27. Dua Minggu
Karena kecantikan Leona wajib dishare.
***
"Dia masih belum pulang juga?"
"Kalau Levant sudah pulang, ngapain aku nelpon kamu, ha? Kamu punya otak nggak, sih?!"
"Kamu masih nanya?" jawaban yang terdengar di seberang telepon menjadi lebih lembut. "Jelas aku nggak punya, makanya aku masih berkeliaran di sekitar kamu, kan? Saya mikir nggak pake otak, tapi pakai hati."
Leona mendengkus. Bolamatanya hampir menggelinding keluar karena kelewatan diputar. Dia selalu merasa ingin membenturkan kepala Aiden ke tembok jika mendengar pria itu bicara. Kenapa Aiden begitu bebal? Kenapa berapa kali dimaki pun, pria itu masih akan terus berada di area yang selalu bisa ia jangkau? Tidak seperti Levant.
Dan itu rasanya tidak adil.
"Itu kenapa kamu nggak pernah mengerti ancamanku untuk berada dalam radius minimal seratus meter."
"Tepat," Aiden terdengar mengaminkan. Bahkan Leona merasa yakin pria itu sedang tersenyum bangga. "Dan aku bangga nggak punya otak."
Astaga! Jika Leona terus meladeni pria tidak waras itu, bukan mustahil ia akan kembali jatuh dalam perangkap gombalan Aiden.
"Yaudah. Tetaplah kayak gitu. Enggak punya otak."
Sahutan Leona terdengar parau, pelan. Dan ia tidak membiarkan Aiden untuk menaruh curiga karena, segera setelah mengucapkannya, ia memutuskan sambungan telepon. Seperti kebiasaannya.
Gadis itu menarik napas dan menarik diri ke belakang, membiarkan tubuhnnya jatuh telentang di atas tempat tidur King sized dengan selimut berwarna kelabu gelap. Itu tempat tidur Levant. Dan ia masih belum tahu kemana si pemilik kamar itu perginya. Levant meninggalkan ponselnya begitu saja tanpa siapapun punya petunjuk kemana ia pergi. Leona sudah berjam-jam menunggu di sini, merasa seperti orang tolol.
"Levant keparat!" umpatnya di bawah napas. "Liat aja kalau kamu pulang nanti!"
Leona berguling ke sisi, bermaksud membuat dirinya duduk kembali. Namun gerakannya terhenti ketika justru, tanpa sengaja ia menekan sesuatu di bawah selimut. Ia menyibak selimut tersebut dan menemukan sebuah botol kecil. Milik Levant.
***
Setelah mengawasi Ayres dan Nasya yang berlarian menuju rumah dengan menenteng satu set kunci, berebut siapa yang berhak untuk membuka pintu, Hafa turun belakangan dari mobil Levant. Sempat ia berbalik untuk menatap pria di belakang kemudi selama beberapa waktu, tanpa mengatakan apa-apa. Terimakasih sudah ia ucapkan berkali-kali sebelumnya, tidak perlu berulang lagi.
Dan pria itu melakukan hal sama. Ia menatap Hafa, dalam diam, seperti ingin mengatakan sesuatu namun tidak ada yang berhasil lolos dari bibirnya.
Mereka membiarkan kediaman itu mengambil detik-detik waktu keduanya. Hingga, Hafa tersenyum. Dan sudahkah Levant pernah mengatakan gadis itu punya senyum yang seakan menukil serpihan matahari pagi? Di luar perintah otaknya, Levant menemukan dirinya balas tersenyum, yang meski tipis dan terkesan setengah, ia berusaha melakukan yang terbaik dengan bibirnya itu.
"Makasih sudah mengantar, Pak Payung!" Hafa menyelipkan rambutnya di belakang telinga, lalu dengan ragu mengangkat satu tangan untuk melambai. "Sampai .. ketemu."
Sejujurnya, ia tidak yakin apakah mereka akan bertemu lagi, atau apakah ia masih menginginkan bertemu pria itu lagi. Bukannya ia membencinya, bahkan kadang gadis itu merasa sesuatu yang ajaib sedang terjadi jika ia bertemu pria itu, tapi memangnya takdir akan selalu membuat mereka—dua orang yang sangat berbeda dan menjalani jalan kehidupan berbeda—sesering itu berakhir di tikungan yang sama?
Dengan lambaian itu, Levant meluncurkan mobilnya. Lambat-lambat meninggalkan Hafa yang masih berdiri di tempatnya tadi, memperhatikan Lamborghini Aventador hitam itu dan menunggunya menghilang dari pandangannya sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia lelah sekali, anak-anak bahkan tidak lagi terdengar keberisikannya. Mungkin, mereka telah melompat ke tempat tidur.
Gadis itu berbalik, bersemangat mengingat apa yang dijanjikan kasurnya, dan tiba-tiba saja berhenti di langkah kedua. Ia menemukan Daru, berdiri di hadapannya.
"Saya melihat kamu diantar mobil."
Ada sesuatu pada tatapan pria itu yang membuat Hafa merasa seolah sedang diinterogasi, membuatnya merasa seperti sedang didudukkan di kursi pesakitan sementara Daru di hadapannya, membacakan dakwaan. Terutama, ketika pria itu melanjutkan, "Siapa dia?"
"Saya ... nggak tahu namanya."
"Lalu kenapa pergi sama dia?"
"Kami bertemu, enggak sengaja."
Daru mengerutkan alisnya, tatapan tajamnya sama sekali tidak bergeser. Seandainya tidak mengingat bahwa Daru lah yang sedang berdiri di depannya, niscaya Hafa telah kabur lantaran ditatap sedemikian rupa.
"Kamu bahkan nggak kenal dia, kenapa kamu mau diantar pulang? Bagaimana kalau terjadi apa-apa?!"
Sedikit terkejut dengan intonasi suara Daru yang meningkat tiba-tiba, Hafa mengambil satu langkah mundur. Ia kemudian menatap Daru dengan matanya yang polos, menyiratkan kebingungan yang kentara. "Enggak terjadi apa-apa, kok. Kami cuma main, sama Ayes sama Nasya juga. Kang Daru kenapa?"
Jarang, jarang sekali Hafa memanggilnya dengan panggilan itu. Namun Daru telah terlanjur marah untuk sekedar menikmati rasanya dipanggil dengan lebih akrab.
"Pokoknya kamu jangan dekat-dekat sama dia lagi. Orang itu... berbahaya. Jangan sampai kamu menyukai dia, karena dia cuma akan menyakiti kamu, Hafa. Kamu hanya akan terluka jika bersamanya. Jadi ... jangan temui dia lagi."
Jika tadi Hafa merasa bingung, sekarang ia menatap Daru seolah melihat alien. Buru-buru ia mengambil beberapa langkah maju, menipiskan jarak antara dia dan Daru. Lalu, tanpa permisi, tangannya terulur menyentuh kening Daru.
Sama sekali tidak panas.
"Pak Dokdok kesurupan, ya? Saya enggak mungkin suka sama cowok songong itu! Memangnya semua wanita harus menyukai dia, apa?! Pak Dokdok jangan ikut-ikutan, deh!"
"Kamu nggak suka sama dia?"
Apakah nada suara Daru tiba-tiba terdengar lebih ringan? Lebih penasaran? Lebih ... senang? Hafa tidak sempat memperhatikannya.
"Ya iyalah! Si Dodol! Teu Eucreug!"
Daru tersenyum. Sama sekali melewatkan sepersekian detik ketidak puasan di wajah Hafa. Seolah ada sesuatu yang ingin ia tambahkan namun urung.
Tentang ... bagaimana ia membenci kesombongan Pak Payung. Tetapi .... di saat bersamaan, rasanya menyenangkan. Ada hangat yang tidak bisa ia identifikasikan.
***
Tanpa menyalakan lampu terlebih dahulu, Levant membuang jasnya asal ke segala tempat. Ia melonggarkan dasi dan membuka dua kancing atas kemejanya agar bisa bernapas lebih bebas. Ia sudah memiliki rencana di kepala untuk bercinta habis-habisan dengan kasurnya malam ini. Ia lelah sekali dan usahanya seluruhnya tertuju untuk tidur saat kamarnya menyala terang tiba-tiba. Leona berdiri di dekat pintu, bersandar pada dinding tepat di sebelah saklar, menatapnya dengan wajah tak kalah lelah.
"Sejak kapan kamu di sini?"
"Tadi pagi."
Apakah Levant mengangguk atau hanya diam, hampir tidak bisa dibedakan. Yang jelas pria itu tidak bicara apa-apa, hal yang sedikit banyak membuat Leona kesal.
"Kamu nggak mau nanya apa aku sudah makan atau belum? Apa aku kecapekan atau sengantuk apa nungguin kamu?"
"Kamu belum makan dari tadi pagi?" Levant mengulurkan tangannya, bermaksud menyentuh pipi gadis itu yang baru sekarang ia sadari memucat. Leona menggenggam tangan pria itu lebih dulu. Begitu erat.
"Levant, gimana kalau ... pernikahan kita dipercepat aja?"
"What?"
"Dua minggu lagi. Aku mau kita menikah dua minggu lagi, instead of in two months. Aku sudah omongin ini ke Papa aku dan keluarga kamu dan mereka sudah setuju."
"... WHAT?!"
Levant tidak menyembunyikan kekagetannya, tidak berusaha sama sekali. Pun Leona, yang menatapnya lekat, menunjukkan pada Levant bahwa dia serius, dan dia tidak akan mundur.
Pernikahan mereka, cepat atau lambat harus terlaksana. Menurut rencana awal, seharusnya dua bulan lagi. Seluruh persiapan telah dicanangkan pelan-pelan oleh kedua pihak keluarga. Tapi kenapa tiba-tiba...
"Why?" Ia menyuarakan pertanyaan paling mendesak di kepalanya.
Leona hanya mengendikkan bahu. "Just because. Aku ingin berada ... di tempat yang aman. Aku nggak sabar untuk menjadi Nyonya Devara."
Dan ... Levant tahu ia tidak punya alasan untuk menolak. Seharusnya ini menguntungkannya. Setidaknya ia akan punya seseorang, seorang istri yang mendampinginya di detik-detik terakhirnya nanti. Hanya saja... ini terasa tidak pas. Dan meski tanpa alasan, tanpa mempertimbangkan pendapat logikanya, hatinya menolak gagasan menikah dengan gadis itu. Tidak. Ia tidak menginginkannya.
Tapi ia hanya diam tanpa beropini. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang.
***
Ada yang mau diundang di nikahan Levant - Leona nanti? Heheh.
Btw guys, aku mau nanya. Menurut kalian prolog cerita ini cukup menarik, nggak? Kalo lupa bisa baca ulang.
Dari rate 1-10, seberapa bikin tertarik?
Jawab yang jujur ya, soalnya aku mau memperbaiki biar lebih menarik lagi. Usulan kalau ada, silakan ditulis di sini, ya.
Selamat sore dan selamat berakhir pekan~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top