ratusan kali lebih cantik dalam balutan gaun pengantin yang feminim. Tapi lihatlah caranya duduk dan memperlakukan gaunnya, ia bukan hanya kasian pada gaun itu, tapi kepada Leona juga.
"Apa lihat-lihat?!" Gadis itu menyeru galak.
Suara deham seseorang segera meningterupsi mereka. Tidak butuh waktu lama bagi Britanny untuk kembali ke tempat Aiden dan Leona berada. Di tangannya sudah ada sebuah gaun, berwarna broken white dan masih berbalut plastik. Ia tersenyum lebar pada Leona seraya mendorong gaun tersebut ke dada gadis itu.
"Try this out, Darling. I bet it will look breathtaking on you!"
***
Ucapan wanita itu terbukti. Oke, dimata Aiden memang akan selalu terbukti, gadis itu akan tetap cantik di matanya bagaimana mengenaskan pun keadaannya. Tapi jika seseorang mengatakan gaun itu tercipta untuk dipakai seorang Leona Karlesha Bekker, Aiden akan mengamininya sepenuh hati. Ia menjadi ratusan-ribuan kali lebih cantik daripada yang pernah Aiden pikirkan.
Gaun itu lebih sederhana dari yang sudah-sudah. Polos dengan warna broken white. Potongan depannya pendek di atas lutut dan memanjang ke belakang. Begini ia tidak akan tersandung. Rambutnya digelung, mengekspose leher jenjangnya serta punggungnya yang tak bercela. Untuk hal ini Aiden tidak tahu harus bersyukur atau mengutuk. Ia bahagia melihat gadis itu lebih cantik daripada biasanya, Leona dalam balutan gaun pengantin yang pas untuknya, untuk pernikahannya, terlihat jauh lebih natural ketimbang Leona yang biasa ia potret untuk majalah tertentu. Tapi ada juga sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa sekarat membayangkan pria lain berlumuran liur menatap leher itu, padahal Aiden sendiri adalah pria lain itu, adalah bukan siapa-siapanya.
"No!" Leona mengangkat satu jari bahkan sebelum Aiden sempat membuka suara. "Kali ini aku nggak perlu pendapat kamu."
Aiden terssenyum, menyadari bahwa kentara sekali Leona menyukai gaun itu. Gadis itu berputar beberapa kali, di atas tumitnya yang bebas, tanpa high heels mengerikan yang menyiksa. Menatap ujung gaunnya yang melambai dan menatap dirinya dari berbagai sudut pandang.
Mendadak saja Aiden berdiri, menghampiri Leona dan berdiri sejajar dengannya menghadap cermin yang sama. Ia menaikkan tangannya sampai sebatas kepala, mengukur bahwa hari ini ia bisa lebih tinggi dari gadis itu. Tanpa sepatu tinggi Leona, Aiden dapat merasa lebih tampan jika berhadapan dengan gadis itu.
"Tipe ideal kamu cowok yang lebih tinggi, kan? Lihat, deh. Kamu seratus tujuh puluh, aku seratus tujuh puluh dua. Aku dua senti di atasmu."
Leona sebenarnya tidak sabar melontarkan cibiran dan kata-kata ledekan seperti "Dua senti nggak masuk hitungan tipe idealku!", tapi begitu ia mengalihkan tatapannya dari cermin kepada mata Aiden yang teduh dan polos, kalimat itu seketika buyar.
"Leona." Leona tidak mengerti kenapa Aiden tiba-tiba memanggilnya Leona, bukannya Nana, seperti biasanya. Kenapa tiba-tiba menjadi kaku? "Terima kasih. Untuk tidak memakai sepatu, dan... mengijinkanku menjadi laki-laki pertama yang melihat kamu dalam gaun itu."
Leona baru tahu, bahwa mata sesayu itu juga bisa membuat seseorang membeku. Aiden tersenyum lugu, selayaknya bocah berumur lima tahun. Untuk kali ini, gadis itu tahu, ia mungkin tidak harus selalu membalasnya dengan makian. Atau sebenarnya, tidak bisa. Kali ini ia tidak punya perbendaharaan kata yang cukup untuk memaki pria itu.
***
Hujan kembali turun deras ketika sore itu Levant membawa mobilnya pulang. Ia lelah, tenaganya seakan terkuras dan matanya sakit menatap layar laptop dan i-pad sejak pagi. Sekarang ia bahkan masih harus membawa mobil sendiri karena belum menemukan pengganti untuk supir yang tempo hari ia pecat. Ia menyetir lambat, karena jalan sulit terlihat dengan hujan yang demikian lebat, licin dan berkabut. Jika ada yang bertanya kenapa ia berhati-hati, maka jawabannya adalah ia sedang tidak berminat untuk mempercepat kematiannya. Ia masih belum menemukan peri hujannya.
Dan Mercedes Benz S-Class itu menepi tiba-tiba, serampangan, hampir saja menabrak tong sampah di samping halte bus. Sama mendadaknya dengan serangan sakit kepala hebat yang Levant rasakan. Rasanya seperti kepalanya dipelintir dan diremas-remas. Sakit yang membuatnya kebas terhadap seluruh tubuh lainnya, sakit yang membuat asam lambungnya bergairah hingga perutnya mual hebat, memaksa untuk memuntahkan keluar seluruh isi perutnya.
Levant hampir kehilangan seluruh daya tubuhnya, bahkan kemampuan otaknya. Seluruh pikirannya dikuasai sakit itu. Tangannya sembarang meraba-raba dashboard namun tidak berhasil menemukan botol kecil painkiller yang ia butuhkan. membuat pandangannya gelap. Ia menjatuhkan kepalanya pada setir mobil, menimbulkan bunyi klakson yang nyaring dan berkepanjangan. Pasti akan sangat mengganggu, tapi apa boleh buat, ia tidak bisa mengendalikan dirinya agar baik-baik saja.
***
Hari ini ia harus naik bus lagi.
Sayangnya, hujan turun deras dan bus yang ia tunggu tidak kunjung datang.
Hafa, dengan bosan menghentak-hentakkan ujung sepatu ketsnya pada ubin, sementara telunjuknya nyaris tanpa henti mengetuk-ngetuk bangku yang ia duduki, hanya demi membunuh waktu. Sepi. Jika biasanya setiap tempat berteduh akan dipenuhi para pengendara motor ketika hujan tiba, kali itu berbeda. Mungkin karena musim hujan telah berlangsung cukup lama sehingga orang-orang telah mempersiapkan diri, atau karena orang-orang berteduh di tempat lainnya. Hanya ada seorang pengendara ojek di ujung halte lainnya, yang bahkan tidak bisa Hafa ajak bicara karena telah tertidur sejak lama.
Jadi ia hanya bisa diam, mendengarkan bising hujan yang derainya berebutan meninju atap halte. Atau menghitung waktu. Sepi. Bosan. Makanya ia kemudian hampir melempar mencopot jantungnya sendiri dan melemparnya ke tanah ketika mendengar klakson, keras, nyaring dan berkepanjangan diringi sebuah Mercedes Benz hitam nyaris menabrak halte tempatnya bernaung.
Hafa berdiri sembari melongokkan kepalanya penasaran, berusaha melihat siapa yang ada dibalik kemudi di sana. Ia menjadi panik begitu mengintip dan melihat kepala seseeorang tertunduk lesu di sana. Ia tampak tidak beres. Segera saja gadis itu menghampiri dan mengetuk pintu kacanya. Benar saja, seorang pria di dalam sana tidak tampak baik. Dengan keras kepala gadis itu mengetuk lagi, lebih keras, dan mengetuk terus sampai jendelanya diturunkan. Ia sedikit terkejut ketika Levant terpaksa menoleh untuk melihatnya, ia kenal orang ini, pastinya. Pak Payung. Tapi yang membuatnya lebih terkejut adalah ekspresi kesakitan di wajah pria itu.
"Bapak nggak apa-apa?" Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening Levant, yang disambut dengan tangan pria itu. Levant memegangi lengannya sangat erat, kemudian berusaha keluar dari mobil.
"Kamu kenapa?!"
Levant hanya menggeleng. Matanya yang terbiasa menatap layaknya elang sekarang sayu. Ia mengedarkan pandang, lalu dengan sisa kekuatan memaksakan diri ke sudut dan muntah di sana. Hafa berjongkok di sisinya, menepuk-nepuk pungung pria itu dengan wajah khawatir. Lengannya yang tidak bisa dikatakan besar menggiring Levant hingga duduk di bangku halte, menyandarkan pria itu hati-hati, dan hanya memperhatikannya yang mulai menarik napas tenang.
"Tunggu di sini, saya ... saya akan carikan obat-"
Sebelum Hafa sempat beranjak, tangan Levant telah menahannya. Gadis itu menoleh, menemukan Levant masih berkutat dengan rasa sakitnya sendiri, terlihat dari wajahnya yang memucat dan bibirnya yang memutih. Susah payah, Levant mengangkat wajah demi menatap gadis itu. "Di luar hujan ... dan kamu nggak punya payung..."
"Tapi kamu-"
"Saya nggak akan mati sekarang juga," ia terkekeh serak. "Jadi jangan sampai kamu sakit karena saya."
Hafa menurut, ia mengambil duduk di samping Levant, menjaga matanya tetap awas pada pria itu. Rona kesakitan itu masih membayang samar dari caranya mengerutkan kening dan memegangi kepala.
"Kamu sakit apa? Kepala?"
Levant mengangguk singkat.
"Sakit banget?"
Tidak ada jawaban. Hening menyergap mereka selama menit-menit berikutnya. Hafa kembali kepada kegiatannya semula; mengetuk-ngetukkan jemarinya di bangku halte sementara ujung sepatunya mengetuk ubin, kehabisan akal untuk memulai topik pembicaraan.
"Say something," kata Levant tiba-tiba, suaranya parau, kepalanya menunduk menyembunyikan wajah.
"Saya? Ngomong ... apa?"
"Apa aja. Ceritakan... sesuatu."
Hafa mengerjap dan terdiam selama beberapa waktu. Ia mulai mendongak, menatap langit gelap di luar yang menumpahkan rintik deras hujan, begitu deras hingga ia seakan melihat tirai putih yang sesekali bergelombang tertiup angin, lalu pecah oleh pertemuannya dengan aspal jalanan. Hujan yang bising namun indah. Jenis hujan yang ia sukai. Ia menyebutnya... hujan peri.
"Ibu saya suka cerita dongeng waktu saya kecil. Mau dengar?"
Setelah anggukan pelan dari Levant, ia kemudian melanjutkan. "Ini sebenarnya adalah dongeng rahasia yang saya ceritakan hanya pada dua orang. Kamu, dan... Kepala Mumi."
Seketika Levant mengangkat wajahnya demi menatap gadis itu. Hafa masih mendongak memandangi langit dan hujan, tidak menyadari kelereng tajam Levant yang menatapnya tidak percaya. Gadis itu terus saja bicara.
"Pada zaman dulu, ada seorang penebang kayu sedang dalam perjalanan ke rumahnya di ujung desa."
Deg. Ada satu bagian familiar dari cerita itu.
"Ia kelelahan dan sangat lapar setelah bekerja dari pagi sampai siang itu. Tapi, ketika dia keluar dari hutan, dia melihat ke langit dan nggak bisa menemukan terik matahari. Saat itu awan mendung yang hitam menutupi seluruh langit disertai angin yang dingin. Si penebang kayu berteduh di bawah sebuah pohon besar selama berjam-jam dengan sangat sedih. Sebab, dia nggak bisa pulang untuk istirahat dan mengisi perut. Lalu, ia berdoa kepada hujan. Ia berkata bahwa ia rela hujan itu menghalanginya, namun sebagai imbalan, ia meminta kebahagiaan. Ia ingin melihat cahaya kembali dan pulang dengan perasaan senang."
Rasa sakit itu menderanya. Berkali lipat. Levant mencengkeram pinggiran bangku halte keras-keras.
"Dan peri hujan mendengarnya."
Inilah titiknya. Selama sedetik, Levant merasakan jantungnya berhenti berdetak. Sayangnya, rasa sakit tidak pernah mau berkompromi, ia merasa sangat parah sampai pandangannya mengabur. Cukup. Ia ingin ini berhenti.
"Peri hujan lalu menemui si penebang kayu dan berkata 'saya akan memberikan tujuh cahaya padamu yang akan membuatmu bahagia dan menuntunmu pulang'. Si penebang kayu mengangguk senang. Ia diperintahkan menatap langit, dan-"
Levant melambaikan telapak tangannya, membuat gadis itu kembali menutup rapat mulutnya. Cukup. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak. Ia menatap gadis itu, sorot matanya begitu tajam dan penuh kebencian. Ia marah. Tidak, ia sangat marah.
"Pergi."
"... Hah? Tapi-"
"KUBILANG PERGI!!!"
Hafa tersentak, otomatis mundur beberapa inchi dari tempatnya duduk semula. Iahampir tidak berani menatap pria itu, tetapi kebingungan mengharuskannya. Benar-benar tidak bisa dimengerti kenapa pria yang beberapa waktu lalu mencegahnya pergi sementara hujan sedang turun sekarang tiba-tiba mengusirnya? Apa yang sudah ia lakukan sampai membuat pria yang sampai kini tidak ia ketahui namanya itu marah besar?
"S-saya...," ia tergagap. Levant diam saja, ia menunduk dalam-dalam, menyembunyikan sakit tak tertahankan dalam dirinya. Sakit yang sedikit banyak diakibatkan oleh keberadaan gadis itu, dan fakta yang ia bawa.
Seolah mengerti bahwa Levant tidak ingin mendengarnya, Hafa beringsut berdiri, berbalik, dan pelan-pelan berjalan menembus hujan. Melupakan rencananya untuk menunggu bus, melupakan rasa dingin yang tiba-tiba mneyergapnya Ia juga ingin... melupakan bahwa ia pernah bertemu pria aneh dan brengsek itu. Ia menangis diam-diam. Tidak tahu kenapa, tetapi tatapan Pak Payung... rasanya menyakitkan sekali.
Sementara Levant berkutat sendiri melawan kesakitannya. Pertama, rasa sakit di kepalanya. Kedua... pada jantungnya, pada tempat dimana hatinya berada, pada suatu area yang orang sebut perasaan.
Peri hujan itu... diakah? Peri hujan yang selama ini mati-matian berusaha ia temukan, ternyata adalah orang yang paling mudah ia jangkau, orang yang berkali-kali dipertemukan oleh takdir dengannya. Tapi bagaimana bisa? Saat ia sudah sudah putus asa, sudah menyerahkan hidupnya, sudah tidak punya waktu yang tersisa, ia baru menyadarinya?
Apakah Peri Hujan sedang menertawakan doanya selama ini?
***
Halo~ Apa kabar?
Sebagian kalian telah membaca prolog baru, ya. Gimana?
Yang belum baca, boleh mampir dan beri penilaian. Ditunggu, hehe.
Semoga kalian suka chapter ini dan berkenan meninggalkan vote dan komen ❤
Sehat dan bahagia selalu~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top