24. Finding Her

Part ini bagian galau, dan ngebosenin, haha. But it is needed for the story, so enjoy reading!

***

"Siapa nama kamu?"

"Karina."

Levant memberinya tatapan menilai yang—sungguh—membuat siapapun tidak akan nyaman. Seolah ia sedang disekap dalam sebuah ruangan sempit remang-remang yang berbau busuk, untuk diinterogasi dan dipaksa mengakui sebuah kasus pembunuhan yang tidak ia lakukan. Gadis itu cantik, wajahnya berkesan kebarat-baratan dengan hidung tinggi dan kulit merona. Tetapi sesuatu tentang dirinya, tentang senyumnya terasa salah. Dan suaranya... Levant mencoba mendengarkan baik-baik, suara gadis itu berat, tidak sejernih Peri Hujan dalam mimpinya.

"Kamu yang ngasih saya gelang ini?" Levant menaruh gelang semangginya di tengah-tengah meja.

Gadis itu mengangguk mantap sambil menyunggingkan senyum, yang dapat dipastikan membuat kebanyakan pria luluh. Pria di hadapannya mungkin pengecualian, karena tatapannya hampir tidak berubah, sama dinginnya.

"Ya. Aku ngasih gelang itu ke kamu lima belas tahun lalu. Kamu ... masih ingat, ya? Aku sendiri nggak pernah lupa, sama kamu," senyumnya seraya menyelipkan sebagian rambut ke belakang telinga.

Dan meski jawaban gadis itu tampak meyakinkan, tidak serta merta membuat Levant percaya. Gadis ini, ia tidak tampak gugup, tidak seperti gadis-gadis sebelumnya. Namun Levant, pintar membaca ekspresi, dan dia terlihat seperti seorang perayu ulung.

"Terus ... dimana arloji saya?"

"A-arloji?"

"Yang kamu ambil dari saya waktu itu. Bisa kamu tunjukkan?"

"Yang ma—"

"Kamu boleh pulang sekarang."

Mati kutu. Wajah Karina yang tadinya berser-seri dengan ulasan make-up yang menyokong penampilannya, yang sesaat kemudian berganti penuh kebimbangan akibat pertanyaan soal arloji, sekarang memucat seketika. Pasalnya, Levant sekarang menatapnya berbahaya. Levant tampan, tentu saja. Kaya raya adalah nilai plus. Tetapi jika ia berpotensi menghilangkan nyawa hanya dengan tatapannya, lari adalah pilihan bijaksana.

***

"P-pipit. Sapitri."

Gadis itu tampak gugup setengah mati meski itu belum semenit sejak ia meletakkan pantatnya hati-hati di atas kursi beroda, tepat di hadapan Levant, hanya dipisahkan oleh meja dan tumpukan tipis dokumen di atasnya.

Ia tidak secantik gadis sebelumnya, tidak bertubuh bak model seperti gadis sebelumnya, atau sebelum-sebelumnya. Ia berisi, dan Levant tidak peduli. Meski peri hujannya itu gendut, atau tidak memiliki wajah yang nyaman dipandang, jika itu Peri Hujan, maka ia bersyukur bisa menemukannya. Hanya jika gadis ini benar Peri Hujannya.

"Pipit," Levant memutar pulpen di tangannya. "Benar kamu orang yang saya cari?"

"Hmm, i-iya, benar. Lima belas tahun lalu... saya... saya adalah gadis itu."

"Really?" tatapannya tajam, menusuk. "Kalau gitu... coba ceritakan tentang dongeng hujan."

"Do-ngeng... apa?

***

Sudah berpuuh-puluh gadis. Levant bahkan menghabiskan jam kantornya, menggeser pekerjaannya hanya untuk menanyai mereka semua, para pendusta brengsek itu. Peri Hujan itu tidak ada di antara mereka. Ia merasa sudah lelah dan putus asa, dan peri hujan itu tidak bisa ia temukan. Semua gadis yang datang rata-rata menginginkannya, ketampanan juga hartanya. Jelas, semua wanita menginginkan itu, dan nyatanya mereka melakukan segala cara untuk mendapatkannya.

Terdengar ketukan di pintu. Dan Levant bahkan terlalu lelah untuk memberikan sahutan. Ia membiarkan saja sang sekretaris memasuki ruangannya setelah dua kali mengetuk.

"Bapak memanggil saya?"

"Hm. Tolak semua antrian yang ingin menemui saya. Dan hapus semua iklan. Biarkan saya istirahat beberapa jam di sini." Levant menutup matanya dan memijat keningnya.

"Apa perlu saya bawakan kopi? Atau keperluan lain?"

Levant menggeleng pelan. "Enggak. Cukup tinggalkan saya sendiri tanpa pengganggu."

"Baiklah, Pak."

Sepeninggal sekretarisnya, Levant tidak lantas bisa tertidur meski ia sudah memejamkan mata sejak tadi. Sakit kepala hebat kembali menyerangnya. Seperti mesin pengingat untuknya bahwa waktu yang ia miliki tidaklah banyak.

Dengan tangan gemetar, ia meraba-raba laci meja kerjanya, nyaris membuat terjatuh apa saja yang berada di atas meja hanya untuk menemukan botol kecil itu. Painkiller yang setidaknya berguna meredam rasa sakit keterlaluan di kepalanya setelah beberapa saat. Ia menumpahkan sebutir di telapak tangannya kemudian berusaha menelannya cepat-cepat. Rasa pahit bahkan tidak lagi terasa saat kamu dalam tingkat kesakitan yang parah.

Levant berakhir dengan terduduk letih di lantai, bersandar pada meja kerjanya sementara kursinya sudah terdorong jauh sekali, dan di sisinya, berserakan kertas-kertas dan segalanya. Napasnya nyaris habis hanya untuk menekan semua rasa sakit itu jauh-jauh. Ia menatap pemandangan di luar kantornya sekarang, Melalui dinding kaca yang menyajikan hiruk pikuk Bandung dari lantai enam belas. Pria itu menatap langit mendung di atas semua pemandangan padat dan kacau di bawahnya. Mendung yang sama yang mungkin juga sedang mengintai tempatnya bernaung.

"Peri Hujan, kamu... dimana? Harus bagaimana lagi agar saya bisa menemukanmu?"

***

"Levant! Apa maksudnya ini?!"

Levant mendongak dari pekerjaannya dan, seperti dugaannya, menemukan Leona dengan wajah bertekuk kesal. Kapan, sih, memangnya gadis itu tidak tampak kesal setiap mereka bertemu? Kemudian tatapannya beralih pada apa yang barusan Leona banting ke atas mejanya. Sebuah majalah terbitan kemarin yang memampangkan foto dirinya berada pada Headline dengan tajuk yang sudah sepantasnya membuat gadis itu mengamuk.

"Kamu baca majalah yang bukan fashion?"

"Bukan itu masalahnya!" Leona membuang napas, tidak mau berbasa-basi sama sekali. "Kamu berniat mencari cewek lain tepat di depan hidungku, begitu?!"

Gadis yang hari ini rambutnya telah diberi warna auburn itu harus berusaha keras agar napasnya tidak terlalu terburu-buru sehingga ia masih bisa mengambilnya. Terlihat jelas bahwa ia kesulitan mengendalikan emosi, dari diafragmanya yang turun naik dengan cepat dan rona merah yang mengumpul di wajahnya. Ia setia berkacak pinggang dengan tatapan melotot di depan meja kantor Levant sampai pria itu mau memberikan reaksi yang lebih berarti ketimbang hanya diam tenang. Seolah tidak peduli. Seolah seorang tunangan yang mengharapkan pertemuan gadis lain, mengungkit-ungkit soal cinta pertama, tepat di depan mata tunangannya sendiri bukanlah apa-apa. Pria itu seperti patung, tidak bereaksi. Itulah yang paling ia benci dari semua sikap Levant.

"Hear me, Levant. You're my fiance and last time i check, still are. So, what the fuck are you trying to do with—"

"Kamu sudah makan?" sela Levant tiba-tiba, sama sekali tidak mengindahkan pertanyaan Leona. Ia bangkit berdiri dan terus berjalan hingga berada di posisi sejajar dengannya. "Ayo kita dinner."

"What?!"

***

"Kenapa?"

Leona tidak mengedip.

"Apa ada ... saus di wajahku?"

Menggunakan ibu jarinya, Levant mencoba menyeka bibir, meraba-raba, namun tidak ada saus apapun yang menempel. Tetapi, Leona masih tidak memindahkan matanya, hingga Levant melambaikan tangan di depan hidung gadis itu, memaksanya untuk mengedip, dan hanya saat itulah gadis itu baru bisa disadarkan.

"Kamu sakit atau terbentur, sih?" gumamnya, tanpa berhenti menatap Levant. Tangannya masih memegang garpu serta pisau, dan keduanya menancap pada Fillet Mignon yang ia pesan, tapi sejak bermenit-menit lalu ia sudah melupakan niat untuk menyantapnya.

Pria itu hanya mengangkat satu alisnya, menandakan bahwa ia sedang bertanya.

"Kamu mengajakku makan malam," Leona tampak menggigit bibir untuk membantunya mengingat-ingat. "Apa hari ini aku ulang tahun? Atau anniversary kita?"

"Saya... lapar. Itu saja."

Leona mendengkus. "That's not a romantic way to answer such a question, you know? Tapi terserahlah. Kalau dipikir-pikir, aku bakal lebih kaget lagi kalau tiba-tiba kamu mulai bersikap romantis kayak Aiden. Mungkin jantungan."

Gadis itu meneruskan memotong kembali dagingnya menjadi potongan lebih kecil, menyuapnya dengan pelan dan anggun. Walaupun model dan harus berdiet, ia juga benci sayuran dan salad, hal yang mengharuskannya hanya mengkonsumsi apel di malam hari untuk mengganti sayur. Kecuali malam ini, sepertinya cheating day-nya harus pindah ke malam ini.

"Leona, do you love me?"

Uhuk!

Leona buru-buru meraih gelas air mineral. Kata-kata Levant benar-benar mengacaukan sistem tubuhnya. Ia tersedak dan merasa hampir mati barusan. Yang paling fatal dari kesemuanya, pipinya memanas hebat. Gawat sekali.

"Kamu beneran ketularan Aiden?!" sungutnya, masih mengusap-usap dada.

Sementara di hadapannya, Levant hanya terkekeh. "Wajah kamu bilang iya," ujar Levant, membuat kesimpulan demi menjawab pertanyaannya sendiri, dengan mengabaikan umpatan Leona. Kemudian, setelah menarik satu napas, dengan kembali serius ia bertanya. "Tapi... bagaimana jika aku nggak sesempurna yang kamu pikir?"

"Memangnya siapa yang mikir kamu sempurna?!"

Mendengkus, memotar bola mata, bersikap tidak peduli. Levant sudah bisa menebak gadis itu akan melakukan kesemuanya. Seperti dirinya, Levant tahu Leona adalah seorang hopeless romantic, berdua mereka hanya seperti sepasang patung. Apakah mereka memang ditakdirkan untuk bersama?

Selama menit-menit setelahnya, Levant memperhatikan gadis itu, memperhatikan cara ia makan, gerakan bibirnya, matanya, dan apa saja gerak yang gadis itu lakukan. Tatapannya nyaris kosong. Seolah mencari sesuatu yang sulit sekali ia temukan. Sebuah pertanyaan yang baru ia sadar ia tidak tahu jawabannya, tentang perasaannya pada gadis itu. Ia tidak pernah mempertanyakannya selama ini, tidak pernah merasa terganggu dengan hubungan mereka yang lebih dikarenakan bisnis, ketimbang... hal menjijikkan yang orang sebut cinta

"Leona, do you think ... that I love you?"

Apakah saya mencintai kamu?

"Ya?" Leona mengangkat wajah? Menunjukkan pada Levant bahwa ia tidak mendengar apa yang pria itu ucapkan tadi dengan memperlihatkan wajah bingung. Suara Levant terlalu lirih, dan live music yang sedang diperdengarkan di restoran itu begitu menyenangkan.

"Forget it."

Dan usai mengantar Leona pulang, sembari Levant duduk di bagian belakang mobil, menatap jauh pada kerlap-kerlip lampu sepanjang jalanan, menatap langit yang pucat dengan bintang yang tidak tampak, hanya bulan yang kesepian, pikiran itu kembali menghampirinya.

Apakah saya mencintai kamu?

Awal mula hubungannya dengan Leona adalah sesuatu yang mulus, bahkan terlalu mudah. Ia masih berada di tahun terakhir di SMA ketika Ayahnya mengadakan pesta perayaan annyversary perusahaan, mengundang relasi-relasi bisnisnya, termasuk mengundang Michelo Bekker, ayah Leona. Mereka berkenalan, diperkenalkan tepatnya. Leona adalah gadis yang berbeda dari kebanyakan. Ia mandiri dan seenaknya, ia juga tidak menyukai pestanya, sama seperti Levant. Gadis itu juga suka game dan membenci keju. Ada banyak sekali kesamaan sehingga Levant berpikir gadis itu akan menjadi teman mengobrol yang menyenangkan. Ia tidak suka mengobrol sebelumnya, karena tidak pernah ada yang bisa mengerti apa yang ia pikirkan. Gadis itu... setidaknya sudah mendekati jangkauan.

Jadi, ketika ayahnya mengusulkan pertunangan mereka, Levant tidak terkejut. Ia tidak punya pikiran untuk menolak, karena ia mengenal Leona, dan setidaknya Leona bukanlah gadis yang akan merengek minta ditemani berbelanja sepatu dan segala hal pada Levant. Ia mungkin bisa menghabiskan waktu dengan bermain game bersamanya, mungkin.

Apakah saya mencintainya? Berulang kali Levant menanyakan itu pada otaknya, atau pada bagian dalam dadanya. Dan mereka tidak bisa bicara, tentu saja, sehingga Levant tidak bisa memahaminya. Seandainya mereka bisa... akan seperti apa jawabannya?

Apakah jika Leona tahu kondisi Levant, ia akan menjauh? Atau ia akan memeluk Levant erat dan tidak pernah melepaskannya? Tapi kenapa ... jika ia benar mencintai gadis itu, kenapa ... ia masih memiliki keinginan untuk pergi? Kenapa ia masih terlalu bosan untuk hidup? Kenapa ... jika ia benar-benar hanya mencintai gadis itu, kenapa ia masih menyimpan gelang pemberian Peri Hujan sebagai benda berharganya? Harta karunnya. Yang bahkan jika seorang Leona Karlesha Bekker menyentuhnya, ia akan mengamuk pada gadis itu.

Jadi, apakah ia mencintainya? Mencintai gadis itu?

***

Belum ada Teteh nih, minggu depan ya. Part selanjutnya bagian Teteh, tetap ditunggu, ya~

Sampai ketemu Rabu XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top